Tafsir tentang Ayat-Ayat Sabar

Penafsiran Ibnu Arabi ini terkait h}arthud dunya memiliki makna yang sejalan dengan penjelasan Sa ‘id H{awwa bahwa rezki yang diterimanya merupakan bagiannya; م ا ه ه سق ا هق هيغت ي ي ي . 127 Bagian yang diperolehnya di dunia sebagai pilihan h}arthud dunyanya merupakan curahan dari sifat Rahman dari Allah yang menimpa seluruh makhluk. Kesamaan lain terkait penafsiran tentang h}arthul akhirah bahwa orang yang memilih jalan tersebut tidak saja mendapat imbalan akhirat tapi meraih bagian di dunia dan di akhirat, seperti terlihat uraian Ibnu Arabi dan Sa ‘id H{awwa diatas. Orang yang menginginkan keuntungan akhirat merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan sebagaimana tercermin dalam penafsiran Sa‘id H{awwa dan Ibnu Arabi. Dari penafsiran –penafsiran tentang ayat 20 diatas, ditemukan kesamaan pandangan bahwa orang yang menghendaki visi amalnya h}arthul akhirah akan memperoleh bagian keduanya, tidak saja bagian akhirat tapi juga mendapatkan bagian di dunia. Artinya amal orientasi akhirat yang dilakukan sudah dapat dirasakan atau mempunyai efek di dunia ini apalagi nanti di akhirat. Pandangan ini sesuai yang dikemukakan oleh at-Tustari, Sa ‘id H{awwa dan Ibnu Arabi. Adapun keistimewaan lain yang dirasakan menurut at-Tustari adalah bagian di akhirat mendapat nikmat lain yaitu melihat Tuhan, sedangkan bagi Sa ‘id H{awwa keistimewaan itu adalah mendapat taufik dari Allah. Adapun Ibnu Arabi mengistilahkan dengan hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan bagi orang yang zuhud tersebut. Inilah kesempurnaan yang diterima oleh mereka yang menghendaki h}arthul akhirah pada ayat diatas. Dari bentuk penafsiran demikian, dipahami bahwa penafsiran Sa ‘id H{awwa, at-Tustari dan Ibnu Arabi, terlihat pada pendekatan makna zahir dan ishari dalam penafsiran mereka. Adanya kesamaan pandangan tasawuf demikian, maka hal itu memperkuat akan penafsiran sufistik Sa‘id H{awwa.

C. Tafsir tentang Ayat-Ayat Sabar

127 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6, 5080 Dalam kitab Ta’rifat dijelaskan bahwa sabar adalah tidak mengeluh atau mengadu bila ditimpa sakit melainkan menyerahkan kepada Allah, diberikan contoh kasus yang dialami nabi Ayyub, ي حا ا مح أ ت أ ض ا ى سم ى هب د يأ Seseorang hamba bila berdoa kepada Allah untuk menghilangkan sakit yang diderita, hal itu tidaklah merusak akan arti kesabaran. Rasul bersabda, “ Siapa yang memperoleh kebaikan hendaklah memuji Allah, bagi yang tidak memperoleh jangan mencela kecuali pada diri sendiri. 128 Sahl pernah menyatakan bahwa sabar yaitu menanti datangnya kelapangan dari Allah Allah melepaskan duka cita. Sabar adalah pengabdian paling baik dan paling tinggi menghadapi sesuatu. 129 Sementara itu Raghib As}fahani mengatakan sabar ialah menahan diri dari hal –hal yang sekalipun dibenarkan secara akal dan shara ’. 130 Artinya dapat menahan diri sekalipun yang dikehendaki itu tidak menyalahi secara akal dan aturan sh ara’. Misal tidak melakukan belanja yang melebihi keperluan walau dengan uang sendiri. Apalagi jika mendapat musibah tidak mengeluh dan gelisah. Dengan demikian sabar mempunyai 2 cabang yaitu menahan diri dari memperturutkan keinginan walaupun dalam tahap wajar kedua menahan diri dari derita musibah tanpa mengeluh. Mengenai sabar sebagai salah satu ajaran tasawuf banyak dijelaskan aspeknya dalam Alquran. Berikut ini akan diuraikan penafsiran Sa ‘id H{awwa terkait dengan ayat –ayat yang membicarakan tentang sabar. 1. Ayat 45 surat al–Baqarah 2 Dalam ayat ke 45 surat al –Baqarah 2, Allah mengemukakan sabar yang diiringi dengan s}alat, digunakan sebagai media memohon pertolongan kepada Allah. 128 Syarif Ali bin Muhammad al –Jarjani, Kitab Ta’rifat Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 19881408 H, Cet. Ke –3, 131 129 Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 107. Lihat juga; Tustari, Sahl At–Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al –Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke–I, 204 130 Raghib Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al – Quran, Beirut : Darul Kutub Ilmiah, 2004 1425 H, h. 306 Sa‘id H{awwa menafsirkan makna ayat diatas; ها مأب يق ا ى ع ئا ا ءا ا ى ع ها ى م جئا ح ى ع اص ا ص ب ا يعتسا ه ك . 132 Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan s}alat terhadap segala kebutuhanmu, dalam menghadapi cobaan,bencana dan dalam melaksanakan semua perintah Allah. Untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan ini senantiasalah untuk bermohon kepada Allah supaya apa yang diharapkan dapat diwujudkan sesuai kehendak Allah. Dengan sikap sabar dalam bermohon kepada Allah, diri merasakan dekat denganNya dan hati memiliki ketergantungan kepada Allah. Disebutkan oleh al-Jailani mengenai sabar karena Allah yaitu hati merasakan cinta dan dekat dengan Allah. 133 Melihat m akna yang dikemukakan Sa‘id Hawwa selintas terlihat biasa namun memiliki makna sufistik yang dalam bahwa sabar dalam melaksanakan perintah Allah menjadikan hamba semakin dekat denganNya. Sa‘id Hawwa mendorong agar manusia dalam beribadah selalu memohon pertolongan Allah untuk dapat melaksanakan semua perintahNya. Selanjutnya ditafsirkan oleh Sa‘id H{awwa tentang makna puasa; ص ا فص ص ا اس ا هي ع ه ق ص ب ه ص ا سف . 134 Makna sabar pada ayat tersebut adalah puasa sebagaimana Nabi saw pernah mengatakan bahwa puasa itu setengah dari kesabaran. 131 Artinya; Mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan s}alat, sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang yang khushu’. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 132 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6, 139 133 Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy. Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Cet.ke-2,157 134 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6, 139 Berdasarkan penafsiran diatas yang menjadikan batin manusia terasa suci dan dekat dengan Allah yaitu puasa. 135 Pengertian sabar sebagai puasa juga dikemukakan oleh Tustari dalam tafsirnya. 136 Puasa yang benar, bertujuan untuk membentuk rohani yang bersih. Dengan menjalankan puasa yang sesungguhnya mengharap rid}a Allah maka kesucian hati semakin meningkat. Dapat dipahami bahwa puasa merupakan sarana dalam memohon pertolongan Allah. Makna dasar yang terkandung dalam puasa adalah menciptakan kesabaran jiwa, sedangkan tujuan hakiki puasa untuk merasakan hubungan yang dekat dengan Allah sebagai ciri orang bertaqwa. 137 Dengan menjalankan puasa yang benar mengetahui rahasianya maka seseorang terlatih untuk selalu merasakan kehadiran Allah dimana saja berada. Makna inilah yang dikandung dalam istilah taqwa. 138 Bila hati suci maka anggota tubuh menjadi suci. Hati yang bersih bagian dari kebenaran rahasia antara manusia dan Tuhan. Rahasia itu ibarat burung dan hati menjadi sangkarnya, demikian dijelaskan oleh al-Jailani. 139 Rahasia antara Tuhan dan manusia menurut pandangan al-Jailani diatas, terdapat dalam hati yang suci. Orang yang memiliki hati bersih akan memperoleh pengetahuan tentang rahasia ketuhanan al-fath}u ar-rabbaniy. Untuk merasakan hubungan yang langsung atau wusul kepada Allah dapat dirasakan dengan kesucian hati. Artinya kesucian inilah yang dapat mengantar jiwa sampai menuju Allah. 140 135 Hal yang sama tentang makna sabar dan salat juga dikemukakan oleh al-Alusi. Lihat; Al Alusi, Ruh} al- Ma‘ani fi Tafsir al–Quran al-‘Az}im wa as-Sab’i al-Mathani Beirut: Darul Kutub al –Ilmiyah, 14222001, jilid 1, 352. 136 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 31 137 Menjadi hamba bertaqwa merupakan tujuan dari melaksanakan ibadah puasa, lihat; QS. Al- Baqarah : 183 138 ى عت ها ع ع ي م ك جم menjauhkan segala sesuatu yang dapat menjauhkan engkau dari Allah. Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 61 139 Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Cet.ke-2, 156, Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah 140 اسإا ىف يسف ا ي ق ا حص ى عأا ظ ا ه هت ث عب يأ ا ها ى ص ا ا ه.wus}ul kepada Allah yang kami perhatikan sebagian buahnya keistimewaannya ialah kenyataan rahasia yang Puasa dengan demikian menjadikan rohani suci kemudian bila rohani suci jalan untuk berkomunikasi langsung dengan Allah dapat dirasakan. S{alat merupakan cara untuk merasakan hubungan langsung dengan Allah. Rohani yang suci dan dapat merasakan hubungan langsung dengan Allah, itulah puncak yang dituju dalam kehidupan sufi. 141 Hubungan yang dialami tidak dijelaskan dalam bentuk melihat Tuhan karena hal itu hanya terjadi di akhirat. 142 S{alat yang sempurna menjadikan hati seseorang ikhlas kepada Allah terhindar dari waswas bisikan setan, pikiran kotor yang terlintas dalam hati dan merasakan kehadiran Tuhan disisinya. 143 Puasa harus melahirkan kesabaran sebagai prasyarat dalam bermunajat sedangkan s}alat merupakan wujud pelaksanaannya. S}alat sebagai media komunikasi dengan Allah sangat tepat digunakan dalam bermohon kepada Allah. 144 Puasa membentuk rohani suci merupakan jalan untuk mencapai ma ‘rifah yang diwujudkan dalam s}alat. Oleh karena itu sabar dan shalat sangat berkaitan menuju hubungan langsung antara hamba dengan Tuhan. Dari dua penafsiran diatas, disamping memaknai sabar dengan puasa mereka juga memandang bahwa puasa merupakan tangga awal untuk menuju berhubungan langsung dengan Allah. Pada dasarnya penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari memiliki satu pandangan, seperti disebutkan diatas juga tafsir Tustari banyak kesamaan pemikiran dengan tafsir Sa ‘id H{awwa. Mengenai sabar dalam ayat diatas menurut tafsir Ibnu Arabi berarti sabar terhadap hal yang tidak disukai. Dijelaskan bahwa sabar dalam penafsirannya ini tertinggi yang dirasakan oleh hati dan jiwa yang suci. Sa‘id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke –9, 154 141 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6,139 142 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6268 dan 6276. 143 Rasulullah bila ditimpa suatu musibah beliau mencari perlindungan dengan shalat. Dalam ayat ini shalat dapat juga ditafsirkan dengan doa sebagai makna dasar dari shalat. Lihat; Sa‘id H{awwa, al –Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke–6,139 144 S{alat adalah mi’raj al–muslimin. menuju ke maqam rid}a, 145 Sabar pada ayat tersebut tidak diberikan makna lain oleh Ibnu Arabi namun ia menjelaskan bahwa bagi perjalanan suluk harus melewati maqam sabar untuk menuju maqam rid}a. Sabar dan rid}a dua hal yang tidak terpisah artinya bagi pelaku tasawuf bila berada dalam maqam sabar lanjutannya menumbuhkan didalamnya sifat rid}a. Pandangan Ibnu Arabi tentang ayat ini menyatakan bahwa sabar adalah tangga untuk menuju rid}a. Sementara itu Tustari dan Sa ‘id H{awwa menafsirkan sabar sebagai puasa dan menjadi tangga menuju ma ‘rifah bagi Tustari, sedangkan Sa ‘id H{awwa puasa landasan menyucikan jiwa menuju hubungan langsung dengan Allah, yang terwujud dalam s}alat. Sa ‘id H{awwa menyatakan kalau melihat Tuhan dengan mata kepala hanya terjadi di akhirat. 146 Pandangan tasawuf Sa ‘id H{awwa ini mendorong kepada amal yang dapat dirasakan pengaruhnya didunia dan realistis dengan menghindari hal abstrak. Oleh karena itu penafsiran Sa ‘id H{awwa lebih memperhatikan makna zahir dalam mengungkap makna ishari. 2. Ayat 18 surat Yusuf 12 Pada ayat lain diterangkan tentang kesabaran yang dialami oleh nabi Ya‘kub terkait kasus yang menimpa nabi Yusuf seperti terdapat dalam surat Yusuf 12 ayat 18. Sa‘id H{awwa menjelaskan; 145 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke –2, 51 146 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6268 dan 6276. 147 Artinya; Mereka datang membawa baju gamisnya yang berlumuran dengan darah palsu. Ya‘kub berkata, “ Sebenarnya dirimulah yang memandang baik perbuatan yang buruk itu, maka kesabaran yang baik itulah kesabaranku, dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kamu ceritakan”. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H أ ي ج ص مأف : جأ ي ج صف , مأا ا ه ى ع اي ج ا ص صأس ها هج في ىتح هفط ه عب . 148 Maka kesabaran yang baik maksudnya kesabaran yang paling tinggi tingkat kesabarannya. Aku benar-benar akan sabar dengan sebaik-baiknya terhadap urusan ini sehingga Allah melapangkan dengan pertolongan dan kelembutannya. Demikian penafsiran Sa‘id Hawwa memahami ayat tentang kesabaran nabi Ya‘kub, bahwa ia menunjukkan kesabaran yang sesungguhnya menghadapi tipuan saudara-saudara Yusuf. Kesabaran nabi Ya’kub yang dinyatakan dalam ayat diatas merupakan kesabaran yang teguh. Ia benar –benar menunjukkan kesabaran seraya mengharapkan pertolongan Allah sehingga Allah melepaskannya dari kesedihan. Berkat kesabaran nabi Ya‘kub, kemudian Allah memberitahukan tentang peristiwa yang menimpa Yusuf yang diperdayakan oleh saudaranya. Ini bentuk pertolongan Allah yang dimohonkan nabi Ya‘kub dalam akhir ayat tersebut yang membuktikan kebohongan perkataan para saudara Yusuf. 149 Selanjutnya dijelaskan oleh Sa ‘id H{awwa tentang makna sabar tersebut; ي ج ا ص ا هفط ه عب ها في ىتح ق ا ى هيف شا م ه . 150 Sabar yang sangat baik yaitu dalam artian tidak mengadukan persoalan kepada yang lain tapi menyandarkan langsung kepada Allah sehingga Allah memberi kelapangan. Dalam sabar ini mengandung tawakal dan rid}a. 151 Pandangan Sa‘id Hawwa tentang makna sabar diatas merupakan salah satu pengertian yang 148 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke –6,2638. Dikemukakan juga oleh al-Alusi; ي ج ص مأف , ي ج ص صف . Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq: Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 6, 530. Setelah itu, al-alusi menguraikan analisis kebahasaan dengan rinci. 149 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke –6,2638 150 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke –6,2638. Makna ini terdapat juga dalam tafsir al-Alusi. Lihat; Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al- ‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq: Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 6, 530. 151 Sejalan dengan yang dikemukakan tafsir Ibnu Arabi bahwa dalam sabar pengantar menuju rid}a. Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke –2, 51 dikemukakan oleh para sufi. 152 Sabar demikian mendorong seseorang untuk senantiasa merasakan lebih dekat dengan Tuhan. Kesabaran menyangkut nabi Y a’kub berkaitan dengan objek yang dihadapi yaitu persoalan yang menimpanya sesuatu yang tidak baik musibah sayyi ’ah يصم يس . Musibah yang menimpanya dijadikan sebagai jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah yaitu dengan memohon langsung pertolongan hanya kepada Allah. Sikap nabi Ya’kub ini menunjukkan keterkaitan antara sabar dan datangnya pertolongan Allah. 153 Dalam ayat juga digambarkan terlebih dahulu kondisi tingkat kesabaran nabi Ya’kub kemudian dikemukakan sikapnya yang semata- mata memohon pertolongan Allah. Sabar dengan tidak mengadukan pada yang lain merupakan wujud tauhid yang sangat murni. Contoh nabi Ya’kub diatas menentang cara yang dilakukan bila mengarah pada kemusyrikan. Biasa manusia bila menghadapi suatu musibah seperti kehilangan, kebangkrutan, sakit dan sebagainya sering lupa diri sehingga minta petunjuk pada orang “sakti”, mengorbankan akidah atau menempuh cara yang bertentangan dengan akidah Islam. Mengatasi persoalan yang dihadapi dengan cara seperti demikian sangat dilarang dalam Islam, sebab dalam prakteknya mengandung rasa putus asa manusia dengan Tuhan. Melalui ayatnya Allah mencela perbuatan demikian. Artinya; Ia berkata,” Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya kecuali orang yang sesat. al –H{ijr 15: 56 154 Kehilangan asa dari manusia terhadap Tuhan akan membuat hubungan dengan Tuhan bertambah jauh, semakin jauh hubungan dengan Tuhan mengakibatkan hati menjadi rusak tidak suci. Keadaan seperti inilah yang dicela Tuhan, karena Tuhan 152 Lihat; Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 107. 153 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke –6,2638. 154 Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al- Munawwarah, 1415 H menjadi dikesampingkan. Mengapa manusia dapat menjauh dari Tuhan padahal Tuhan begitu dekat. ى عد ا ىعا ا عد يجأ ي ق ى ف ى ع د ع ك أس ا , Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku maka sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepadaKu. 155 Persoalannya adalah bagaimana manusia dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan. Oleh karena itu, dengan memahami rahasia kesabaran secara hakiki akan memunculkan jiwa yang suci dan merasakan berada dekat disisiNya. Disinilah makna sufistik yang dibangun oleh sifat kesabaran yaitu terciptanya hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan. Sabar dalam makna ayat diatas termasuk yang dimaksud oleh ahli hakikat, prilaku dan akhlak mereka tertanam kesabaran. Karena mereka melihat sabar bagian dari tanda kemanusiaan dan sebagai salah satu sifat manusia. 156 Adapun at-Tustari menafsirkan sabar dalam surat Yusuf ayat 18 yaitu ص ا عم ض ا sabar mengandung rid}a. Tandanya adalah tidak mengeluh menghadapi musibah apa saja. At-Tustari ditanya, dengan bagaimana sabar yang paling baik itu diperoleh jawabnya yaitu dengan menyadari bahwa sesungguhnya Allah menyertaimu. 157 Artinya seseorang harus dapat menyadari dan merasakan bahwa Allah sangat dekat denganNya. Dalam sabar tersebut hati senang menerima dan menghadapi segala sesuatu yang menimpa. Sabar dan rid}a merupakan dua hal yang menyatu dan saling mengisi. Dalam sabar menurut penafsiran at-Tustari mengandung rid}a, karena itu rid}a tidak bisa dipisahkan dalam sabar. Melihat makna sabar dalam ayat ini sebagaimana dijelaskan oleh at-Tustari dalam tafsirnya mengandung pemahaman y ang sama dengan yang dinyatakan Sa‘id Hawwa. Pandangan Sa‘id Hawwa diatas berdasarkan penafsiran al-Alusi memiliki 155 Alquran surat al-Baqarah: 186, Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al- Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 156 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke- 1,187 157 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I,81 makna yang sama. Pendapat yang dikemukakan Sa‘id H{awwa nya tidak bisa lepas dari tafsir yang dijadikan rujukan. Makna ishari yang dikemukakannya masih berlandaskan pada makna zahir ayat. Penafsiran mereka pada intinya memberikan kesadaran kepada manusia agar selalu merasakan kedekatan dengan Tuhan. Sabar yang sesungguhnya harus dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Pengertian yang disampaikan ini sesuai dengan ajaran agama dan mudah memahami dan melaksanakannya. Kemudian Tustari mengatakan bahwa ia heran orang yang tidak memiliki sifat sabar sebab bagaimana ada orang yang tidak bisa bersabar padahal Allah selalu bersama orang yang sabar. 158 Maknanya bahwa Allah itu sangat dekat dengan hambanya yang bisa sabar, mengapa harus mengorbankan tauhid dengan meminta pertolongan hal gaib atau perkara yang gaib kepada sesama makhluk. Ini menunjukkan ketidaksabaran menghadapi musibah. Ditegaskan oleh al-Jailani, tidak akan memberikan manfaat pengaduanmu kepada makhluk dan juga tidak mendatangkan bahaya bila kamu menyandarkan kepadanya. 159 Allah sangat mencela orang seperti demikian yang ditegaskan dalam surat fus}s}ilat 41 ayat 49; Artinya; Manusia tidak jemu memohon kebaikan dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan. 160 3. Ayat 5 surat al –Ma‘arij 70 Berkaitan dengan kedudukan sabar ini ditemukan ayat yang diawali dengan kalimat perintah seperti terdapat dalam surat al –Ma‘arij 70 ayat 5. Dari struktur 158 ح ا صي م فيك ا صي م م ت جع , قي ع ا : ي ب ص ا عم ها . ق ا : 153 . Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke– I, 81 159 م ي ع تعا ا ك ضي ا ك عف ي ا ق ا ى ا ش كعف ي شي ه ئ صم ق ا ى ي م ي . Lihat; Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fath}u ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}maniy, Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Cet.ke-2, 111-112. 160 Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al- Munawwarah, 1415 H ayat, sabar dalam hal ini merupakan sikap nabi Muhammad ketika menghadapi pertanyaan seseorang tentang mendatangkan azab untuk orang kafir. اي ج ا ص ص ف 161 أ : ش ا ج اب . 162 Dinyatakan oleh Sa‘id H{awwa dalam tafsirnya; Secara zahirnya ayat ini mengajak bersabar dan jangan terburu-buru, seperti dijelaskan al-Alusi. Makna ayat ini sekaligus memberi pengajaran kepada nabi Muhammad dalam bersabar. 163 Sa ‘id H{awwa menafsirkan ayat ini dengan sabar tanpa mengeluh ataupun mengadu shakwa. 164 Sabar dalam ayat ini redaksinya hampir sama dengan ayat yang dibahas pada ayat diatas. Makna sufistik yang dikemukakan Sa‘id Hawwa memiliki semangat yang sama dengan makna ayat tersebut. Bila dicermati lebih dalam, makna tidak mengeluh yang dikemukakan Sa‘id Hawwa menunjukkan sikap rid}a. Seperti dijelaskan terdahulu rid}a dan sabar dalam prakteknya sulit dipisahkan dalam tinjauan tasawuf. Bahkan at-Tustari menegaskan seperti demikian dalam menafsirkan ayat 18 surat Yusuf yang diatas. 165 Perintah sabar dalam ayat ini merupakan respon yang yang harus ditunjukkan oleh nabi Muhammad terkait dengan orang yang meminta disegerakan azab. Karena orang kafir memandang azab itu mustahil munculnya. 166 Demikian Sa ‘id H{awwa memahami ayat diatas dengan mengutip Ibnu Kathir. 161 Artinya; Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 162 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6133. Makna dasarnya terdapat dalam tafsir al-Alusi yang dikembangkan oleh Sa‘id H{awwa. 163 جعتست ا ص ف Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as- Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq: Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 6, 530. 164 Makna ini seperti diungkapkan al-Jarjani. Lihat; Syarif Ali bin Muhammad al –Jarjani, Kitab Ta’rifat Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 19881408 H, Cet. Ke–3, 131. Lihat juga; Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fath}u ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}maniy, Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Cet.ke-2, 111. 165 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 81 166 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6133 Sementara itu Tustari juga menyatakan dalam tafsirnya bahwa sabar adalah rid}a tanpa mengadukan ش يغ م ض sehingga tidak menjadi resah. Menurut Tustari, seseorang mengadu dalam bersabar berarti itu suatu musibah kecelakaan baginya dalam pandangan Allah. Seseorang hamba bila masih mengadu, mengeluh maka ia masih terikat dengan prilaku dirinya kehendak nafsu yang mendorongnya berpaling pada kekuatan lain dari pada tetap dalam kesabaran. 167 Sabar yang dikehendaki ayat menurut Tustari adalah sifat sabar yang konsisten tidak dicemari oleh keluhan yang menyebabkan hilangnya hakekat kesabaran. Sesuai dengan penjelasannya tentang ayat 18 diatas, dalam sabar mengandung rid}a sebab sabar demikianlah yang harus melekat pada diri dalam rangka mensucikan rohani. Mengenai sabar dalam ayat diatas, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa menurut orang kafir azab yang dijanjikan kepadanya dianggap masih jauh bahkan bisa jadi mustahil sebab pada mereka ada hijab. 168 Ibnu Arabi dalam menafsirkan ayat ini menyorot makna sabar dengan menjelaskan hal yang melatarbelakangi bersikap sabar. Dalam penjelasannya, ia mengaitkan uraiannya dengan kandungan ayat pertama dan kedua bahwa sabar dalam hal ini terkait dengan terealisasinya azab bagi orang kafir. Artinya disini ia tidak eksplisit menjelaskan makna sabar. Dalam pandangan Ibnu Arabi ayat tersebut boleh jadi tidak mengandung makna sufistik. Penafsiran sufistik yang dikemukakan Sa‘id H{awwa tentang sabar diatas saling mendukung. Tampak dari penafsirannya sangat berpegang dengan zahir ayat dan sejalan dengan pengertian para sufi, seperti dikemukakan terdahulu. Makna dari penafsiran S a‘id Hawwa sejalan dengan yang dilakukan para sufi atau dikenal dengan tasawuf praktis sehingga penafsiran yang selaras dengan amaliah tersebut identik dikenal dengan tafsir sufi ishari. Penafsiran Sa ‘id H{awwa tentang sabar pada ayat tersebut mempunyai makna yang sama dengan yang dikemukakan Tustari yang berpangkal pada tidak mengeluh 167 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 177 168 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 348 dan mengadu dalam menghadapi musibah sebab bila mengadu itu justeru menjadi musibah baru. Makna tiada mengadu atau mengeluh tersebut mengandung sikap rid}a. Dalam mengungkap makna ishari sebagaimana terlihat dalam beberapa penafsirannya, seperti Tustari, begitu juga Sa‘id H{awwa tidak secara terang menyebutkan batas antara makna ishari dan makna zahir. Penafsiran sufistik yang dikemukakan hanya diketahui dari kandungan maknanya. Penafsiran sufistik dapat dikenali dengan membandingkan dengan penafsiran sufi lain atau pendapat para sufi. 4. Ayat 3 surat al –‘As}r Pada ayat lain ditemukan petunjuk untuk bersabar, seperti yang terdapat dalam surat al –‘As}r ayat 3. ا ا ع ا ما ي ا ا ص ص با صا ت قح با صا ت ح ا . 169 Dengan mengutip tafsir an- Nasafi, makna sabar dikemukakan Sa‘id Hawwa; ىص ع ا ع أ , د ع ها هب ي م ى ع ع ط ا ى ع . 170 Artinya; Sabar dari kemaksiatan, dalam ketaatan dan dalam menghadapi ujian Allah. Sebagaimana dinyatakan diatas bahwa sabar itu ada tiga kategorinya; sabar dalam ketaatan kepada Allah seperti melaksanakan ibadah fard}u dan sunat serta berzikir. Sabar dalam menghadapi kemaksiatan yaitu tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan dosa dan sabar terhadap ujian Allah yaitu tidak mengeluh. Sabar dalam menghadapi ujian termasuk didalamnya ketika mengalami rintangan dalam menegakkan amar ma‘ruf nahi mungkar. 171 Selanjutnya dijelaskan makna sabar lebih dalam oleh Sa‘id H{awwa; 169 Artinya; Kecuali orang yang beriman dan beramal saleh dan saling memberi nasehat dengan kebenaran serta kesabaran. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al- Madinah al-Munawwarah, 1415 H 170 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6669 171 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6671 ط ا حج ت ى ع ص ا سف ا د ج ى ع ص ا . 172 Sabar disini sangat halus yaitu sabar dalam jihad menghadapi nafsu 173 dan sabar dalam suka cita yang tidak benar. Sa‘id Hawwa menekankan bahwa menghadapi hawa nafsu bagian dari jihad. Orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu berarti berhasil dalam kesabaran berjihad. Dalam istilah at-Tustari pokok dari kesabaran adalah mujahadah nafsu dalam menjalankan ketaatan. 174 Salah satu contoh jihad mengendalikan hawa nafsu adalah dengan berpuasa. Karena itu dalam penafsiran ayat tentang sabar pada surat al-Baqarah terdahulu Sa‘id Hawwa menyatakan makna sabar dengan puasa. Orang yang berhasil dalam berjihad nafsu berarti berhasil dalam berpuasa maka akan menjadikan rohaninya suci sehingga merasakan dekat dengan Tuhan. Sabar yang halus dan sering diabaikan juga yaitu sabar menghadapi kemegahan yang dapat menjerumuskan pada hal yang salah yang disebut Sa ‘id H{awwa dengan sabar atas kesenangan batil. 175 Istilah lain adalah menahan diri dari hal yang halal karena dapat membawa kemubaziran atau sekedar memperturutkan hawa nafsu. 176 Sabar menghadapi demikian adalah dengan menghindari hidup berkelebihan atau berfoya-foya. Misalnya hidup bermewahan, hidup boros atau fasilitas yang berlebihan, sehingga menimbulkan kesombongan. Semuanya itu bagian dari sabar terhadap kesenangan dunia yang dapat melenakan manusia. Ini termasuk sabar yang dirasakan oleh pelaku tasawuf. 172 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6671 173 An-Nafs totalitas diri mengandung baik-buruk ها قت ه جف ه أف ها س م سف disebutkan oleh Sa ‘id Hawwa, nafs itu adalah roh setelah bercampur bergabung dengan jasad. Nafs memiliki kecenderungan pada kekal hissi materifisik atau pada maknawi. Kecenderungan duniawinya harus disucikan. Sa ‘id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke –9, 49 174 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 204 175 Kegembiraan yang salah ط ا حج ت Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6671. 176 Raghib Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al – Quran, Beirut : Darul Kutub Ilmiah, 2004 1425 H, h. 306 Disamping itu Sa ‘id H{awwa juga menghubungkan sabar sebagai salah satu unsur untuk memperoleh keberuntungan atau menjadi manusia beruntung. Bahkan dijelaskannya bahwa variabel –variabel manusia yang beruntung yang terungkap dalam surat al –‘As}r merupakan rincian dari ayat ke lima surat al–Baqarah. 177 Ini merupakan salah satu metode penafsiran Sa ‘id H{awwa yaitu mengemukakan hubungan ayat dengan ayat lain dalam rangka mendukung penafsirannya. Selain itu Sa‘id Hawwa juga mendasarkan penafsirannya pada tafsir an-Nasafi dan Ibnu Kathir. Sejalan dengan Sa ‘id H{awwa, at-Tustari menyebutkan dalam tafsirnya manusia dalam bersikap sabar terbagi dua golongan. Sabar untuk dunia, kesabarannya bertujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan dirinya. Inilah sabar yang tercela. Kedua sabar untuk akhirat, karena mencari pahala akhirat dan takut dari azabnya. Sabar akhirat ini ada 4 macamnya yaitu sabar dalam ketaatan menjalankan perintah Allah, sabar terhadap hal –hal maksiat, sabar dari berbagai musibah. Adapun sabar keempat, terkait dengan perbuatan makhluk. 178 Menurut at-Tustari ayat 126 pada catatan kaki menjelaskan tentang keutamaan orang sabar. Adapun ayat 127 menerangkan bahwa Allah lah yang menolong orang yang sabar dari berbagai persoalan. 179 Dari penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari diatas dipahami secara umum bahwa jenis sabar ada tiga; sabar dalam melaksanakan perintah Agama, sabar 177 Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang yang beruntung ح ف ا مه ك أ م ب م ه ى ع ك أ . Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6669 178 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 204. Mengenai sabar jenis keempat yaitu sabar dari perbuatan manusia diterangkan Allah dalam surat an –Nah}l ayat 126-127. Artinya; Dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang –orang yang sabar. Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. 179 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 204 menghadapi kemaksiatan dan sabar menghadapi musibah. Selain itu, Tustari merinci lagi sabar dengan orientasi dunia bahwa sabar untuk mendambakan keuntungan dunia. Sabar jenis ini menurut tustari merupakan sabar yang cacat, buruk. Sabar kategori terakhir ini dalam pandangan Sa ‘id H{awwa termasuk sabar dari hal–hal yang batil hanya demi kesenangan sesaat di dunia. Melihat penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari diatas mengenai ayat terakhir al –‘As}r pada dasarnya memiliki pandangan yang sama dalam memaknai kesabaran. Metodologi mereka menafsirkan ayat tetap mengacu pada makna zahir ayat, apalagi dikemukakan juga munasabah ayat terkait. Penafsiran mereka terlihat mencerminkan jenis tasawuf ‘amali. Sehubungan dengan sabar dalam ayat ini, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa sikap sabar harus kokoh dan istiqamah teguh pendirian dalam ‘ubudiyyah. Hal ini memudahkan untuk menuju al-H{aq. Selain itu sikap sabar harus dipelihara dalam menghadapi ujian musibah dan menjalani latihan rohani riyad}ah. Dalam hal ini ia mengutip hadis nabi Muhammad yaitu ujian musibah merupakan salah satu cambuk Allah untuk menggiring hamba kepadaNya agar merasa dekat. 180 Pada dasarnya sabar dalam ‘ubudiyyah yang dikemukakan Ibnu Arabi mencakup sabar yang diuraikan dalam penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari diatas bahwa intinya sabar akan mengantarkan hamba menjadi dekat dengan Allah bahkan sampai هي ص kepadaNya. Tafsiran Ibnu Arabi yang menjelaskan keberadaan sabar dan cakupannya memiliki kesamaan dengan pandangan dengan Sa ‘id H{awwa dan Tustari. Artinya mereka sepakat bahwa sifat sabar pada seseorang dalam menjalankan ajaran agama mendorong kesadaran untuk merasakan hubungan dekat dengan Allah. Apalagi sabar juga bertujuan membersihkan rohani sebagai makna pokok puasa. Sabar menurut Ibnu Arabi selain menjalankan ketaatan kepada Allah juga dalam rangka menjalani latihan rohani untuk sampai kepada Allah. 180 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 428 Memperhatikan penafsiran Ibnu Arabi diatas, dipahami bahwa dalam hal ini ia juga menggunakan makna zahir ayat terlebih dahulu untuk kemudian menakwilkan berdasarkan teori tasawuf. Terkait dengan takwil Ibnu Arabi mengenai sabar sebagai قح ا ى ص ا merupakan makna dari kedekatan hubungan antara hamba dengan Tuhan. Makna ini secara tidak langsung sejalan dengan penjelasan Sa ‘id H{awwa dan Tustari berkenaan dengan tafsir al –‘As}r ini. Di samping itu pada penafsiran surat al-Baqarah: 45 pernah dikemukakan juga makna seperti demikian oleh Sa ‘id H{awwa dan Tustari dimana puasa dijadikan sebagai makna sabar untuk membersihkan rohani sedangkan shalat merasakan wujud kedekatan hubungan hamba dengan Allah. Penafsiran Sa‘id Hawwa dan at-Tustari lebih mencerminkan tasawuf amali sementara Ibnu Arabi dengan istilah wus}ul ص yang dikemukakan merupakan pengaruh teori filsafat sufistiknya, yang berlandaskan pada tasawuf naz}ari. 5. Ayat 200 surat Ali Imran 3 Bentuk lain dari sabar seperti perintah Allah kepada manusia dalam menjalankan ajaran agama haruslah dengan sikap sabar dan itu dinyatakan Allah dalam surat Ali Imran 3 ayat 200. Perintah bersabar disini dikaitkan dengan perintah bertaqwa kepada Allah. ح فت م ع ها قتا ا طبا ا ب ص ا صا ا ما ي ا يأ ي . 181 Dikemukakan dalam tafs ir Sa‘id H{awwa; أ : هف ت ي ا ى ع ا صا , د ج ا ىف ها ءا عأ ا ب ص , ى ع ص ا ىف مه غ أ م م ا ص قأ ا ت ا ح ا ئا ش , أ ا طبا : ءا عأ تق ي ص تم غ ا ىف ا يقأ ها . 182 181 Artinya; Hai orang – orang yang beriman bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 182 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6, 967 Menurut Sa ‘id H{awwa makna ayat ini adalah bersabarlah dalam melaksanakan ajaran agama dan menanggung perkara agama yang dipikulkan. Dan kuatkanlah kesabaran dalam berjihad menghadapi musuh Allah, dalam artian mengalahkan mereka dalam kesabaran ketika terjadi pertempuran hebat dan janganlah kesabaranmu lebih rendah dari mereka. Selanjutnya rabit}u ا طبا berjaga–jaga yaitu bersiap di tempat pangkalan sambil mengadakan pengintaian dalam rangka memerangi musuh Allah. Penafsiran sabar diatas menunjukkan pada kesabaran dalam menghadapi musuh-musuh yang tidak menghendaki kehadiran Islam atau mengganggu dalam pelaksanaan ibadah. Kesabaran merupakan hal yang utama dalam berjuang menghadapi musuh. Makanya ditegaskan Sa‘id Hawwa dalam tafsirnya, jangan sampai kekalahan disebabkan oleh kurangnya kesabaran. Lebih dalam makna ayat di kemukakan Sa‘id Hawwa dengan mengutip pendapat Hasan al-Basri seorang sufi, bahwa kesabaran harus selalu ada dalam menjalankan perkara agama. Jangan pernah meninggalkan ajaran agama karena sedang susah atau keadaaan senang hanyut dalam kegembiraan. Namun tetaplah konsisten beragama sehingga mati dalam keadaan muslim. 183 Ini merupakan isyarat yang terkandung dalam ayat bahwa kesabaran termasuk jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sesuai dengan perintah diakhir ayat agar bertaqwa kepada Allah. Sehingga dengan kesabaran yang teguh akan membawa seseorang dalam penyerahan diri yang sesungguhnya kepada Tuhan. Kesabaran dalam menjalankan ajaran agama menjadi bukti sebagai muslim, demikian yang ditegaskan Hasan al-Basri diatas. Selanjutnya dijelaskan tentang arti طبا ا : طي ا ض ط ب أ د ع ا م ىف م ا ا ف 184 Al-Murabat}ah adalah senantiasa berada dalam tempat peribadatan, sebab beribadah merupakan benteng yang dapat mengalahkan setan. Disebutkan juga makna murabat}ah adalah menguatkan hati berada di dalam masjid seraya mempersiapkan diri memerangi setan, 183 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6, 967. Ini makna dari, QS. Ali Imran 3: 102 184 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6, 972 طي ا ح ي عتسم ج س ا ىف ا طبا 185 Masjid merupakan sentral dalam melakukan ibadah sebagai simbol sujud artinya kesabaran harus ditunjukkan dengan keterikatan hati berhubungan langsung dengan Allah dalam berbagai macam ibadah yang dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Seperti dikatakan al-Alusi, murabat}ah merupakan bagian dari kesabaran. 186 Boleh jadi kata masjid merupakan cerminan ibadah khusus seperti s}alat yang sering dilakukan di dalamnya agar lebih mendorong mendekatkan diri kepada Tuhan. Substansinya adalah adanya keterpautan hati dengan Allah sehingga membentuk jiwa yang bertaqwa kepada Allah. Seperti melaksanakan salat, zikir, wirid, berdoa dan sejenisnya. Selain setan yang dihadapi termasuk juga menghadapi nafsu yang akan mengganggu kesucian hati. Musuh yang berat adalah melawan musuh yang tidak kelihatan baik nafsu atau godaan setan seperti dijelaskan Sa ‘id H{awwa bahwa kesabaran dikokohkan lagi untuk menghadapi musuh yang tidak nyata ini. Dengan beribadah akan mengokohkan batin dalam melawan pengaruh setan yang menggoda nafsu. Makna ini sejalan dengan penjelasan Sa‘id Hawwa tentang kesabaran dalam surat al- ‘Asr yaitu sabar dalam jihad melawan nafsu. 187 Karena itu dikatakan oleh para sufi bahwa sabar adalah perbuatan yang agung dan mulia. Ujian dalam kesabaran termasuk hal yang utama sebab dengan ujian lebih melatih diri dan lebih menguatkan keyakinan berpegang teguh dalam keimanan. 188 Ketiga hal ini harus tertanam dan menjadi terpadu dalam diri agar hati selalu suci dan dekat dengan Allah. Bila diperhatikan tiga komponen antara ا طبا ا صا – ا ب ص - tersebut merupakan sifat yang bertingkat artinya dari sabar meningkat menjadi mus}abarah terus meningkat menjadi murabat}ah. Pada tingkat 185 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6, 972 186 Pengkhususan lain, seperti kata jibril yang disebut ar-ruh yang mengikuti kata malaikat dalam surat az-Zalzalah. Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq : Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 2, 532. 187 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6671 188 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke- 1,187 murabat}ah, dua unsur lain tetap melekat dan tidak terpisah seperti maqam – maqam tasawuf juga dimana ketika seseorang sampai pada suatu tingkat tertentu maka tingkat yang dibawahnya tidak lepas dan inklud didalam maqam yang baru. Menurut Tustari ayat ini berbicara tentang implementasi cakupan iman yaitu tawakal kepada Allah, ketundukan terhadap perintahNya, rid}a dengan ketentuannya, syukur atas nikmatNya dan taqwa kepadaNya. 189 Penjelasan Tustari ini terpadu kepada kepasrahan diri, taat kepada Allah. Makna pokok penafsiran Tustari ini sejalan dengan makna sabar yang disampaikan Sa ‘id H{awwa diatas bahwa bersabar menjalankan ajaran Islam agama yang dirid}ai Allah dan jangan sampai meninggalkannya baik dalam kondisi senang atau susah sehingga mati dalam keadaan muslim. Ini menunjukkkan kepatuhan dan penyerahan totalitas diri kepada Allah. Selanjutnya disebutkan bahwa kesabaran adalah tiang keimanan, keikhlasan merupakan kesempurnaan iman. 190 Iman digambarkan Tustari bagaikan bangunan maka tiangnya adalah kesabaran sedangkan kesempurnaan bangunan iman adalah ikhlas. Sabar dalam pengertian Tustari menjadi hal yang harus kuat, kokoh sesuai dengan ayat 200 Ali Imran ini karena sabar nantinya akan menuju menjadi penopang bangunan yang akan menampung berbagai unsur lain. Penafsiran Tustari bila dihadapkan pada penafsiran Sa ‘id H{awwa mengandung prinsip yang sama memahami substansi ayat melalui pendekatan makna zahirnya. Bagi Sa ‘id H{awwa tiga komponen; sabar, mus}abarah dan murabat}ah dalam ayat tersebut menjadi unsur pokok untuk membentuk keimanan yang kokoh yang diwujudkan dalam ketundukan, penyerahan diri secara totalitas kepada Allah. Adapun dari penafsiran Tustari terlihat, menguraikan pemahaman isharinya masih tetap berdasarkan pada zahir ayat sejalan dengan penafsiran Sa ‘id H{awwa. Sementara itu Ibnu Arabi menafsirkan ayat diatas sebagai berikut; pertama sabar ا صا artinya mujahadah pada maqam nafs, kedua s}abiru ا ب ص 189 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 52 190 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 52 artinya mukashafah pada maqam qalbu serta dorongan kuat menuju tajalli sifat Tuhan. Selanjutnya rabit}u ا طبا artinya mushahadah berada pada maqam ruh}. 191 Penafsiran Ibnu Arabi mengenai ayat di atas tidak terikat oleh makna zahir ayat. Ibnu Arabi terlihat mengemukakan makna ishari sesuai pandangan filsafat sufistik tasawuf falsafi. Bila dipertemukan dengan penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari tampak sekali perbedaannya dengan tafsir Ibnu Arabi dalam hal pendekatan makna ishari. Kecenderungan naz}arinya Ibnu Arabi lebih menonjol, dengan istilah seperti tajalli, mukashafah dan mushahadah. Penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari masih mendukung pemahaman lahiriyah sedangkan penafsiran Ibnu Arabi tidak nyata pemahaman lahiriyah tapi melampaui itu semua. Artinya penafsiran Ibnu Arabi seakan terlepas dari struktur ayat sebagaimana terlihat diatas. Dari penafsiran –penafsiran di atas antara Sa‘id H{awwa dan Tustari memiliki pandangan yang pada dasarnya saling terkait. Kedua penafsiran tersebut lebih cenderung berpegang pada makna zahir dalam memberikan penafsiran ishari. Hal ini menjadi faktor pendukung terhadap penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa. Perbedaannya dengan penafsiran Ibnu Arabi dalam hal ini di samping pengaruh paham filsafat juga makna ishari terlihat jauh dari makna zahir. Penggunaan makna ishari dan makna zahir ini yang membedakan penafsiran Ibnu Arabi dengan Sa‘id H{awwa dan a-Tustari.

D. Tafsir tentang Ayat-Ayat Tawakal