144 melihat
kebenaran, bahwa hukum itu merupakan suatu monumen anthropologi.
Ia cenderung untuk mereduksinya ke dalam “peraturan dan logika”
rules and logic, serta mengacu pada norma‐norma dari pada aksi atau
peristiwa. dan dengan demikian menjadikan gambar yang benar dan lengkap
mengenai hukum menjadi cacat distorted. Melalui pendekatan normatif
profesional, hanya mampu melihat secara hitam putih, tidak dapat melihat
kebenaran yang lebih lengkap mengenai apa yang terjadi dalam praksis
kontrol sosial. Melalui pendekatan positivistis‐normatif profesional, kita
hanya akan menemukan keharusan‐keharusan dan bukan kebenaran.
1. Pengaruh Dualisme dan Reduksionisme dalam Karakteristik Positivisme Yuridis
Austin dan Hans Kelsen
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan tentang karakteristik
paradigma Cartesian
‐Newtonian yang
telah menghegemoni
perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk positivisme. Ilmu hukum
tidak luput dari pengaruh positivisme ilmu tersebut sebagaimana
dijelaskan Johnny Ibrahim :
“Aliran dalam hukum seperti legal positivism, analytical legal positivism,
pragmatic positivism, atau juga penggolongan dalam dua aliran versi Mc
Coubrey dan White yaitu classical positivism yang diwakili oleh Bentham
dan Austin dan modified positivism yang diwakili oleh Hart, karya pemikir
berbagai aliran di bidang hukum tersebut sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Comte yang berawal dari hukum tiga tahap the law of three
stages yang memunculkan tahap positif yang merupakan tahap manusia
sampai pada pengetahuan itu tidak lagi abstrak, tetapi jelas, pasti dan
bermanfaat”.
126
126
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing,
Malang, 2006, hal. 85. Menurut Johnny Ibrahim “meskipun penggunaan makna positif versi
Comte juga memberikan pengaruh terhadap ilmuwan hukum, namun tidak boleh dilupakan
145 Sedangkan
menurut Soetandyo Wignjosoebroto, “Paham
positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara yaitu meng
‐upayakan positivisasi norma keadilan agar segera menjadi norma perundang
‐undangan sesungguhnya fungsional untuk mempercepat terwujudnya
negara bangsa yang diidealkan punya struktur yang terintegrasi
kukuh secara sentral yang tidak pula banyak bisa dicabar.”
127
Pengaruh yang paling mendasar adalah dualisme terhadap segala
sesuatu. Dualisme merupakan cara pandang yang memisahkan subjek
dengan objek, manusia dengan alam, penafsir dengan teks, dan
menempatkan kata pertama lebih superior dari kata setelahnya. Ini
merupakan konsekuensi dari prinsip Descartes termasuk positivisme ilmu
untuk menemukan kebenaran objektif dan universal.
Descartes melihat bahwa manusia dapat memahami dan mengupas
realitas yang terbebas dari konstruksi mental manusia, bahwa subjek dapat
mengukur objek tanpa mempengaruhinya, dan sebaliknya tanpa
dipengaruhi oleh objek. Ini sekaligus ciri positivisme ilmu, dimana peneliti
atau subjek mengambil jarak dan bersifat imparsial‐netral. Dualisme,
secara luas meliputi, pemisahan yang nyata dan mendasar antara
kesadaran dan materi, antara pikiran dan tubuh, antara jiwa cogitans dan
bahwa kata “positif” juga merupakan asli kata dari kosa kata dalam ilmu hukum. Asal kata
“positif” dalam hukum, berbeda dengan istilah positif versi Comte. Istilah positif dalam hukum
merupakan terjemahan dari “ius positum” menjadi hukum positif yang mengandung makna
hukum yang ditetapkan gesteldrecht. Jadi munculnya Ius positum pada zaman hukum Romawi
jauh lebih awal sebelum pemunculan karya‐karya pemikiran Comte. Armada Riyanto merujuk
positivisme pada kata latin ponere‐posui‐positus yang berarti meletakkan, memaksudkan bahwa
tindakan manusia itu adil atau tidak sepenuhnya bergantung pada peraturan atau hukum yang
diletakkan, diberlakukan. Lihat Armando Riyanto, Positivisme Hukum Mahkamah Konstitusi,
sebagai Kritik atas Pembatalan UU anti Terorisme Bom Bali, Kompas, 30 Juli 2004, hal. 4
127
Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Permasalahan Paradigma dalam ilmu Hukum, wacana Jurnal
ilmu sosial Transformatif VI2000; 12
146 benda
extensa serta antara nilai dan fakta. Sebagaimana dikatakan Descartes,
tidak ada yang tercakup di dalam konsep tubuh menjadi milik akal;
dan tidak ada yang tercakup dalam konsep akal menjadi milik tubuh.
128
Konsekuensi pemisahan ini telah merasuk ke dalam alam berpikir para
ilmuwan sebagaimana dijelaskan tokoh mekanika kuantum Heisenberg,
pemisahan ini telah jauh menembus ke dalam pikiran manusia selama
tiga abad sesudah Descartes, dan diperlukan waktu yang sangat lama
untuk menggantinya dengan sikap yang benar‐benar berbeda terhadap
persoalan realitas. Untuk mengukuhkan gagasannya, Descartes mengembangkan
cara pandang yang disusun atas dasar asumsi kosmologis, alam
raya merupakan sebuah mesin raksasa yang mati, tidak bernyawa dan statis.
Bahkan bukan alam saja, segala sesuatu yang diluar kesadaran subjek
dianggap sebagai mesin yang bekerja menurut hukum‐hukum matematika
yang kuantitatif, sebuah paham yang seolah‐olah menghidupkan
subjek dan mematikan objek. Karena subjek hidup dan berkesadaran,
sedangkan objek berbeda secara diametral dengan subjek, maka
objek haruslah mati dan tidak berkesadaran.
128
Durkheim menjelaskan, masyarakat dapat diteliti berdasarkan interaksi antar anggota yang
membentuk adat istiadat, tradisi dan perilaku‐perilaku sosial. Dari fakta‐fakta sosial itu peneliti
dapat menarik data tentang fenomena objektif yang mendasari seluruh aktivitas sosial. Menurut
Durkheim, fenomena itu berada diluar kehendak individu dan mempengaruhi perilaku sosialnya
dalam masyarakat. Ia merupakan kesadaran kolektif yang mengatasi kesadaran individu. Lihat
Op.Cit 145
147 Descartes
mengembangkan pendekatan universal melalui empat 4 tahap
yaitu : pertama, sikap kritis dan skeptis terhadap realitas; kedua, analisis
dengan memecah realitas yang dipahami menjadi unit yang kecil‐ kecil,
ketiga, digabungkan dan keempat, dijumlahkan kembali. Pandangan ini
sebuah pandangan yang bersifat mekanistik‐deterministik. Jadi jelas mekanisme
dan determinisme merupakan pengejawantahan dari dualisme kesadaran
dengan dunia eksternal. Dualisme memang merupakan problem klasik
dalam sejarah filsafat. Plato
dipandang sebagai filsuf pertama yang menciptakan paham dualisme,
yaitu upaya Plato untuk mendamaikan Heraclitus dan Parmenides
bermuara kepada pemisahan yang tegas antara dunia ide universal
dan dunia inderawi temporal, antara episteme dan doxa, antara spiritual
dan materi, antara jiwa dan tubuh. Perdebatan itu tidak pernah berakhir
hingga saat ini bahkan semakin akut dan pervasif dengan kemunculan
Descartes‐Newton, karena problem yang ditimbulkannya lebih luas
dari dualisme Plato, karena bersimbiosis dengan subjektivisme, antroposentrisme,
mekanis‐reduksionis, saintisme dan Baconianisme teknologisme.
Dengan kata lain, dualisme Cartesian‐Newtonian telah ditransformasikan
dan dimanifestasikan ke dalam jantung peradaban modern
dengan segenap bentuk asumsi, visi, sistem nilai, dan aktivitasnya. Dualisme
telah mengkarakterisasi kebudayaan, pemikiran dan sains modern
sehingga sukar sekali manusia modern membahas sesuatu tanpa
148 berasumsi
dualistik. Dalam pandangan yang dualistik tersebut, logika oposisi
biner atau on off logic
129
merupakan satu‐satunya logika yang diakui
dan dipakai dalam dunia ilmiah.
Reduksionis adalah asumsi paradigma Cartesian‐Newtonian, yang
melihat alam semesta tidak lain hanyalah benda mati semata, yang tidak
memiliki nilai‐nilai simbolik yang penuh makna, dunia dan alam semesta
kemudian dipandang sebagai realitas yang hanya terdiri dari angka‐angka
matematik numerik. Melalui pandangan ini, alam semesta dikikis dari
realitas kualitatif, sehingga tercipta pemiskinan realitas yang pada dasarnya
sangat kaya. Alam semesta dilihat sebagai fakta‐fakta yang sudah jadi dan
bukan sebagai sebuah proses pemaknaan yang bersifat dinamis.
130
Mereduksi merupakan usaha untuk menterjemaahkan ke dalam
sebuah bahasa yang mudah dimengerti. Menurut Nicholas Fearn, melalui
reduksi sebuah fenomena lebih mudah dipegang dan menjadi kurang
129
Oposisi biner adalah sebuah sistem dari dua kategori yang berelasi, yang dalam bentuknya
yang paling murni membentuk keuniversalan. Dalam oposisi biner yang sempurna, segala sesuatu
masuk dalam kategori A sekaligus kategori B, dengan memaksakan katagori‐katagori tersebut
terhadap dunia, maka kita mulai memahaminya. Dengan begitu, kategori A bisa dipahami hanya
karena kategori A bukanlah kategori B. Tanpa kategori B di sini tidak akan ada batas‐batas untuk
kategori A, dan karena itu tidak ada kategori A. Secara Struktural kisah penciptaan dalam Kitab
Kejadian bisa dibaca bukan sebagai kisah penciptaan dunia melainkan penciptaan kategori‐
kategori kultural yang dengan hal tersebut dunia dipahami. Kegelapan dipisahkan dari cahaya,
bumi dari udara, tanah dan air. Menurut Levi Strauss konstruksi oposisi biner ini merupakan
proses memahami yang universal dan fundamental. Proses ini universal lantaran hal ini
merupakan produk struktur fisik otak manusia, dan karena itu, spesifik pada spesies dan bukan
pada suatu kebudayaan atau masyarakat. Lihat Anthon. F.Susanto, Ilmu Hukum ....hal 147
130
Dalam sosiologi dikenal ada aliran pemikiran simbolik‐interaksinis, salah satu tokohnya adalah
Herbert Blumer menjelaskan, interaksionis simbolis bertumpu pada tiga premis yaitu: pertama,
manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna‐makna yang ada pada sesuatu itu bagi
mereka; kedua, makna tersebut berasal dari “interaksi sosial” seseorang dengan orang lainnya;
ketiga makna‐makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung. Lihat
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta, 2000, hal 258.
149 misterius
karena komponen‐komponennya lebih mudah untuk dipahami.
131
Pada posisi tersebut, maka reduksionis cenderung sama dengan simplifikasi
penyederhanaan yang telah banyak menimbulkan kegagalan pada proyek
modern. Karena reduksionis berkaitan dengan simplifikasi, maka akan ada
resiko untuk menjadi sangat simpel. Oleh karena itu, Nicholas Fearn
menjelaskan sebaiknya berhati‐hati melakukan reduksi. Melalui
penyederhanaan dalam paradigma Cartesian‐Newtonian, maka dunia
menjadi terlihat tidak menarik, dengan kata lain, hanya dipandang sebagai
realitas yang mati.
2. Dualisme dalam Positivisme Hukum Yuridis John Austin dan Hans Kelsen