101 tersebut
juga tidak mengharuskan sistem hukum sejalan dengan moralitas. Sistem
hukum yang diterapkan secara adil dan mengatur masalah kejahatan, kepemilikan,
dan kesepakatan, juga bisa terjadi pada sistem hukum yang buruk.Apa
yang disampaikan Hart benar adanya. Namun adanya sistem hukum
yang buruk yang menerapkan keadilan administratif dan memuat isi minimum
hukum kodrat juga tidak membuktikan tesis Hart tentang tidak adanya
hubungan mutlak antara hukum dan moralitas. Paling
jauh fakta ini menunjukkan bahwa nilai‐nilai yang disumbangkan isi
minimum hukum kodrat dan unsur‐unsur keadilan pada sebuah sistem hukum
itu dapat disertai oleh imoralitas yang serius.Dengan demikian, pernyataan
bahwa hukum dan moralitas memiliki hubungan mutlak berarti mengakui
bahwa dari pengalaman keduanya, dalam segi‐segi yang penting, memiliki
hubungan. Adanya hubungan yang dekat antara hukum dan moralitas
ini lebihtepatdiungkapkan bahwa keduanya berhubungan mutlak daripada
keduanya tidak berhubungan mutlak.
5. Hubungan Mutlak Hukumdan Moralitas
Sebagaimana yang sudah dikemukakan, Hart mengakui adanya
hubungan mutlak antara hukum dan moralitas, yaitu pada isi minimum
hukum kodrat dan keadilan administratif.
a Hukum Mutlak Mengatur Objek‐Objek Moralitas
Moralitas memiliki objek, beberapa objek itu mutlak menjadi objek
hukum. Dapat dikatakan di mana pun ada hukum, di situ ada moralitas.
102 Baik
hukum maupun moral mengatur bidang yang sama, yakni mengatur hal
‐hal besar yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Adalah kodrat hukum
untuk memiliki area normatif yang luas, yaitu area yang berkaitan dengan
perhatian moral mayarakat di mana hukum tesebut dijaiankan. Ini adalah
salah satu hal yang membuat hukum begitu penting; ini juga menjelaskan
kenapa debat normatif tentang legitimasi dan otoritas hukum memiliki
arti penting.
b Hukum Mutlak Membuat Klaim Moral terhadap Subjeknya
Hukum memberitahu kita tentang apa yang harus kita lakukan,
bukan sekadar apa yang akan mendatangkan manfaat, dan hukum
mengharuskan tindakan kita tidak melawan kepentingan orang lain, kecuali
ketika hukum mengizinkan hal sebaliknya.
Setiap sistem hukum memuat norma‐norma yang wajib diikuti
terlepas apakah norma tersebut sesuai atau tidak dengan kepentingan
orang ‐orang yang ada dalam sistem hukum tersebut. Perintah hukum
dengan demikian menjadi alasan kategoris untuk bertindak.
Membebankan kewajiban pada orang lain dalam semangat ini berarti
menjadikan mereka terikat secara moral untuk patuh. Tentu saja dari
kenyataan mutlaknya perintah hukum ini tidak membuat semua klaimnya
bisa diterima secara moral; sangat mungkin imperatif hukum bertentangan
dengan imperatif moral, dan karena itu tidak ada kewajiban moral untuk
menaatinya. Namun demikian kenyataan adanya sesuatu yang kategoris
103 pada
hukum menunjukkan citra hukum sebagai otoritas yang sah secara moral.
c Hukum Mutlak Mengarah pada Keadilan
Sistem hukum yang secara formal‐prosedural adil dapat menjadi alat
untuk kepentingan yang berlawanan dengan keadilan. Demikian argumen
Hart ketika menyangkal argumen adanya hubungan mutlak hukum dan
moralitas berdasarkan adanya kedekatan antara hukum dan keadilan.
Sistem hukum yang memberlakukan aturan‐aturan yang adil, seperti
diterapkan tidak pandang bulu dan konstan, tidak mutlak berjalan secara
adil, sesuai dengan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.
Argumen Hart kiranya dapat kita terima. Sebab kenyataannya
administrasi dan prosedur hukum yang adil tidak menjamin terpenuhinya
keadilan. Namun, di sini kita akan melihat hubungan mutlak hukum dan
keadilan secara berbeda. Ketika melihat fungsi hukum untuk membuat dan
memberlakukan kewajiban, sangat masuk akal untuk bertanya apakah
hukum tersebut adil atau tidak, dan ketika kita melihat ketidakadilan, maka
kita terdorong untuk mengubah hukum tersebut. Hukum merupakan hal
yang cenderung atau mengarah untuk dinilai berdasarkan keadilan.
d Hukum Mutlak Memiliki Risiko Moral
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, hukum dapat digunakan
untuk kepentingan yang berlawanan dengan moralitas. Dengan demikian,
anggapan bahwa hukum memiliki karakter kebaikan tidaklah benar.
104 Kenyataannya,
di mana hukum diberlakukan, risiko‐risiko moral baru muncul
sebagai sebuah keniscayaan. Ketika hukum diberlakukan, tidak hanya
akan ada perangkat efisien penindasan, tapi juga akan muncul keburukan
‐keburukan baru: pengasingan komunitas‐komunitas tertentu, tumbuhnya
hierarki baru, dan adanya kemungkinan pelenyapan orang‐ orang
yang bertindak melawan ketidakadilan melalui perangkat hukum seperti
yang berulang kali terjadi di negara kita. Meskipun
hukum memiliki keutamaan‐keutamaan yang mutlak, pada saat
yang sama hukum juga memliki kebusukan‐kebusukan, dan semua ini secaraterbalik
menunjukkan kaitan mutlak hukum dan moralitas. Ada beberapa
resiko moral ketika hukum diberlakukan, dan hukum itu sendiri tidak
menyediakan alat untuk mencegah risiko‐risiko tersebut.
6. Moralitas Sebagai Paradigma Hukum