Reduksionis Kekacauan Epistemologis Yang Terjadi Pada Pemikiran Legal Positivistik

157 Logika oposisi biner ini oleh Kelsen digunakan untuk menghilangkan atau menetralisir kecemasan dirinya. Menurut Kelsen norma dasar adalah suatu gambaran dari hubungan di antara dua oposisi binari dengan melalui serangkaian transformasi, telah menjadi suatu hal yang dapat diterapkan oleh para ahli hukum dalam berbagai masalah hukum yang mereka hadapi. Jadi jelaslah, intisari undang‐undang atau hukum bersifat fisiologis, seperti yang dikatakan J.W. Harris: “tugas ‐tugas hukum akan berjalan jika dikendalikan oleh aturan‐aturan yang berasal dari sumber‐sumber berikutnya...atau oleh undang‐ undangaturan ‐aturanundang‐undang tertentu. Jika ada kontradiksi di antara aturan‐aturan yang berasal dari sumber yang berbeda, maka hal itu dapat dipecahkan berdasarkan rangking dari sumber ‐sumber tersebut...dan sesungguhnya tidak ada satupun kontradiksi yang mendapatkan pengakuan atau bisa diterima.” 137

3. Reduksionis

dalam dalam Positivisme Hukum Yuridis John Austin dan Hans Kelsen Sifat reduksionis adalah ciri lain yang dapat ditemukan dalam pemikiran positivisme hukum. Asumsi ini menyatakan, objek telaah adalah satuan komposisi yang dapat direduksi menjadi bagian‐bagian kecil. Untuk memahami persoalan ini, lebih jauh pembahasan akan dikaitkan dengan apa yang disebut dengan realitas hukum. Realitas hukum secara filosofis dapat dijelaskan terdiri dari realitas idea, 138 realitas material, 139 dan 137 Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi ... hal 157 138 Realitas adalah sesuatu yang hanya dapat ditangkap lewat kapasitas akal budi ide, gagasan, esensi. Pemikiran ini menguasai betul mereka yang berada dibawah payung pemikiran idealisme, misalnya Plato, pada masa Yunani Kuno, idealisme lebih modern seperti Hegel. Lihat Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka kembali, Refika, Bandung, 2004, hal.27. 158 realitas artifisial hyperrealitas. 140 Realitas hukum yang beragam itu, dalam pandangan positivisme hukum direduksi hanya menjadi tunggal. Konsep pemurnian dari dari hukum pure theory Hans Kelsen adalah contoh nyata dari proses reduksionis tersebut. Proses pemurnian ini berupaya untuk melepaskan hukum dari ketergantungannya dengan realitas non‐hukum, sehingga hukum harus benar‐benar dibersihkan dari unsur non‐yuridis. Kelsen mencoba mengabaikan pendekatan lain terhadap hukum. Ternyata pandangan itu mengalami beberapa problem bahkan mengalami kegagalan, sehingga Kelsen sendiri sebenarnya melakukan juga pendekatan yang tidak murni pure, sebagaimana disampaikan oleh Hari Chand : ...”sepanjang mengenai norma dasar dia gagal untuk menjelaskan bagaimana norma tersebut eksis”. Untuk menjelaskan hakekat norma dasar membutuhkan pengetahuan lain dari bidang lain, seperti sejarah, ilmu politik, ekonomi dan lain‐lain yang ditolak oleh Kelsen. Pendekatan tidak murni juga digunakan dalam pure theory. 139 Realitas berkaitan dengan sesuatu yang bersifat aktual, nyata, ada dan objektif, yang hanya dapat dikenali dan dipahami lewat mekanisme intuisi dan indra. Pandangan yang berada di bawah payung pemikiran empirisme seperti Bacon, atau seorang sosiolog positivistik seperti Durkheim, Lihat Otje Salman dan Anthon F. Susanto,...Ibid hal.27 140 Realitas yang tidak dapat dimasukkan kepada kedua makna realitas di atas, karena realitas ketiga itu telah bersifat melampaui batas‐batas realitas di atas, yang oleh Baudrillard dan Umberto Eco disebut sebagai dunia hyperrealitas, atau dunia yang melampaui batas hyper‐ reality. Itulah sebuah realitas yang melampaui realitas, sebuah realitas virtual, dunia realitas yang melampaui dan bersifat artifisial ini menjajah hampir setiap realitas yang ada, yang pada suatu ketika nanti akan mengambil alih secara total realitas‐realitas tersebut. Setidak‐tidaknya terhadap realitas artifisial tersebut ada tiga pandangan. Pertama yang optimis dan positif, Kedua yang pesimis, curiga dan menolak dan yang Ketiga pandangan yang penuh ketidak pastian, mengkritik tapi menerimanya sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat ditolak. Lihat Op. Cit hal 27‐28 159 Pada level norma sub‐ordinat, dalam menentukan fakta dimana norma harus diterapkan, fakta harus ditentukan, pembuktian dan penghakiman mengambil peran. Penemuan hukum ada bersama fakta. 141 Pandangan reduksionis dari Hans Kelsen dapat dilihat pada pandangan W.Friedman yang mengungkapkan, dasar‐dasar esensial dari pemikiran Kelsen adalah sebagai berikut : a. The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicity to unity; b. Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is not of what the law ought to be; c. The law is a normative not a natural science; d. Legal theory as a theory of norms is not concerned with the effectiveness of legal norms; e. A theory of law is formal, a theory of the way of ordering, changing contents a spesific way; f. The relation of legal theory to a particular system of positive law is that of possible to actual law; 142 Dalam teorinya tentang hierarki norma atau Stufen theory, Kelsen menempatkan Grundnormsebagai puncak dari norma‐norma yang kemudian disusul oleh norma yang lebih rendah. Melalui hubungan yang bersifat 141 Lihat Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi Press, Cetakan Kedua, 2012, hal 165 142 Lihat W.Friedmann, Legal Theory, Third Edition, Stevens Sons Limited, 1953, hal 113, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maknanya adalah sebagai berikut : a. Tujuan teori hukum, seperti setiap ilmu pengetahuan,adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan; b. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya; c. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam; d. Teori hukum adalah sebagai teori tentang norma‐norma tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma‐norma hukum; e. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang tata cara menata, mengubah isi dengan cara khusus; f. Hubungan antara teori hukum dam sistem hukum yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata. Lihat Otje Salman dan Anthon F. Susanto,...hal 159 160 superior dan inferior maka selanjutnya norma yang paling tinggi akan dikonkritkan dalam norma yang lebih rendah sampai kepada norma yang paling konkrit. Hubungan antara norma yang satu dengan norma yang lain tersebut dapat disebut hubungan super dan sub‐ordinasi dalam konteks yang spasial. Norma yang menentukan perbuatan norma yang lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat adalah inferior. Tata hukum, khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan yang lainnya, tetapi suatu hirearki dari norma‐norma yang memiliki level yang berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain, yang lebih tinggi. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan. Puncak dari piramida hukum yang disebutnya dengan Grundnorm merupakan wadah yang kosong. Hans Kelsen tidak mengisinya dengan sebuah rumusan yang khusus tertentu dan tetap. Hal ini agak sedikit berbeda dengan pandangan Kant yang telah mengisi Kategorische Imperative dengan rumusan tetap, berbuatlah kamu sehingga tindakanmu itu menjadi ukuran bagi tindakan orang lain. Kategorische Imperative ini menjadi dasar bagi hukum dan moral. Dari uraian di atas terlihat, baik pemurnian hukum maupun stufen theory nya bersifat reduksionis, kita hampir menemukan banyak proses 161 reduksi yang dilakukan dalam menjelaskan teori yang dibangun oleh Hans Kelsen. Bagi positivisme sosiologis, realitas hukum direduksi sedemikian rupa menjadi semata‐mata realitas material. Durkheim 143 secara tegas menyatakan, hukum merupakan fakta sosial, artinya merupakan barang sesuatu yang nyata ada dan berpengaruh terhadap kehidupan individu. Pemikir positivisme hukum lainnya yaitu Herbert Lionel Adolphus Hart H.L.A. Hart 144 yang diakui sebagai “the most influental modern positivist in the English speaking world” menggunakan pendekatan bersifat reduksionis untuk menjelaskan sistem hukumnya. Dimulai dari pembagian antara aturan primer primary rules dan aturan sekunder secondary rules, yang kemudian masing‐masing aturan itu dipilah lagi ke dalam bagian‐bagian yang terkecil di dalamnya dengan menjelaskan relasi di antara masing‐masing bagian tersebut. Menurut positivisme hukum, khususnya positivisme yuridis dan analitikal positivisme, hukum direduksi sedemikian rupa sebagaimana Kelsen mereduksi realitas hukum yang sifatnya beragam menjadi tunggal, yaitu realitas hukum yang bersih dari unsur‐unsur non yuridis. 145 Demikian 143 Fakta sosial menurut Durkheim disebutkan terdiri dari: Pertama, bentuk material, yaitu sesuatu yang dianggap nyata yang dapat disimak dan diobservasi. Kedua, dalam bentuk non material yaitu sesuatu yang dianggap tidak nyata. Lihat Ibid hal 160. 144 Hart dalam Concept of Law‐nya mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem aturan‐aturan primer dan aturan‐aturan sekunder. Aturan primer berhubungan dengan aksi‐aksi yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh individu‐individu, sedang aturan‐aturan sekunder berhubungan dengan pembuatan, penafsiran, penerapan dan perubahan aturan primer; seperti aturan ‐aturan yang harus diikuti oleh pembentuk undang‐undang, pengadilan dan administrator pada saat mereka membuat dan meafsirkan dan menerapkan aturan‐aturan primer. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi ... hal 162‐163 145 Positivisme merupakan suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif yang harus dilepaskan dari sembarang macam konsepsi metafisis yang subjektif sifatnya. 162 pula Austin dengan menjelaskan, hukum adalah perintah yang berdaulat dengan menempatkan lembaga‐lembaga yang superior adalah upaya untuk mereduksi kekuatan‐kekuatan lain selain negara, terutama kekuatan‐ kekuatan yang hidup dalam masyarakat yang sangat beragam. Bagan 3.1 Hal yang bersifat Meta Yuridis Realitas Hiper Reduksionis Cyber ‐Simbolik Realitas Ideal Manusia Teks ‐ Hukum Positif Realitas Artifisial Fisiologis Biologis Realitas Material Antropologis Realitas Material Empiris Kuantitatif Nalar ‐ Rasio Fakta Empirik Pendekatan Pengkonkritan Mekanistik Dogmatis Kuantitatif AWAL HASIL Pada saat diaplikasikan ke dalam pemikiran hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran yuridis mengenai hukum sebagaimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Oleh sebab itu, setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma ‐norma yang positif ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat. Hukum bukan lagi mesti dikonsepkan sebagai asas‐asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakekat keadilan, melainkan sesuatu yang telah mengalami positivisasi sebagai legee atau lex guna menjamin kepastian mengenai apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal‐hal yang bukan terbilang hukum. Lihat Absori, Politik Hukum Menuju Hukum Progresif; Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta Press; 2013, hal 20 163 Beberapa pengaruh dualisme dan reduksionisme yang dikembangkan positivisme hukum dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Dualisme dan reduksionisme telah mengakibatkan keterbatasan dan kekaburan ruang lingkup hukum sebagai ilmu yang utuh. Hukum hanya dibatasi pada wilayah yang benar‐benar murni pure yaitu wilayah Sollen. Hukum juga hanya dibatasi kepada wilayah‐wilayah empirik kuantitatif. Dengan kata lain, positivisme hanya melihat hukum sebagai teks positif dan fakta kuantitatif, sedangkan fakta‐fakta simboliknya telah dihilangkan. Dualisme dan reduksionis telah menimbulkan terputusnya teks hukum aturan tertulis dengan unsur‐unsurnya, yaitu terpisahnya teks dengan realitas sosial atau terpisahnya teks dengan konteks. Ilmu hukum menjadi wilayah yang esoterik yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang terdidik masalah hukum sebagai konsekuensi dari ilmu hukum skema atau skeleton. Dalam bahasa Belanda dikenal dengan recht‐dogmatiek yang merupakan trade mark positivisme hukum. b. Dualisme dan reduksionis telah merusak pemahaman hukum baik sebagai sains ,ataupun sebagai gejala praktis; wilayah hukum dipandang sebagai wilayah empirisme dan rasionalisme yang kemudian telah menumbuhkan mekarnya ilmu hukum positif, dengan kredonya aturan dan logika rules and logic. Ilmu hukum hanya memandang hukum sebagai bangunan atau tatanan logis‐rasional, sehingga fokusnya hanya pada membuat rumusan‐ rumusan, definisi yang spesifik, memilahkan dan menggolongkan, 164 mensistematisir, diterapkan belaka pada undang‐undang. Apabila dikaitkan dengan pandangan Immanuel Kant, dualisme telah menjadikan ilmu hukum yang utuh menjadi terpilah‐pilah, sebagaimana dikatakan Immanuel Kant akal teoritis berurusan dengan dunia fenomena dan bermuara pada penjelasan nomologis berdasarkan hukum‐hukum dan akal praktis yang berurusan dengan dunia noumena dan bermuara pada tindakan moral yang mensyaratkan kebebasan, namun demikian dunia noumena tidak memiliki status pengetahuan karena pengetahuan hanya dibatasi pada dunia fenomena. Dari sudut praktis, para profesi hukum untuk menjalankan profesinya mereka sangat tergantung dan memerlukan dukungan dari kajian rasional peraturan perundang‐undangan. Para profesional memerlukan semacam legitimasi ilmiah, termasuk teori, doktrin dan asas sehingga merasa mantap melakukannya. Bahkan hal ini pula merambah kepada metode penafsiran hakim di pengadilan. c. Dualisme dan reduksionis telah menyulitkan hukum dalam mengembangkan desain analis yang utuh. Ilmu hukum sebagai ilmu yang sarat nilai dan makna simbolik menjadi ilmu yang kering, karena penggunaan pendekatan dimana subjek berada di luar objek yang ditelitinya. Pandangan atau paham dualistik dan reduksionis sebagaimana dijelaskan di atas melihat alam sebagai mesin yang mati tanpa makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai dan tanpa cita rasa etis dan estetis, sebagaimana dikatakan Whitehead, dalam pandangan sains modern, alam adalah sesuatu yang mati, sepi, tidak bersuara, tidak 165 berbau, tidak berwarna; ia hanyalah seonggok materi. Hal itu dipertegas lagi, dalam dualisme itu berlaku hukum yang bersifat oposisi biner. Dualisme subjek ‐objek, menciptakan relasi hegemonial karena objek selalu dipandang sebagai representasi dari subjek, dan lebih superior, seolah‐olah objek akan mati tanpa subjek. Hal ini menjadikan desain analisis hukum bertumpu kepada antroposentris logos, dan model pendekatan hukum hanya bersifat parsial dan mekanistik, yang kemudian model pendekatan itu diklaim sebagai satu‐satunya pendekatan yang absolut. Hal itu telah ikut menjadikan rusaknya desain analisis hukum. d. Pengaruh lainnya adalah penyempitan substansi kajian ilmu hukum, sebagaimana positivisme yuridis atau lebih ekstrim lagi legisme yang melihat hukum semata‐mata hanya sebagai teks dogma yang terpisah dari realitas sosialnya. Menurut positivisme sosiologis, hukum hanya dilihat sebagai fakta empiris yang hanya dapat diamati oleh panca indera, sementara hakekat tersembunyi di balik realitas empiris‐fisik menjadi terabaikan.Dualisme dan reduksionis itu pada akhirnya berujung kepada kegagalan hukum sebagai ilmu untuk menjelaskan berbagai persoalan yang ada pada saat ini. Positivisme hukum telah membuat jurang atau kutub yang berlainan mengenai teks dengan realitas. Sebagaimana dijelaskan Satjipto Rahardjo, teks ‐teks dalam pemikiran positivisme hukum dipandang sebagai a finitive closed scheme justification, sementara realitas‐kenyataan tidak bersifat demikian tetapi dinamis. 166 Bagan 3.2 Dualisme Ontologis Paradigma Cartesian‐ Manusia Alam Newtonian Jiwa cogitans Benda extensa Pikiran Tubuh ReduksionisKesadaran Materi Nilai Fakta Positivisme Ilmu Pendekatan Mekanis Subjek Objek Comte Gerak Mekanis Terpisah Positivisme Logis Empirisme Logis Positivisme Hukum Analisis Mekanis Positivisme Positivisme Yuridis Sosiologis Dualisme Teks Positif Fakta Empirik Reduksionisme Oposisi Biner Terpisah Seperti halnya teori pada umumnya, teori hukum Hans Kelsen juga tidak terlepas dari berbagai keberatan maupun kritik yang berasal dari aliran hukum 167 sebelumhya kusususnya hukum Alam dan positivisme empiris, maupun dari aliran hukum yang berkembang belakangan. Kritik terhadap teori hukum Kelsen pada umumnya terkair dengan metode formal yang digunakan dalam Pure Theory of Law, konsep hukun sebagai perintah yang memaksa namun tidak secara psikologis, postulasi validitas norma dasar, hubungan hukum dan negara, dan masalah konsep hukum internasional sebagai suatu sistem. Kritik ‐kritik dikemukakan oleh banyak ahli hukum sesuai dengan pokok masalah yang menjadi pusat perhatian, dan masing‐masing menggambarkan perspektif tertentu yang berbeda‐beda. 1 Kritik dari Joseph Raz Dalam bukunya The Concept of Legal System : An Introduction to The Theory of Legal System membahas tentang konsep hukum dan sistem hukum berdasarkan dua kriteria yaitu kriteria eksistensi dan kriteria identitas. Kritik terhadap teori hukum Kelsen dilakukan dari berbagai aspek, mulai dari bahasa pernyataan normatif, struktur norma, eksistensi norma, masalah individuasi, sampai pada masalah sistem hukum Kelsen terkait dengan prinsip individuasi dan identitas sebagai pemikiran Raz. 2 Kritik Hari Chand Hari Chand membahas secara khusus Pure Theory of Law dalam bab kelima buku “Modern Jurispudence”. Setelah menguraikan pokok‐pokok 168 pikirannya, kemudian chand memberikan kritik tentang teori Kelsen tersebut, yaitu : a Tentang norma dasar Menurut Chand, konsep norma dasar yang dikemukan Kelsen tidak jelas. Yang disebut norma dasar tersebut merupakan hukum positif tetapi suatu pre ‐posisi pengetahuan yuridis, atau sesuatu meta‐legal tetapi memiliki suatu fungsi hukum. Sulit untuk melihat kontribusi Pure Theory of Law terhadap sistem dengan mengasumsikan hukum berasal dari norma dasar yang tidak dapat ditemukan. b Tentang Metodologi Suatu sistem hukum bukan merupakan koleksi abstrak dari kategori yang mati, tetapi suatu susunan hidup yang bergerak secara konstan dan terdapat bahaya apabila melihat potongan‐potongan danmenganalisa masing‐masing bagian. Pendekatan Kelsen hanya pada satu sisi ketertarikan, yaitu pada bentuk hukum sembari meletakkan isinya sebagai hal yang sekunder. c Tentang Kemurnian Kelsen sangat menekankan pada analaisis kemurnian sehingga pendekatan lain terhadap penyelidikan yuridis diabaikan. Metodenya menjadi tidak murni sepanjang menegenai norma dasar karena dia gagal menjelaskan bagaimana norma tersebut eksis. 169 d Tentang Hirarki Norma Terdapat sumber hukum seperti kebiasaan, undang‐undang, dan preseden, yang salah satunya tidak dapat dikatkanlebih tinggi dari yang lain. Disamping norma, dalam sistem hukum juga terdapat standar, prinsip‐prinsip, kebijakan, asas maxim, yang sama pentingnya dengan norma, namun tidak diperhatikan oleh Kelsen. 3 Kritik dari J.W. Harris Pandangan utana Kelsen adalah bahwa ilmu hukum harus terbebas dari hal ‐hal yang tidak dapat dianalisis secara obyektif menurut hukum dan hal‐hal yang merupakan hukum. Harris menyatakan bahwa Kelsen telah gagal menjelaskan bahwa hukum adalah praktek dari ilmuwan hukum. Dengan kata lain teori norma murni tentang hukum adalah bukan tentang hukum, tetapi tentang disiplin institusional dari ilmu hukum. Kelsen lebih memilih norma daripada aturan dengan dua alasan. Pertama, dia khawatir penggunaan aturan dapat berujung pada kebingungan dari ilmu alam, padahal dalam bahasa Inggris istilah law ambigu dan norm juga memiliki ambiguitas khusus karena digunakan juga dalam mendeskripsikan rule situations. Kedua, Kelsen mendefinisikan suatu norma sebagai “ekspresi dari ide…bahwa seorang individu harus ought untuk berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Kelsen secara terus menerus menambahkan untuk mengaitkan dengan pandangannya bahwa aturan hukum adalah entitas abstrak yang berbeda 170 dengan legislasi masa lalu atau pelaksanaannya di masa depan, dengan membentuk piramida hukum stufentheorie yang dikembangkan murid Hans Kelsen Hans Nawiasky dimana susunan normanya adalah : 1. Norma fundamental staatsfundamental norm; 2. Aturan dasar negara staats grunddgesetz; 3. Undang‐undang formal formel gesetz; 4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom verordnung en autonomesatzung. Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen adalah norma dasar norm basic dalam suatu negara disebut sebagai norma fundamental negara. Sehingga dengan penempatan Pancasila sebagai staatsfundamental norm berarti menempatkannya diatas Undang‐Undang Dasar. Pancasila tidak termasuk ke dalam konstitusi, karena berada diatas konstitusi. 146

4. Legal Gap Jurang Hukum