Pengaruh Paradigma Cartesian‐Newtonian terhadap Positivisme Ilmu Sains Positivistik

24 Bagan 2.1 Subjektivisme ‐ Antroposentrik Dualisme PARADIGMA CARTESIAN ‐ Mekanistik ‐ Deterministik NEWTONIAN Reduksionis ‐ Atomistik Instrumentalisme Materialisme – Saintisme

2. Pengaruh Paradigma Cartesian‐Newtonian terhadap Positivisme Ilmu Sains Positivistik

28 Paradigma Cartesian‐Newtonian ini menjadi pondasi yang kokoh bagi pengembangan sains hingga saat ini, tidak saja sains alam namun juga telah merambah sains sosial dan manusia. Misalnya saja ekonom Adam Smith berbicara tentang mekanisme pasar, biolog Charles Darwin bicara tentang mekanisme evolusi dan Sigmund Freud bicara tentang mekanisme pertahanan psikis. Biologi adalah sains yang berurusan dengan fenomena‐fenomena hayati pada organisme hidup. Selain itu di bidang teori evolusi, semakin 28 Melalui paradigma Cartesian‐Newtonian epistemologi ilmu pengetahuan dibatasi pada pengertian metode‐metode eksperimental belaka. Cabang‐cabang ilmu pengetahuan yang tidak menggunakan metode eksperimental dianggap bukan sains. Sebagaimana Descartes mengatakan: “Saya mengakui tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika tidak dapat direduksi, dengan kejelasan gambaran matematika, dari pengertian‐pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat kita ragukan lagi, karena semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara ini, maka tidak ada prinsip‐prinsip lain dalam fisika yang perlu diterima, dan tidak ada pula prinsip‐prinsip lain yang diperlukan”. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi ... hal 43 25 tampak jelas adanya paradigma Cartesian. Darwin mentransformasikan pernyataan Cogito Ergo Sum menjadi pernyataan mengenai survival of the fittest. Aku bertahan hidup maka aku ada. Aku beradaptasi maka aku ada. Ilmu biologi juga semakin berkembang dan dikaitkan dengan ilmu‐ilmu sosial sehingga melahirkan ilmu sosio‐biologi. Pada bidang ini, terjadi reduksi dimana perilaku sosial lalu dilihat semata‐mata sebagai variable dari faktor‐ faktor biologis dan genetis. Di dalam dunia kedokteran pun juga tampak adanya paradigma Cartesian ‐Newtonian yang berifat mekanistik‐reduksionistik. Dalam hal ini manusia tidak dilihat lagi sebagai manusia yang utuh dan holistik. Praktek‐ praktek kedokteran hanya berfokus pada tubuh manusia semata tanpa dikaitkan dengan jiwa dan pikirannya maupun dengan lingkungan sosialnya. Paradigma Cartesian‐Newtonian juga terdapat dalam ilmu psikologi. Sebagai contohnya adalah para kaum behavioris yang memandang bahwa manusia tak ubahnya seperti hewan atau robot dimana segenap perilakunya dapat diatur dan dikontrol oleh lingkungan eksternal dengan penelitian S‐R Stimulus ‐Response. Dalam bidang sosiologi pun juga ditemukan paradigma Cartesian ‐Newtonian. August Comte sebagai salah seorang tokoh positivisme meyakini bahwa penemuan hukum‐hukum alam akan membukakan batas‐batas yang pasti yang melekat dalam kenyataan sosial. Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang pada kenyataannya sekedar jumlah bagian‐ 26 bagian yang saling tergantung. Untuk memahami kenyataan ini, metode penelitian empiris perlu digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat adalah suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Sosiologi positivistik ini pun kerap dijuluki sebagai fisika sosial karena asumsi dan metode yang diterapkan mencontoh fisika mekanistik. Penegasan ontologi ilmu pengetahuan dilakukan dengan menggunakan ukuran‐ukuran ilmu alam dan penegasan epistemologi ilmu juga dilakukan dengan menggunakan batasan‐ batasan metode eksperimental, akibatnya sains terputus dari perspektif global. Positivisme 29 dipelopori oleh dua pemikir Perancis, yaitu Henry Saint Simon 1760‐1825 dan muridnya August Comte 1798‐1857 walaupun Henry yang pertama kali menggunakan istilah positivisme, namun Comte yang mempopulerkan positivisme. August Comte juga orang yang pertama yang memperkenalkan istilah sosiologi. Sosiologi dipahami Comte sebagai studi ilmiah terhadap masyarakat. Hal itu berarti masyarakat harus dipandang layaknya alam yang terpisah dari subjek peneliti dan bekerja dengan hukum determinisme. 30 Filsafat Comte 29 Istilah positivisme diperkenalkan Comte. Istilah itu berasal dari kata positif. Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai istilah filsafat positif dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten disepanjang bukunya. Dengan filsafat itu ia mengartikan sebagai sistem umum tentang konsep‐konsep manusia. Sedangkan positif diartikannya sebagai teori yang bertujuan untuk menyusun fakta‐fakta yang teramati. Dengan kata lain, positif sama dengan faktual, atau apayang berdasarkan fakta‐fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan, pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta‐fakta. Lihat F.Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta, 2004, hal 204 30 Pemikiran Comte ini merupakan reaksinya terhadap semangat pencerahan yang pada gilirannya melahirkan Revolusi Perancis. Ia amat terganggu oleh anarkisme yang mewarnai masyarakat 27 anti metafisis, ia hanya menerima fakta‐fakta yang ditemukan secara positif‐ alamiah, dan menjauhkan dirinya dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ‐bidang ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir mengetahui supaya siap untuk bertindak, artinya manusia harus menyelidiki gejala‐gejala, agar ia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. 31 Positivisme melembagakan pandangan dunia objektivistiknya 32 dalam suatu doktrin kesatuan ilmu unified science. Doktrin ini mengajukan kriteria bagi ilmu pengetahuan sebagai berikut: a. Bebas nilai. Pengamat harus bebas dari kepentingan, nilai emosi dalam mengamati objeknya agar diperoleh pengetahuan yang objektif. b. Ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi empiris. c. Bahasa yang digunakan harus analitik, bisa dibenarkan atau disalahkan secara logis; bisa diperiksa secara empiris atau nonsens. d. Bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya diperbolehkan menjelaskan akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia hanya menjawab pertanyaan how dan tidak menjawab pertanyaan why. pada masa itu. Oleh karenanya, ia bersikap kritis terhadap para filsuf pencerahan Prancis. Positivisme dikembangkan Comte guna melawan apa yang ia yakini sebagai filsafat negatif dan destruktif dari para filsof pencerahan. Para filsuf yang masih bergelut dengan kayalan‐kayalan metafisika. August Comte bersama beberapa filsuf lainnya membuat barisan kontra‐revolusioner yang bersikap kritis pada proyek pencerahan. Ibid hal 200 31 Hammersma, Tokoh‐tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia, Jakarta, 1983, hal 54‐55 32 Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan, objek‐objek fisik hadir independen dari mental dan menghadirkan properti‐properti mereka secara langsung melalui data inderawi. Realitas dengan data inderawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is believing.Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum .... hal 65 28 August Comte meyakini kemajuan sosial hanya dapat dicapai melalui penerapan ilmu‐ilmu positif. Semua ilmu dinilai dan dibaca melalui satu kacamata, yaitu optik ilmu‐ilmu alam. Ini berarti hanya metode ilmu alam saja yang dapat menjustifikasi keilmiahan ilmu‐ilmu, termasuk ilmu sosial. Bagan 2.2 Realitas positif Analisis Ilmu Pengetahuan Indera Fakta Keras Mekanis Positivisme terukur teramati eksperimen Kebenaran Dualisme : Subjek dan Objek Reduksionis : Bebas Nilai2 Simbolik Mekanistik : Teruji Pemiskinan Realitas Deterministik : Pasti Logis ILMU PASTI SAINS

3. Pengaruh Positivisme Ilmu terhadap Positivisme Hukum