Konstruksi Epistemologis Model Penalaran Mahzab Positivisme Hukum

40 Bagan 2.4 POSITIVISME HUKUM ANALITIS MURNI John Austin: Hans Kelsen: Hukum Keadilan Hukum harus dipisahkan Hukum Norma Hukum Tuhan Hukum yang dibuat Untuk Manusia Manusia utk Manusia Perintah Larangan Kebolehan Hukum yang Hukum yang tidak Sebenarnya Sebenarnya Ground Norm Hukum yang Hukum yang Bukan Dibuat Piramida Stufentheori Dibuat Penguasa oleh Penguasa seperti : Kebiasaan,Adat, atau Abstrak Perintah pengusaha kepada Pekerjanya Hukum = Undang‐undang Norma Syarat hukum harus memiliki: ‐ Command Konkrit Norma ‐ Sanction ‐ Duty to obey ‐ Souverignity Syarat Hukum : teks bebas nilai, moral, keadilan dogmatis‐rasional

7. Konstruksi Epistemologis Model Penalaran Mahzab Positivisme Hukum

Dalam paparannya, Khudzaifah Dimyati 47 telah menguraikan model penalaran mahzab positivisme hukum dalam usahanya untuk menjelaskan konstruksi epistemologis aliran tersebut. August Comte seorang filsuf sekaligus sosiolog 4. Bersifat Logika Tertutup Closed Logical System ; menolak pandangan di luar dari tatanan yang sudah ada dan sudah jadi. 5. Adanya Aturan dan Logika, didalam sistem hukum yang tertutup tersebut maka yang berlaku adalah aturan dan logika Rules and Logic dengan konsep non kontradiksi Lihat Muhammad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta; Rajawali Press; 2011, hal 173 47 Khudzaifah Dimyati, Pemikiran Hukum : Konstruksi Epistemologis Berbasis Budaya Hukum Indonesia; Yogyakarta, Genta Publishing, 2014; hal. 29‐36 41 Perancis, yang menegaskan bahwa pemikiran manusia itu dalam perkembangannya melewati tiga tingkatan yang menunjukkan posisinya antara lain: a. Theological state tingkatan teologis b. Metaphysical stage tingkatan metafisik c. Positivism positivisme Dalam tingkatan teologis, manusia menjelaskan segala sesuatu melalui atau berdasarkan alasan‐alasan yang bersifat ketuhanan deity or god. Bencana fisik atau ketidakberuntungan personal diatribusi pada pengaruh atau kekuasaan Tuhan. Setelah itu, manusia mencoba mengarahkan pada kekuatan metafisik atau hukum‐hukum yang bekerja di semesta alam universe. Tuhan dikatakan sebagai penyebab seluruh fenomena kehidupan. Itu semua hanya spekulasi manusia yang tidak dapat diverifikasi melalui eksperimentasi ilmiah. Tingkatan ketiga, pemikiran manusia dieksperimentasikan dengan segala sesuatu yang ada saat ini, serta mencoba untuk mencari discover hukum‐hukum yang dibangun. Inilah tingkah laku para ilmuwan yang disebut Comte sebagai positivisme. Dengan ungkapan lain, kaum positivis membedakan dirinya dengan natural law lawyers, yang mana mereka meneliti atau melakukan studi‐studi hukum sebagai ikhwal yang telah dipositifkan the law as it was posited, sebagai ikhwal yang telah ditentukan dan bukan sebagai ikhwal yang seharusnya ada. Sebenarnya untuk menunjukkan objek studi berdasarkan pandangan kaum positivis, diantaranya dapat ditelusuri dari ajaran para eksponen positivisme hukum diantaranya J. Austin dan Hans Kelsen. Austin menegaskan 42 bahwa hukum dalam pengertian hukum positif atau law strictly so called hukum dalam arti yang sebenarnya adalah : a. Laws set by men as a political superior to political inferior, e.g. laws set by a sovereign in the state. b. Laws set by men as a private individuals, in pursuance of legal rights, e.g., rules made by a guardian for his ward. Ditegaskan pula bahwa hukum yang merupakan perintah umum general command, memiliki tiga elemen: a. Wish or desire expressed by political superior. b. Aconditional evil incurred if commands not obeyed. c. An expression or intimation of the wish by words or other signs. Perintah didukung oleh suatu sanksi. Perintah dan sanksi tersebut datang dari penguasa. Sebagai pembanding, R.Wacks meletakkan 5 lima elemen, yaitu kehendak wish, sanksi sanction, pernyataan kehendak expression of wish, keumuman generality, dan penguasa a sovereign, yang diformulasikan dalam L=WSEG + S. Austin mengartikan ilmu hukum jurisprudence sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencakup dirinya sendiri. Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif atau dengan hukum ‐hukum lain yang secara tegas bisa disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan dan kejelekannnya. Menurut Austin, tugas ilmu hukum hanyalah untuk menganalisis unsur‐unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui bahwa ada unsur‐unsur yang bersifat histeris di dalamnya, namun secara sadar unsur‐unsur tersebut 43 diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. Lain lagi dengan Hans Kelsen yang populer dengan The Pure Theory of Law‐nya. Dalam kaitan dengan pengertian hukum what law is, Kelsen menegaskan bahwa hukum itu norma pokok primary norm yang menetapkan sanksi. Hukum itu mengandung petunjuk bagi petugas hukum untuk menerapkan sanksi dalam kondisi tertentu. Norma itu sendiri what is norm merupakan preskripsi perilaku dan dinyatakan dalam bentuk keharusan “ought” form: apabila terjadi X, maka Y harus terjadi. Hans Kelsen membedakan antara “Is” yang senyatanya dan “ought” yang seharusnya dari hukum. Proposisi hukum hanya dapat dihubungkan dengan ikhwal yang seharusnya, sebagai contoh, apabila X melakukan pencurian, dia seharusnya dipidana. Keharusan hukum legal ought berbeda dari keharusan nilai value ought, yang berkaitan dengan apakah kandungan proposisi hukum itu dikehendaki atau tidak. Oleh karena itu, Kelsen juga membedakan antara deskripsi hukum description of the law dan preskripsi hukum preskripsi of the law. Ilmu hukum mendeskripsikan hukum seperti apa adanya. Otoritas hukum mempreskripsi hukum dan kandungannya. Setiap aktivitas hukum ditarik sampai pada norma. Norma norm itu merupakan aturan rule, yang berarti sesuatu yang harus dilakukan something ought to be done. Fungsi norma sebagai “skema interpretasi” scheme of 44 interpretation. Norma menjadi standar bagi perilaku individu yang ditentukan sesuai dengan hukum legal atau tidak sesuai dengan hukum illegal. Fungsi ini dijelaskan melalui penggunaan norma‐norma oleh pengadilan. Inilah yang oleh Kelsen dikatakan bahwa norma sebagai tindakan dan sebagai makna. Pure Theory of Law tidak memerlukan proses mental atau beberapa jenis peristiwa fisik untuk mengetahui norma, untuk memahami sesuatu secara hukum. Memahami sesuatu secara hukum bisa jadi hanya memahami sesuatu tersebut sebagai hukum. Tesis bahwa hanya norma‐norma hukum yang bisa menjadi objek kognisi hukum adalah tautologi karena hukum tersebut–satu ‐satunya objek kognisi hukum – adalah norma. Norma adalah kategori yang tidak dapat diaplikasikan di wilayah alam. Penggolongan tindakan‐tindakan yang terjadi di alam sebagai hukum hanya menyatakan keabsahan norma yang muatannya sesuai dalam hal tertentu dengan keabsahan peristiwa sebenarnya. Ketika seorang Hakim menetapkan fakta materiil konkrit misalnya delik, semua kognisinya pertama kali hanya diarahkan pada sesuatu yang ada di alam. Kognisinya menjadi hukum ketika ia menggabungkan fakta materiil yang telah ditetapkannya dan menerapkan undang ‐undang tersebut. Dengan kata lain, kognisinya menjadi hukum ketika ia menafsirkan fakta materiil tersebut sebagai “pencurian” atau “penipuan”. Penafsiran ini memungkinkan hanya apabila muatan fakta materiil tersebut diketahui dengan cara sangat khusus, yaitu sebagai muatan norma. Untuk 45 pembuat undang‐undang, ilmu hukum berbicara mengenai hukum in abstracto. Akantetapi, tidak berarti bahwa ilmu hukum membicarakan hukum in concreto untuk hakim. Ilmu hukum memberi pedoman yang harus dipegang oleh hakim yang menangani perkara dan mencoba untuk memberikan batasan kepada hal‐hal yang belum jelas. Dengan jalan seperti itulah hakim akan membuat hukum in concreto. Pengembanan ilmu hukum berwujud menghimpun dan mensistematisasi bahan hukum berupa teks otoritatif yang terdiri atas peraturan perundang‐undangan, putusan hakim, hukum tidak tertulis, dan doktrin pakar hukum yang berwibawa. Inventarisasi dan sistematisasi bahan hukum itu terarah pada penyelesaian masalah hukum. dengan demikian, kegiatan pengembanan ilmu hukum dalam hakikatnya terarah pada pengambilan putusan hukum, dan karena itu memperlihatkan sifat ideografis, yaitu terarah untuk mengindividualisasi makna objektif yang sah dari aturan hukum yang menurut hakikatnya bersifat umum dengan selalu mengacu nilai. Analisis dalam penelitian hukum terkait dengan sudut pandang internal. Sudut pandang internal ini ditandai dengan karakter argumentasi dari hukum the argumentative character of law. Sebagian besar permasalahan hukum dianalisis dengan menggunakan metode logika yang disebut metode silogistis. Sebagai contoh : “Semua manusia pasti mati; Socrates adalah manusia; karena itu, Socrates pasti mati.” Sedangkan mengenai metode 46 argumentasi, menurut Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, argumentasi hukum merupakan model argumentasi khusus. Kekhususan argumentasi hukum itu didasarkan pada 2 dua hal: a. Argumentasi hukum tidak dimulai dari keadaan hampa, namun selalu dimulai dari hukum positif. b. Argumentasi hukum atau penalaran hukum berkaitan dengan kerangka prosedural, yang di dalamnya berlangsung argumentasi rasional dan diskusi rasional. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam teori hukum, logika hukum bertitik tolak dari model deduksi. Logika hukum yang dimaksud tidak semurni logika deduktif yang silogistis. Sebab, interpretasi mengambil bagian penting dalam proses menentukan hukum suatu masalah atau isu hukum. Interpretasi ini penting terutama ketika peraturan perundang‐undangan tidak jelas. Menurut Richard Posner, interpretasi tersebut bukan merupakan metode logika. Interpretasi secara kasar dapat didefinisikan sebagai pemahaman understanding atau penjelasan explanation terhadap makna meaning suatu objek. Namun, konsep interpretasi lebih sempit daripada eksplanasi atau penjelasan. Konsep interpretasi ini memainkan peran esensial dalam kritik substantif terhadap positivisme hukum dan kritik metodologis terhadap ilmu hukum analitis analitycal jurisprudence. Hans Kelsen menjelaskan bahwa dalam kepustakaan hukum kadang‐ kadang diajukan pandangan yang menyatakan logika yang diterapkan dalam 47 ilmu hukum – khususnya pada norma‐norma hukum – adalah bukan logika formal yang umum. Untuk membuktikan adanya suatu logika hukum yang spesifik, hal‐hal utama yang dikemukakan adalah apa yang disebut argumen analogikal yang sering digunakan para yuris dan argumentum a majore ad minus yang selalu digunakan. Argumentum analogikal, argumen a simile, menampakkan diri terutama dalam putusan‐putusan hukum. Persoalannya adalah menerapkan sebuah norma hukum yang umum pada suatu kasus konkrit. Esensinya, yaitu hakim menerapkan sebuah norma umum dari hukum yang valid pada suatu perkara kasus yang sesungguhnya tidak sama dengan yang dirumuskan in abtracto dalam norma hukum yang umum. Namun, oleh hakim dipandang sebagai mirip serupa atau yang unsur‐unsur esensialnya sama dengan duduk perkara yang dirumuskan dalam norma hukum operatif. “Keserupaan” atau “kesamaan esensi” yang demikian merupakan suatu penilaian putusan yang sangat subjektif, dan apa yang tampak bagi seorang hakim sebagai serupa atau “sama esensi” dapat tidak tampak sebagai demikian bagi hakim yang lain. Disamping metode deduktif, dalam ilmu hukum normatif dipergunakan juga metode induktif. Metode induktif ini dipergunakan dalam mengkonstruksi fakta‐fakta materiil menjadi fakta hukum. Artinya, fakta‐ fakta materiil masih harus dipilah dan dipilih, bahkan melalui proses persepsi dan kualifikasi berdasarkan kriteria‐kriteria yang ditentukan oleh hukum 48 untuk menjadi fakta hukum. seperti yang dikatakan Bernard Arief Sidharta bahwa fakta hukum bukanlah “bahan mentah”, melainkan fakta yang sudah di interprestasikan dan dievaluasi. Demikian pula simpulannya, tidak begitu saja “mengalir” dari premis‐premis seperti yang dapat diharapkan dalam silogisme. Simpulannya sering bergantung pada “penilaian kelayakan” judgement dari pengambil putusan. Oleh karena itu, mengutip pendapat H.J. Berman, dikatakan bahwa dalam praktik yang sering terjadi adalah proses “backward thinking”, walaupun pemaparan hasil keseluruhan proses penalaran hukum dirumuskan dalam bentuk silogistik. Metode induksi dalam mempreskripsi sebenarnya tidak hanya ketika mengkonstruksi fakta materiil manjadi fakta hukum, namun juga ketika penalarannya berdasarkan kasus‐kasus terdahulu yang sudah diputus. Dalam hal ini, penalaran disandarkan pada hasil deskripsi sejumlah putusan kasus terdahulu. Putusan‐putusan kasus terdahulu dibanding‐bandingkan, baik mengenai fakta‐faktanya maupun pertimbangan‐pertimbangan hukumnya dalam arti luas. 49 Bagan 2.5 POSITIVISME YURIDIS POSITIVISME SOSIOLOGIS Meta Yuridis FAKTA HUKUM Pengkongkritan Deduksi Generalisasi Mekanistik Induksi Realitas Sosial Mekanis Politik HUKUM POSITIF Manusia Ekonomis Teks Terpisah Relasi Terpisah Realitas Deterministik Dogma ‐Normatif Reduksionis Fakta Semata Empirik Kuantitatif Bagan 2.6 Pendekatan Dogmatis Terpisahnya Rasionalisme – Deduktif Subjek ‐Objek Sollen HUKUM Terpisah Logika Analitis Reduksionis Pendekatan Empiris Analistis Kuantitatif Sein Mekanistik Model penalaran dalam positivisme hukum juga dijelaskan oleh Sidarta 48 dari segi ontologinya, mencerminkan penggabungan antara idealisme dengan materialisme. 49 Penjelasan mengenai hal ini mengacu pada Teori 48 Lihat Sidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung, CV Utomo, 2006, hal. 244‐252 49 Idealisme adalah sebuah aliran atau paham filsafat yang bercorak spekulatif dan metafisis. Kata Idealisme digunakan oleh para filsuf yang berbeda‐beda dalam pengertian yang berbeda‐beda 50 Hukum Kehendak The Will Theory of Law dari John Austin dan Teori Hukum Murni The Pure Norm Theory of Law dari Hans Kelsen. Hukum adalah ungkapan kehendak penguasa. Kumpulan norma yang tersusun secara sistematis itu dalah rumusan yang bermakna, karena menjadi sumber kegiatan penemuan hukum oleh pengemban hukum. Muatan makna ought or may meaning content ini didapat dengan pendekatan idealisme dan materialisme dan diolah dengan aspek epistemologis rasionalisme. Norma positif akan diterima sebagai doktrin yang aksiomatis, sepanjang ia mengikuti “the rule systematizing logic of legal science” yang memuat asas eksklusi, subsumsi, derogasi, dan nonkontradiksi. 50 Kekuatan argumen positivisme hukum terletak pada aplikasi struktur norma positif itu ke dalam struktur kasus‐kasus konkret. Positivisme Hukum sendiri pernah mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang tata cara memvalidasi norma positif itu. Hans Kelsen pula. Idealisme adalah sebuah pandangan dunia yang metafisik yang mengatakan realitas terdiri atas ide‐ide, pikiran‐pikiran, akal mind atau jiwa selves dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dulu daripada materi, akal itulah yang riil dan materi adalah produk sampingan. Sedangkan Materialisme merupakan suatu ajaran yang pada pokoknya sebagai berikut : a. Hanya benda materi yang merupakan kenyataan atau hal yang eksis, benda merupakan unsur primodial atau fundamental alam semesta; b. Semuanya dapat dijelaskan atas dasar benda‐benda yang bergerak dan energi, sehingga semua perbedaan kualitatif dapat dikuantifikasi. Yang dapat menjadi objek penelitian ilmu pengetahuan hanyalah hal‐hal yang bersifat fisik atau materiil; c. Nilai tertinggi yang harus dianut manusia adalah kekayaan, kepuasan badaniyah dan kenikmatan fisik. Lihat Ibid hal. 152‐153 50 Eksklusi atau tertutupartinya menutup diri dari campur tangan anasir‐anasir non yuridis seperti etis, politik dan nilai. Subsumsi diartikan adanya hubungan logis antara dua aturan dalam hubungan aturan yang lebih tinggi dengan aturan yang lebih rendah. Sedangkan Derogasi artinya menolak suatu aturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, hal ini juga tercermin dalam sifat Nonkontradiksi Hierarki dalam arti linier. Lihat Op.Cit hal. 246 51 relatif berhasil ketika menjelaskan adanya sistem hierarkis dari norma‐norma positif. Masalahnya baru timbul ketika ia sampai kepada puncak sistem hierarki itu, yang oleh Kelsen diberi nama Grundnorm norma dasar. Norma dasar ini hadir secara apriori dan relatif permanen. Diskursus tentang norma dasar dan norma fundamental ini sesungguhnya telah “menjebak” Kelsen kepada “perangkap” Aliran Hukum Kodrat, sama halnya dengan Savigny ketika mengemukakan Volksgeist sebagai jiwa bangsa yang harus hadir sebagai pedoman pelembagaan perilaku sosial. Terlepas dari keberatan kelsen untuk dipersamakan dengan konsep Aliran Hukum Kodrat dan Mahzab Sejarah, tetaplah bahwa konsep Grundnorm yang dikemukakannya memaksa Positivisme Hukum membuka sedikit celah dari kekukuhan argumentasi dan ketertutupan sistem logikanya, bahwa norma positif itu mempunyai puncak yang berfungsi regulatif dan konstitutif. Sistem hierarki menunjukkan tingkat‐tingkat abstraksi norma. Akibatnya, norma dasar ini berada pada tingkat abstraksi tertinggi, yang bermain di wilayah perbatasan antara hukum dan moral. Ketegasan Positivisme Hukum untuk menghilangkan persyaratan koneksitas antara hukum dan moral membuat ranah aksiologis aliran ini hanya terbatas pada pencapaian kepastian hukum. Inti dari kepastian hukum adalah prediktibilitas yakni kemampuan mempersepsikan “an individual ought to behave in a certain way.” 52 Aspek aksiologis yang diperjuangkan Positivisme Hukum adalah kepastian hukum. Dengan mengambil sumber formal hukum berupa perundang ‐undangan, diyakini bahwa hal ini dapat diwujudkan. Asas legalitas merupakan roh dan upaya pengejaran kepastian hukum tersebut. Asas ini oleh Von Feuerbach dirumuskan dalam adagium “No punishment without law, no punishment without crime, no crime without punishment nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine, nullum crimen sine poena”. Asas inipun demikian mendominasi, khususnya dalam arena hukum pidana, sehingga dalam banyak kodifikasi dimuat dalam pasal pertama. Itulah sebabnya, larangan retroaktif dan penerapan analogi sangat ditekankan dalam konsep berpikir tradisional Positivisme Hukum. Bagan 2.7 TOP DOWN Satu Arah Penjelasan : Ontologis : Norma‐norma positif dalam sistem perundang‐undangan 53 Epistemologis : Doktrinal – Deduktif ‐ Induktif ‐ Pendekatan Doktrinal ‐ Logika Berpikir Deduktif :dengan metode Silogisme Rasionalisasi ruleslogic ‐ Logika Berpikir Induktif : memilih dan memilah fakta‐fakta materiil melalui proses persepsi dan kualifikasi untuk menjadi fakta hukum Aksiologis : Kepastian Pola penalaran dari dari Positivisme Hukum dapat diformulasikan dengan contoh sebagai berikut : a. Norma positif dalam Pasal 39 jo. Pasal 6 ayat 1 dan pasal 45 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, menetapkan suatu struktur aturan yang dalam contoh ini diasumsikan norma‐norma itu telah tervalidasi memenuhi asas eksklusi, subsumsi, derogasi, dan nonkontradiksi. b. Pada suatu ketika terdapat suatu fakta pernikahan antara janda A dan tuan B, dengan diawasi dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah bernama C Premis Normatif: Waktu tunggu bagi seorang janda....ditentukan sebagai berikut: a apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 seratus tiga puluh hari. b ..... Pasal 39 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang‐undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat‐syarat perkawinan 54 telah terpenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang ‐undang Pasal 6 ayat 1 PP No.9 tahun 1975. .... b Pegawai Pencatat Nikah yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 6, ... Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama‐lamanya 3 tiga bulan atau denda setinggi‐tingginya Rp. 7.500, ‐ tujuh ribu lima ratus rupiah Pasal 45 ayat 1 huruf b PP No.9 tahun 1975. Fakta: Nyonya A seorang janda yang ditinggal mati suaminya pada tanggal 1 Januari 2003 dan ia melangsungkan perkawinan dengan tuan B pada tanggal 1 Mei 2003. Pegawai Pencatat Nikah bernama C, yang mengawasi dan mencatat perkawinan tersebut diancam sanksi kurungan. Jika diperhatikan dalam struktur aturan dalam premis‐premis normatif itu, terlihat suatu kebijakan policy untuk menyatakan bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan pada masa iddah. Sekalipun demikian, konsekuensi dari berlangsungnya perkawinan dalam masa iddah ini ternyata tidak mengakibatkan perkawinan itu menjadi batal secara serta merta. Pasal 27 ayat 1 PP No.9 tahun 1975 menyatakan : Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang‐ undangan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak‐pihak sebagai dimaksud pasal 23 Undang‐Undang No.1 tahun 1974. 55 Pihak ‐pihak yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1 di atas menurut ketentuan Pasal 23 adalah: 1 para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; 2 suami atau isteri; 3 pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; 4 pejabat yang ditunjuk untuk mencegah berlangsungnya perkawinan dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal 27 jo Pasal 23 ini harus dimasukkan pula ke dalam struktur aturan bersama dengan ketentuan lain yang relevan. Dari pandangan Positivisme Hukum, terlihat dampak dari perbuatan itu mempunyai suatu akibat yang lebih sempit daripada aliran Hukum Kodrat. Pada pandangan Positivisme Hukum, jika mengacu pada kasus di atas, perkawinan pasangan A dan B yang tidaklah serta merta menjadi batal. Pembatalan hanya mungkin terjadi apabila ada permohonan dari pihak‐pihak tertentu yang ditetapkan perundang‐ undangan. Dalam hukum positif, justru akibatnya lebih ditekankan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Apabila ia terbukti tidak meneliti dengan seksama syarat‐syarat itu, maka Pegawai Pencatat Nikah inilah yang diancam pemidanaan. Ancaman untuk A dan B tidak ditetapkan kedalam hukum positif, kecuali tentu saja bila terbukti mereka sengaja 56 memberikan informasi yang keliru. Apabila struktur kasus tersebut di skematisasi, maka akan muncul formula sebagai berikut: p ~ q Jika Pegawai Pencatat Nikah tidak meneliti syarat‐syarat pernikahan termasuk adanya masa iddah, maka ia diancam hukuman kurungan atau denda p Pegawai Pencatat Nikah C tidak meneliti masa iddah dalam perkawinan antara A dan B :: q Pegawai Pencatat Nikah C diancam hukuman kurungan atau denda Kesimpulan ::q ini adalah titik berdiri standpunt yang dibangun berdasarkan argumen‐argumen berbentuk proposisi di atasnya. Jika meminjam perspektif Hans Kelsen, proposisi ‘p’ adalah norma primer dan ‘q’ adalah norma sekunder. Hubungan kedua norma ini unik, yang sekaligus menunjukkan keunikan penalaran hukum. Berbeda dengan penalaran dalam ilmu‐ilmu eksakta, proposisi majemuk p~q tidak didasarkan pada hubungan kausalitas. Hubungannya adalah pertanggungjawaban perbuatan Zurechnung. Dalam hukum pidana, dikenal suatu asas penting bahwa seorang tidak dipidana jika tidak ada kesalahan geen straf zonder schuld. Unsur kesalahan inilah yang harus dibuktikan, sehingga tanpa itu ancaman yang dirumuskan dalam norma sekunder q itu tidak mungkin dimintakan pertanggungjawabannya kepada Pegawai Pencatat Nikah C tersebut. 57

B. Diskursus Mengenai Paradigma Rasional Sebagai Basis Epistemologi Pure Theory

of Law Hans Kelsen 1. Pure Theory of Law: Sebuah Deskripsi Paradigma rasional 51 yang terbangun oleh tradisi ilmu hukum Romawi sejak abad ke‐1 sampai dengan abad ke‐4, kemudian berpengaruh sangat kuat di daratan Eropa sampai ke Amerika pada abad ke ‐19 ini, selalu tampil sebagai mainstream dalam pembelajaran dan pembentukan hukum di Indonesia. Di Indonesia Paradigma rasional yang mulai diberlakukan sejak tahun 1847 ini, secara perlahan menjelma menjadi kekuatan hegemonik, untuk kemudian memarginalisasikan atau bahkan pada taraf‐taraf tertentu membungkam paradigma lain yang seharusnya juga dapat digunakan, sehingga kemudian selalu menjadi pilihan utama bila tidak dapat dikatakan menjadi satu‐satunya pilihan dalam pertarungan antara berbagai paradigma yang seharusnya dapat digunakan oleh para penstudi hukum dalam mengembangkan keilmuannya. Minimal terdapat lima faktor yang menyebabkan paradigma rasional masuk, dipergunakan dan kemudian mendominasi model pembelajaran dan pembentukan hukum di Indonesia, yaitu: pertama, adanya politik hukum dan pemerintah kolonial Hindia Belanda, untuk memberlakukan sistem hukum di tanah jajahan yang sama dengan sistem hukum yang berlaku di negaranya; Kedua, upaya dari pemerintah kolonial Hindia 51 Khudzaifah Dimyati, Kelik Wardiono, Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum : Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, Yogyakarta, Genta Publishing, 2014, hal v‐x