KONSEP BERHUKUM IDEAL BERBASIS PROGRESIF Konsep Berhukum Ideal Berbasis Progresif Sebuah Usaha Pembebasan Diri dari Kekacauan Filosofis Pemikiran Legalistik Positivistik.
KONSEP BERHUKUM IDEAL BERBASIS PROGRESIF
Sebuah Usaha Pembebasan Diri dari Kekacauan Filosofis
Pemikiran Legalistik Positivistik
TESIS
Diajukan Kepada Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Hukum
Oleh :
HERI DWI UTOMO NIM: R100110018
PROGRAM
STUDI
ILMU
HUKUM
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
تﺎﺟرﺪ ْﻌْااﻮ وﺄ ﺬﱠاﻮْ ﻜ اﻮ اء ﺬﱠﺎﻬ ﺎﻌﻓْﺮ
.
Artinya :”Allah akan meninggikan orang‐orang yang berimandi antaramu dan orang‐ orang yang diberi ilmu pengetahuan.”
(QS.Al‐Mujadalah:11)
ﻪْ ْﻮ ﱠﻌ ْ اْﻮﻌﺿاﻮ ورﺎﻗﻮْاوﺔ ْﻜﱠﺴ ﺎ ْﻌْ اْﻮ ﱠﻌ ﻮ ْﻌْااْﻮ ﱠﻌ
)
ﻰ اﺮﺒﻄ ا
“Tuntutlah ilmu dan belajarlah (untuk ilmu) ketenangan dan kehormatan diri, dan bersikaplah rendah hati kepada orang yang mengajar kamu.”
(HR. Al‐Thabrani)
Karya ini Penulis persembahkan untuk : ‐ Ibu dan Kakakku Tercinta
‐ Isteri dan Ketiga anakku Tersayang
‐ Segenap Guru Besar Magister Hukum UMS ‐ Seluruh Almamater Magister Hukum UMS 2012
(7)
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah Subhana wa Ta’ala yang telah mengajarkan manusia dengan pena segala sesuatu yang tidak mereka ketahui. Salam serta Shalawat senantiasa tercurahkan kepada Junjungan kita Nabiyullah Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam yang telah menghantarkan sebenar‐ benarnya ilmu kepada manusia dan alam semesta.
Penelitian dan penulisan karya ini tidak semata‐mata dilakukan oleh penulis sendiri melainkan selesai dengan banyak dukungan para pihak baik yang terlibat sebagai Pembimbing Aktif maupun tidak. Maka pada kesempatan ini dengan segala hormat dan kerendahan hati , penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Bambang Setiadji, M.S, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta.
2. Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, S.H, M.Hum, selaku Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta sekaligus Pembimbing Utama dalam penulisan ini.
3. Wardah Yuspin, S.H, M.Kn, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
4. Prof. Dr. Absori S.H, M.Hum, selaku Pembimbing Kedua dalam penulisan ini yang telah memberikan banyak petunjuk serta referensi dalam penulisan ini.
5. Bapak Kelik Wardiono, S.H, M.Hum, atas arahan serta nasehat beliau selama perkuliahan dan terhadap penulisan ini.
6. Segenap Pimpinan beserta Staf bagian Perpustakaan baik Pusat maupun Pasca sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan fasilitas dalam penyelesaian studi dan penulisan ini.
(8)
7. Segenap Pimpinan beserta Staf bagian Pengajaran Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan pelayanan selama ini.
8. Kepada Ibu dan Istri tercinta serta ketiga anakku (Daffa Royyan, Uwais Amani Syahid, serta Salsabilla Khomaera) yang telah memberikan dukungan moril serta doa kepada penulis.
9. Rekan‐Rekan Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Angkatan 2011/2012 yang telah memberikan dukungan dan doa.
Tiada kalimat yang pantas kecuali Alhamdullahirabbil’alamin dan Jazzakumulloh khairan katsiraan, Segala Puji Syukur kepada Rabbul Alamin dan semoga Allah Subhana Wa Ta’ala balasan kebaikan yang melimpah. Amien ya Rabbal’alamin Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Surakarta, Desember 2015 Penulis
HERI DWI UTOMO
(9)
Abstrak
Cengkeraman epistemologis modern Cartesian‐Newtonian benar‐benar membuat positivisme hukum dimatikan untuk melihat gejolak masyarakat yang senantiasa bergerak dan berubah. Paradigma positivistik telah mereduksi hukum yang dalam kenyataannya adalah sekumpulan pranata pengaturan yang sangat kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Kebekuan dan kekacauan hukum semacam ini telah menimbulkan intensitas legal gap yang cukup tinggi.Diperlukan sebuah konsep hukum berbasis progresif yang merupakan perilaku hukum para penegak hukum dalam menjalankan undang‐undang. Perilaku yang tidak terbentur pada formalitas dan tekstual belaka. Perilaku yang membawa keadilan pada keputusan yang dihasilkan. Penelitian ini dimulai dengan mempelajari pemikiran hukum dan teori dari beberapa tokoh aliran hukum, yang menjadi bahan kajian penelitian. Selanjutnya ditetapkan inti pemikiran yang mendasar dan topik‐topik sentral pemikiran hukumnya. Karya tokoh yang menjadi subjek penelitian dikaji dengan membuat analisis konsep pokok pemikiran satu per satu, agar dari logika deduktif yang dipakai sebagai pisau analisisnya, dapat ditarik suatu kesimpulan. Penelitian demikian diharapkan menghasilkan sebuah laporan deskriptif tentang kajian hukum yang menawarkan sebuah formulasi hukum baru atau sebuah model berperilaku hukum untuk mengganti atau memperbaiki konsep hukum sebelumnya.
Kata Kunci : paradigma positivisme, kekacauan hukum dan konsep berhukum progresif.
(10)
Abstract
Modern epistemological grip Cartesian‐Newtonian really make legal positivism is off to see the turmoil the people who always moving and changing. Positivistic paradigm has reduced law in reality is a set of institutions that are very complex
arrangement into something simple, linear, mechanistic and deterministic. Ice
and legal chaos This creates legal intensity gap is quite high. Required a legal concept which is based on progressive legal behavior of law enforcers to carry out the law. Behavior that is not hampered by a mere formality and textual. Behavior that brings justice on the resulting decisions. The research began by studying the laws of thought and theories of several prominent schools of law, which is the subject of the research study. Furthermore, a core set of thought fundamental
and central topics of legal thought. Works of figures who become research
subjects studied by making analysis of the basic concepts of thought one by one, in order of deductive logic used as a knife analysis, a conclusion can be drawn. Thus research is expected to generate a descriptive report on the study of law
that offers a formulation of a new law or a legal act models to replace or repair
the previous legal concepts.
Keywords: paradigm of positivism, legal chaos and lawless progressive concept.
(11)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ i HALAMAN NOTA PEMBIMBING I ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ii HALAMAN NOTA PEMBIMBING II ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ iii HALAMAN PENGESAHAN ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ v HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ vi KATA PENGANTAR ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ vii ABSTRAK ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ix DAFTAR ISI ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ xi BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 1 B. Perumusan Masalah ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 11 C. Tujuan Penelitian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 11 D.Manfaat Penelitian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 11 E. Landasan Teori ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 12 F. Metode Penelitian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 15
1. Subjek dan Objek Penelitian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 15 2. Jenis Penelitian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 16 3. Metode Pendekatan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 16 4. Sumber Data ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 16 5. Teknik Analisis Data ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 17 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A.Diskursus mengenai Filosofis Paradigma Modern
1. Karakteristik Paradigma Cartesian‐Newtonian‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 19
2. Asumsi Ontologi Paradigma Cartesian‐Newtonian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 19
3. Pengaruh Paradigma Cartesian‐Newtonian terhadap Perkembangan Ilmu
(Sains) dan Positivisme Ilmu (Sains Positivistik) ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 24
4. Pengaruh Positivisme Ilmu terhadap Positivisme Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 28
5. Perkembangan dan Ruang Lingkup Positivisme Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 30
6. Aliran dalam Positivisme Hukum dan Asumsi Filosofisnya ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 32
a) Aliran Hukum Positif Analitis / Analytical Jurisprudence ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 33
b) Aliran Hukum Murni / Pure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 37
(12)
7. Beberapa Asumsi dan Karakteristik pemikiran Positivisme Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 38
8. Konstruksi Epistemologis (Model Penalaran) Mahzab Positivisme Hukum ‐‐‐
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 40
B. Diskursus mengenai Paradigma Rasional sebagai Basis Epistemologi Pure Theory of Law Hans Kelsen
1. Pure Theory of Law:SebuahDeskripsi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 57 2. Aspek‐aspekEpistemologisPure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 65 a) AspekOntologiPure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 66 b) AspekEpistemologidariPure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 71 c) AspekAksiologidariPure Theory of Law ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 74
C. Diskursus mengenai Ketidak‐teraturan Hukum (Disorder of Law) dalam Teori Chaos Charles Sampford
1. Sejarah dan Peristilahan Chaos ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 77 2. Teori Chaos dalamIlmuPengetahuan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 79 3. TeoriHukumAsimetrismenurut Charles Sampford ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 81 4. BeberapaGagasanUtama Charles Sampford ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 82
a) Relasi Kekuasaan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 82 b) Legal Melee ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 83 c) Komunikasi Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 83
D.Diskursus mengenai Pergeseran dan Perubahan Teori dan Paradigma Ilmu Hukum
1. Perkembangan Teori Ilmu Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 85
2. Teori Pergeseran Ilmu Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 85
3. Hukum dan Perubahan Sosial ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 88
4. Teori Tentang Evolusi Hukum dalam Sosiologi Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 89
5. Teori Revolusi Hukum dalam Sosiologi Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 90
E. Diskursus mengenai Teori Holistik (Concilience : Unity of Knowledge)Edward O. Wilson ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 92
F. Diskursus mengenai Konsep Nilai, Moral, dan Keadilan
1. Nilai sebagai Aspek Aksiologis ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 95 2. Ke‐takterpisahan Hukum dan Moralitas ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 95 3. Moralitas Dalam Teori Hukum Hart ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 96 4. Sanggahan Terhadap Tesis Keterpisahan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 99 5. Hubungan Mutlak Hukumdan Moralitas ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐101
(13)
b) HukumMutlakMembuatKlaim Moral terhadapSubjeknya ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐102 c) HukumMutlakMengarahpadaKeadilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐103 d) HukumMutlakMemilikiRisiko Moral ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 103 6. Moralitas Sebagai Paradigma Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 104 7. KeadilandanKepastianHukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 108 8. Perspektif Keadilan dalam berbagai Mahzab ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 110
G.Diskursus mengenai Paradigma Holistik sebagai Basis Pemikiran Hukum Progresif 1. Penelusuran Paradigma Holistik Hukum Progresif ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 111 a) Hukum di Tengah Arus Perubahan Sosial ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 111 b) PengaruhdanWatakKulturalHukum Modern ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 115 c) HukumProgresifMelampauiPositivismeHukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 116 d) ParadigmaHolistikHukumProgresif ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 122 2. LandasanKonseptualHukumProgresif ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 129 a) HukumSebagaiInstitusi yang Dinamis ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 130 b) HukumSebagaiAjaranKemanusiaandanKeadilan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 131 c) HukumSebagaiAspekPeraturandanPerilaku ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 131 d) HukumSebagaiAjaranPembebasan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 131 e) Pengaruh Mahzab : Sebuah Pendekatan Interdisipliner‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 133 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.KekacauanEpistemologis yang terjadipadaPemikiran Legal Positivistik
1. Pengaruh Dualisme dan Reduksionisme Cartesian‐Newtonian dalam Karakteristik Positivisme Yuridis Austin dan Hans Kelsen ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 144
2. Dualisme dalam Positivisme Hukum Yuridis John Austin dan Hans Kelsen ‐‐‐
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 149 3. Reduksionis dalam dalam Positivisme Hukum Yuridis John Austin dan Hans
Kelsen ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 157
a) Kritik dari Joseph Raz ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 167 b) Kritik Hari Chand ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 167 c) Kritik dari J.W. Harris ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 169
4. Legal Gap ( Jurang Hukum ) ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 170
5. Legal Conflictdalam TradisiCivil Law System ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 172 B. Konsep Hukum Ideal Berbasis Progresif 1. Dinamika Ilmu Hukum Di Indonesia ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 175 2. Re‐orientasi Metodologi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 177 3. Munculnya Bentuk Ilmu Hukum Baru ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 179 4. Konsep Pikiran‐Pikiran Integratif : “Gerintegreerde rechtwetenschap” dan “Consilience”‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 181 5. Berpikir secara Holistik ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 185 6. Ilmu Hukum dalam Jagat Sains dan Kecerdasan Berpikirnya ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 187
(14)
7. Penawaran suatu bentuk Ilmu Hukum yang Progresif dan Kreatif ‐‐‐‐‐‐‐‐ 190 8. Hermeneutika Sosial sebagai Metode Penemuan Hukum yang Dinamis dan
Progresif ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 191 9. Keadilan di Atas Kepastian Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 199 10. Karakteristik Cara Berhukum Ideal berbasis Progresif ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 201 a) Menerjemahkan Hukum sebagai Perilaku ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 201 b) Tujuan Hukum adalah Memunculkan Kebahagiaan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 202 c) Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 205 d) Menyerahkan Amanah ini kepada Orang‐Orang Baik ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 209 e) Pengadilan Non Linier ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 210 f) Intinya adalah Keberanian ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 214 g) Pengaruh Peran Publik dalam Berhukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 215 h) Dari Ketertiban Muncul Kekacauan Menuju Tertib Hukum yang Baru 216 i) Statis dan Dinamis Undang‐undang ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 220 j) Mempedulikan hati nurani daripada tekstualismenya ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 222 k) Diakritikal Keadilan dan Kepastian Hukum ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 223 l) Progresivisme ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 229 m)Membaca Kaidah bukan Peraturan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 230 11. Peneguhan Posisi Hukum Progresif Dalam Peta Akademik Filsafat Hukum ‐ ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 231 12. Penerapan Hukum Progresif dalam Penemuan Hukum oleh Hakim ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 240 BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 250 B. Kontribusi dan Rekomendasi ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 251 DAFTAR PUSTAKA‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 253
(15)
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Studi hukum di Indonesia bisa diibaratkan seperti penari randai; terlihat bergerak tetapi sesungguhnya berjalan di tempat. Hal ini menunjukkan bahwa paradigma yang digunakan dalam studi hukum saat ini, yaitu paradigma positivisme tidak pernah mengalami apa yang disebut oleh Thomas Samuel Kuhn sebagai “Anomaly”.1Paradigma tersebut terus bertahan sebagai
“Normally Science” dari generasi ke generasi. Paradigma positivisme itu
dianggap tetap relevan digunakan, dan tidak pernah kehilangan relevansinya dalam menghadapi goncangan‐goncangan yang terjadi. Positivisme adalah anak kandung dari epistemologi modern yang dirintis oleh Rene Descartes dan Isaac Newton.2 Dua sarjana jenius ini adalah sebagai tulang punggung dinamika modernisme.
1
Thomas Samuel Kuhn mempercayai bahwa Paradigma diuji untuk mampu mengatasi anomali. Beberapa anomali masih dapat diatasi dalam sebuah paradigma. Namun demikian ketika banyak anomali anomali yang mengganggu yang mengancam matrik disiplin, maka paradigma tidak bisa dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak bisa dipertahankan maka para ilmuwan bisa berpindah ke paradigma baru. Ketika itulah Paradigma dikatakan mengalami pergeseran yang disebut masa revolusioner. Lihat dalam Satjipto Rahardjo,”Hukum Progresif: Hukum yang
Membebaskan.Jurnal Hukum Progresif”. Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005. hal. 16
2Fritjof Capra menjelaskan bagaimana paradigma Cartesian‐Newtonian menguasai
perkembangan ilmu pengetahuan mulai dari biologi yang kebanyakan menerapkan biologi mekanistik seperti William Harvey, menerapkan sistem mekanistik pada sistem peredaran darah dalam pengertian anatomi dan hidrolik. Teori Evolusi Darwin adalah pengokoh paradigma Cartesian, meski teori ini tidak sesuai dengan gambaran Newton, sampai kepada Neo‐
(16)
Di dalam paradigma ini, para pelaku hukum menempatkan diri mereka dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik positivis berbasis peraturan (rule bound) yang memisahkan antara Das Sollen dengan Das Sein3sehingga tidak akan mampu menangkap kebenaran yang hakiki. Dalam ilmu hukum yang legalistis positivistis, hukum sebagai sebuah struktur pranata yang sangat kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik. Hal ini dikarenakan “Legisme”4yang identik dengan undang‐undang perintah penguasa (law is
command from the lawgivers)5 tersebut melihat dunia hukum murni dari
Darwinisme, seperti Richard Dawkins. Setelah itu semua ilmu‐ilmu alam seperti astronomi, fisika, kimia, selanjutnya ilmu‐ilmu sosial kemanusiaan pun ikut terpengaruh oleh paradigma ini. Misalnya, muncul sosiologi yang dibangun oleh tokoh positivisme August Comte, yang kemudian oleh Emile Durkheim paradigma ini lebih disistematiskan. Paradigma ini menguasai pula psikologi, misalnya dalam pemikiran Sigmund Freud. Pendek kata paradigma Cartesian Newtonian menguasai hampir seluruh perkembangan ilmu pengetahuan Modern. Lihat Anthon. F.Susanto,
Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010 hal 66‐67
3Darji Darmodiharjo dan Sidharta berpendapat, positivisme hukum (aliran hukum positif)
memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara Das Sein dan Das Sollen), Lihat Darji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok‐pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
Gramedia, Jakarta, 2004, hal. 113. Pengertian lain misalnya dapat dijelaskan sebagai berikut: positivisme hukum adalah aliran pemikiran yang di dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara eksklusif. Kata eksklusif diturunkan dalam bahas latin exclusivus yang artinya tidak menampung atau memuat hal lain. Jika hukum dan moralitas memiliki otonomi yang eksklusif berarti masing‐masing memiliki ruang dan lingkupnya sendiri‐sendiri, dan masing‐masing tidak berhubungan antara satu sama yang lain. Lihat E. Sumaryono, Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquainas, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal 183
4
Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang‐ undang. Tidak ada hukum diluar undang‐undang. Satu‐satunya sumber hukum adalah undang‐ undang. Di Jerman pandangan ini banyak dianut dan dipertahankan oleh misalnya Paul Laband, Jellinek, Rudolf Von Jhering, Hans Kelsen dll. Di negeri Inggris berkembang dalam bentuk yang agak lain yang kita kenal dengan Analytical Jurisprudence yang dipelopori oleh John Austin. Lihat Lili Easjidi dan Ira Rasjidi, Dasar‐dasar Filsafat dan Teori Hukum, hal 56
5
Ada 2 (dua) buku John Austin yang terkenal yakni “The Province of Jurisprudence Determined”
dan “Lectures on Jurisprudence”. Buku kedua berisikan kuliah‐kuliah Austin semasa hidup tentang Jurisprudence. Tentang hukum, Austin berkata dalam buku kumpulan kuliah tersebut sebagai
(17)
teleskop perundang‐undangan belaka. Tidak ada hukum melainkan bersumber dari undang‐undang sedangkannilai‐nilai moral dan norma di luar undang‐undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang‐ undang.6 Hal tersebut artinya implementasi kehidupan berhukum yang didasarkan pada pola teori paradigma positivisme,adalah bebas dari anasir‐ anasir nilai‐nilai moral(non yuridis) dalam masyarakat.7
Berangkat dari pengaruh dimensi peradapan modern,8 dan warisan sistem Eropa Kontinental, hukum Indonesia tumbuh dan berkembang dalam ranah positivisme. Positivisme yang membuat norma selalu mengkristal di ranah Das Sollentidak dapat menyesuaikan dengan perubahan Das Sein yang selalu mengikuti dinamika perubahan sosial yang terus terjadi, sehingga
berikut : Law is command of the Lawgiver, dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari sang pemegang kedaulatan. Ibid hal 58
6
Di Indonesia sendiri pengaruh pemikiran Legisme itu sangat jelas dapat dibaca pada pasal 15
Algemene Bepalingen vanWetgeving yang antara lain berbunyi (dalam bahasa Indonesia) : ”Terkecuali penyimpangan‐penyimpangan yang ditentukan bagi orang‐orang Indonesia dan mereka dipersamakan dengan orang‐orang Indonesia, maka kebiasaan bukanlah hukum kecuali jika undang‐undang menentukannnya”. Lihat Op.Cit hal.57
7
Mahzab positivisme merupakan sebagai sumber utama yang menyebabkan hukum itu diperlakukan secara otonom dan terpisah dari kaitannya dengan proses‐proses lain. Mahzab positivisme ini memang mempunyai sejarahnya sendiri, karena ia muncul sebagai reaksi terhadap mahzab hukum alam atau naturalisme. Berbeda dengan mahzab naturalisme yang memusatkan perhatiannya kepada masalah keadilan yang abstrak, maka positivisme mengutarakan masalah ketertiban dan ketepatan. Dengan demikian, mereka didorong untuk membatasi perhatiannya terhadap objek yang jelas dan pasti. Lihat Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, Filsafat,
Teori, dan Ilmu hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal 195
8
Paradigma Cartesian‐Newtonian ini merupakan paradigma peradapan modern yang telah menyatu (built‐in) dengan berbagai sistem dan dimensi kehidupan modern, baik dalam kegiatan wacana ilmiah maupun dalam kehidupan sosial budaya sehari‐hari. Kita dapat menyebutnya sebagai kesadaran kolektif (collective consciousness). Hegemoni paradigma ini terhadap pandangan dunia manusia modern terkait erat dengan kenyataan sejarah, bahwa peradapan modern memang dibangun atas dasar ontologi, kosmologi, epistemologi, dan metodologi yang dicanangkan oleh dua tokoh penggerak modernisme yaitu Rene Descartes dan Isaac Newton. Lihat Anthon F.Susanto, Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Teks dan Model Pembacaan, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal 25
(18)
semakin kita mempelajari keteraturan (hukum),kita justru akan akan menemukan sebuah ketidakteraturan(Teaching order finding disorder).9Dalam kebekuan semacam ini mau tidak mau kita harus segera mencari “sesuatu yang lebih cair” atau mencairkan kebekuan tersebut dengan cara mengkonsepsikan, menjabarkan dan menerapkan suatu konsep dan “cara berhukum” yang berhati nurani, konsep berhukum yang membebaskan, bukan hukum yang bersumber pada dogmatis tekstualisme tirani dan kekuasaan semata. Suatu cara berhukum yang diwujudkan dalam konsep berhukum ideal berbasis progresif untuk menghindari kekacauan‐kekacauan hukum yang timbul dari hegemoni sporadis paradigma positivisme.
Dengan menampilkan hukum sebagai institusi sosial,10merupakan keinginan untuk menangkap serta memahami ilmu hukum secara lebih utuh. Berawal dari itu, muncul sebuah tawaran paradigma holistik11 yang secara bersamaan juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gagasan hukum
9
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006, hal viii
10 Sebagaimana dikatakan hukum sebagai institusi sosial, adalah upaya untuk menidentifikasi dan mengamati hukum lebih dari pada suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana ia menjalankan fungsi‐fungsi sosial dalam dan untuk masyarakat, seperti mengintegrasikan perilaku dan kepentingan para anggota masyarakat, dalam pemahaman hukum sebagai institusi sosial itu, dibicarakan juga hubungan hukum dengan kekuasaan dan lain‐lain. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, ctk.Kelima, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 117.
11 Paradigma dalam bahasa inggris paradigm, berasal dari bahasa Yunani paradiegma yang terdiri dari dua suku kata para dan dekyani. Suku kata para berarti disamping, disebelah. Sedangkan, deykani artinya memperlihatkan, maksudnya model contoh, erketipe, ideal. Secara harfiah paradigma sering cara pandang maupun dasar konseptual. Satjipto Rahardjo,
Op.,Cil, hal x. Paradigma dapat juga diartikan sebagai kesatuan gagasan dari suatu masyarakat sains tertentu, dalam kurun waktu tertentu yang dipegang teguh secara komitmen oleh masyarakat. Lili Rasjidi & I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, ctk. Kedua, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 106.
(19)
progresif. Dengan kata lain paradigma holistik “model tersatukan” Wilson mempunyai karakteristik, pertama; interkoneksitas sebagai antitesa dari
reduksionisme‐mekanistik, kedua, probabilisme sebagai jawaban dari
kelumpuhan determinisme, dan ketiga, kontekstualisme sebagai antitesa dari
objektivisme pada paradigma Cartesian‐Newtonian yang menjadi landasan
berfikir paham postivisme hukum. Landasan filosofis hukum ini adalah bahwa hukum hadir untuk menebarkan kebaikan, kesejahteraan, keadilan, dan kedamaian bagi kepentingan manusia.
Hukum Progresif yang menganggap hukum sebagai sebuah institusi yang dinamismenolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang telah final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a
process, law in the making).Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan
tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusiabaik itu melalui perubahan undang‐undang maupun pada kultur hukumnya.
Dasar filosofi dari hukum progresif ialahhukum sebagai suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan,
(20)
kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.12 Pernyataan bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia.
Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku (rules and behavior). Apabila kita sepakat menempatkan aspek perilaku berada di atas aspek peraturan, dengan demikian faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur “greget”seperti compassion (perasaan haru), empathy, sincerety (ketulusan), dedication, commitment (tanggung jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad).
Penelitian ini diilhami oleh sebuah “Karya Besar” yang ditulis oleh Khudzaifah Dimyati yang tak lain adalah Disertasi beliau sendiri yang berjudul TEORISASI HUKUM: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945‐1990. Dalam halaman pengantarnya, Satjipto Rahardjo memuji keberanian dari penulis untuk menjelajahi (meng‐explore) sesuatu yang hampir belum disentuh para akademisi kita, yaitu eksplorasi kekayaan pemikiran para intelektual Indonesia sendiri. Perjuangan mereka sangatlah luar biasa untuk mengubah substansi dan budaya hukum Indonesia agar dapat menjadi aktualisasi dari karakteristik budaya hukum Indonesia. Sayangnya
12 Faisal, Menggagas Pembaharuan Hukum Melalui Studi Hukum Kritis, Jurnal Ultimatum, Edisi II. September 2008, STIHIBLAM, Jakarta, hal. 17.
(21)
kesemuanya itu tetap belum bisa lepas atau masih juga berada dalam pengaruh hegemoni paradigma Cartesian‐Newtonian.13
Buku kedua yang mengusik dan banyak memberikan gambaran serta referensi bagi penulis adalah Karya Besar yang ditulis oleh Anthon F. Susanto, yang berjudul Ilmu Hukum Non Sistematik Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Perbedaannya di dalam buku tersebut disajikan dua teori hukum sebagai solusi dalam mengatasi hegemoni Cartesian – Newtonian yakni dua model pembacaan yang sangat relevan yaitu model pembacaan menurut pemikiran teori chaos dalam hukum dan model pembacaan Hermeneutik Dekonstruksi, sedangkan berangkat dari teori yang sama (disorder of law) penulis lebih memilih untuk menggunakan konsep pemikiran hukum progresif yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo.
13Tipologi pemikiran pada pada periode 1945‐1960, berusaha melepaskan diri kungkungan
hukum Barat. Secara implisit menyiratkan pemikiran hukum pada periode ini, memiliki obsesi yang kuat untuk menciptakan hukum yang didasari oleh pemikiran hukum yang dijiwai oleh budaya hukum Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain dari argumen‐argumen pemikiran hukum tampak, bahwa pada akhirnya juga harus mengakomodasi aliran‐aliran hukum modern yang berkembang di dunia, dengan idiom‐idiom dan terminologi Barat. Refleksi pemikiran pada periode ini, pada dasarnya melaksanakan upaya signifikan terhadap pemikiran dan orientasi hukum yang menekankan manifestasi substansial dari nilai‐nilai budaya Indonesia. Para pemikir hukum menyadari, bahwa eksistensi dan artikulasi nilai‐nilai hukum adat yang digali dari khasanah budaya hukum indonesia yang intrinsik, lebih penting dan sangat memadai untuk mengembangkan pemikiran hukum agar mendapatkan perlakuan yang sama dengan hukum modern yang dikembangkan di negara‐negara lain. Pemikiran hukum periode 1960‐1970, memperlihatkan suatu karakteristik pemikiran yang mengutamakan peneguhan pada asas‐asas yang ketat pada format‐format postulat hukum. Fokus pemikirannya tentang hukum lebih diorientasikan pada realitas yang berkembang pada jamannya. Meskipun pemikir pada periode ini gagasannya di dasarkan pada tradisi pemikiran Barat, akan tetapi pada saat yang sama mereka berupaya mengkonseptualisasikan dan mentransformasikan kerangka pemikiran Barat ke dalam realitas Indonesia, baik secara normatif maupun empiris. Pemikiran hukum pada periode tahun 1970‐1990‐an, dapat dipandang sebagai pemikiran yang bersifat transformatif. Artinya, pemikir transformatif bukan hanya menyentuh aspek‐aspek normatif dan doktrinal semata‐mata, melainkan berusaha mentransformasikan secara kritis fenomena‐fenomena hukum dari arah empiris yang dikonstruksikan ke dalam tataran teoritik filosofis. Lihat Khudzaifah Dimyati,
Teorisasi Hukum:Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945‐1990, Surakarta, Muhammadiyah University, 2010, hal viii
(22)
Pada penelitian ilmiah terdahulu mengenai dinamika dan dialektika teori hukum di Indonesia telah banyak membahas mengenai pergulatan hukum untuk menggeser paradigma positivistik menuju suatu model pemikiran hukum yang lebih membawa keadilan. Usaha‐usaha untuk meletakkan kristalisasi Hukum Progresif ke dalam das Sollen paradigma positivistik hukum Indonesia telah berulang kali dilakukan; bahkan beberapa praktisi telah berani melakukan terobosan tersebut dalam beberapa putusannya.14
Dalam penulisan kali ini penulis ingin melihat dimana sebenarnya letak kekacauan paradigma positivistik dilihat dari konstruksi epistemologis yang membentuknya serta mencoba menawarkan konsep hukum ideal berbasis progresif dengan meneropong teori‐teori yang menjadi dasar pembangunan Hukum Progresif agar kelak dapat dijadikan sebagai usaha pencerahan dan pembebasan cara berhukum.
14 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi tertanggal 14 November 2008 kasus Pilkada Jawa Timur
pasangan Calon Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa‐Mudjiono (Kaji) melawan pasangan calon gubernur terpilih, Soekarwo dan Saifullah Yusuf (Karsa). Berdasarkan ketentuan undang‐undang, kewenangan MK dalam mengadili perkara sengketa pemilukada tak lebih dari pengadilan angka. MK tidak boleh memerintahkan diselenggarakannya pemilu ulang atau memerintahkan pemungutan suara ulang. Sebab, pemilu ulang atau pemungutan suara ulang itu hanya boleh dilakukan oleh dan atas perintah KPU apabila terjadi bencana atau huru‐hara sosial atau keadaan tertentu lainnya. Tetapi MK kemudian membuat terobosan dengan melanggar ketentuan undang‐undang dengan alasan ketentuan tersebut tidak memberi jaminan keadilan karena dalam praktiknya sering diakali dengan berbagai cara. Dalam kasus Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah Jawa Timur, untuk pertama kalinya MK membuat putusan yang menyatakan bahwa pemilu di sejumlah tempat di Jawa Timur dan Madura itu harus diulang. Terobosan yang dilakukan MK tersebut bertujuan untuk membangun keadilan substantif. Artinya,apa yang dibangun di MK bukan kebenaran hukum tertulis semata, melainkan keadilan. Dalam batas‐batas tertentu, hukum dan keadilan memang berbeda. Hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan, sedangkan keadilan belum tentu sama dengan hukum. Hukum menghendaki kesamaan rumusan abstrak sedangkan keadilan, dalam banyak hal menghendaki perbedaan penerapan dalam kasus‐kasus konkret. Lihat Moh. Mahfud MD, Inilah Hukum Progresif Indonesia, dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Konsorsium Hukum Progresif), Semarang, Thafa Media, 2013, hal 3‐4
(23)
Pada penelitian terdahulu yang dimuat dalam beberapa jurnal ilmiah hukum, telah menetapkan beberapa asumsi‐asumsi dan konkretisasi yang muncul dari subjek penelitian, yang menggambarkan corak hukum yang berlaku di Indonesia mulai dari tahun 1945 sampai sekitar era tahun 90‐an dimana dominasi paradigma hukum yang mempengaruhinya sangat kental dengan kepentingan penguasa pada masa itu sampai dengan pergulatan para tokoh intelektualisme Indonesia yang berjuang untuk memasukkan norma‐ norma hidup (living law) yang merupakan butir‐butir kearifan lokal budaya Indonesia menjadi norma positif dalam ranah positivisme. Beberapa diantaranya adalah membebaskan positivisme ke ranah progresif melalui perluasan penafsiran teks yang dilakukan para pemutus hukum (hakim) dalam mengadili perkara‐perkara yang apabila diterapkan aturan positif yang berlaku akan sangat menimbulkan ketidak adilan dikarenakan ketersediaan norma yang ada sama sekali tidak tepat digunakan untuk memutus realitas yang terjadi; sehingga hakim berdasarkan kewenangan yang dimiliki harus mampu untuk melakukan perluasan tekstualisme yang ada guna mewujudkan keadilan substantif yang membawa kebahagiaan.
Menggambarkan bagaimana corak hukum yang berlaku di Indonesia sangat dipengaruhi oleh karakteristik positivisme hukum yang merupakan corak hukum modern sehingga hukum tidak lagi menyatu dengan kehidupan masyarakatnya. Hukum tidak lagi merupakan institusi yang utuh.
(24)
Ketidakutuhan tersebut sesekali dibuktikan oleh ketidakpuasan terhadap cara‐ cara hukum menyelesaikan persoalan.
Berangkat dari fenomena tersebut,seharusnya penegakan hukum di Indonesia tidak lagi berhadapan dengan legal positivistik tetapi harus berani bertindak secara progresif, yang bukan saja di bidang struktur, substansi maupun kultur, tetapi harus secara menyeluruh. Berangkat dari kristalisasi penelitian di atas, penulis akan masuk lebih dalam lagi untuk membongkar dan melihat bahwa chaos yang ditimbulkan oleh paradigma positivistik hukum adalah berhubungan dengan karakteristik yang dipunyainya. Dari sana bisa dilihat bahwa kekacauan yang ditimbulkan dari karakteristik paradigma tersebut adalah terletak pada konstruksi epistemologisnya.
Penulis akan menunjukkan pengaruh paradigma awal dan dimana letak kekacauan konstruksi epistemologis yang menyebabkan paradigma tersebut menimbulkan banyak kegoncangan, serta karakteristik seperti apa yang menyebabkan kekacauan tersebut; akan menjadi jawaban pada perumusan masalah yang pertama.Bahwa Anthon F.Susanto pada bukunyaIlmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, telah menawarkan solusi bagi masalah ini dengan memperkenalkan ilmu hukum Non‐sistematiknya. Dia menggunakan teori hermeunetika (penafsiran) dekonstruksi teks untuk keluar dari kungkungan positivisme ini.
Berangkat dari teori yang sama mengenai ketidakteraturan hukum (disorder of law), penulis mencoba menawarkan konsep hukum ideal berbasis
(25)
pemikiran hukum progresif beserta teori‐teori yang membangunnya dimana diharapkan hal tersebut minimal akan menjadi pertimbangan untuk menggunakan cara berhukum yang lebih bijaksana daripada harus terus tersandera dalam tembok prosedural positivisme yang hal tersebut akan selalu menimbulkan kekacauan‐kekacauan baru yang membawa ketidak adilan.
B. Perumusan Masalah
1. Apa yang menjadi penyebab kekacauan filosofis pemikiran hukum yang bercorak positivistik?
2. Bagaimana gambaran sebuah konsep berhukum ideal yang berbasis progresif?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Menjelaskan hal‐hal yang menjadi penyebabkekacauan pemikiran hukum yang bercorak positivistik.
2. Menjelaskan gambaransebuahkonsepberhukum ideal yang berbasis progresif.
D.Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini dapat memberikan sebuah kontribusi bagi pengembangan pemikiran ilmu hukum progresif di dalam dunia akademis yakni memasukkan nilai‐nilai progresif berupa perilaku dan budaya penegakan hukum di Indonesia di dalam kurikulum perkuliahan.
(26)
2. Penelitian ini dapat menjadi parameter cara berperilaku para penegak hukum terutama Hakim baik dalammengadili maupun menerapkan hukumnya.
E. Landasan Teori
Teori Chaos/Legal Disorder dapat dipergunakan untuk menganalisis kekacauan hukum yang diakibatkan oleh karakteristik paradigma modern positivisme.Teori Chaos menolak ide keteraturan dan kepastian yang melekat pada hukum positif, sebagaimana dipegang teguh oleh kaum positivistik.Masyarakat pada dasarnya berada dalam kondisi tanpa sistem atau asimetris yang disebutnya dengan social melee; dan hukum adalah bagian dari kondisi masyarakat tersebut, sehingga hukum niscaya juga berada dalam kondisi melee tersebut ataulegal melee.
Hukum sejatinya adalah penuh dengan ketidak pastian; sehingga apa yang dipermukaan tampak sebagai tertib dan teratur, jelas dan pasti, sebenarnya penuh ketidakpastian. Maka teori hukum tidak perlu berupa teori tentang sistem hukum (theories of legal system), melainkan teori tentang ketidakteraturan hukum (theories of legal disorder)Di dalam situasi/hubungan yang asimetris itu, chaosbukanlah sesuatu yang harus ditakuti, atau sesuatu yang harus dihindari, atau sebagai sesuatu yang harus dilawan dengan antipati, tetapi di dalamnya ada (semacam) kemungkinan atau peluang yang dapat dikembangkan, apabila dapat mengambil hikmah/memahami dari situasi chaos tersebut (the sense of chaos). Tugas para filosof dan ilmuwan
(27)
adalah menangkap pesan, peluang dari kemungkinan baru yang muncul dari situasi yang chaos atau meleetersebut. Dari sebuah situasi yang chaos akan dihasilkan sebuah aransemen yang indah berupa hukum baru yang memberikan solusi.
Hukum Progresif menekankan pada cara berperilaku hukum yang membawa keadilan walaupun dalam subtansi hukum yang buruk sekalipun. Dalam sebuah sistem hukum (legal system) adalah merupakan satu kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur, yaitu: (1) Struktur Hukum; (2) Substansi Hukum;(3) Kultur Hukum15.
Berdasarkan pendapat tersebut, jika kita berbicara tentang sistem hukum, maka ketiga unsur tersebut, baik secara bersama‐sama atau secara sendiri‐sendiri, tidak mungkin kita kesampingkan. Struktur adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi mencakupikepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya; kantor‐kantor pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan para hakimnya. Substansi adalah keseluruhan asas‐hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasukputusanpengadilan. Kultur hukum adalah kebiasaan‐kebiasaan, opini‐opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat.Pentingnya budaya hukum untuk mendukung adanya sistem hukum, dimanaSubstansi dan Aparatur saja tidak cukup untuk
15
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975
(28)
berjalannya sistem hukum. Menurut Friedmann16 sistem hukum diumpamakan sebagai suatupabrik , jika Substansi itu adalah produk yang dihasilkan, dan Aparatur adalah mesin yang menghasilkan produk, sedangkan Budaya Hukum adalah manusia yang tahu kapan mematikan dan menghidupkan mesin, dan yang tahu memproduksi barang apa yang dikehendakinya.
Aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang begitu kompleks. Kebenaran riil bukan terletak dalam undang‐undang, tapi pada kenyataan hidup. Inilah titik tolak teori tentang kebebasan hakim yang diusung oleh Oliver Holmes dan Jerome Franklin17 (eksponen realisme hukum Amerika). Hukum yang termuat dalam aturan‐aturan, hanya suatu generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes seorang pelaksana hukum (hakim), sesungguhnya menghadapi gejala‐gejala hidup secara realistis. Dia berhadapan dengan kebenaran‐kebenaran diluar aturan formal. Dalam hal inilah ia harus “memenangkan” kebenaran yang menurutnya lebih unggul meskipun dengan resiko harus mematahkan atau mengalahkan aturan resmi.
Aturan hukum di mata Holmes hanya menjadi salah satu faktor yang patut dipertimbangkan dalam sebuah keputusan yang berbobot. Jadi bukan
16
Ibid
17
Bernard L.Tanya, Yoan N.Simanjuntak, Markus Y.Hage; Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi; Yogyakarta; Genta Publishing; 2010; hal 166‐168
(29)
sebuah pantangan jika demi putusan yang fungsional dan kontekstual aturan rsmi terpaksa disingkirkan (lebih‐lebih jika menggunakan aturan itu justru berakibat buruk). Mengikuti jejak Holmes, Jerome Frank memiliki pandangan yang sama. Menurutnya, kebenaran tidak bisa disamakan dengan aturan hukum. Seorang hakim dapat mengambil keputusan lain di luar skenario aturan, yang dari sisi keutamaan jauh lebih baik dari aturan. Kaidah hukum yang berlaku memang mempengaruhi putusan seorang hakim. Tapi itu hanya salah satu unsur pertimbangan saja. Di samping itu, prasangka politik, ekonomi dan moral ikut menentukan putusan hakim. Bahkan pula simpati dan antipati pribadi berperan dalam putusan tersebut.
F. Metode Penelitian
1. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah para penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat) secara umum dan terutama para Hakim secara khusus, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah pemikiran hukum dari berbagai mahzab (aliran) hukum yang ada. Model konsep yang terkandung di dalam pemikiran hukum tersebut, memiliki sifat‐sifat khusus (asas‐asas) sebagai sebuah karakter pembentuk. Melalui pendalaman pemahaman terhadap karakter tersebut dapat ditangkap makna dan cara berhukum yang diusung pemikiran/mahzab hukum tersebut.
(30)
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam penelitian Normatif/Doktrinal/Dogmatisatau yang sering disebut penelitian kepustakaan. Penelitian yang mengkaji studi dokumen ini menggunakan berbagai data sekunder seperti teori hukum dan pendapat para sarjana. Berdasarkan jenis dan sumber data yang akan menjadi objek dalam penelitian ini, maka secara keseluruhan penelitian ini dilakukan di dalam kepustakaan.
3. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pedekatan filsafat. Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, akan digunakan untuk mengupas secara mendalam (radikal) isu hukum (legal issue) dalam penelitian ini . Pendekatan filsafat dalam penelitian ini meliputi kajian ontologis(ajaran tentang hakikat), aksiologis (ajaran tentang nilai), epistemologis (ajaran tentang pengetahuan)dari pemikiran hukum yang menjadi objek dalam penelitian ini.
4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder yang mencakup bahan hukum primer seperti teori hukum dan pendapat para sarjana hukum,hasil‐hasil penelitian para ahli hukum , hasil karya (teksbook), sejumlah disertasi, pidato pengukuhan guru besar, artikel,
(31)
jurnal, makalah khususnya di bidang perkembangan pemikiran hukum yang bersumber dari kepustakaan.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data‐data sekunder yang bersumber dari kepustakaan dengan kata‐kata atau pernyataan.
Teknik analisis data dimulai dengan mengkaji karakter‐karakter yang mempengaruhi dari pemikiran paradigma terdahulu; yang menjadi embrio dari paradigma positivisme. Setelah mempelajari konsep yang diusung mahzab tersebut, maka dengan melihat karakter yang mempengaruhinya dapat kita simpulkan apa yang menjadi kekacauan konstruksi epistemologis mahzab tersebut. Selanjutnya sebagai tawaran mengenai konsep hukum ideal berbasis progresif harus dilihat dari kristalisasi dari pemikiran hukum progresif itu sendiri.
Berangkat dari teori mengenai pergeseran teori hukum dan paradigma holistik, dipergunakan untuk mendalami apa yang menjadi “roh” hukum progresif dari karakter dan konsep berbagai mahzab yang mempengaruhinya. Dari situ kemudian penulis mengkonstruksikan antara bentuk kekacauan yang ditimbulkan dari pemikiran legal positivistik dengan konsep pemikiran hukum progresif sehingga dapat disimpulkan suatu bentuk hukum ideal berbasis progresif sebagai usaha pencerahan dan pembebasan cara berhukum kita untuk keluar dari kegoncangan‐
(32)
kegoncangan yang ditimbulkan dari penjara formalisme positivisme. Penelitian demikian diharapkan menghasilkan sebuah laporan deskriptif tentang kajian hukum yang menawarkan sebuah formulasi hukum baru atau sebuah model hukum baru untuk mengganti atau memperbaiki konsep hukum sebelumnya agar pelaksanaan dan penegakan hukum di Indonesia dapat lebih memberikan keadilan dan kebahagiaan. 18
18
Ade Saptomo, Pokok‐pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni, Jakarta : Trisakti, 2009, hal.36‐37
(33)
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A.Diskursus mengenai Filosofis Paradigma Modern
1. Karakteristik Paradigma Cartesian‐Newtonian
Paradigma Cartesian‐Newtonian merupakan paradigma yang
ditasbihkan sebagai pilar peradaban modern, yang di dalam
perkembangannnya telah menyatu dan built‐in dalam berbagai sistem dan
dimensi kehidupan modern, baik dalam kegiatan wacana ilmiah maupun
dalam kehidupan sosial budaya sehari‐hari. Paradigma ini telah menjadi
kesadaran kolektif (collective consciousness) dan menghegemoni cara
pandang manusia modern. Paradigma ini dibangun atas dasar ontologi,
kosmologi, epistemologi dan metodologi yang dicanangkan oleh dua tokoh
penggerak modernisme, yakni Renee Descartes dan Isaac Newton.19
Rene Descartes (1596‐1650) merupakan orang yang pertama
memiliki kapasitas filosofis tinggi dan sangat dipengaruhi oleh fisika dan
astronomi baru. Descartes adalah seorang filosof, matematikawan,20 dan
19 Penggunaan nama Cartesian dan Newtonian, didasarkan kepada beberapa pemikiran meliputi
hal sebagai berikut : Pertama, Descartes dan Newton merupakan dua tokoh atau sarjana yang paling berpengaruh terhadap pembentukan sains dan peradaban modern. Hal ini banyak diakui banyak pemikir, sejarawan, cendikiawan dan filsuf. Revolusi ilmiah, revolusi industri dan abad pencerahan tidak terlepas dari pengaruh pemikiran kedua tokoh modern ini. Kedua, Descartes dan Newton mewakili perkembangan filsafat dan sains modern. Descartes dikenal sebagai bapak filsafat modern, Newton dijuluki sebagai tokoh pembangun sains modern dan mahzab kosmologi dan fisika klasik Newtonian. Lihat Anthon F.Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010 hal 38
20
Descartes selalu berusaha untuk membuktikan kebenaran‐kebenaran filsafat dengan cara seperti membuktikan sebuah dalil matematika. Dengan kata lain, dia ingin menggunakan
(34)
ilmuwan. Dalam filsafat dan matematika, karyanya sangat tinggi maknanya
bagi sains dan layak dipuji.21 Dalil Descartescogito ergo sum,22 merupakan
pernyataan bahwa segala sesuatu yang nyata (clearly) dan dapat terpilah
(distincly) adalah merupakan kebenaran.
Konsekuensi dari dalil ini bermuara pada pembedaan yang mencolok
antara rasio (cogito, think, mind) dengan tubuh (body), karena benak dan
badan sama‐sama dipandang nyata. Pandangan ini menempatkan
Descartes sebagai seorang penganut paham dualisme.23 Substansi rasio
adalah res cogitans (pemikiran), sedang substansi tubuh adalah res extensa
(berkeluasaan). Cogitans merupakan bidang jiwa, sedangkan extensa
merupakan bidang materi, bidang ilmu alam. Pikiran sesungguhnya adalah
kesadaran, dan tidak mengambil tempat dalam ruang dan karenanya tidak
dapat lagi dibagi menjadi bagian yang lebih kecil. Tetapi materi adalah
perluasan, dan ia mengambil tempat dalam ruang karenanya dapat selalu
dibagi menjadi bagian‐bagian yang lebih kecil dan lebih kecil lagi, tapi ia
instrumen yang persis sama dengan yang digunakan oleh ahli matematika yaitu angka‐angka. Lihat Ibid hal 39
21
Ada tiga karya utama Descartes yaitu: Discourse de la Methode (Wacana tentang Metode) tahun 1637, Meditationes de Prima Philosophiae (Renungan tentang Metafisika) tahun 1642 dan
Principia Philosophia (Prinsip‐Prinsip Filsafat) tahun 1944. Buku yang terakhir ini merupakan buku yang paling banyak memuat teori ilmiah. Lihat Op.Cit hal 39
22
Descartes mengajukan ungkapan yang sangat terkenal yaitu cogito ergo sum. Eksistensi “yang berada yang berpikir” (thinking being) ini merupakan pondasi yang pasti mutlak bagi semua disiplin ilmu pengetahuan. Lihat Anthon F.Susanto, Ilmu Hukum ... hal 40
23
Descartes menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran (cogitans) dan realitas yang meluas (extensa). Misalnya hanya manusia yang mempunyai pikiran. Binatang sepenuhnya merupakan realitas perluasan. Kehidupan dan gerakan mereka dipandang bersifat mekanis. Descartes menganggap seekor binatang sebagai / semacam mesin otomat. Sedangkan mengenai realitas perluasan, dia meyakini suatu pandangan yang sama sekali mekanistis, persis seperti pandangan kaum materialis. Lihat Ibid Hal 42
(35)
tidak mempunyai kesadaran. Dalam hubungannya dengan dengan sifat‐
sifat objek fisik, Descartes menulis :
“Saya mengakui tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika tidak
dapat direduksi, dengan kejelasan gambaran matematika, dari pengertian‐
pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat kita ragukan lagi, karena
semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara ini, maka tidak ada
prinsip‐prinsip lain dalam fisika yang perlu diterima, dan tidak ada pula
prinsip‐prinsip lain yang diperlukan”.
Atau dengan penjabaran yang lain Pertama, jangan pernah menerima apa
pun sebagai benar, hal‐hal yang tidak diketahui secara jelas dan terpilah
(clearly and distincly), dan hindari ketergesa‐gesaan dan prasangka. Kedua,
membagi kesulitan yang akan di uji menjadi bagian‐bagian sekecil mungkin
agar dapat dipecahkan lebih baik. Ketiga, menata urutan pikiran mulai dari
objek yang paling sederhana dan paling mudah untuk dimengerti,
kemudian maju sedikit demi sedikit menurut tingkatannya sampai kepada
pengetahuan yang lebih kompleks. Keempat, memerinci keseluruhan dan
meninjau kembali semua secara umum sedemikian sehingga diyakini tidak
ada yang terabaikan.
Dalam pandangan Descartes, alam bekerja sesuai dengan hukum‐
hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam materi alam dapat diterangkan
dalam pengertian tatanan dan gerakan dari bagian‐bagiannya. Tidak ada
tujuan, kehidupan, dan spiritualitas di dalamnya. Metode penalaran
analitik ini merupakan sumbangan Descartes terbesar pada dunia ilmu.
(1)
Ibrahim, Anis. 2007. Merekonstruksi Keilmuan Ilmu Hukum dan Hukum Milenium Ketiga. Cet. 1 Malang: In‐TRANS.
Kelsen,Hans. 2002. Hukum dan Logika, Bandung: Alumni.
Khadduri, Majid. 1999. Teologi Keadilan Perspektif Islam, cet.1 Surabaya:
Risalah Gusti.
Kristiana,Yudi. 2009. Menuju Kejaksaan Progresif; Studi Tentang Penyelidikan,
Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, cet.1, Yogyakarta: LSHP.
Kusuma, Mahmud.2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi
Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Press.
Kusumahatmadja, Mochtar. 2002. Konsep‐konsep Hukum dalam
Pembangunan. Bandung: Alumni.
Lukito, Ratno. 2008. Tradisi Hukum Indonesia, cet. 1 Yogyakarta: Teras.
L.Tanya, Bernard dan Yoan N.Simanjuntak, dan Markus Y.Hage. 2010. Teori
Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Thafa Media.
Mahfud MD, Moh. 2013. Inilah Hukum Progresif Indonesia, dalam
Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Konsorsium Hukum Progresif) Semarang: Thafa Media.
Mahfud MD, Mochammad. 2007. Hukum Tak Kunjung Tegak. cet.1 Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Marks, John. 1990. Science and the Making the Modern World, Heinemann:
Oxford.
M. Manullang, E. Fernando. 2007. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan
Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai. Jakarta: Kompas.
Miswari, Zuhairi & Noviantoni. 2004. Doktrin Islam Progresif; Memahami
Islam Sebagai Ajaran Rahmat, cet.1 Jakarta: LSIP.
Muttaqien, Raisul. 2010. Teori Hukum Murni: Dasar‐dasar Ilmu Hukum
(2)
Magnis Suseno, Franz. 2003. Etika Politik (Prinsip‐Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern).Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
M. Poloma, Margaret. 2000. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press.
Muhmutarom. 2008. Teori Keadilan & Implementasinya Dalam Perlindungan
Korban Tindak Pidana; Kajian dari Perspektif Sejarah Hukum, cet. 1 Semarang: Wahid Hasyim University Press.
Nonet Philippe & Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition:Toward Responsive Law. New York : Harper Colophon Books.
Norris, Christopher. 2006. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida,
cet. 2 Yogyakarta: AR‐RUZZ Media.
Paulson, L. Stanley. 1988. Four Phases in Hans Kelsen's Legal Theory?
Reflections on a Periodization", Oxford Journal of Legal Studies.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barakatullah. 2014. Filsafat, Teori, dan Ilmu
hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Piliang, Yasraf Amir. 2001. Sebuah Dunia yang Menakutkan, Mesin‐mesin
Kekerasan, dalam Jagat Raya Chaos. Bandung: Internusa Media.
Piliang, Yasraf,2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Ritzer, George. 2002. Ketika Kapitalisme berjingkrang: telaah Kritis terhadap
Gelombang Mc Donalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahardjo, Satjipto. 2014. Ilmu Hukum, cet. 8, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Rahardjo, Satjipto. 2014. Ilmu Hukum : Pencarian, Pembebasan, dan
Pencerahan. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Rahardjo, Satjipto dan B.Arief Sidharta, Sidharta, Suteki, Khudzaifah Dimyati,
FX Ajie Samekto. 2012. Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia,
Semarang: Thafa Media.
Rahardjo, Satjipto. 2006. Menggagas Hukum Progresif Indonesia. cet.1
(3)
Rahardjo, Satjipto. 2008. Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, cet. 1, Yogyakarta: Genta Press.
Rahardjo, Satjipto. 2009. Lapisan‐lapisan Dalam Studi Hukum, cet.1 Malang:
Bayumedia.
Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan
Teoritis serta Pengalaman‐pengalaman di Indonesia. Cet.3 Yogyakarta : Genta Publishing.
Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia.
Yogyakarta : Genta Publishing.
Rahardjo, Satjipto. 2010.Pemanfaatan Ilmu‐ilmu Sosial bagi Pengembangan
Ilmu Hukum. cet. 2 Yogyakarta : Genta Publishing.
Rahardjo, Satjipto.2009. Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan
Teoritis serta Pengalaman‐pengalaman di Indonesia. cet. 3 Yogyakarta : Genta Publishing.
Rahardjo, Satjipto. 2006.Hukum Progresif sebagai Dasar Pembangunan Ilmu
Hukum Indonesia. Semarang : Pustaka Pelajar.
Rahardjo, Satjipto. 2008.Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis tentang
Pergulatan Manusia dan Hukum. cet. 2 Jakarta : Kompas Media Nusantara.
Rahardjo, Satjipto. 2010.Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing.
Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, cet. 2
Yogyakarta: Genta Publishing.
Rahardjo, Satjipto. 2006.Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.
Rahardjo, Satjipto. 2006. Hukum Dalam Jagat Ketertiban, cet.Pertama,
Jakarta: UKI Press.
Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi‐sisi Lain dari Hukum Indonesia. cet.1, Jakarta: Kompas.
Rasjidi, Lili & I. B. Wyasa Putra. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem, cet. 2 Bandung: Mandar Maju.
(4)
Rahayu, Sri dan Niken Savitri. 2008. Butir‐butir Pemikiran dalam Hukum “Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta”, cet. 1 Bandung: Refika Aditama.
Sidharta. 2013. Pendekatan Hukum Progresif dalam Mencairkan Kebekuan
Produk Legislasi, dalam Konsorsium Hukum Progresif, (Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif). Semarang: Thafa Media.
Sidarta. 2006. Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan.
Bandung: CV Utomo.
Surbakti, Natangsa. 2013. Peneguhan Posisi Hukum Progresif Dalam Peta
Akademik Filsafat Hukum dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Konsorsium Hukum Progresif). Semarang: Thafa Media.
Sulaiman. 2013. Pembabakan Hukum Progresif dalam Dekonstruksi dan
Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, (Konsorsium Hukum Progresif). Semarang: Thafa Media.
Sumaryono,E. 2002.Etika Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas
Aquainas.Yogyakarta: Kanisius.
Soekanto, Soerjono. 2002. Faktor‐Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. cet. 4 Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Salman, Otje danAnton F. Susanto. 2011.Teori Hukum: Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Jakarta: Aditama Press.
Saptomo Ade. 2009.Pokok‐Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris
Murni. Jakarta: Trisakti.
Samekto, FX. Adji. 2008. Justice Not For All "Kritik Terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis ”. cet. 1 Yogyakarta: Genta Press.
S.Khun, Thomas. 2005. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. cet. 5
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sampford, Charles. 1989. The Disorder of Law; A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell,(yang diterjemahkan oleh Prof. Dr Absori) Muhammadiyah University Press.
(5)
Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, cet.1 Yogyakarta: Tiara Wacana.
Syamsuddin, Amir. 2008. Integritas Penegak Hukum; Hakim, Jaksa, Polisi dan
Pengacara, cet. 1 Jakarta: Kompas.
Sudirman, Anthonius. 2007. Hati Nurani Hakim dan Putusannya; Suatu
Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku Kasus Bismar Siregar, cet. 1 Bandung: Citra Aditya Bakti.
Savitri, Niken. 2008. HAM Perempuan. "Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap
KUHP ”. cet. 1 Bandung: Refika Aditama.
Tengker, Freddy. 2005. Sejarah Hukum “Suatu Pengantar. cet. 1 Bandung:
Refika Aditama.
Tebbit, Mark. 2000. Philosophy of Law. London: Routledge.
Warasih, Esmi. 2005. Pranata Hukum "Sebuah Telaah Sosiologis". cet.1
Semarang: Suryandaru Utama.
Wignjosoebroto,Soetandyo, 2007.“Positivisme dan Doktrin Positivisme dalam
Ilmu Hukum dan Kritik‐kritik terhadap Doktrin Ini” Materi Kuliah Teori Hukum Program Doktor Ilmu Hukum UII.
Woods, Alan dan Ted Grant.2006. Reason in Revalt: Revolusi Berpikir dalam
Ilmu Pengetahuan Modern, Yogyakarta: IRE Press.
Jurnal Ilmiah:
Dinamika Pemikiran Hukum: Orientasi dan Karateristik Pemikiran Expertise
Hukum Indonesia; Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, S.H., M.Hum dan Kelik
Wardiono, S.H. M.Hum Magister hukum Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta (Seri Ringkasan Penelitian Hibah Bersaing
Tahun I No. Kontrak: 154/SPPP/SP/DP3M/IV/2005).
Pola Pemikiran Hukum Responsif: Sebuah Studi Atas Proses Pembangunan
Ilmu Hukum Indonesia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. 1, Maret 2007
Prof Dimyati dan Kelik Wardiono (Seri Ringkasan Penelitian Hibah
Bersaing Tahun II Kontrak: 180/SP3/PP/DP3M/II/2006).
(6)
Politik Hukum Menuju Hukum Progresif, Prof. Dr. Absori SH MHum, Muhammadiyah University Press; 2013.
Pergulatan Hukum Positivistik Menuju Paradigma Hukum Progresif; Gde Made
Swardhana; (Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar
Bali).
Membebaskan Positivisme Hukum Ke Ranah Hukum Progresif: Studi
Pembacaan Teks Hukum bagi Penegak Hukum; Sukrisna Sarmadi,
Fakultas IAIN Antasari Banjarmasin.
Konfigurasi Hukum Progresif; Dr. Sudijono Sastroatmodjo Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Ilmu‐ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005)
Asal Usul Serta Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (Kekuatan
Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen) Dr. Eman Suparman SH MH.
HUKUM PROGRESIF: HUKUM YANG MEMBEBASKAN. Jurnal Hukum
Progresif”.Satjipto Rahardjo,”Program Doktor Ilmu Hukum Univ.
Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005.
Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Jurnal Hukum Progresif,
Vol:1/Nomor1/April 2005, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang