Moralitas Sebagai Paradigma Hukum

104 Kenyataannya, di mana hukum diberlakukan, risiko‐risiko moral baru muncul sebagai sebuah keniscayaan. Ketika hukum diberlakukan, tidak hanya akan ada perangkat efisien penindasan, tapi juga akan muncul keburukan ‐keburukan baru: pengasingan komunitas‐komunitas tertentu, tumbuhnya hierarki baru, dan adanya kemungkinan pelenyapan orang‐ orang yang bertindak melawan ketidakadilan melalui perangkat hukum seperti yang berulang kali terjadi di negara kita. Meskipun hukum memiliki keutamaan‐keutamaan yang mutlak, pada saat yang sama hukum juga memliki kebusukan‐kebusukan, dan semua ini secaraterbalik menunjukkan kaitan mutlak hukum dan moralitas. Ada beberapa resiko moral ketika hukum diberlakukan, dan hukum itu sendiri tidak menyediakan alat untuk mencegah risiko‐risiko tersebut.

6. Moralitas Sebagai Paradigma Hukum

Beberapa keberatan Hart mengenai konsekuensi yang harus ditanggung ketika kita menganggap hukum ituberkaitan secara mutlak dengan moralitas, yaitu: 1 Hukum akan menggantikan moralitas dan mengakibatkan orangakan menjadikonservatif. 2 Orang akan mudah melanggar hukum yang bertentangan denganmoralitaspribadinya. Hart menyebutnya anarkis. Kita akan menguji klaim pertama, yaitu orang akan jatuh dalam konservatisme jika menganut pandangan bahwa hukum dan moralitas 105 tidak bisa dipisahkan. Hart berpendapat bahwa jika hukum dan moralitas lidak dipisahkan secara tajam, maka hukum yang ada akan menggantikan moralitas dan karena itu akan kebal terhadap kritikperlu diingat Hart melihat moralitas atau sistem normatif lain yang hanya memiliki aturan primer memiliki sekurangnya tiga kekurangan, yakni statis, tidak pasti, dan tidak efisien. Tanpa kritik, hukum akan menjadi statis. Maka pemisahan hukum dan moralitas akan membantu orang untuk mengembangkan hukum.Sebagaimana sudah dikemukakan di awal, argumentasi Hart mengenai akibat yang akan diterima jika memutlakan hukum dan moralitas, didasarkan pada pengandaian bahwa mutlak berarti sama. Hukum sama dengan moralitas, maka orang yang menganggap keduanya berhubungan mutlak akan memandang hukum sama dengan moralitas yang akibatnya menjadi konservatif. Namun demikian, sebagaimanayang sudah dijelaskan sebelumnya, anggapan kita mengenai kemutlakan hukum dan moralitas selalu berangkat dari pengalaman bagaimana hukum dipraktikkan dan harapan dari orang‐orang yang hidup di dalamnya, bukan kemutlakan logis yang diukur berdasarkan prinsip identitas. Anggapan bahwa hukum mutlak berkaitan dengan moralitas berarti menegaskan bahwa terdapat hubungan penting antara keduanya, hubungan yang lebih tepat dikatakan mutlak daripada kebetulan sebagaimana diusulkan Hart. 106 Dengan penjelasan di atas kita dapat menyatakan bahwa usulan Hart untuk memisahkan hukum dan moralitas secara tegas menjadi tidak masuk akal. Sebagai ilustrasi kita bisa melihat, misalnya, apakah tuntutan untuk mengubah KUHP, berasal dari orang‐orang yang membagi secara tegas antara mana tuntutan moral dan mana tuntutan hukum? Menurut penulis justru sebaliknya. Orang yang menuntut perubahan peraturan tersebut adalah orang‐orang yang menganggap aturan hukum, dalam arti tertentu, harus selaras dengan aturan moralnya. Mereka melihat sejumlah ketentuan pidana yang ada dalam kitab undang‐undang tersebut dapat mencederai keadilan. Jadi, pengaburan batas hukum dan moralitas tidak serta merta menjadikan hukum mandeg. Justru orang yang berpandangan bahwa hukum dan moralitas memiliki hubungan yang mutlak memiliki alasan kuat untuk mengkritik dan mengembangkan hukum. Selanjutnya, kita akan menguji argumen Hart yang kedua. Pengaburan hukum dan moralitas menurut Hart akan mengarahkan orang menjadi anarkis. Sama seperti garis argumen yang ditetapkan Hart sebelumnya, orang yang menganggap hukum berhubungan mutlak dengan moralitas adalah orang yang menganggap keduanya identik. Jadi ketika ada hukum berlawanan dengan moralitas, otomatis orang‐orang ini akan mengabaikan hukum tersebut dan menjadikan moralitas pribadinya sebagai hukum. Jika sudah demikian, maka terciptalah anarkisme. Jadi tujuan lain di balik pemisahan hukum dan moralitas adalah untuk menjaga tatanan sosial. 107 Argumentasi Hart tentang adanya para anarkis ini sejalan dengan argumentasi Hart tentang konservatisme, yaitu pemahaman bahwahukum dan moralitas adalah identik. Sama seperti alasan yang sudah diberikan sebelumnya, bahwa mengakui kemutlakan hubungan hukum dan moralitas tidak harus memahami keduanya sama dan sebangun, Pemahaman mengenai hubungan hukum dan mutlak seperti ini tidak otomatis mengarahkan orang menjadi anarkis. Selain itu, kekhawatiran Hart mengenai adanya para anarkis hanya mungkin timbul ketika sistem hukum sama sekali tidak memiliki saluran yang dapat menampung pandangan moral, dan dalam masyarakat kontemporer hampir semua sistem hukum telah memiliki prosedur untuk mengubah dan mem batalkan hukum‐ hukum yang dianggap tidak adil atau berlawanan dengan moralitas, tanpa harus menjadi anarkis. Dari uraian di atas kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa pemutlakan hubungan hukum dan moralitas tidak mutlak menjadi konservatif atau anarkis. Sebaliknya, menganggap hukum berhubungan mutlak dengan moralitas, berarti mengakui bahwa hukum dalam segi‐segi yang penting berkaitan erat dengan moralitas dan hubungan yang erat itu harus menjadi perhatian sehingga hukum tetap berada dalam pengawasan moralitas. 108

7. Keadilan dan Kepastian Hukum