40
Bagan 2.4
POSITIVISME HUKUM
ANALITIS MURNI
John Austin: Hans Kelsen:
Hukum Keadilan
Hukum harus dipisahkan Hukum
Norma Hukum
Tuhan Hukum
yang dibuat Untuk
Manusia Manusia
utk Manusia Perintah
Larangan Kebolehan Hukum
yang Hukum
yang tidak Sebenarnya
Sebenarnya
Ground Norm
Hukum yang Hukum
yang Bukan Dibuat
Piramida Stufentheori
Dibuat Penguasa oleh Penguasa
seperti : Kebiasaan,Adat, atau Abstrak
Perintah pengusaha kepada
Pekerjanya Hukum = Undang‐undang
Norma
Syarat hukum harus memiliki: ‐ Command
Konkrit Norma
‐ Sanction ‐ Duty to obey
‐ Souverignity Syarat
Hukum : teks bebas nilai, moral, keadilan dogmatis‐rasional
7. Konstruksi Epistemologis Model Penalaran Mahzab Positivisme Hukum
Dalam paparannya, Khudzaifah Dimyati
47
telah menguraikan model penalaran mahzab
positivisme hukum dalam usahanya untuk menjelaskan konstruksi epistemologis
aliran tersebut. August Comte seorang filsuf sekaligus sosiolog
4. Bersifat Logika Tertutup Closed Logical System ; menolak pandangan di luar dari tatanan yang
sudah ada dan sudah jadi.
5. Adanya Aturan dan Logika, didalam sistem hukum yang tertutup tersebut maka yang berlaku
adalah aturan dan logika Rules and Logic dengan konsep non kontradiksi
Lihat Muhammad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta; Rajawali Press; 2011, hal
173
47
Khudzaifah Dimyati, Pemikiran Hukum : Konstruksi Epistemologis Berbasis Budaya Hukum
Indonesia; Yogyakarta, Genta Publishing, 2014; hal. 29‐36
41
Perancis, yang menegaskan bahwa pemikiran manusia itu dalam perkembangannya
melewati tiga tingkatan yang menunjukkan posisinya antara lain:
a. Theological state tingkatan teologis
b. Metaphysical stage tingkatan metafisik
c. Positivism positivisme
Dalam tingkatan teologis, manusia menjelaskan segala sesuatu melalui
atau berdasarkan alasan‐alasan yang bersifat ketuhanan deity or god.
Bencana fisik atau ketidakberuntungan personal diatribusi pada pengaruh
atau kekuasaan Tuhan. Setelah itu, manusia mencoba mengarahkan pada
kekuatan metafisik atau hukum‐hukum yang bekerja di semesta alam
universe. Tuhan dikatakan sebagai penyebab seluruh fenomena kehidupan.
Itu semua hanya spekulasi manusia yang tidak dapat diverifikasi melalui
eksperimentasi ilmiah.
Tingkatan ketiga,
pemikiran manusia
dieksperimentasikan dengan segala sesuatu yang ada saat ini, serta mencoba
untuk mencari discover hukum‐hukum yang dibangun. Inilah tingkah laku
para ilmuwan yang disebut Comte sebagai positivisme. Dengan ungkapan lain,
kaum positivis membedakan dirinya dengan natural law lawyers, yang mana
mereka meneliti atau melakukan studi‐studi hukum sebagai ikhwal yang telah
dipositifkan the law as it was posited, sebagai ikhwal yang telah ditentukan
dan bukan sebagai ikhwal yang seharusnya ada.
Sebenarnya untuk menunjukkan objek studi berdasarkan pandangan
kaum positivis, diantaranya dapat ditelusuri dari ajaran para eksponen
positivisme hukum diantaranya J. Austin dan Hans Kelsen. Austin menegaskan
42 bahwa
hukum dalam pengertian hukum positif atau law strictly so called hukum
dalam arti yang sebenarnya adalah : a.
Laws set by men as a political superior to political inferior, e.g. laws set by a
sovereign in the state. b.
Laws set by men as a private individuals, in pursuance of legal rights, e.g., rules
made by a guardian for his ward. Ditegaskan
pula bahwa hukum yang merupakan perintah umum general
command, memiliki tiga elemen: a.
Wish or desire expressed by political superior. b.
Aconditional evil incurred if commands not obeyed. c.
An expression or intimation of the wish by words or other signs. Perintah
didukung oleh suatu sanksi. Perintah dan sanksi tersebut datang dari penguasa.
Sebagai pembanding, R.Wacks meletakkan 5 lima elemen, yaitu kehendak
wish, sanksi sanction, pernyataan kehendak expression of wish,
keumuman generality, dan penguasa a sovereign, yang diformulasikan
dalam L=WSEG + S. Austin mengartikan ilmu hukum jurisprudence
sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencakup
dirinya sendiri. Ilmu
tentang hukum berurusan dengan hukum positif atau dengan hukum
‐hukum lain yang secara tegas bisa disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa
memperhatikan kebaikan dan kejelekannnya. Menurut Austin, tugas ilmu
hukum hanyalah untuk menganalisis unsur‐unsur yang secara nyata ada dari
sistem hukum modern. Sekalipun diakui bahwa ada unsur‐unsur yang bersifat
histeris di dalamnya, namun secara sadar unsur‐unsur tersebut
43 diabaikan
dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat
dalam suatu negara. Lain lagi dengan Hans Kelsen yang populer dengan
The Pure Theory of Law‐nya. Dalam kaitan dengan pengertian hukum what
law is, Kelsen menegaskan bahwa hukum itu norma pokok primary norm
yang menetapkan sanksi. Hukum
itu mengandung petunjuk bagi petugas hukum untuk menerapkan
sanksi dalam kondisi tertentu. Norma itu sendiri what is norm merupakan
preskripsi perilaku dan dinyatakan dalam bentuk keharusan “ought”
form: apabila terjadi X, maka Y harus terjadi. Hans Kelsen membedakan
antara “Is” yang senyatanya dan “ought” yang seharusnya dari
hukum. Proposisi
hukum hanya dapat dihubungkan dengan ikhwal yang seharusnya,
sebagai contoh, apabila X melakukan pencurian, dia seharusnya dipidana.
Keharusan hukum legal ought berbeda dari keharusan nilai value ought,
yang berkaitan dengan apakah kandungan proposisi hukum itu dikehendaki
atau tidak. Oleh karena itu, Kelsen juga membedakan antara deskripsi
hukum description of the law dan preskripsi hukum preskripsi of the
law. Ilmu hukum mendeskripsikan hukum seperti apa adanya. Otoritas
hukum mempreskripsi hukum dan kandungannya. Setiap aktivitas
hukum ditarik sampai pada norma. Norma norm itu merupakan aturan
rule, yang berarti sesuatu yang harus dilakukan something ought to be
done. Fungsi norma sebagai “skema interpretasi” scheme of
44 interpretation.
Norma menjadi standar bagi perilaku individu yang ditentukan
sesuai dengan hukum legal atau tidak sesuai dengan hukum illegal.
Fungsi ini dijelaskan melalui penggunaan norma‐norma oleh pengadilan.
Inilah yang oleh Kelsen dikatakan bahwa norma sebagai tindakan dan
sebagai makna. Pure
Theory of Law tidak memerlukan proses mental atau beberapa jenis
peristiwa fisik untuk mengetahui norma, untuk memahami sesuatu secara
hukum. Memahami sesuatu secara hukum bisa jadi hanya memahami sesuatu
tersebut sebagai hukum. Tesis bahwa hanya norma‐norma hukum yang
bisa menjadi objek kognisi hukum adalah tautologi karena hukum tersebut–satu
‐satunya objek kognisi hukum – adalah norma. Norma
adalah kategori yang tidak dapat diaplikasikan di wilayah alam. Penggolongan
tindakan‐tindakan yang terjadi di alam sebagai hukum hanya menyatakan
keabsahan norma yang muatannya sesuai dalam hal tertentu dengan
keabsahan peristiwa sebenarnya. Ketika seorang Hakim menetapkan fakta
materiil konkrit misalnya delik, semua kognisinya pertama kali hanya diarahkan
pada sesuatu yang ada di alam. Kognisinya menjadi hukum ketika ia
menggabungkan fakta materiil yang telah ditetapkannya dan menerapkan undang
‐undang tersebut. Dengan kata lain, kognisinya menjadi hukum ketika ia
menafsirkan fakta materiil tersebut sebagai “pencurian” atau “penipuan”. Penafsiran
ini memungkinkan hanya apabila muatan fakta materiil tersebut diketahui
dengan cara sangat khusus, yaitu sebagai muatan norma. Untuk
45 pembuat
undang‐undang, ilmu hukum berbicara mengenai hukum in abstracto.
Akantetapi, tidak berarti bahwa ilmu hukum membicarakan hukum
in concreto untuk hakim. Ilmu hukum memberi pedoman yang harus dipegang
oleh hakim yang menangani perkara dan mencoba untuk memberikan
batasan kepada hal‐hal yang belum jelas. Dengan jalan seperti itulah
hakim akan membuat hukum in concreto. Pengembanan
ilmu hukum
berwujud menghimpun
dan mensistematisasi
bahan hukum berupa teks otoritatif yang terdiri atas peraturan
perundang‐undangan, putusan hakim, hukum tidak tertulis, dan doktrin
pakar hukum yang berwibawa. Inventarisasi dan sistematisasi bahan hukum
itu terarah pada penyelesaian masalah hukum. dengan demikian, kegiatan
pengembanan ilmu hukum dalam hakikatnya terarah pada pengambilan
putusan hukum, dan karena itu memperlihatkan sifat ideografis,
yaitu terarah untuk mengindividualisasi makna objektif yang sah dari
aturan hukum yang menurut hakikatnya bersifat umum dengan selalu mengacu
nilai. Analisis
dalam penelitian hukum terkait dengan sudut pandang internal. Sudut
pandang internal ini ditandai dengan karakter argumentasi dari hukum the
argumentative character of law. Sebagian besar permasalahan hukum dianalisis
dengan menggunakan metode logika yang disebut metode silogistis.
Sebagai contoh : “Semua manusia pasti mati; Socrates adalah manusia;
karena itu, Socrates pasti mati.” Sedangkan mengenai metode
46 argumentasi,
menurut Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, argumentasi
hukum merupakan model argumentasi khusus. Kekhususan argumentasi
hukum itu didasarkan pada 2 dua hal: a.
Argumentasi hukum tidak dimulai dari keadaan hampa, namun selalu dimulai
dari hukum positif. b.
Argumentasi hukum atau penalaran hukum berkaitan dengan kerangka prosedural,
yang di dalamnya berlangsung argumentasi rasional dan diskusi
rasional. Selanjutnya
dikatakan bahwa dalam teori hukum, logika hukum bertitik tolak
dari model deduksi. Logika hukum yang dimaksud tidak semurni logika deduktif
yang silogistis. Sebab, interpretasi mengambil bagian penting dalam proses
menentukan hukum suatu masalah atau isu hukum. Interpretasi ini penting
terutama ketika peraturan perundang‐undangan tidak jelas. Menurut
Richard Posner, interpretasi tersebut bukan merupakan metode
logika. Interpretasi secara kasar dapat didefinisikan sebagai pemahaman
understanding atau penjelasan explanation terhadap makna meaning
suatu objek. Namun, konsep interpretasi lebih sempit daripada eksplanasi
atau penjelasan. Konsep interpretasi ini memainkan peran esensial
dalam kritik substantif terhadap positivisme hukum dan kritik metodologis
terhadap ilmu hukum analitis analitycal jurisprudence. Hans
Kelsen menjelaskan bahwa dalam kepustakaan hukum kadang‐ kadang
diajukan pandangan yang menyatakan logika yang diterapkan dalam
47 ilmu
hukum – khususnya pada norma‐norma hukum – adalah bukan logika formal
yang umum. Untuk membuktikan adanya suatu logika hukum yang spesifik,
hal‐hal utama yang dikemukakan adalah apa yang disebut argumen analogikal
yang sering digunakan para yuris dan argumentum a majore ad minus
yang selalu digunakan. Argumentum
analogikal, argumen a simile, menampakkan diri terutama dalam
putusan‐putusan hukum. Persoalannya adalah menerapkan sebuah norma
hukum yang umum pada suatu kasus konkrit. Esensinya, yaitu hakim menerapkan
sebuah norma umum dari hukum yang valid pada suatu perkara kasus
yang sesungguhnya tidak sama dengan yang dirumuskan in abtracto dalam
norma hukum yang umum. Namun, oleh hakim dipandang sebagai mirip
serupa atau yang unsur‐unsur esensialnya sama dengan duduk perkara
yang dirumuskan dalam norma hukum operatif. “Keserupaan” atau “kesamaan
esensi” yang demikian merupakan suatu penilaian putusan yang sangat
subjektif, dan apa yang tampak bagi seorang hakim sebagai serupa atau
“sama esensi” dapat tidak tampak sebagai demikian bagi hakim yang lain.
Disamping metode deduktif, dalam ilmu hukum normatif
dipergunakan juga metode induktif. Metode induktif ini dipergunakan dalam
mengkonstruksi fakta‐fakta materiil menjadi fakta hukum. Artinya, fakta‐
fakta materiil masih harus dipilah dan dipilih, bahkan melalui proses persepsi
dan kualifikasi berdasarkan kriteria‐kriteria yang ditentukan oleh hukum
48 untuk
menjadi fakta hukum. seperti yang dikatakan Bernard Arief Sidharta bahwa
fakta hukum bukanlah “bahan mentah”, melainkan fakta yang sudah di
interprestasikan dan dievaluasi. Demikian pula simpulannya, tidak begitu saja
“mengalir” dari premis‐premis seperti yang dapat diharapkan dalam silogisme.
Simpulannya sering bergantung pada “penilaian kelayakan” judgement
dari pengambil putusan. Oleh karena itu, mengutip pendapat H.J.
Berman, dikatakan bahwa dalam praktik yang sering terjadi adalah proses
“backward thinking”, walaupun pemaparan hasil keseluruhan proses penalaran
hukum dirumuskan dalam bentuk silogistik. Metode
induksi dalam mempreskripsi sebenarnya tidak hanya ketika mengkonstruksi
fakta materiil manjadi fakta hukum, namun juga ketika penalarannya
berdasarkan kasus‐kasus terdahulu yang sudah diputus. Dalam hal
ini, penalaran disandarkan pada hasil deskripsi sejumlah putusan kasus terdahulu.
Putusan‐putusan kasus terdahulu dibanding‐bandingkan, baik mengenai
fakta‐faktanya maupun pertimbangan‐pertimbangan hukumnya dalam
arti luas.
49
Bagan 2.5
POSITIVISME YURIDIS
POSITIVISME SOSIOLOGIS
Meta Yuridis
FAKTA HUKUM
Pengkongkritan
Deduksi Generalisasi
Mekanistik Induksi
Realitas Sosial
Mekanis Politik
HUKUM POSITIF Manusia
Ekonomis Teks
Terpisah Relasi Terpisah
Realitas Deterministik
Dogma
‐Normatif Reduksionis
Fakta Semata
Empirik Kuantitatif
Bagan 2.6
Pendekatan Dogmatis Terpisahnya
Rasionalisme – Deduktif
Subjek ‐Objek
Sollen
HUKUM
Terpisah Logika
Analitis Reduksionis
Pendekatan Empiris
Analistis Kuantitatif
Sein Mekanistik
Model penalaran dalam positivisme hukum juga dijelaskan oleh
Sidarta
48
dari segi ontologinya, mencerminkan penggabungan antara idealisme
dengan materialisme.
49
Penjelasan mengenai hal ini mengacu pada Teori
48
Lihat Sidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung, CV
Utomo, 2006, hal. 244‐252
49
Idealisme adalah sebuah aliran atau paham filsafat yang bercorak spekulatif dan metafisis. Kata
Idealisme digunakan oleh para filsuf yang berbeda‐beda dalam pengertian yang berbeda‐beda
50 Hukum
Kehendak The Will Theory of Law dari John Austin dan Teori Hukum Murni
The Pure Norm Theory of Law dari Hans Kelsen. Hukum
adalah ungkapan kehendak penguasa. Kumpulan norma yang tersusun
secara sistematis itu dalah rumusan yang bermakna, karena menjadi sumber
kegiatan penemuan hukum oleh pengemban hukum. Muatan makna ought
or may meaning content ini didapat dengan pendekatan idealisme dan materialisme
dan diolah dengan aspek epistemologis rasionalisme. Norma
positif akan diterima sebagai doktrin yang aksiomatis, sepanjang ia
mengikuti “the rule systematizing logic of legal science” yang memuat asas eksklusi,
subsumsi, derogasi, dan nonkontradiksi.
50
Kekuatan argumen positivisme
hukum terletak pada aplikasi struktur norma positif itu ke dalam struktur
kasus‐kasus konkret. Positivisme
Hukum sendiri pernah mencoba untuk menjawab pertanyaan
tentang tata cara memvalidasi norma positif itu. Hans Kelsen
pula. Idealisme adalah sebuah pandangan dunia yang metafisik yang mengatakan realitas terdiri
atas ide‐ide, pikiran‐pikiran, akal mind atau jiwa selves dan bukan benda material dan
kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dulu daripada materi, akal itulah
yang riil dan materi adalah produk sampingan. Sedangkan Materialisme merupakan suatu ajaran
yang pada pokoknya sebagai berikut :
a. Hanya benda materi yang merupakan kenyataan atau hal yang eksis, benda merupakan
unsur primodial atau fundamental alam semesta;
b. Semuanya dapat dijelaskan atas dasar benda‐benda yang bergerak dan energi, sehingga
semua perbedaan kualitatif dapat dikuantifikasi. Yang dapat menjadi objek penelitian
ilmu pengetahuan hanyalah hal‐hal yang bersifat fisik atau materiil;
c. Nilai tertinggi yang harus dianut manusia adalah kekayaan, kepuasan badaniyah dan
kenikmatan fisik.
Lihat Ibid hal. 152‐153
50
Eksklusi atau tertutupartinya menutup diri dari campur tangan anasir‐anasir non yuridis seperti
etis, politik dan nilai. Subsumsi diartikan adanya hubungan logis antara dua aturan dalam
hubungan aturan yang lebih tinggi dengan aturan yang lebih rendah. Sedangkan Derogasi artinya
menolak suatu aturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, hal ini juga tercermin
dalam sifat Nonkontradiksi Hierarki dalam arti linier. Lihat Op.Cit hal. 246
51 relatif
berhasil ketika menjelaskan adanya sistem hierarkis dari norma‐norma positif.
Masalahnya baru timbul ketika ia sampai kepada puncak sistem hierarki
itu, yang oleh Kelsen diberi nama Grundnorm norma dasar. Norma dasar
ini hadir secara apriori dan relatif permanen. Diskursus
tentang norma dasar dan norma fundamental ini sesungguhnya
telah “menjebak” Kelsen kepada “perangkap” Aliran Hukum Kodrat,
sama halnya dengan Savigny ketika mengemukakan Volksgeist sebagai
jiwa bangsa yang harus hadir sebagai pedoman pelembagaan perilaku sosial.
Terlepas dari keberatan kelsen untuk dipersamakan dengan konsep Aliran
Hukum Kodrat dan Mahzab Sejarah, tetaplah bahwa konsep Grundnorm yang
dikemukakannya memaksa Positivisme Hukum membuka sedikit celah dari
kekukuhan argumentasi dan ketertutupan sistem logikanya, bahwa norma
positif itu mempunyai puncak yang berfungsi regulatif dan konstitutif. Sistem
hierarki menunjukkan tingkat‐tingkat abstraksi norma. Akibatnya,
norma dasar ini berada pada tingkat abstraksi tertinggi, yang bermain
di wilayah perbatasan antara hukum dan moral. Ketegasan Positivisme
Hukum untuk menghilangkan persyaratan koneksitas antara hukum
dan moral membuat ranah aksiologis aliran ini hanya terbatas pada pencapaian
kepastian hukum. Inti dari kepastian hukum adalah prediktibilitas yakni
kemampuan mempersepsikan “an individual ought to behave in a certain
way.”
52 Aspek aksiologis yang diperjuangkan Positivisme Hukum adalah
kepastian hukum. Dengan mengambil sumber formal hukum berupa
perundang ‐undangan, diyakini bahwa hal ini dapat diwujudkan. Asas legalitas
merupakan roh dan upaya pengejaran kepastian hukum tersebut. Asas ini
oleh Von Feuerbach dirumuskan dalam adagium “No punishment without law,
no punishment without crime, no crime without punishment nulla poena sine
lege, nulla poena sine crimine, nullum crimen sine poena”. Asas inipun
demikian mendominasi, khususnya dalam arena hukum pidana, sehingga
dalam banyak kodifikasi dimuat dalam pasal pertama. Itulah sebabnya,
larangan retroaktif dan penerapan analogi sangat ditekankan dalam konsep
berpikir tradisional Positivisme Hukum.
Bagan 2.7
TOP DOWN
Satu Arah
Penjelasan :
Ontologis : Norma‐norma positif dalam sistem perundang‐undangan
53
Epistemologis : Doktrinal – Deduktif ‐ Induktif
‐ Pendekatan
Doktrinal ‐
Logika Berpikir Deduktif :dengan metode Silogisme Rasionalisasi ruleslogic
‐ Logika
Berpikir Induktif : memilih dan memilah fakta‐fakta materiil melalui proses persepsi dan kualifikasi untuk menjadi fakta hukum
Aksiologis : Kepastian
Pola penalaran dari dari Positivisme Hukum dapat diformulasikan
dengan contoh sebagai berikut :
a. Norma positif dalam Pasal 39 jo. Pasal 6 ayat 1 dan pasal 45 ayat 1
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, menetapkan suatu struktur
aturan yang dalam contoh ini diasumsikan norma‐norma itu telah
tervalidasi memenuhi asas eksklusi, subsumsi, derogasi, dan
nonkontradiksi. b.
Pada suatu ketika terdapat suatu fakta pernikahan antara janda A dan tuan
B, dengan diawasi dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah bernama
C Premis
Normatif: Waktu
tunggu bagi seorang janda....ditentukan sebagai berikut: a
apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
seratus tiga puluh hari. b ..... Pasal 39 Peraturan Pemerintah No.9 tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang‐undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pegawai
pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan, meneliti apakah syarat‐syarat perkawinan
54 telah
terpenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang
‐undang Pasal 6 ayat 1 PP No.9 tahun 1975. ....
b Pegawai Pencatat Nikah yang melanggar ketentuan yang diatur dalam
pasal 6, ... Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan
selama‐lamanya 3 tiga bulan atau denda setinggi‐tingginya Rp. 7.500,
‐ tujuh ribu lima ratus rupiah Pasal 45 ayat 1 huruf b PP No.9 tahun
1975. Fakta:
Nyonya A seorang janda yang ditinggal mati suaminya pada
tanggal 1 Januari 2003 dan ia melangsungkan perkawinan dengan tuan B
pada tanggal 1 Mei 2003. Pegawai Pencatat Nikah bernama C, yang
mengawasi dan mencatat perkawinan tersebut diancam sanksi kurungan.
Jika diperhatikan dalam struktur aturan dalam premis‐premis
normatif itu, terlihat suatu kebijakan policy untuk menyatakan bahwa
perkawinan tidak boleh dilakukan pada masa iddah. Sekalipun demikian,
konsekuensi dari berlangsungnya perkawinan dalam masa iddah ini
ternyata tidak mengakibatkan perkawinan itu menjadi batal secara serta
merta. Pasal 27 ayat 1 PP No.9 tahun 1975 menyatakan :
Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat
larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang‐
undangan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat
membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak‐pihak sebagai
dimaksud pasal 23 Undang‐Undang No.1 tahun 1974.
55 Pihak
‐pihak yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1 di atas menurut
ketentuan Pasal 23 adalah: 1 para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dari suami atau isteri; 2 suami atau isteri; 3 pejabat
yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; 4 pejabat
yang ditunjuk untuk mencegah berlangsungnya perkawinan dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal 27
jo Pasal 23 ini harus dimasukkan pula ke dalam struktur aturan bersama
dengan ketentuan lain yang relevan. Dari pandangan Positivisme Hukum, terlihat dampak dari
perbuatan itu mempunyai suatu akibat yang lebih sempit daripada aliran
Hukum Kodrat. Pada pandangan Positivisme Hukum, jika mengacu pada
kasus di atas, perkawinan pasangan A dan B yang tidaklah serta merta
menjadi batal. Pembatalan hanya mungkin terjadi apabila ada
permohonan dari pihak‐pihak tertentu yang ditetapkan perundang‐
undangan. Dalam
hukum positif, justru akibatnya lebih ditekankan kepada Pegawai
Pencatat Nikah. Apabila ia terbukti tidak meneliti dengan seksama
syarat‐syarat itu, maka Pegawai Pencatat Nikah inilah yang diancam
pemidanaan. Ancaman untuk A dan B tidak ditetapkan kedalam hukum
positif, kecuali tentu saja bila terbukti mereka sengaja
56 memberikan
informasi yang keliru. Apabila struktur kasus tersebut di skematisasi,
maka akan muncul formula sebagai berikut: p
~ q Jika
Pegawai Pencatat Nikah tidak meneliti syarat‐syarat pernikahan termasuk
adanya masa iddah, maka ia diancam hukuman kurungan atau
denda p
Pegawai Pencatat Nikah C tidak meneliti masa iddah dalam
perkawinan antara A dan B
:: q
Pegawai Pencatat Nikah C diancam hukuman kurungan atau denda
Kesimpulan ::q ini adalah titik berdiri standpunt yang dibangun
berdasarkan argumen‐argumen berbentuk proposisi di atasnya. Jika
meminjam perspektif Hans Kelsen, proposisi ‘p’ adalah norma primer dan
‘q’ adalah norma sekunder. Hubungan kedua norma ini unik, yang
sekaligus menunjukkan keunikan penalaran hukum. Berbeda dengan
penalaran dalam ilmu‐ilmu eksakta, proposisi majemuk p~q tidak
didasarkan pada
hubungan kausalitas.
Hubungannya adalah
pertanggungjawaban perbuatan Zurechnung.
Dalam hukum pidana, dikenal suatu asas penting bahwa seorang
tidak dipidana jika tidak ada kesalahan geen straf zonder schuld. Unsur
kesalahan inilah yang harus dibuktikan, sehingga tanpa itu ancaman yang
dirumuskan dalam norma sekunder q itu tidak mungkin dimintakan
pertanggungjawabannya kepada Pegawai Pencatat Nikah C tersebut.
57
B. Diskursus Mengenai Paradigma Rasional Sebagai Basis Epistemologi Pure Theory
of Law Hans Kelsen 1. Pure Theory of Law: Sebuah Deskripsi
Paradigma rasional
51
yang terbangun oleh tradisi ilmu hukum Romawi
sejak abad ke‐1 sampai dengan abad ke‐4, kemudian berpengaruh
sangat kuat di daratan Eropa sampai ke Amerika pada abad ke
‐19 ini, selalu tampil sebagai mainstream dalam pembelajaran dan pembentukan
hukum di Indonesia. Di
Indonesia Paradigma rasional yang mulai diberlakukan sejak tahun 1847
ini, secara perlahan menjelma menjadi kekuatan hegemonik, untuk kemudian
memarginalisasikan atau bahkan pada taraf‐taraf tertentu membungkam
paradigma lain yang seharusnya juga dapat digunakan, sehingga
kemudian selalu menjadi pilihan utama bila tidak dapat dikatakan
menjadi satu‐satunya pilihan dalam pertarungan antara berbagai
paradigma yang seharusnya dapat digunakan oleh para penstudi hukum
dalam mengembangkan keilmuannya. Minimal
terdapat lima faktor yang menyebabkan paradigma rasional masuk,
dipergunakan dan kemudian mendominasi model pembelajaran dan
pembentukan hukum di Indonesia, yaitu: pertama, adanya politik hukum
dan pemerintah kolonial Hindia Belanda, untuk memberlakukan sistem
hukum di tanah jajahan yang sama dengan sistem hukum yang berlaku
di negaranya; Kedua, upaya dari pemerintah kolonial Hindia
51
Khudzaifah Dimyati, Kelik Wardiono, Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum : Basis
Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, Yogyakarta, Genta Publishing, 2014, hal v‐x