203
BAB V. METODOLOGI PENAFSIRAN AYAT DAN PEMIKIRAN SUFISTIK SA
‘ID H{AWWA TENTANG DIMENSI METAFISIS AJARAN TASAWUF
Dalam rangka untuk mengetahui metodologi tafsir sufistik Sa ‘id H{awwa dan
corak pemikiran sufistiknya, penulis juga mengkaji penafsirannya tentang dimensi ajaran tasawuf yang dialami para salik. Ini penting dilakukan karena sering timbul
kontroversi pemahaman padanya maka dengan mengangkat persoalan ini penulis ingin mengupasnya lewat penafsiran ayat
–ayat Alquran. Persoalan ini pada dasarnya masih berkaitan dan menjadi bagian dari pengkajian pada pembahasan sebelumnya
tentang maqam –maqam tasawuf. Aspek–aspek ajaran tasawuf yang dikemukakan
ini tidak secara eksplisit terungkap dalam Alquran melainkan melalui pemahaman secara implisit sebagaimana terkandung dalam penafsiran ayat. Penelitian disertasi ini
akan mengungkap penafsiran Sa ‘id H{awwa terkait dengan aspek–aspek ajaran
tasawuf sebagai akan diuraikan dibawah ini.
A. Tafsir Ayat tentang Mujahadah
Dalam proses menjalani tasawuf istilah mujahadah sudah akrab dikenal dikalangan dunia tasawuf. Secara definitif menurut Tahanawi yang dikutip oleh Abi
Khazam, mujahadah adalah berjuang menghadapi nafsu dan setan sebagaimana yang dilakukan para salik. Dikatakan juga
seperti pendapat Abu ‘Atha’ bahwa mujahadah sebagai kehendak kuat merasa bergantung kepada Allah dengan
mengabaikan segala sesuatu selainnya. Menurut Ja ‘far S}adiq yaitu mengerahkan
kemampuan diri dalam mencapai rid}a Allah.
1
Selain itu dikemukakan juga pengertian Ibnu Arabi tentang mujahadah yaitu melatih diri menanggung
kepayahan badan dan mengendalikan hawa nafsu dari setiap keadaan.
2
Dari beberapa pengertian diatas dipahami bahwa makna yang terkandung dalam mujahadah
1
Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 155
2
Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993, Cet. Ke –1,155
adalah kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada Allah sehingga hati tidak mau berpaling kepada selainNya.
Bentuk dan aspek mujahadah memiliki dasar sebagaimana terungkap dalam Alquran. Pada pembahasan berikut ini ayat
–ayat tersebut akan dikaji melalui penafsiran sufistik.
1. Ayat 69 surat al –‘Ankabut 29
Allah menghubungkan mujahadah dalam surat al –‘Ankabut 29 ayat 69
dengan hidayah. Artinya hidayah akan diperoleh bagi orang yang benar –benar dalam
bermujahadah kepada Allah.
Mengenai mujahadah dalam ayat diatas, ditafsirkan oleh Sa‘id Hawwa
dengan mengutip tafsir Ibnu Kathir;
س م ي ي ا ي ى هع تأ هي حصأ س ا ى عي يف ا ه ج ي ا ,
أ :
م ص خاا ي ا ىف ق ط
.
4
Orang yang bermujahadah pada jalan kami yaitu ajaran Rasul Muhammad, para sahabat dan pengikutnya sampai hari kiamat maka sesungguhnya akan
kami tampakkan jalan-jalan kami di dunia dan di akhirat. Mujahadah yang dilakukan dengan konsisten menjalankan ajaran nabi
Muhammad akan merasakan berbagai kemudahan dalam menempuh hidup di dunia dan di akhirat. Sebagai bentuk mujahadah yaitu dengan berpegang teguh mengikuti
petunjuk agama maka akan membawa kepada selamat dunia dan akhirat. Sa
‘id H{awwa menegaskan bahwa mujahadah harus dilandasi dengan ikhlas;
3
Artinya; Dan orang –orang yang bermujahadah untuk mencapai kerid}aan Kami, benar–
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan –jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar–benar
beserta orang –orang yang berbuat baik. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma‘ al-Malik al-
Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
4
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 8, Cet. Ke
–6, 4237
أ يف ا ه ج ي ا :
ص خ ج جأ م قح ىف ,
م ك تي ه ج ا ق طأ ق
ي ا ءا عأ طي ا سف ا م هت ه جم جت .
5
Orang-orang yang melakukan mujahadah adalah karena memenuhi hak Allah dan murni ikhlas karena Allah semata. Mujahadah yang dilakukan
meliputi mujahadah terhadap hawa nafsu, menghadapi setan dan musuh agama.
Makna dasar mujahadah yang dikemukakan Sa‘id hawwa terkait dengan
menghadapi hawa nafsu dan setan, memiliki pandangan yang sama dengan yang dikemukakan Tahanawi. memiliki pandangan yang Mujahadah menghadapi nafsu
dan setan lebih berat dari musuh yang nyata. Berbeda dengan musuh agama
6
orang yang memerangi agama, dua hal yang dihadapi diatas sifatnya abstrak maka
keberhasilan dari mujahadah tersebutpun lebih dirasakan sebagai suatu yang abstrak juga. Menghadapinya dengan cara lebih mengintensifkan ibadah dan
meningkatkan rasa ketergantungan kepada Allah.
7
Dijelaskan Sa‘id Hawwa bahwa keutamaan melakukan mujahadah yaitu akan ditambahkan hidayah menuju jalan
kebaikan dan mendapatkan taufik dari Allah.
8
Taufik merupakan salah satu anugerah yang diperoleh dalam melakukan mujahadah, sebagai bukti yang dirasakan oleh
orang yang dekat dengan Allah. Bagi orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah akan sering menjumpai harapan yang dikehendakinya karena sesuainya antara
keinginannya dengan kehendak Tuhan. Selain itu, dengan melakukan mujahadah akan mendapat pengetahuan
langsung dari Allah seperti dinyatakan Sa‘id Hawwa dengan mengutip tafsir an- Nasafi;
5
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 8, Cet. Ke
–6, 4229
6
Kecuali musuh agama seperti kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan dan sejenisnya, maka ini dapat digolongkan sebagai hal yang abstrak tentunya.
7
Ini termasuk bagian dari kesabaran yang kokoh yaitu murabat}ah. Al-Murabat}ah adalah senantiasa berada dalam tempat peribadatan, sebab beribadah merupakan benteng yang dapat
mengalahkan setan. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid
2, Cet. Ke –6, 972
8
قيف ت ي ا س ى يا ه م ي
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 8, Cet. Ke
–6, 4229
ا عي م م ى م ي ا ع يف ا ه ج ي ا
9
.
Orang-orang yang bermujahadah terhadap apa yang mereka ketahui maka sesungguhnya akan ditunjukan pada mereka apa yang belum diketahui.
Melakukan ibadah-ibadah dengan kesungguhan akan membuka pintu untuk
memperoleh berbagai pengetahuan yang belum pernah dibayangkan. Pengetahuan demikian menjadikan seseorang semakin dekat dengan Allah. Semakin tinggi
melakukan mujahadah maka akan semakin bertambah pengetahuan yang diterima. Pengetahuan demikian hanya diperoleh bagi orang yang mengenal Tuhan seperti
disebutkan Abdul Qadir al-Jailani bahwa siapa yang mengenal Tuhannya maka ia akan mengetahui segala sesuatu yang akan membenarkan dalam
‘ubudiyahnya dan terbebas dari kecenderungan
‘ubudiyah yang lain.
10
Inilah pengetahuan rabbani yang dipancarkan ke dalam sanubari orang-orang tertentu. Orang-orang yang
mengalami pada tingkat ini, hatinya tidak ingin berpaling melupakan Tuhan. Selain penafsiran sufistik diatas, ada tiga makna sufistik lain tentang jenis
mujahadah yang dikandung ayat diatas yang dikemukakan Sa ‘id H{awwa dengan
mengutip pandangan al –Junaid, pertama bahwa orang yang melakukan mujahadah
dalam bertobat niscaya akan ditunjukkan Allah baginya jalan mencapai ikhlas. Kedua, orang yang betul
–betul bermujahadah dalam ketaatan mengabdi kepada Kami akan terbuka baginya
عم ج ا
11
pintu berkomunikasi langsung dengan Allah dan akan merasakan sebagai teman dekatintim dengan Allah
ب س أا . Ketiga, bagi yang bermujahadah dalam mencari kerid}aan Kami maka Kami
tunjukkan jalan –jalan untuk sampai ي ص ا kepada Kami.
12
Dalam upaya menempuh tasawuf, dengan mujahadah yang sesungguhnya maka akan
9
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 8, Cet. Ke
–6, 4237
10
Abdul Qadir al-Jailani. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}maniy Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah, Cet.ke-2, 151
11
Munajah dalam istilah tasawuf adalah percakapan rahasia dengan Tuhan ketika keikhlasan dalam berzikir.
ج ا ك ك أا ء فص ع ا سأا ط م Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al– Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke
–1,
12
صاخإا س م ي ب ت ا ىف ا ه ج ,
عم ج ا س م ي ع حتف تم خ ىف ا ه ج ب س أا
, ي ص ا س م ي ض ي حت ط ىف ا ه ج
.
. Sa‘id H{awwa, al–Asas
fi at –Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 8, Cet. Ke–6, 4237
membukakan berbagai jalan bagi pelaku tasawuf. Jalan dimaksud adalah sarana untuk merasakan berhubungan langsung dengan Allah yaitu dalam bentuk berkomunikasi
dan keintiman, pada akhirnya sampai هي
ص ا kepadaNya. Ditegaskan Sa
‘id H{awwa, bagi siapa yang memahami makna ayat ini dan betul
–betul dalam melaksanakannya maka ia akan memperoleh kebaikan yang tidak dikira diluar pikiran biasa. Ia mengemukakan hadis Nabi bahwa seorang mujahid
adalah orang yang jiwanya bermujahadah pada zat Allah. Menurut ayat diatas kata Sa‘id H{awwa, siapa yang jiwanya bermujahadah pada zat Allah maka Allah akan
memberi hidayah kepada jalan yang mengantarkannya sampai menuju Allah ه ج م
هي ص ا ه س ى ها ا ه ها ا ىف .
13
Hidayah tersebutlah yang diharapkan akan mengantarkan seseorang menuju Allah. Hidayah merupakan pengaruh dari
mujahadah, dengan hidayah membawa kepada jalan menuju Allah. Dengan demikian dikatakan, Mujahadah sebagai usaha manusia sedangkan hidayah
merupakan anugerah Allah. Karena itu, tidak sempurna keduanya mujahadah dan hidayah kecuali berkat taufik dan pertolongan dari Allah.
14
Semakin jelas pandangan sufistik Sa‘id H{awwa terkait mujahadah yaitu dengan mujahadah
yang sesungguhnya dapat menjadikan seseorang merasakan sangat dekat dengan Allah. Mujahadah
yang ditekankan Sa‘id H{awwa adalah mujahadah dengan jiwa abstrak bukan mujahadah secara fisik yang diutamakan. Karena mujahadah
secara batin tersebutlah yang dapat merasakan hubungan langsung dengan Allah. Berhubungan langsung dengan Allah merupakan hidayah yang paling besar yang
dirasakan di dunia. Sebagai diungkapkan Sa‘id H{awwa, inilah yang disebut dengan
hidayah yang diperlihatkan dibuktikan di dunia.
15
Sa‘id H{awwa disini tidak
13
Kata Nabi saw; ها ا ىف هسف ه ج م ه ج ا Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo:
Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 6, Cet. Ke –6, 4237
14
Sa ‘id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet.
Ke –9,119
15
Hidayah akan diperlihatkan Allah yaitu berbagai jalan kebaikan di dunia dan di akhirat. Lihat tafsi
ran Sa‘id H{awwa tentang hidayah. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 6, Cet. Ke
–6, 4229
menjelaskan seperti apa bentuk hubungan langsung bagi orang yang wusul kepada Allah.
Merasakan hubungan langsung dengan Allah ditandai dengan munajah, uns dan wus}ul, sebagaimana dikemukakan diatas namun hal ini juga tidak dijelaskan
lebih detil oleh Sa‘id H{awwa. Karena ia memandang tidak berguna berpolemik dalam masalah istilah, apalagi ini sangat berhubungan dengan pengalaman pelaku
tasawuf. Selain itu, dapat dipahami juga bahwa Sa‘id H{awwa tidak pernah menyatakan pengalamannnya tentang
kondisi demikian. Namun dari pernyataan Sa‘id H{awwa bahwa siapa bermujahadah pada zat Allah pasti akan memperoleh hidayah
dengan sampai kepada Allah. Tentu yang dimaksud adalah sampai pada zatNya kendatipun ia tidak terang
mengatakan demikian. Tampak disini, Sa‘id H{awwa tidak mau terlibat jauh dalam masalah istilah dan ajaran tasawuf yang kontroversial. Ini
dapat dipahami bahwa secara implisit Sa‘id H{awwa memahami hubungan langsung
antara hamba dengan Allah sekalipun ia tidak menyebut dengan istilah ittihad. Boleh jadi yang dimaksudnya dalam hubungan tersebut tidak persis sama dengan
yang dipahami Abu Yazid. Ini termasuk metodologi Sa‘id H{awwa dalam penafsiran sufistiknya bahwa
ia tidak memberikan gambaran kongkrit tentang wus}ul seperti apa yang dicapai oleh pelaku tasawuf. Sebab hal itu bukanlah menjadi target yang harus dipaksakan
kecuali bagi yang mampu. Dengan tidak ditegaskannya kondisi yang harus dicapai pelaku tasawuf, supaya manusia tidak merasakan berat melakukannya. Keberhasilan
atau pengalaman salik yang spesifik dialami oleh mereka yang sampai ke tingkat yang tinggi dalam tasawuf, itupun sesuai dengan tingkat ibadahnya. Tujuan yang
sangat utama bagi Sa‘id H{awwa adalah bagaimana praktek tasawuf tidak memberatkan dan menghambat keinginan orang untuk menyucikan dirinya sesuai
dengan pedoman Alquran dan Sunnah.
16
Makna tujuan ini adalah dengan menjalankan tasawuf akan mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sesuai
16
Sa ‘id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet.
Ke –9,11-12
tuntunan Alquran. Tampaknya orientasi ta sawuf Sa‘id H{awwa bukan menargetkan
untuk mencapai wusul atau mushahadah dan sejenisnya tetapi bagaimana seseorang merasakan taufik dari Allah yang akan membimbingnya dalam kehidupan
ini. Berkaitan dengan wusul atau bentuk-bentuk kedekatan hubungan dengan Allah itu merupakan anugerah tergantung intensitas ibadahnya.
Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa Sa‘id H{awwa melakukan mujahadah
dalam tasawufnya supaya terciptanya peningkatan kesucian rohani tanpa mempersoalkan pengalaman mistiknya. Hanya saja, b
agi Sa‘id Hawwa pengalaman mistik demikian tidak pernah terungkap. Sebab pernah dijelaskan juga bahwa dalam
bermujahadah tidak ada batasnya, bahkan disebutnya sampai hari akhir.
17
Mengalami wus}ul tidak akan menyudahi perjalanan mujahadah, bahkan hal itu membuat kedekatan dengan Allah menjadi bertambah kuat. Itu bagian dari hidayah
Allah. Merasakan hidayah Allah tiada hentinya sebagaimana dinyatakan dalam ِAlquran bahwa bagi orang yang telah mendapat hidayah, niscaya Allah tambahkan
hidayah kepadanya.
18
Dengan mendapat hidayah semakin menjadikan seseorang menginginkan hidayah tambahan sebagai bukti bertambah dekat rindu kuat -
ق ع ا al
–‘ishq dengan Allah. Demikian penafsiran sufistik Sa
‘id H{awwa tentang ayat 69 surat al– ‘Ankabut 29 di atas. Tampak dari penafsirannya, Sa‘id H{awwa menggunakan
riwayat dan berbagai pendapat ahli sufi dalam mendukung penafsirannya. Cara yang dilakukannya merupakan bagian dari metodologi penafsiran sufistiknya yang
cenderung memperhatikan zahir ayat. Sementara itu dalam tafsir Ibnu Arabi ditemukan juga penafsiran tentang ayat
69 tersebut dengan tinjauan sufistiknya. Dimana Ibnu Arabi menafsirkan orang yang bermujahadah dalam ayat tersebut yang dimaksud adalah golongan ahli tarekat.
Dalam melakukan mujahadah ini, para ahli tarekat mengadakan ritual qalbu dalam
17
Menjalani perintah Allah dan mengikuti Rasulnya sampai hari akhir. Sa‘id H{awwa, al–
Asas fi at –Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 6, Cet. Ke–6, 4237
18
Hidayah senantiasa dirasakan dengan ditambah dan ditambah,
ه مهدا ا تها ي ا مه تا
م قت
. QS. Muhammad 47:17
suluknya dengan meneladani sifat –sifat Allah. Orang yang memulai perjalanan ritual
itu berada pada maqam nafs jiwaabstrak dalam suluknya dengan melakukan jihad kepada Allah. Adapun Mujahadah pada perjalanan ini yaitu merasa hadir
ضح ا , mendekatkan diri قا ا dan istiqamah kepada Allah guna tetap pada tajalli.
19
Berkaitan dengan makna ini, penafsiran sufistik Ibnu Arabi memiliki pandangan yang sama dengan Sa‘id H{awwa.
Selanjutnya mengenai hidayah pada ayat tersebut ditafsirkan sebagai jalan yang menghubungkan kepada zat Tuhan. Menurutnya jalan itu adalah sifat
–sifat ketuhanan sebab sifat
–sifat itulah yang menghalangi pada zat Tuhan. Bagi pelaku suluk dengan sifat
–sifat tersebut mengantarkannya kepada hakikat Allah Ta‘ala, dimana Allah adalah sifat yang disifati dan itulah entitas zat yang Esa.
20
Jalan sebagai hidayah yang disebut Ibnu Arabi adalah sifat
–sifat yang dianugerahkan Allah kepada pelaku suluk. Bila sifat
–sifat ini sudah tercakup maka pelaku suluk bertemu dengan zat Tuhan. Proses menerima sifat
–sifat Tuhan demikian dalam ilmu tasawuf disebut dengan proses tahalli sebelum mencapai tajalli. Seperti dikatakan
Ibnu Arabi juga bahwa mujahadah bagi pelaku suluk yang istiqamah akan sampai pada tajalli.
Istilah –istilah yang digunakan Ibnu Arabi ini seperti tajalli, bertemu sampai
pada zat Tuhan, sifat –sifat Tuhan sebagai jalan yang harus tercermin pada pelaku
suluk , tidak pernah muncul dalam penafsiran Sa‘id H{awwa. Seperti dikatakan
sebelumnya, Sa‘id H{awwa tidak menggunakan istilah–istilah yang menurut logika sulit dirasakan dan mengganggu akan pandangan keesaan Tuhan bagi orang awam.
Pendekatan yang digunakan Ibnu Arabi dalam mengmukakan istilah –istilah tersebut
sesuai dengan paham dan teori filsafat yang dianutnya tentang kesatuan wujud. Penafsiran Ibnu Arabi dalam tafsirnya tersebut termasuk pendekatan tafsir sufistik
naz}ari.
19
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2,
Cet. Ke –2,129
20
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2,
Cet. Ke –2,129
Sehubungan dengan pandangan filsafat wujudnya dapat juga dilihat ketika menafsirkan akhir ayat. Orang muh}sinin menurutnya adalah mereka yang
menyembah Allah atas mushahadah. Muh}sin merupakan para salik berada pada sifat
–sifat Allah dan menjadi tetap dengannya karena mereka menyembah dengan merasakan muraqabah dan berada pada musyahadah. Berdasar pada hadis bahwa
menyembah Tuhan seakan melihatnya.
21
Bagi para suluk dapat melakukan itu karena sifat
–sifat Tuhan sudah tercermin pada diri mereka. Namun kata Ibnu Arabi, melihat dan menyaksikan
ا د
ا ي tidak dapat
dilakukan dengan mata ى يع ا melainkan melalui fana pada zat Tuhan. Hal itu
dapat terjadi karena sudah melewati taraf tahalli pada sifat –sifatNya.
22
Orang muh}sin bagi Ibnu Arabi adalah mereka yang merasakan fana
’ dan baqa’ pada zat Tuhan. Penafsiran demikian gambaran dari paham wah}datul wujudnya terkait
menafsirkan ayat di atas. Ini menunjukkan bahwa penafsiran Ibnu Arabi selalu berlandaskan pada paham filsafatnya dalam memahami ayat.
Sangat berbeda dengan Sa‘id H{awwa yang memahami makna Muh}sinin dengan tetap dalam pendekatan makna zahir ayat yaitu mereka yang beramal dengan
apa yang mereka ketahui. Sedangkan penafsiran sufistiknya dikemukakan Sa‘id H{awwa yaitu pada orang muh}sin tersebut Allah memberikan hidayah kepada
mereka terhadap apa yang tidak mereka ketahui.
23
Maksud Sa‘id H{awwa disini tampaknya berkaitan dengan keberhasilan dalam mujahadah. Bila dihubungkan
dengan penjelasan Sa‘id H{awwa tentang makna hidayah yang dimiliki oleh orang yang berhasil dalam mujahadah yaitu merasakan wus}ul kepada Allah, dapat
dipahami bahwa sesuatu yang tidak diketahui, maksudnya adalah terbukanya perkara gaib yang selama ini terh}ijab. Artinya muh}sinin dalam hal ayat ini telah
mengalami keadaan kashaf. Berdasarkan kepada struktur ayat, makna ini semakin
21
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2,
Cet. Ke –2,129
22
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2,
Cet. Ke –2, 129
23
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 8, Cet. Ke
–6, 4237
terang bahwa orang muh}sin yang dimaksud dalam ayat salah satu cirinya adalah orang yang melakukan mujahadah dan telah mendapatkan berbagai jalan yang
dijanjikan Allah. Adapun makna jalan pada intinya sesuai pengertian Sa ‘id H{awwa
dan Ibnu Arabi adalah merasakan dekat sedekatnya dengan zat Allah. Orang yang telah mencapai muh}sin sebagaimana disebut ayat diatas
merupakan orang yang telah mendapat hidayah yang tidak dimiliki orang umum.
24
Dengan hidayah tersebut menjadikannya semakin bertambah dekat karena rindu ‘ishq maka Allah akan tambah hidayah untuknya. Maka tidak heran bila Nabi yang
sudah ma‘s}um bertambah rajin ibadah karena Allah akan selalu menambahkan
hidayahNya. Dengan begitu manusia semakin haus akan hidayah seperti yang dirasakan muh}sinin dan yang dicontohkan Nabi.
2. Ayat 17 Surat Muhammad 47 Sehubungan dengan bertambahnya hidayah bagi orang yang telah mendapat
hidayah dijelaskan oleh Allah dalam Surat Muhammad 47 ayat 17.
25
Orang yang mendapat hidayah akan meraih tambahan hidayah, seperti disebutkan Sa‘id H{awwa;
ك ى د ا قي ط ا سب ها ى ا تها ي ا ,
أ ه مهدا :
أ م ك ه ها مهدا ه م ص ا ا
. أ مها قت مه تا
: ي ع م عأ
.
26
Dan orang-orang yang telah mendapat hidayah dengan menempuh jalan yang mengantarkan mereka menuju Allah maka ditambahkan kepada mereka
24
Pengalaman hidayah ini pernah dialami juga oleh pemuda kahfi. Lihat, QS. Al –Kahfi 18:
13. Mereka merasakan hidayah yang tidak dimiliki oleh orang umum, karena mujahadah yang sungguh
–sungguh dilakukan.
25
Artinya; Dan orang –orang yang mendapat hidayah, Allah tambahkan hidayah kepada
mereka dan diberikan kepada merekabalasanakan ketakwaannya. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
26
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke
–6, 5312
hidayah yaitu kemuliaan serta dada yang lapang. Dan diberikan ketaqwaan artinya menolong mereka.
M akna tambahan hidayah dipahami lebih dalam menurut Sa‘id H{awwa
adalah: dilimpahkannya pengetahuan dan penyingkapan mata hati.
ع يصب ها مهدا .
27
Maksudnya ialah Allah melimpahkan kepadanya pengetahuan dan penyingkapan mata hati menerima rahasia gaibmetafisik bas}irah.
28
Anugerah Allah ini melebihi pengetahuan yang diperoleh bagi orang yang melakukan mujahadah pada ayat 69
al- ‘Ankabut diatas. Makna hidayah disini adalah setelah meraih hidayah seperti
penjelasan ayat 69 tersebut. Taqwa menurut
Sa‘id Hawwa merupakan anugerah seperti dijelaskannya;
هئا تها ى ع ع ه م أف م ها م ح م قت ا أ ي ت ياا ه .
29
Sesungguhnya ayat di atas menyatakan bahwa ketaqwaan adalah anugerah balasan dari Allah kepada hambanya sebagai hidayahNya.
Taqwa sebagai pemberian anugerah Allah yang muncul sebagai hadiah atas
usaha manusia. Ayat ini menurut Sa ‘id H{awwa sangat berkaitan dengan ayat
terdahulu al- ‘Ankabut: 69, bahwa mujahadah adalah sarana alat hidayah
qalbiyah menuju kepada Allah, sedangkan hidayah mukaddimah menuju taqwa. Urutannya dapat dirumuskan yaitu mujahadah mengantar sampai hidayah, hidayah
mengantar menuju taqwa.
30
Melihat urutan ini predikat taqwa lebih tinggi dari muh}sinin, sebab tahapan hidayah berada di pertengahan dalam urutan di atas yang
menggambarkan predikat muh}sinin. Muh}sin adalah sifat orang yang memperoleh
27
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke
–6, 5312
28
Menurut Tahanawi, hal ini dalam tasawuf bisa diketegorikan kepada mushahadah qulub;
يع ب ا ه أك ش يغ م ق ا ص ب قح ا ي . Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al– Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke
–1, 163
29
Dengannkata lain, taqwa timbul setelah adanya hidayah, hidayah timbul sebagai pengaruh mujahadah.
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 8, Cet. Ke
–6, 4237
30
Mujahadah-menghasikkan Hidayah- kemudian hidayah menghasilkan Taqwa. Sa ‘id
H{awwa, Tarbiyatuna ar –Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke–9,119. Lihat
juga; Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 8, Cet. Ke–6,
4237-8. Permulaannya adalah mujahadah nafs yaitu tilawah Alquran, s}alat dan zikir,
hidayah. Pemahaman ini ada benarnya juga bila diperhatikan ayat Alquran yang sering mengungkapkan dan menjanjikan bahwa surga disediakan bagi orang yang
bertaqwa.
31
Namun ciri orang bertaqwa dalam ayat selanjutnya secara tidak langsung juga merupakan bagian dari ciri orang muh}sin.
32
Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa muh}sin dan muttaqin dua sifat yang tidak bisa dipisahkan.
Sebab dalam muh}sin mengandung sifat taqwa, sebaliknya dalam muttaqin terdapat pula sifat
–sifat muh}sin. Artinya dalam pribadi muttaqin sudah tersimpul muh}sin.
33
Selanjutnya ditegaskan Sa ‘id H{awwa bahwa mujahadah merupakan
permulaan yang lurusbenar dalam menempuh perjalanan suluk menuju Allah. Seperti kata Nabi, mujahid adalah orang yang melakukan mujahadah dirinya pada
Allah. Inilah yang disebut dengan mujahid karena hidayah membawanya kepada jalan
س ا ى termasuk padanya qital fisabilillah, tidak ada diperoleh subul tanpa mujahadah. Adapun qital memerangi nafsu tidak diterima kecuali setelah
hidayah. Inilah poin pertama dalam mujahadah yaitu mujahadah nafs.
34
Mujahid menghadapi nafsu mendapatkan hidayah dari Allah, kemudian hidayah membuka
jalan sampai kepada Allah dengan keberhasilan dalam qital nafsu. Adapun penafsiran Sa‘id H{awwa terkait dengan mujahadah berdasarkan
ayat 69 surat al –‘Ankabut diatas, pertama ia mengemukakan makna zahir ayat
dengan mengutip dari tafsir Ibnu Kathir dan dikembangkan dengan penjelasannya. Kemudian ia mengemukakan pandangan mufasir lain mengungkap makna
31
Lihat QS. Ali Imran 3: 133, Muhammad 47: 15, al –Hijr 15: 45, an–Nahl 16: 30, ash–
Shu‘ara’` 26: 90
32
Lihat QS. Ali Imran 3 : 134
33
Kalau dibuat tingkatannya; islam –muslim, iman–mukmin, ihsan–muhsin, taqwa–muttaqin.
Muh}sin jika dipahami termasuk sifat yang abstrak, sebagaimana petunjuk Nabi dalam hadis yang menerangkan tentang islam, iman dan ihsan. Islam dan iman kualitas bisa terlihat, terukur berpedoman
pada rukun masing-masing, sedangkan ihsan tidak terukur karena sifatnya yang abstrak.
34
Menurut Sa‘id H{awwa berkenaan dengan mujahadah ini ada mencakup empat tingkatan. Dasarnya iman kepada Allah serta keesaanNya dan iman kepada Muhammad Rasulullah. Dasar kedua,
melaksanakan segala kewajiban berbagai aspeknya yang diperintahkan. Tingkatan ketiga, menjadikan hal-hal sunat sebagai kebutuhan diri. Tingkatan keempat, disebutnya sebagai rukun mujahadah yaitu;
al –’uzlah, as}–s}amtu, as–sahru dan al–ju’. Sa‘id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo:
Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke –9,119-121
isharinya, di samping pendapat para sufi. Ia juga mengemukakan hadis Nabi untuk mendukung penafsirannya.
Dalam teori Sa‘id H{awwa, ia mengategorikan beberapa ayat di awal surat sebagai mukaddimah surat. Setelah melihat hubungan tersebut kemudian
diperhatikan juga hubungan dengan ayat lain seperti mengaitkan dengan surat al –
Baqarah ayat ke 5. Pembahasan pada bagian ini lebih terarah kepada mengkaji hubungan zahir ayat.
Selanjutnya langkah ketiga membahas penafsiran lebih luas dan dalam dari pada makna ayat tersebut termasuk menjelaskan makna sufistiknya. Disini
dikemukakan berbagai argumen untuk mendukung penafsirannya. Mulai dari pendapat mufasir, tokoh sufi, juga dikemukakan hadis Nabi bahkan disebutkan juga
ayat lain untuk memperkuat dan menambah penjelasannya. Dalam menafsirkan ayat Sa
‘id H{awwa tidak mengklasifikasikan penafsirannya atau menentukan antara makna zahir dan makna sufistiknya. Kedua
makna tersebut dikemukakan tanpa memberi penegasan masing –masingnya.
Dalam metode penafsiran ayat ini, Sa‘id H{awwa tidak menyorot aspek lain seperti, makkiyah dan madaniyah. Aspek ini bila dicermati akan menambah alasan
dalam memahami makna zahir ayat disamping aspek munasabah sebagai metodologi pokok dalam penafsiran Sa
‘id H{awwa. Melihat pembahasan Sa
‘id H{awwa dalam menafsirkan tema mujahadah dalam ayat diatas tampak bahwa ia menggunakan pendekatan makna zahir dan
makna ishari. Makna ishari dikemukakan setelah menjelaskan makna zahir ayat. Dengan demikian, penafsiran Sa
‘id H{awwa dapat digolongkan pada tafsir sufi ishari.
Pandangan Sa ‘id H{awwa dalam penafsirannya terkait mujahadah, dipahami
bahwa mujahadah adalah cerminan perjalanan salik guna menuju sampai kepada Allah.
Diantara mujahadah yang utama menurutnya adalah mujahadah menghadapi nafsu yang ada pada diri. Hasil dari mujahadah akan menimbulkan
hidayah berupa jalan sampai kepada Allah. Sa ‘id H{awwa tidak menjelaskan tentang
bentuk sampai kepada Allah, tapi secara implisit dipahami bahwa Sa ‘id H{awwa
mengakui bahwa Allah akan membuka jalan bagi hamba yang sungguh –sungguh
bermujahadah pada zatNya untuk sampai kepadaNya. Namun sekali lagi hubungan antara hamba dan Tuhan tidak seperti yang digambarkan Ibnu Arabi. Berbeda dengan
Ibnu Arabi yang secara terang menyebutkan dengan istilah –istilah seperti tajalli pada
zat Tuhan setelah melalui fana ’ pada sifat–sifat Tuhan.
Memperhatikan penafsiran Sa ‘id H{awwa terkait hasil mujahadah yang
dilakukan hamba bisa disebut berada pada tingkat kashf dan ia tidak menyatakan hubungan hamba membentuk kesatuan dengan Tuhan seperti pendapat para sufi
falsafi. Dengan demikian pandangan tasawuf Sa ‘id H{awwa dalam hal ini merupakan
cerminan aliran tasawuf amali.
B. Tafsir Ayat tentang Kashf