65 2
Bila Kelsen menolak kemungkinan tersebut, dalam arti menolak kedua
teori hukum tradisional sebagai teori‐teori yang sudahlengkap,
sehingga menutup kemungkinan untuk hadirnya teori
hukum yang baru, maka Kelsen akan menghadapi antinomi
56
yurisprudensi. Hans
Kelsen adalahberupaya membangun argumen untuk menunjukan
kelemahankekurangan yang ada di dalam kedua teori hukum tradisional,
sehingga memberi kemungkinan untuk menghadirkan sebuah teori
sebagai alternatif ketiga atau jalan tengah di dalam teori hukum. Pure Theory
of Law hadir dengan latar yang demikian. Pure Theory of Law dipandang
sebagai jalan tengah dalam filsafat hukum.
2. Aspek‐aspek EpistemologisPure Theory of Law
Pure Theory of Law sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen,
merupakan sebuah teori madzhab filsafat hukum, yang ingin
mendudukkan dirinya secara unique di antara dua teori madzhab filsafat
hukum mainstream, yaitu teori hukum alam dan teori hukum empiris‐
positivis.
57
56
Antinomi adalah adanya nilai‐nilai yang berpasangan yang bersitegang kontradiksi secara filosofis,
dalam rangka mencari suatu harmoni di antaranya. Dari setiap ketegangan nilai‐nilai yang
ada, bertujuan untuk mencapai harmoni di dalamnya. Ketegangan itu bukan berakibat matinya
salah satu nilai yang bersitegang, namun keduanya tetap eksis, dan keduanya harus tetap
eksis karena dari situ diharapkan terjadi semacam penyempurnaan konsep nilai‐nilai tersebut.
Nilai‐nilai yang bersitegang menjadi saling melengkapi. Keduanya akhirnya seperti mencapai
suatu proses penyempurnaan. Dari situasi itu, diharapkan tercipta harmoni nilai yang
mengakomodasi secara subjektif dan objektif dari setiap individu. Lihat E. Fernando M. Manullang,
2007, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai,Jakarta:
Buku Kompas, hlm. 25.
57
Khudzaifah Dimyati, Kelik Wardiono, Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum : Basis
66 Dengan
merujuk pada konsep universal kategori dualistis antara senyatanya
— is Sebagai penggambaran tindakan manusia dan seharusnya
— ought sebagai penggambaran dunia kodrati, Hans Kelsen membangun
dan mengembangkan sebuah teori yang dinamakannya Pure Theory
of Law teori hukum murni. Melalui
Pure Theory of Law, Hans Kelsen yang mengupayakan sebuah
jalan tengah antara idealisme hukum dan realisme hukum, menekankan
pada kemurnian dan mengajukan persyaratan bahwa hukum harus
selalu murni dengan berusaha membebaskan obyeknya dari segala sesuatu
yang bukan hukum. Kemurnian teori Kelsen ini ialah independensi kemandirian
hukum sebagai satu obyek kognisi ilmiah. Dalam hal ini Kelsen melakukan
pemurnian terhadap objek teori hukum, tujuan dan ruang lingkup
teori hukum, serta metodologi dalam teori hukum. Berdasarkan
uraian di atas, Pure Theory of Law dari Hans Kelsen secara
epistemologis, dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a Aspek OntologiPure Theory of Law
Secara ontologis Kelsen mengatakan bahwa, yang menjadi objek dari
kognisi ilmu hukum adalah hukum.
58
Di dalam buku Pure Theory of LawKelsen
menyatakan, bahwa hukum sebagai objek dari ilmu hukum, tidak
hanya berupa norma hukum saja, akan tetapi juga meliputi perilaku manusia
yang ditentukan oleh norma hukum, yaitu perilaku manusia
Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, Yogyakarta, Genta Publishing, 2014, hal 9
58
Ibid hal 10‐23
67 yang
terkandung dalam norma hukum. Objek ilmu hukum adalah hubungan
manusia yang terkandung dalam diaturoleh norma hukum. Ilmu
hukum berupaya memahami objeknya secara hukum, yakni dari sudut
pandang hukum. Memahami
sesuatu secara hukum berarti memahami sesuatu sebagai
hukum, yaitu sebagai norma hukum atau sebagai muatan dari norma
hukum atau memahami sesuatu sebagaimana yang ditetapkan oleh
norma hukum.Norma‐normayang memiliki karakter norma hukum dan
yang menjadikan perilakutindakan tertentu bersifat legal atau illegal,
merupakan objek dari ilmu hukum. Meskipun Hans Kelsen menyebutkan
secara tegas, bahwa objek kognisi dari ilmu hukum adalah norma,
akan tetapi bagi Hans Kelsen norma yang dimaksud adalah norma dengan
karakter yang khas. Dalam hal ini Kelsen mengartikan norma sebagai:
1 Norma hukum sebagai makna tindakan berkehendak.
Dalam perspektif pure theory of law, ilmu hukum diarahkan
pada upaya untuk memahami norma hukum sebagai makna tindakan
perilakuperbuatan berkehendak. Dengan demikian meskipun objek
dari ilmu hukum, berupa norma hukum dan perilaku manusia yang
terkandung dalam norma hukum, akan tetapi yang menjadi objeknya
semata ‐mata hanyalah norma, bukan perilaku manusia tindakan
berkehendak itu sendiri. Pure theory of law sebagai teori hukum,
68 khusus
diarahkan kepada norma hukum, ia tidak diarahkan kepada fakta;
ia tidak diarahkan pada tindakan berkehendak yang bermaknakan
norma hukum, tetapi kepada norma hukum sebagai makna
dari tindakan berkehendak. Kalaupun Pure Theory of Law bersinggungan
dengan fakta‐fakta, akan tetapi ia hanya berfokus pada
fakta‐fakta yang ditetapkan oleh norma hukum yang merupakan makna
dari tindakan berkehendak; makna dari tindakan berkehendak dan
hubungan timbal baliknya inilah yang merupakan pokok bahasan Pure
Theory of Law. 2
Norma hukum,
sebagai norma
moral relatif
yang berkarakternormatif.
Perbedaan antara hukum dan moral, menurut Hans Kelsen
bukanlah persoalan tentang isi hukum, melainkan tentang
bentuknya. Dalam keadaan yang demikian norma hukum sebagai
salah satu tatanan sosial, pada dasarnya telah kehilangan
eksistensinya. Hukum hanya akan bermakna bila memuat nilai‐nilai
moral yang bersifat umum, yang akan diberlakukan bagi semua
sistem moral yang mungkin ada. Hanya saja menurut Kelsen selama
ini tidak dapat dijumpai adanya unsur yang bersifat umum, yang
dapat menjadi isi dari seluruh tatanan moral yang ada, karena
sebuah nilai yang merupakan cita‐cita tertinggi dalam sebuah sistem
moral, bisa jadi sama sekali bukan merupakan nilai dalam beberapa
69 sistem
moral yang lain. Kalau pun kemudian dapat terlacak adanya sebuah
elemen yang lazim ada pada semua sistem moral yang selama ini
berlaku, tidak akan cukup alasan untuk mengganggap tatanan pemaksa
yang tidak memiliki elemen ini sebagai sesuatu yang bukan moral
atau tidak adil, dan bukan hukum. Selama
ini, di masyarakat terdapat tatanan pemaksa yang memerintahkan
suatu perilaku, yang justru oleh masyarakat tidak dianggap
baik atau adil, atau melarang suatu perilaku, yang oleh masyarakat
dianggap jahat dan tidak adil. Setiap
sistem yang bersifat seharusnya pada dasarnya dapat diklasifiksaikan
sebagai sebuah sistem moral yang bersifat seharusnya
perintah, yang memiliki karakter normatif. Dengan demikian,
apa yang diperintahkan oleh tatanan pemaksa tersebut dapat
dianggap baik dan adil, dan apa yang dilarang adalah kejahatan dan
ketidakadilan. Oleh karena itulah, apa yang baik secara moral bukanlah
apa yang termasuk dalam nilai moral a‐priori, yang bersifat absolut,
akan tetapi adalah yang sesuai dengan norma sosial yang menetapkan
perilaku manusia tertentu, sehingga apa yang dinilai jahat
secara moral, adalah apa yang bertentangan dengan norma tersebut.
Nilai moral relatif, diwujudkan oleh norma sosial yang menyatakan
bahwa manusia harus berperilaku dengan cara tertentu.Dengan
demikian ungkapan yang menyatakan bahwa
70 hukum
pada dasarnya adalah moral, tidak berarti bahwa hukum memiliki
isi tertentu, tetapi bahwa ia sendiri adalah moral yakni sebuah
norma sosial yang menyatakan bahwa manusia harus berperilaku
dengan cara tertentu. Karenanya dalam pengertian relatif ini,
setiap hukum adalah moral; setiap hukum merupakan nilai moral relatif.
Dan itu berarti hubungan antara hukum dan moral bukanlah persoalan
tentang isi hukum, melainkan tentang bentuknya. Norma
hukum sebagai sebuah sistem moral perintah, tidaklah dimaksudkan
untuk mewujudkanmerealisasikan nilai moral tertentu, akan
tetapi ia mewujudkan nilai hukum, yang kemudian harus dipandang
sebagai nilai moral relatif. Inilah makna bahwa hukum adalah
norma yang berbeda dengan moral.Adanya tuntutan untuk memisahkan
hukum dengan moral pada umumnya dan hukum dengan
keadilan pada khususnya, mengandung arti bahwa keabsahan
tatanan hukum positif tidak tergantung pada tatanan moral
yang berlaku mutlak. Pengertian
bahwa hukum merupakan moral yakni harus adil, hanya
berarti bahwa pembuatan hukum positif sesuai dengan satu sistem
moral khusus di antara sistem yang mungkin ada.Adanya kebutuhan
untuk memisahkan hukum dan moral, tidaklah berarti bahwa
konsep hukum berada diluar konsep tentang baik. Sesuatu yang
baik, berdasarkan pemahaman hukum sebagai norma, adalah
71 apa
yang tidak melanggar hukum. Dengan
adanya substansi moral relatif dalam tatanan hukum positif,
maka moral tidak bisa menyediakan standar mutlak untuk mengevaluasi
tatanan hukum positif. Pembenaran hukum positif melalui
moral hanya dimungkinkan jika terdapat perbedaan antara norma
moral dan norma hukum sehingga akan terdapat hukum yang baik
secara moral dan buruk secara moral.
b Aspek Epistemologi Pure Theory of Law
Ilmu hukum menunjukan penafsiran normatif atas objeknya,
dengan memahami perilaku manusia yang merupakan isi dari dan
ditentukan oleh norma hukum. Ilmu hukum menjelaskan norma hukum
yang diciptakan oleh tindak perilaku manusia, dan harus diterapkan dan
dipatuhi oleh tindakan tersebut; dan dengan demikian ia menjelaskan
hubungan normatif antara fakta‐fakta yang ditetapkan oleh norma
hukum.
59
Berdasarkan deskripsi diatas, maka dapatlah diketahui bahwa
tujuan dari ilmu hukum, adalah untuk:
1 Mengetahui hukum yang berlaku terhadap suatu perilaku peristiwa
kongkrit tertentu.
Tujuan dari ilmu hukum adalah menunjukkan dan menetapkan
norma hukum yang berlaku terhadap suatu perilakuperistiwa
kongkrit tertentu. Dalam hal ini ilmu hukum berfungsi
59
Lihat Op. Cit hal 24‐38
72 merekonstruksi
berbagai norma hukum umum dan individual yang diciptakan
oleh otoritas hukum menjadi sebuah sistem yang manunggal,
sebuah tatanan hukum sehingga hukum yang ada tersebut
dapat dipahami sebagai keseluruhan.Untuk dapat melakukan
hal tersebut, Kelsen telah menyediakan sebuah teori yang
merujuk pada teori struktur hierarkis Stufenbaulehre yang dapat
digunakan untuk menjelaskan kesatuan sejumlah norma hukum
yang sah,
yang dapat
diberlakukan terhadap
perilakuperistiwa konkrit tertentu.
Menurut Hans Kelsen, sebuah norma menjadi bagian sistem
hukum tertentu, hanya berasal dari fakta bahwa keabsahan norma
yang bersangkutan, bisa diruntut kembali sampai ke norma dasar
yang menyusun sistem tersebut. Dengan demikian sebuah norma
dikatakan sah sebagai norma hukum, hanya karena norma tersebut
dicapai dengan cara tertentu diciptakan menurut aturan tertentu
dikeluarkan dan ditetapkan menurut sebuah metode spesifik;
danhukum tersebut sah hanya sebagai hukum positif, yaitu hanya
sebagai hukum yang dikeluarkan atau ditetapkan. Pada pemenuhan
persyaratan penting, yaitu: dikeluarkan atau ditetapkan inilah yang
menjaminnya. Norma khusus harus diciptakan melalui sebuah cara
khusus yang menetapkanmengeluarkannya.
73 Sebuah
norma umum atau norma individual menjadi sah, karena
norma‐norma tersebut dikeluarkan atau ditetapkan sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan dalam norma yang ada, yang lebih tinggi.
Hal ini akan berlanjut terus hingga sampai pada konstitusi negara
yang bersangkutan, yang bila ditelusuri lebih lanjut akan merujuk
pada konstitusi sebelumnya, dan kemudian akan berakhir pada
konstitusi yang pertama, yang menurut sejarah ditentukan oleh para
pengambil alih kekuasaan. Apa
yang dianggap sah sebagai norma adalah apa yang diungkapkan
oleh pada pembuat konstitusi pertama sebagai kehendak
mereka. Inilah perkiraan dasar semua kognisi tentang sistem
hukum yang didasarkan pada konstitusi.Pure Theory of Law menggunakan
norma dasar sebagai dasar hipotesis. Dengan mempertimbangkan
perkiraan bahwa bila norma dasar sah, maka sistem
hukum yang berdasarkan padanya akan sah. 2
Menjelaskan hukum yang diberlakukan terhadap perilaku peristiwa faktual
‐konkrit. Hubungan
yang diungkapkan oleh aturan hukum memiliki makna
yang sepenuhnya berbeda dari hubungan kausalitas dalam hukum
alam.Yang dikatakan oleh aturan hukum bukanlah “bila A ada”,
maka adaB, melainkan bila A ada, maka B seharusnya ada. Pertanggungjawaban
yang dimiliki oleh seorang individu atas
74 perbuatannya
bermakna bahwa: ia bisa dihukum atas perbuatan ini; dan
bila ia dinyatakan tidak bertanggungjawab, ini berarti ia tidak akan
dihukum atas perbuatan yang sama. Pengamatan
yang ditunjukandalam
konsep pertanggungjawaban,
bukan merupakan kaitan antara perbuatan tertentu
dengan seorang individu yang berbuat, akan tetapi antara perbuatan
dengan sanksi; karena itulah individu yang tidak bisa dikenai
tanggungjawab tidak bisa dikatakan telah melakukan pelanggaran.
Ilmu hukum tidak memerlukan penjelasan tentang keterkaitan
antara perbuatan dengan individu yang berbuat, karena bagaimana
pun dua hal tersebut tidak bisa dipisahkan; bahkan perbuatan dari
orang yang tidak bisa dikenai tanggung jawab tetap saja merupakan
perbuatannya keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak,
sekalipun perbuatan tersebut bukan merupakan pelanggaran yang
bisa dialamatkan kepadanya. Sanksi dialamatkan kepada
pelanggaran, namun sanksi tidak dipengaruhi oleh atau tidak
disebabkan oleh pelanggaran.
c Aspek aksiologi dari Pure Theory of Law
Tujuan utama dari Pure Theory of Law adalah membebaskan
75 memurnikan
ilmu hukum dari anasir‐anasir.
60
Sebagaimana dikemukakan oleh
Hans Kelsen : Ilmu
hukum mencirikan sendiri sebagai teori hukum murni” karena ilmu
hukum itu mengarahkan kognisinya difokuskan hanya pada hukum, dan
kerena itu bertujuan menghilangkan dari kognisi ini segala sesuatuyang
bukan termasuk obyek kognisi ini tepatnyaditetapkan sebagai
hukum”.
Teori Murni bertujuan membebaskan ilmu hukum dari elemen‐
elemen asing. lnilah prinsip dasar metodologisnya.Berdasarkan deskripsi di
atas dapatlah diketahui, bahwa dengan Pure Theory of Law Hans Kelsen
bermaksud untuk menjadikan hukum sebagai satu obyek kognisi ilmiah
menjamin hukum yang otonom sebagai obyek ilmiah.
Pure Theory of Law sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen memberi
ciri sebagai teori hukum murni karena mengarahkan kognisi hanya pada
hukum itu sendiri. Oleh karena itu, dalam membangun teorinya, Kelsen
berupaya menghindari dan meniadakan segala sesuatu yang bukan
termasuk obyek kognisi ilmu hukum, terutama unsur‐unsur asing yang
teridentifikasi sebagai bukan hukum. Berdasarkan hal tersebut, kemudian
Kelsen menyatakan bahwa, hukum adalah norma, dan inilah yang menjadi
satu ‐satunya obyek kognisi hukum.
Norma sebagai objek kognisi hukum yang berbeda dengan norma
yang menjadi objek ilmu hukum menurut madzhab hukum kodrat,
60
Khudzaifah Dimyati, Kelik Wardiono, Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum : Basis
Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, Yogyakarta, Genta Publishing, 2014, hal 38‐42
76 maupun
madzhab hukum empiris‐positivistik.Norma hukum sebagai norma
adalah realitas ideal, namun demikian tidak berarti hukum akan menjadi
bagian dari moralitas, dan kemudian memberi nilai mutlak berdasarkan
standar moralitas kepada hukum. Hukum sebagai kategori moral kemudian diidentikkan dengan
keadilan. Keadilan yang dalam titik tertentu kemudian disamakan dengan
kebahagiaan, terutama ketika keadilan tidak bisa diperoleh secara
individual akan tetapi diperoleh dalam melalui masyarakat.Keadilan bagi
Kelsen adalah kesesuaian dengan hukum positif. Jika suatu norma umum
diterapkan pada satu kasus, akan tetapi tidak diterapkan pada kasus
sejenis yang muncul maka dikatakan tidak adil, ketidakadilan yang
terlepas dari berbagai pertimbanganmoral dan nilai norma umum
tersebut. Adil adalah mengungkap nilai kecocokan relatif dengan sebuah
norma; adil adalah kata lain dari sah.
Pertimbangan nilai, harus dibedakan dengan nilai yang membentuk
norma tersebut. Pertimbangan nilai bisa benar atau salah, karena ia
mengacu pada sebuah norma dari sebuah sistem yang berlaku. Namun
sebuah norma tidak bisa dinyatakan benar atau salah, ia hanya dapat
dinyatakan berlaku atau tidak berlaku.
Menurut Hans Kelsen norma yang dianggap absah atau berlaku
secara obyektif, adalah berfungsi sebagai standar nilai yang diterapkan
pada perilaku aktual. Dalam pengertian norma menjadi pertimbangan nilai
untuk menentukan baik buruknya sebuah perilaku aktual.
77
C. Diskursus mengenai Ketidak‐teraturan Hukum Disorder of Law dalam Teori Chaos