Pemikiran Keagamaannya Perkembangan Intelektual Sa ‘id H{awwa

39 Ikhwan. Peristiwa demikian dipicu oleh demonstrasi dan pemboikotan besa –besaran tahun 1980 di Aleppo, Hama, Homs serta ada upaya pembunuhan terhadap al –Asad. 39 Pada pertengahan tahun 1980 –an aktifitas Sa’id H{awwa dengan Ikhwan tidak terdengar lagi. Apalagi setelah kecewa terhadap sikap Khomeini yang kurang menguntungkan bagi Ikhwan dan FIS. Pada tahun 1987 Sa’id H{awwa terserang stroke hingga sebagian anggota tubuhnya lumpuh. Ia juga mengalami komplikasi penyakit; tekanan darah, gula, ginjal dan sakit mata. Keadaan demikian membuat ia tidak dapat hadir bersama masyarakat lagi karena diopname. Pada bulan Desember tahun 1988 kondisinya tak kunjung membaik dan masih dirawat di rumah sakit. Tiga bulan kemudian tepatnya tanggal 9 Maret 1989 sang pejuang itu wafat di rumah sakit Amman, Yordania. 40 Tokoh pembela Islam, seorang Sufi, pejuang berhati lembut tersebut sudah pergi selama –lamanya dengan banyak meninggalkan buku–buku karyanya yang dapat dikembangkan dan dipelajari.

C. Perkembangan Intelektual Sa ‘id H{awwa

1. Pemikiran Keagamaannya

Pada usianya masih muda, Sa ‘id H{awwa untuk pertama kalinya berkenalan dengan pergerakan jama ‘ah Ikhwanul Muslimin. Pikiran–pikiran dari gerakan Ikhwan sangat membentuk kepribadian dan pola pikir Sa ‘id H{awwa yang kemudian hari ia ikut terlibat bahkan sebagai tokoh dalam pergerakan Ikhwan di Syria. Selain itu pemikirannya di manifestasikan lewat buku –buku yang tersebar dan dapat dibaca dan dijangkau oleh siapapun. Dari beberapa karya Sa ‘id H{awwa bisa dikategorikan bahwa pandangan gerakan Islam Sa ‘id H{awwa sealiran dengan tokoh pendiri Ikhwan Hasan al –Banna. Faktor guru yang mendidik Sa‘id H{awwa juga berpengaruh membentuk pemikiran keagamaannya. Secara umum pemikiran 39 John L. Esposito, Dunia Islam Modern –Ensiklopedi Oxford Terj Bandung: Mizan, 2002, Jilid 2, Cet. Ke –2,277 40 Al –Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer Jakarta: Al- I‘tis}am Cahaya Umat, 2003, 409 40 keagamaan Sa ‘id H{awwa bagian dari kelompok Islam Sunni yang dikenal sebagai Ahli Sunnah wa al- Jama’ah. 41 Pola pemikiran Sa ‘id H{awwa dapat dilihat melalui penafsirannya tentang fiqh, aqidah, tasawuf dalam kitab tafsir yang terdiri dari 11 jilid besar. Diantara paham keagamaan yang populer seperti paham teologi atau kalam, paham mazhab Fiqh dan aliran tasawuf. Berdasarkan pemikiran ulama yang sering dikutip Sa ‘id H{awwa dalam tafsirnya maka tampak misalnya dari aspek teologi kecenderungan Sa ‘id H{awwa sejalan dengan an–Nasafi yaitu pengikut Ash‘ariyah. 42 Aspek Fiqh juga dapat dikatakan , Sa‘id H{awwa sejalan dengan an–Nasafi yang bermazhab Hanafi. Dua paham keagamaan diatas sebetulnya tidak menjadi dominan dalam pemikiran keagamaan Sa ‘id H{awwa. Karena itu ia tidak banyak membicarakannya. Hal itu dapat dilihat dari beberapa karyanya yang kurang menyinggung dua hal tersebut secara mendalam. Adapun dari aspek tasawuf, Sa ‘id H{awwa banyak mencurahkan perhatian sehingga karya –karyanya lebih mencerminkan tasawuf dan pembinaan akhlak. a. Pemikiran Kalam Sehubungan dengan kebebasan manusia yang merupakan salah satu poin perdebatan aliran kalam dapat dilihat dalam penafsiran ayat 29 surat al-Kahfi. م ب ط حأ ا ي ظ تعأ ف ي ف ء ش م م ي ف ء ش ق م ب م قح ا ق قدا س ... Katakanlah,” Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman dan siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang –orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka. 41 Bila disebut Ahli Sunnah atau Sunni memberi pengertian bukan kelompok Sh i’ah. 42 An –Nasafi adalah pengarang tafsir Madarik at–Tanzil wa H{aqâiq at–Ta’wil yang dijadikan sebagai salah satu rujukan utama bagi Sa‘id H{awwa dalam menyusun tafsirnya. An–Nasafi dikenal pengikut As h‘ariyah dalam paham teologi dan pengikut Hanafi dalam Mazhab Fiqh. 41 Sa ‘id H{awwa menjelaskan bahwa manusia bebas memilih apa yang dikehendaki untuk dirinya, apa mau mengambil jalan menuju keselamatan atau memilih jalan menuju kehancuran. Kemudian Allah kemukakan ancaman bagi orang yang memilih kekufuran yaitu neraka dengan api yang bergejolak. 43 Penafsiran Sa ‘id H{awwa terkait ayat diatas terlihat, manusialah yang menentukan pilihan hidupnya, bebas menggunakan daya yang ada dalam dirinya. Kalau begitu manusia juga siap dengan segala akibat yang ditimbulkan seperti mendapat pahala dari pilihan baiknya dan menerima hukuman atau azab dari pilihan salah yang diambilnya. Kebebasan memilih oleh manusia muncul dari diri sendiri, bukan Tuhan yang mengarahkan. Pandangan Sa ‘id H{awwa diatas ada kesejalanan dengan paham Mu‘tazilah bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia sendiri yang bebas menentukan pilihan. Walaupun penafsiran Sa ‘id H{awwa tentang ayat tersebut cenderung ke aliran Mu ‘tazilah namun ia tidak menyebut bahwa ia mengikuti Mu‘tazilah. Artinya ia tidak mempersoalkan antara Mu ‘tazilah atau Ash‘ariyah tentang penafsiran ayat–ayat kalam. Sama halnya ketika ia menafsirkan ayat 96 as}-S{affat 37 tentang perbuatan manusia juga. عت م م ق خ ها . Dan Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat. Sa ‘id H{awwa menjelaskan, Allah sebagai pencipta Khalik mu dan pencipta perbuatan –perbuatanmu a‘malu kum, maka mengapa kamu menyembah juga selainNya? 44 Bila diperhatikan ada kesan Sa ‘id H{awwa menilai perbuatan manusia diciptakan oleh Allah seperti yang pernah dikemukakan oleh aliran Ash ‘ariyah bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh Tuhan. Al –Ibanah h. 48. Berbeda sekali 43 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 6, Cet. Ke –6, 3175. Penjelasan senada dikemukakan juga oleh Sa‘id H{awwa ketika menafsirkan ayat 2 surat at –Taghabun. Intinya;Allah maha melihat dan maha mengetahui kekufuran atau keimananmu yang muncul dari amalmu perbuatan sendiri. Lihat; Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 10, Cet. Ke –6, 5951. 44 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 8, Cet. Ke –6, 4714 42 dengan aliran QadariyahMu ‘tazilah yang memandang perbuatan manusia diwujudkan oleh daya yang ada pada mereka sendiri bukan diwujudkan oleh Tuhan.al-Ibanah. Terkait penafsiran Sa ‘id H{awwa terhadap ayat diatas yang cenderung ke paham Ash ‘ariyah, Sa‘id H{awwa tidak menyebutkan bahwa pendapatnya mengikuti Ash ‘ariyah atau mencela aliran Mu‘tazilah. Ini merupakan indikator bahwa Sa‘id H{awwa tidak tertarik memperdebatkan persoalan kalam sebagaimana yang populer terjadi diantara mutakallimin. Melalui penafsiran –penafsiran ayat kalam diatas terlihat Sa ‘id H{awwa tidak menegaskan bahwa ia penganut salah satu aliran kalam. Memperhatikan rujukan tafsirnya yang sering mengutip an –Nasafi seorang pengikut Ash ‘ariyah bisa digambarkan Sa‘id H{awwa bisa menerima paham Ash‘ariyah walaupun ia tidak menyebut aliran tersebut dalam menafsirkan ayat. Indikator lain yang mendukung pernyataan ini dapat ditelusuri penafsiran Sa ‘id H{awwa terhadap surat al-Qiyamah 75:22-23. ض م ي ج . ظ ب ى . Wajah –wajah orang mukmin pada hari itu berseri–seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. Wajah orang mukmin senang karena memperoleh nikmat yaitu melihat Tuhan dengan mata kepala sendiri. Ia memperkuat pendapatnya dengan mengutip tafsir Ibnu Kathir ketika menafsirkan naz}irah, yaitu tara hu ‘iyanan – يع ا ت melihat dengan mata sendiri. Disamping itu Ibnu Kathir mengungkapkan sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari mengatakan Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu dengan mata sendiri. 45 Penafsiran Sa ‘id H{awwa tentang ayat melihat Tuhan sejalan dengan yang dipegang oleh paham Ash ‘ariyah bahwa setiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat, Tuhan berwujud karena itu dapat dilihat. Ibanah. h.76. Pandangan Sa ‘id H{awwa dalam hal ini sangat berbeda dengan yang dipegang oleh aliran Mu ‘tazilah yang mengatakan Tuhan tidak dapat dilihat di 45 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6268 dan 6276. 43 akhirat. Surat al –Qiyamah diatas mengenai kata naz}irah menurut Mu‘tazilah bermakna menunggu. Jadi orang mukmin menunggu pahala dari Tuhannya. Alasan lain adalah Tuhan tidak mengambil tempat karena itu tidak bisa dilihat sebab yang dapat dilihat hanyalah sesuatu yang mengambil tempat. Pendapat Mutazilah ini sejalan dengan paham mereka yang meniadakan sifat tajassum antropomorfisme pada Tuhan. Setentangan sifat Tuhan –berbeda dengan pandangan diluar Mu‘tazilah– bagi mereka, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan sedangkan pengetahuan itu adalah zatNya sendiri. 46 Walaupun berbeda pemahaman dengan Mu ‘tazilah, Sa‘id H{awwa dalam tafsirnya tidak menyebut kecenderungan paham Mu ‘tazilah atau Ash‘ariyah yang menjadi dasar pemikirannya. Namun demikian dari penafsirannya terkait ayat diatas membuktikan secara implisit Sa ‘id H{awwa bukanlah pengikut aliran Mu‘tazilah. Penafsirannya menyangkut ayat –ayat yang bernuansa kalam tidak pula secara tegas ia mengikuti pandangan Ash ‘ariyah . Artinya Sa‘id H{awwa tidak terikat dengan aliran –aliran kalam yang berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa Sa‘id H{awwa tidak memberikan perhatian besar kepada pemikiran kalam dalam tafsirnya. b. Pemikiran Fiqh Berkenaan dengan pemikiran fiqh Sa ‘id H{awwa dalam tafsirnya seperti dijelaskan diawal bahwa ia tidak terlalu mempersoalkan perbedaan mazhab baik hukum atau teologikalam. Terkait ayat hukum misalnya tentang ayat bersuci, QS. an –Nisa’4:43. ... ء م ا جت م ف ء س ا متسما أ طئ غ ا م م م حأ ء ج أ فس ى ع أ ىض م مت ك يطا يعص ا يتف ... 46 Bagi Ash ‘ariyah sifat Tuhan bukanlah Tuhan tapi tidak pula lain dari Tuhan. Sifat qudrat, iradat, sama’, bas}ar dan seterusnya azali dan berdiri pada zat Allah. Senada dengan ini, menurut al– Ghazali sifat Tuhan tidak sama dengan esensi Tuhan , lain dari esensi Tuhan tapi berwujud dalam esensi Tuhan. Lihat; Hasan Zaeni, Tafsir tematik ayat –ayat kalam–tafsir al-Maraghi Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997,144 dan 155. Lihat juga;Machasin, al-Qad}i Abdul Jabbar: Mutashabih Alquran –Dalih Rasionalitas Alquran Yogyakarta: LkiS, 2000, Cet. Ke–1, 143–144. 44 Dan jika kamu sakit, keadaan musafir atau selesai buang hajat atau lâmastumun nisa ’, kemudian kamu tidak menjumpai air maka bertayammumlah dengan tanah yang baik. Menurut penafsiran Sa ‘id H{awwa kata lamastumun nisa’ menunjukkan arti bersetubuh. Ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan para mufasir, sebagaimana Ibnu Kathir juga berpendapat demikian. Mengenai tafsiran tentang tanah yang baik, disini Sa ‘id H{awwa menjelaskan pendapat dari berbagai ulama mazhab seperti menurut Imam Malik, S{a ‘idan termasuk tanah padat, pasir, pohon, batu, tumbuhan nabat artinya secara umum benda yang berada dimuka bumi. Hampir sama dengan itu pendapat mazhab Hanifah, termasuk jenis tanah seperti pasir, kapur tanah kapur. Sedangkan menurut mazhab Syafi ‘i dan Hanbali yang dimaksud s}a ‘idan adalah tanah saja. 47 Disini Sa ‘id H{awwa tidak menegaskan, Ia mengikuti salah satu pendapat tersebut. Namun yang jelas ia terbuka dalam masalah perbedaan mazhab dan tidak terlalu mempersoalkan perbedaan – perbedaan dalam pemikiran keislaman baik yang terlihat juga ketika menyikapi persoalan kalam. Sa ‘id H{awwa tampaknya mengemukakan dalam penafsirannya pandangan –pandangan yang menurutnya sesuai dengan pemikirannya, tidak harus terikat dengan salah satu mazhab pemikiran apalagi fanatik dengan kelompok tertentu. Melihat cara Sa ‘id H{awwa mengungkapkan pendapat dari berbagai aliran, seperti persoalan kalam Sa ‘id H{awwa tidak menyebut nama aliran kalam ketika menafsirkan ayat yang terkait masalah tersebut. Sementara itu menyangkut persoalan fiqh, dikemukakan berbagai pandangan serta nama mazhabnya. Dengan demikian bertambah jelas bahwa Sa ‘id H{awwa tidak mau berpolemik masalah perbedaan mazhab. Apalagi ia sering mengemukakan perbedaan pandangan mazhab tersebut dengan menyandarkan kepada berbagai kitab tafsir sebagai rujukan utama yaitu Ibnu Kathir dan an –Nasafi. Hal ini menunjukkan ia sepaham dengan aliran yang dianut 47 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6, 1076 dan 8 45 oleh kedua mufasir tersebut. Suatu pendapat yang dikemukakan oleh seseorang dalam uraiannya dan ia tidak ada persoalan berarti ia setuju dengan pendapat tersebut. 48 Contoh lain, menyangkut persoalan haid sebagaimana tercantum dalam surat al-Baqarah 2;222. ... ه تأف ّ طت ا ف طي ىتح ه ا ب قتا ... Janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka itu suci, bila mereka telah suci maka campurilah … Ayat diatas berkaitan dengan waktu suci, ditafsirkan oleh Sa ‘id H{awwa bahwa bolehnya mencampuri isteri yaitu bila selesainya haid dan telah mandi wajib atau bertayammum bila ada uzur. Disamping itu, ia juga mengemukakan pendapat Ibnu Kathir dimana ulama sepakat kecuali Abu Hanifah bahwa wanita yang sudah selesai haid tidak halal dicampuri sebelum mensucikan diri dengan mandi. Adapun menurut Abu Hanifah bila wanita telah selesai haid sudah boleh dicampuri. Bagi wanita yang masa haidnya 10 hari bila berhenti haidnya kurang dari 10 hari diwajibkan mandi sebelum bercampur. 49 Berdasarkan keterangan Sa ‘id H{awwa terkait ayat tersebut dalam tafsirnya terlihat berbagai pendapat di kemukakannya dan ia tidak secara tegas menyatakan ikut pada mazhab tertentu. Kalau diperhatikan penafsirannya mengenai kata yat}-hurna ia sependapat dengan Ibnu Kathir. Pada penjelasan berikutnya, ditambahkan oleh Sa ‘id H{awwa untuk membuktikan wanita betul –betul selesai haidnya yaitu dengan cara memasukkan kapas kedalam farajnya. Jika kapas tersebut dikeluarkan dari faraj masih bersih tanpa ada noda berarti suci. 50 Penjelasan Sa ‘id H{awwa ini mengulas dari pandangan Abu 48 Sama halnya dengan an –Nasafi ketika menafsirkan ayat–ayat hukum dalam tafsirnya, ia juga tidak fanatik dalam menafsirkan ayat sesuai mazhabnya walaupun ia dikenal bermazhab Hanafi. Hal ini berpengaruh pula pada Sa’id H{awwa yang dalam tafsirnya tidak tampak fanatik kepada suatu mazhab. 49 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6, 516. Lihat juga keterangan M. Ali as}–S{abuni, Tafsir Ayat al–Ah}kam, juz I, 301. As} –S{abuni menyatakan pendapat Abu Hanifah, yang dimaksud dengan suci berhentinya darah haid keluar maka bagi suami boleh mencampuri isteri sebelum mandi. 50 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6, 517 46 Hanifah tentang berhentinya haid sebagai tanda suci. Disini sangat nyata bahwa Sa ‘id H{awwa tidak fanatik kepada mazhab fiqh tertentu walaupun dari penafsirannya boleh dikatakan cenderung ke mazhab Hanafi. Bila dikatakan Sa ‘id H{awwa terpengaruh oleh mazhab Hanafi sebagaimana terlihat dalam tafsirnya sangat mungkin terjadi karena an –Nasafi sebagai salah satu rujukan utama dalam tafsirnya yang merupakan pengikut mazhab Hanafi dan berpaham teologi Ash ‘ariyah. Dalam masalah kalam dan fiqh, Sa ‘id H{awwa bersikap netral dengan tidak menegaskan kepada aliran mana ia memihak. Dalam masalah tasawuf, apakah Sa ‘id H{awwa memiliki sikap yang sama, tentu harus dikaji dengan serius dan komprehensif. Sesuai dengan kajian pokok disertasi ini ingin melihat kecenderungan corak tafsir Sa ‘id H{awwa dalam penafsiran ayat yang bernuansa tasawuf. Sebab penafsiran sufistik juga mempunyai aliran pemikiran tafsir sufi atau yang dikenal corak tafsir sufi.

2. Karya – karyanya