Penafsiran Ibnu Arabi ini terkait h}arthud dunya memiliki makna yang sejalan dengan penjelasan Sa
‘id H{awwa bahwa rezki yang diterimanya merupakan bagiannya;
م ا ه ه سق ا هق هيغت ي ي ي
.
127
Bagian yang diperolehnya di dunia sebagai pilihan h}arthud dunyanya merupakan curahan dari sifat Rahman dari
Allah yang menimpa seluruh makhluk. Kesamaan lain terkait penafsiran tentang h}arthul akhirah bahwa orang yang memilih jalan tersebut tidak saja mendapat
imbalan akhirat tapi meraih bagian di dunia dan di akhirat, seperti terlihat uraian Ibnu Arabi dan Sa
‘id H{awwa diatas. Orang yang menginginkan keuntungan akhirat merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan sebagaimana tercermin dalam
penafsiran Sa‘id H{awwa dan Ibnu Arabi. Dari penafsiran
–penafsiran tentang ayat 20 diatas, ditemukan kesamaan pandangan bahwa orang yang menghendaki visi amalnya h}arthul akhirah akan
memperoleh bagian keduanya, tidak saja bagian akhirat tapi juga mendapatkan bagian di dunia. Artinya amal orientasi akhirat yang dilakukan sudah dapat dirasakan atau
mempunyai efek di dunia ini apalagi nanti di akhirat. Pandangan ini sesuai yang dikemukakan oleh at-Tustari, Sa
‘id H{awwa dan Ibnu Arabi. Adapun keistimewaan lain yang dirasakan menurut at-Tustari adalah bagian di akhirat mendapat nikmat
lain yaitu melihat Tuhan, sedangkan bagi Sa ‘id H{awwa keistimewaan itu adalah
mendapat taufik dari Allah. Adapun Ibnu Arabi mengistilahkan dengan hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan bagi orang yang zuhud tersebut. Inilah
kesempurnaan yang diterima oleh mereka yang menghendaki h}arthul akhirah pada ayat diatas.
Dari bentuk penafsiran demikian, dipahami bahwa penafsiran Sa ‘id H{awwa,
at-Tustari dan Ibnu Arabi, terlihat pada pendekatan makna zahir dan ishari dalam penafsiran mereka. Adanya kesamaan pandangan tasawuf demikian, maka hal itu
memperkuat akan penafsiran sufistik Sa‘id H{awwa.
C. Tafsir tentang Ayat-Ayat Sabar
127
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke
–6, 5080
Dalam kitab Ta’rifat dijelaskan bahwa sabar adalah tidak mengeluh atau
mengadu bila ditimpa sakit melainkan menyerahkan kepada Allah, diberikan contoh kasus yang dialami nabi Ayyub,
ي حا ا مح أ ت أ ض ا ى سم ى هب د يأ
Seseorang hamba bila berdoa kepada Allah untuk menghilangkan sakit yang diderita, hal itu tidaklah merusak akan arti kesabaran. Rasul bersabda, “ Siapa yang
memperoleh kebaikan hendaklah memuji Allah, bagi yang tidak memperoleh jangan mencela kecuali pada diri sendiri.
128
Sahl pernah menyatakan bahwa sabar yaitu menanti datangnya kelapangan dari Allah Allah melepaskan duka cita. Sabar adalah
pengabdian paling baik dan paling tinggi menghadapi sesuatu.
129
Sementara itu Raghib As}fahani mengatakan sabar ialah menahan diri dari hal
–hal yang sekalipun dibenarkan secara akal dan shara
’.
130
Artinya dapat menahan diri sekalipun yang dikehendaki itu tidak menyalahi secara akal dan aturan sh
ara’. Misal tidak melakukan belanja yang melebihi keperluan walau dengan uang sendiri. Apalagi jika mendapat
musibah tidak mengeluh dan gelisah. Dengan demikian sabar mempunyai 2 cabang yaitu menahan diri dari memperturutkan keinginan walaupun dalam tahap wajar
kedua menahan diri dari derita musibah tanpa mengeluh. Mengenai sabar sebagai salah satu ajaran tasawuf banyak dijelaskan aspeknya
dalam Alquran. Berikut ini akan diuraikan penafsiran Sa ‘id H{awwa terkait dengan
ayat –ayat yang membicarakan tentang sabar.
1. Ayat 45 surat al–Baqarah 2
Dalam ayat ke 45 surat al –Baqarah 2, Allah mengemukakan sabar yang
diiringi dengan s}alat, digunakan sebagai media memohon pertolongan kepada Allah.
128
Syarif Ali bin Muhammad al –Jarjani, Kitab Ta’rifat Beirut: Darul Kutub Ilmiah,
19881408 H, Cet. Ke –3, 131
129
Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 107. Lihat juga; Tustari, Sahl At–Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut:
Darul Kutub al –Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke–I, 204
130
Raghib Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al – Quran, Beirut : Darul Kutub Ilmiah, 2004
1425 H, h. 306
Sa‘id H{awwa menafsirkan makna ayat diatas;
ها مأب يق ا ى ع ئا ا ءا ا ى ع ها ى م جئا ح ى ع اص ا ص ب ا يعتسا ه ك
.
132
Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan s}alat terhadap segala kebutuhanmu, dalam menghadapi cobaan,bencana dan dalam melaksanakan
semua perintah Allah.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan ini senantiasalah untuk bermohon kepada Allah supaya apa yang diharapkan dapat diwujudkan sesuai
kehendak Allah. Dengan sikap sabar dalam bermohon kepada Allah, diri merasakan dekat denganNya dan hati memiliki ketergantungan kepada Allah. Disebutkan oleh
al-Jailani mengenai sabar karena Allah yaitu hati merasakan cinta dan dekat dengan Allah.
133
Melihat m akna yang dikemukakan Sa‘id Hawwa selintas terlihat biasa
namun memiliki makna sufistik yang dalam bahwa sabar dalam melaksanakan perintah Allah menjadikan hamba semakin dekat denganNya. Sa‘id Hawwa
mendorong agar manusia dalam beribadah selalu memohon pertolongan Allah untuk dapat melaksanakan semua perintahNya.
Selanjutnya ditafsirkan oleh Sa‘id H{awwa tentang makna puasa;
ص ا فص ص ا اس ا هي ع ه ق ص ب ه ص ا سف .
134
Makna sabar pada ayat tersebut adalah puasa sebagaimana Nabi saw pernah mengatakan bahwa puasa itu setengah dari kesabaran.
131
Artinya; Mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan s}alat, sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang yang
khushu’. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
132
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6, 139
133
Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy. Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Cet.ke-2,157
134
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6, 139
Berdasarkan penafsiran diatas yang menjadikan batin manusia terasa suci dan dekat dengan Allah yaitu puasa.
135
Pengertian sabar sebagai puasa juga dikemukakan oleh Tustari dalam tafsirnya.
136
Puasa yang benar, bertujuan untuk membentuk rohani yang bersih. Dengan menjalankan puasa yang sesungguhnya mengharap rid}a Allah
maka kesucian hati semakin meningkat. Dapat dipahami bahwa puasa merupakan sarana dalam memohon pertolongan
Allah. Makna dasar yang terkandung dalam puasa adalah menciptakan kesabaran jiwa, sedangkan tujuan hakiki puasa untuk merasakan hubungan yang dekat dengan
Allah sebagai ciri orang bertaqwa.
137
Dengan menjalankan puasa yang benar mengetahui rahasianya maka seseorang terlatih untuk selalu merasakan kehadiran
Allah dimana saja berada. Makna inilah yang dikandung dalam istilah taqwa.
138
Bila hati suci maka anggota tubuh menjadi suci. Hati yang bersih bagian dari kebenaran rahasia antara manusia dan Tuhan. Rahasia itu ibarat burung dan hati
menjadi sangkarnya, demikian dijelaskan oleh al-Jailani.
139
Rahasia antara Tuhan dan manusia menurut pandangan al-Jailani diatas, terdapat dalam hati yang suci. Orang
yang memiliki hati bersih akan memperoleh pengetahuan tentang rahasia ketuhanan al-fath}u ar-rabbaniy. Untuk merasakan hubungan yang langsung atau wusul
kepada Allah dapat dirasakan dengan kesucian hati. Artinya kesucian inilah yang dapat mengantar jiwa sampai menuju Allah.
140
135
Hal yang sama tentang makna sabar dan salat juga dikemukakan oleh al-Alusi. Lihat; Al Alusi, Ruh} al-
Ma‘ani fi Tafsir al–Quran al-‘Az}im wa as-Sab’i al-Mathani Beirut: Darul Kutub al
–Ilmiyah, 14222001, jilid 1, 352.
136
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 31
137
Menjadi hamba bertaqwa merupakan tujuan dari melaksanakan ibadah puasa, lihat; QS. Al- Baqarah : 183
138
ى عت ها ع ع ي م ك جم menjauhkan segala sesuatu yang dapat menjauhkan engkau dari Allah. Anwar Fuad Abi Khazam,
Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke
–1, 61
139
Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Cet.ke-2, 156, Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah
140
اسإا ىف يسف ا ي ق ا حص ى عأا ظ ا ه هت ث عب يأ ا ها ى ص ا ا ه.wus}ul kepada Allah yang kami perhatikan sebagian buahnya keistimewaannya ialah kenyataan rahasia yang
Puasa dengan demikian menjadikan rohani suci kemudian bila rohani suci jalan untuk berkomunikasi langsung dengan Allah dapat dirasakan. S{alat merupakan
cara untuk merasakan hubungan langsung dengan Allah. Rohani yang suci dan dapat merasakan hubungan langsung dengan Allah, itulah puncak yang dituju dalam
kehidupan sufi.
141
Hubungan yang dialami tidak dijelaskan dalam bentuk melihat Tuhan karena hal itu hanya terjadi di akhirat.
142
S{alat yang sempurna menjadikan hati seseorang ikhlas kepada Allah terhindar dari waswas bisikan setan, pikiran kotor
yang terlintas dalam hati dan merasakan kehadiran Tuhan disisinya.
143
Puasa harus melahirkan kesabaran sebagai prasyarat dalam bermunajat sedangkan s}alat
merupakan wujud pelaksanaannya. S}alat sebagai media komunikasi dengan Allah sangat tepat digunakan dalam bermohon kepada Allah.
144
Puasa membentuk rohani suci merupakan jalan untuk mencapai ma ‘rifah yang
diwujudkan dalam s}alat. Oleh karena itu sabar dan shalat sangat berkaitan menuju hubungan langsung antara hamba dengan Tuhan.
Dari dua penafsiran diatas, disamping memaknai sabar dengan puasa mereka juga memandang bahwa puasa merupakan tangga awal untuk menuju berhubungan
langsung dengan Allah. Pada dasarnya penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari
memiliki satu pandangan, seperti disebutkan diatas juga tafsir Tustari banyak kesamaan pemikiran dengan tafsir Sa
‘id H{awwa. Mengenai sabar dalam ayat diatas menurut tafsir Ibnu Arabi berarti sabar
terhadap hal yang tidak disukai. Dijelaskan bahwa sabar dalam penafsirannya ini
tertinggi yang dirasakan oleh hati dan jiwa yang suci. Sa‘id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah
Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke –9, 154
141
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6,139
142
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke
–6, 6268 dan 6276.
143
Rasulullah bila ditimpa suatu musibah beliau mencari perlindungan dengan shalat. Dalam ayat ini shalat dapat juga ditafsirkan dengan doa sebagai makna dasar dari shalat. Lihat;
Sa‘id H{awwa, al
–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke–6,139
144
S{alat adalah mi’raj al–muslimin.
menuju ke maqam rid}a,
145
Sabar pada ayat tersebut tidak diberikan makna lain oleh Ibnu Arabi namun ia menjelaskan bahwa bagi perjalanan suluk harus melewati
maqam sabar untuk menuju maqam rid}a. Sabar dan rid}a dua hal yang tidak terpisah artinya bagi pelaku tasawuf bila berada dalam maqam sabar lanjutannya
menumbuhkan didalamnya sifat rid}a. Pandangan Ibnu Arabi tentang ayat ini menyatakan bahwa sabar adalah
tangga untuk menuju rid}a. Sementara itu Tustari dan Sa ‘id H{awwa menafsirkan
sabar sebagai puasa dan menjadi tangga menuju ma ‘rifah bagi Tustari, sedangkan
Sa ‘id H{awwa puasa landasan menyucikan jiwa menuju hubungan langsung dengan
Allah, yang terwujud dalam s}alat. Sa ‘id H{awwa menyatakan kalau melihat Tuhan
dengan mata kepala hanya terjadi di akhirat.
146
Pandangan tasawuf Sa ‘id H{awwa ini
mendorong kepada amal yang dapat dirasakan pengaruhnya didunia dan realistis dengan menghindari hal abstrak. Oleh karena itu penafsiran Sa
‘id H{awwa lebih memperhatikan makna zahir dalam mengungkap makna ishari.
2. Ayat 18 surat Yusuf 12 Pada ayat lain diterangkan tentang kesabaran yang dialami oleh
nabi Ya‘kub terkait kasus yang menimpa nabi Yusuf seperti terdapat dalam surat Yusuf 12 ayat
18.
Sa‘id H{awwa menjelaskan;
145
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1,
Cet. Ke –2, 51
146
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke
–6, 6268 dan 6276.
147
Artinya; Mereka datang membawa baju gamisnya yang berlumuran dengan darah palsu. Ya‘kub berkata, “ Sebenarnya dirimulah yang memandang baik perbuatan yang buruk itu, maka
kesabaran yang baik itulah kesabaranku, dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kamu ceritakan”. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah
al-Munawwarah, 1415 H
أ ي ج ص مأف :
جأ ي ج صف ,
مأا ا ه ى ع اي ج ا ص صأس ها هج في ىتح
هفط ه عب .
148
Maka kesabaran yang baik maksudnya kesabaran yang paling tinggi tingkat kesabarannya. Aku benar-benar akan sabar dengan sebaik-baiknya terhadap
urusan ini sehingga Allah melapangkan dengan pertolongan dan kelembutannya.
Demikian penafsiran Sa‘id Hawwa memahami ayat tentang kesabaran nabi Ya‘kub, bahwa ia menunjukkan kesabaran yang sesungguhnya menghadapi tipuan
saudara-saudara Yusuf. Kesabaran nabi Ya’kub yang dinyatakan dalam ayat diatas
merupakan kesabaran yang teguh. Ia benar –benar menunjukkan kesabaran seraya
mengharapkan pertolongan Allah sehingga Allah melepaskannya dari kesedihan. Berkat kesabaran nabi Ya‘kub, kemudian Allah memberitahukan tentang peristiwa
yang menimpa Yusuf yang diperdayakan oleh saudaranya. Ini bentuk pertolongan Allah yang dimohonkan nabi Ya‘kub dalam akhir ayat tersebut yang membuktikan
kebohongan perkataan para saudara Yusuf.
149
Selanjutnya dijelaskan oleh Sa ‘id H{awwa tentang makna sabar tersebut;
ي ج ا ص ا هفط ه عب ها في ىتح ق ا ى هيف
شا م ه .
150
Sabar yang sangat baik yaitu dalam artian tidak mengadukan persoalan kepada yang lain tapi menyandarkan langsung kepada Allah sehingga Allah memberi
kelapangan. Dalam sabar ini mengandung tawakal dan rid}a.
151
Pandangan Sa‘id Hawwa tentang makna sabar diatas merupakan salah satu pengertian yang
148
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6,2638. Dikemukakan juga oleh al-Alusi; ي ج ص مأف
, ي ج ص
صف . Al-Alusi, Ruh}ul
Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq: Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 6, 530. Setelah itu, al-alusi menguraikan analisis kebahasaan
dengan rinci.
149
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6,2638
150
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6,2638. Makna ini terdapat juga dalam tafsir al-Alusi. Lihat; Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-
‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq: Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 6, 530.
151
Sejalan dengan yang dikemukakan tafsir Ibnu Arabi bahwa dalam sabar pengantar menuju rid}a. Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al
–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke
–2, 51
dikemukakan oleh para sufi.
152
Sabar demikian mendorong seseorang untuk senantiasa merasakan lebih dekat dengan Tuhan.
Kesabaran menyangkut nabi Y a’kub berkaitan dengan objek yang dihadapi
yaitu persoalan yang menimpanya sesuatu yang tidak baik musibah sayyi ’ah يصم
يس . Musibah yang menimpanya dijadikan sebagai jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah yaitu dengan memohon langsung pertolongan hanya kepada Allah.
Sikap nabi Ya’kub ini menunjukkan keterkaitan antara sabar dan datangnya pertolongan Allah.
153
Dalam ayat juga digambarkan terlebih dahulu kondisi tingkat kesabaran nabi Ya’kub kemudian dikemukakan sikapnya yang semata- mata
memohon pertolongan Allah. Sabar dengan tidak mengadukan pada yang lain merupakan wujud tauhid
yang sangat murni. Contoh nabi Ya’kub diatas menentang cara yang dilakukan bila
mengarah pada kemusyrikan. Biasa manusia bila menghadapi suatu musibah seperti kehilangan, kebangkrutan, sakit dan sebagainya sering lupa diri sehingga minta
petunjuk pada orang “sakti”, mengorbankan akidah atau menempuh cara yang
bertentangan dengan akidah Islam. Mengatasi persoalan yang dihadapi dengan cara seperti demikian sangat dilarang dalam Islam, sebab dalam prakteknya mengandung
rasa putus asa manusia dengan Tuhan. Melalui ayatnya Allah mencela perbuatan demikian.
Artinya; Ia berkata,” Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya kecuali orang yang sesat. al
–H{ijr 15: 56
154
Kehilangan asa dari manusia terhadap Tuhan akan membuat hubungan dengan Tuhan bertambah jauh, semakin jauh hubungan dengan Tuhan mengakibatkan hati
menjadi rusak tidak suci. Keadaan seperti inilah yang dicela Tuhan, karena Tuhan
152
Lihat; Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut:
Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 107.
153
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6,2638.
154
Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-
Munawwarah, 1415 H
menjadi dikesampingkan. Mengapa manusia dapat menjauh dari Tuhan padahal Tuhan begitu dekat.
ى عد ا ىعا ا عد يجأ ي ق ى ف ى ع د ع ك أس ا ,
Apabila hamba-hambaKu
bertanya kepadamu
tentang Aku
maka sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia berdoa kepadaKu.
155
Persoalannya adalah bagaimana manusia dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan. Oleh karena itu, dengan memahami rahasia kesabaran secara hakiki akan
memunculkan jiwa yang suci dan merasakan berada dekat disisiNya. Disinilah makna sufistik yang dibangun oleh sifat kesabaran yaitu terciptanya hubungan yang sangat
dekat dengan Tuhan. Sabar dalam makna ayat diatas termasuk yang dimaksud oleh ahli hakikat, prilaku dan akhlak mereka tertanam kesabaran. Karena mereka melihat
sabar bagian dari tanda kemanusiaan dan sebagai salah satu sifat manusia.
156
Adapun at-Tustari menafsirkan sabar dalam surat Yusuf ayat 18 yaitu
ص ا عم
ض ا
sabar mengandung rid}a. Tandanya adalah tidak mengeluh menghadapi musibah apa saja. At-Tustari ditanya, dengan bagaimana sabar yang paling baik itu
diperoleh jawabnya yaitu dengan menyadari bahwa sesungguhnya Allah menyertaimu.
157
Artinya seseorang harus dapat menyadari dan merasakan bahwa Allah sangat dekat denganNya. Dalam sabar tersebut hati senang menerima dan
menghadapi segala sesuatu yang menimpa. Sabar dan rid}a merupakan dua hal yang menyatu dan saling mengisi. Dalam sabar menurut penafsiran at-Tustari mengandung
rid}a, karena itu rid}a tidak bisa dipisahkan dalam sabar. Melihat makna sabar dalam ayat ini sebagaimana dijelaskan oleh at-Tustari
dalam tafsirnya mengandung pemahaman y ang sama dengan yang dinyatakan Sa‘id
Hawwa. Pandangan Sa‘id Hawwa diatas berdasarkan penafsiran al-Alusi memiliki
155
Alquran surat al-Baqarah: 186, Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-
Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
156
Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke-
1,187
157
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I,81
makna yang sama. Pendapat yang dikemukakan Sa‘id H{awwa nya tidak bisa lepas
dari tafsir yang dijadikan rujukan. Makna ishari yang dikemukakannya masih berlandaskan pada makna zahir ayat. Penafsiran mereka pada intinya memberikan
kesadaran kepada manusia agar selalu merasakan kedekatan dengan Tuhan. Sabar yang sesungguhnya harus dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Pengertian yang
disampaikan ini sesuai dengan ajaran agama dan mudah memahami dan melaksanakannya.
Kemudian Tustari mengatakan bahwa ia heran orang yang tidak memiliki sifat sabar sebab bagaimana ada orang yang tidak bisa bersabar padahal Allah selalu
bersama orang yang sabar.
158
Maknanya bahwa Allah itu sangat dekat dengan hambanya yang bisa sabar, mengapa harus mengorbankan tauhid dengan meminta
pertolongan hal gaib atau perkara yang gaib kepada sesama makhluk. Ini menunjukkan ketidaksabaran menghadapi musibah. Ditegaskan oleh al-Jailani, tidak
akan memberikan manfaat pengaduanmu kepada makhluk dan juga tidak mendatangkan bahaya bila kamu menyandarkan kepadanya.
159
Allah sangat mencela orang seperti demikian yang ditegaskan dalam surat fus}s}ilat 41 ayat 49;
Artinya; Manusia tidak jemu memohon kebaikan dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.
160
3. Ayat 5 surat al –Ma‘arij 70
Berkaitan dengan kedudukan sabar ini ditemukan ayat yang diawali dengan kalimat perintah seperti terdapat dalam surat al
–Ma‘arij 70 ayat 5. Dari struktur
158
ح ا صي م فيك ا صي م م ت جع ,
قي ع ا :
ي ب ص ا عم ها .
ق ا
: 153 . Sahl At
–Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke– I, 81
159
م ي ع تعا ا ك ضي ا ك عف ي ا ق ا ى ا ش كعف ي شي ه ئ صم ق ا ى
ي م ي . Lihat; Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fath}u ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}maniy, Tahqiq: Shaikh Anas
Mihrah Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Cet.ke-2, 111-112.
160
Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-
Munawwarah, 1415 H
ayat, sabar dalam hal ini merupakan sikap nabi Muhammad ketika menghadapi pertanyaan seseorang tentang mendatangkan azab untuk orang kafir.
اي ج ا ص ص ف
161
أ :
ش ا ج اب .
162
Dinyatakan oleh Sa‘id H{awwa dalam tafsirnya; Secara zahirnya ayat ini mengajak bersabar dan jangan terburu-buru, seperti
dijelaskan al-Alusi. Makna ayat ini sekaligus memberi pengajaran kepada nabi Muhammad dalam bersabar.
163
Sa ‘id H{awwa menafsirkan ayat ini dengan sabar
tanpa mengeluh ataupun mengadu shakwa.
164
Sabar dalam ayat ini redaksinya hampir sama dengan ayat yang dibahas pada ayat diatas. Makna sufistik yang
dikemukakan Sa‘id Hawwa memiliki semangat yang sama dengan makna ayat tersebut. Bila dicermati lebih dalam, makna tidak mengeluh yang dikemukakan
Sa‘id Hawwa menunjukkan sikap rid}a. Seperti dijelaskan terdahulu rid}a dan sabar dalam
prakteknya sulit dipisahkan dalam tinjauan tasawuf. Bahkan at-Tustari menegaskan seperti demikian dalam menafsirkan ayat 18 surat Yusuf yang diatas.
165
Perintah sabar dalam ayat ini merupakan respon yang yang harus ditunjukkan oleh nabi Muhammad terkait dengan orang yang meminta disegerakan azab. Karena
orang kafir memandang azab itu mustahil munculnya.
166
Demikian Sa ‘id H{awwa
memahami ayat diatas dengan mengutip Ibnu Kathir.
161
Artinya; Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
162
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke
–6, 6133. Makna dasarnya terdapat dalam tafsir al-Alusi yang dikembangkan oleh Sa‘id H{awwa.
163
جعتست ا ص ف Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as- Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq: Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 6, 530.
164
Makna ini seperti diungkapkan al-Jarjani. Lihat; Syarif Ali bin Muhammad al –Jarjani,
Kitab Ta’rifat Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 19881408 H, Cet. Ke–3, 131. Lihat juga; Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fath}u ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}maniy, Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah
Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Cet.ke-2, 111.
165
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 81
166
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke
–6, 6133
Sementara itu Tustari juga menyatakan dalam tafsirnya bahwa sabar adalah rid}a tanpa mengadukan
ش يغ م ض sehingga tidak menjadi resah. Menurut Tustari, seseorang mengadu dalam bersabar berarti itu suatu musibah kecelakaan
baginya dalam pandangan Allah. Seseorang hamba bila masih mengadu, mengeluh maka ia masih terikat dengan prilaku dirinya kehendak nafsu yang mendorongnya
berpaling pada kekuatan lain dari pada tetap dalam kesabaran.
167
Sabar yang dikehendaki ayat menurut Tustari adalah sifat sabar yang konsisten tidak dicemari
oleh keluhan yang menyebabkan hilangnya hakekat kesabaran. Sesuai dengan penjelasannya tentang ayat 18 diatas, dalam sabar mengandung rid}a sebab sabar
demikianlah yang harus melekat pada diri dalam rangka mensucikan rohani. Mengenai sabar dalam ayat diatas, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa menurut
orang kafir azab yang dijanjikan kepadanya dianggap masih jauh bahkan bisa jadi mustahil sebab pada mereka ada hijab.
168
Ibnu Arabi dalam menafsirkan ayat ini menyorot makna sabar dengan menjelaskan hal yang melatarbelakangi bersikap
sabar. Dalam penjelasannya, ia mengaitkan uraiannya dengan kandungan ayat pertama dan kedua bahwa sabar dalam hal ini terkait dengan terealisasinya azab bagi
orang kafir. Artinya disini ia tidak eksplisit menjelaskan makna sabar. Dalam pandangan Ibnu Arabi ayat tersebut boleh jadi tidak mengandung makna sufistik.
Penafsiran sufistik yang dikemukakan Sa‘id H{awwa tentang sabar diatas saling mendukung. Tampak dari penafsirannya sangat berpegang dengan zahir ayat
dan sejalan dengan pengertian para sufi, seperti dikemukakan terdahulu. Makna dari penafsiran S
a‘id Hawwa sejalan dengan yang dilakukan para sufi atau dikenal dengan tasawuf praktis sehingga penafsiran yang selaras dengan amaliah tersebut identik
dikenal dengan tafsir sufi ishari. Penafsiran Sa
‘id H{awwa tentang sabar pada ayat tersebut mempunyai makna yang sama dengan yang dikemukakan Tustari yang berpangkal pada tidak mengeluh
167
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 177
168
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2,
Cet. Ke –2, 348
dan mengadu dalam menghadapi musibah sebab bila mengadu itu justeru menjadi musibah baru. Makna tiada mengadu atau mengeluh tersebut mengandung sikap
rid}a. Dalam mengungkap makna ishari sebagaimana terlihat dalam beberapa penafsirannya, seperti Tustari, begitu juga Sa‘id H{awwa tidak secara terang
menyebutkan batas antara makna ishari dan makna zahir. Penafsiran sufistik yang dikemukakan hanya diketahui dari kandungan maknanya. Penafsiran sufistik dapat
dikenali dengan membandingkan dengan penafsiran sufi lain atau pendapat para sufi.
4. Ayat 3 surat al –‘As}r
Pada ayat lain ditemukan petunjuk untuk bersabar, seperti yang terdapat dalam surat al
–‘As}r ayat 3.
ا ا ع ا ما ي ا ا ص
ص با صا ت قح با صا ت ح ا .
169
Dengan mengutip tafsir an- Nasafi, makna sabar dikemukakan Sa‘id Hawwa;
ىص ع ا ع أ ,
د ع ها هب ي م ى ع ع ط ا ى ع .
170
Artinya; Sabar dari kemaksiatan, dalam ketaatan dan dalam menghadapi ujian Allah.
Sebagaimana dinyatakan diatas bahwa sabar itu ada tiga kategorinya; sabar
dalam ketaatan kepada Allah seperti melaksanakan ibadah fard}u dan sunat serta berzikir. Sabar dalam menghadapi kemaksiatan yaitu tidak melakukan perbuatan
yang menimbulkan dosa dan sabar terhadap ujian Allah yaitu tidak mengeluh. Sabar dalam menghadapi ujian termasuk didalamnya ketika mengalami rintangan dalam
menegakkan amar ma‘ruf nahi mungkar.
171
Selanjutnya dijelaskan makna sabar lebih dalam oleh Sa‘id H{awwa;
169
Artinya; Kecuali orang yang beriman dan beramal saleh dan saling memberi nasehat dengan kebenaran serta kesabaran. Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma’ al-Malik al-Fahd al- Madinah al-Munawwarah, 1415 H
170
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke
–6, 6669
171
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke
–6, 6671
ط ا حج ت ى ع ص ا سف ا د ج ى ع ص ا .
172
Sabar disini sangat halus yaitu sabar dalam jihad menghadapi nafsu
173
dan sabar dalam suka cita yang tidak benar. Sa‘id Hawwa menekankan bahwa
menghadapi hawa nafsu bagian dari jihad. Orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu berarti berhasil dalam kesabaran berjihad. Dalam istilah at-Tustari pokok dari
kesabaran adalah mujahadah nafsu dalam menjalankan ketaatan.
174
Salah satu contoh jihad mengendalikan hawa nafsu adalah dengan berpuasa. Karena itu dalam
penafsiran ayat tentang sabar pada surat al-Baqarah terdahulu Sa‘id Hawwa
menyatakan makna sabar dengan puasa. Orang yang berhasil dalam berjihad nafsu berarti berhasil dalam berpuasa maka akan menjadikan rohaninya suci sehingga
merasakan dekat dengan Tuhan. Sabar yang halus dan sering diabaikan juga yaitu sabar menghadapi
kemegahan yang dapat menjerumuskan pada hal yang salah yang disebut Sa ‘id
H{awwa dengan sabar atas kesenangan batil.
175
Istilah lain adalah menahan diri dari hal yang halal karena dapat membawa kemubaziran atau sekedar memperturutkan
hawa nafsu.
176
Sabar menghadapi demikian adalah dengan menghindari hidup berkelebihan atau berfoya-foya. Misalnya hidup bermewahan, hidup boros atau
fasilitas yang berlebihan, sehingga menimbulkan kesombongan. Semuanya itu bagian dari sabar terhadap kesenangan dunia yang dapat melenakan manusia. Ini termasuk
sabar yang dirasakan oleh pelaku tasawuf.
172
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke
–6, 6671
173
An-Nafs totalitas diri mengandung baik-buruk ها قت ه جف ه أف ها س م سف
disebutkan oleh Sa ‘id Hawwa, nafs itu adalah roh setelah bercampur bergabung dengan jasad. Nafs
memiliki kecenderungan pada kekal hissi materifisik atau pada maknawi. Kecenderungan duniawinya harus disucikan. Sa
‘id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke
–9, 49
174
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 204
175
Kegembiraan yang salah ط ا حج ت Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo:
Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6671.
176
Raghib Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al – Quran, Beirut : Darul Kutub Ilmiah, 2004
1425 H, h. 306
Disamping itu Sa ‘id H{awwa juga menghubungkan sabar sebagai salah satu
unsur untuk memperoleh keberuntungan atau menjadi manusia beruntung. Bahkan dijelaskannya bahwa variabel
–variabel manusia yang beruntung yang terungkap dalam surat al
–‘As}r merupakan rincian dari ayat ke lima surat al–Baqarah.
177
Ini merupakan salah satu metode penafsiran Sa
‘id H{awwa yaitu mengemukakan hubungan ayat dengan ayat lain dalam rangka mendukung penafsirannya. Selain itu
Sa‘id Hawwa juga mendasarkan penafsirannya pada tafsir an-Nasafi dan Ibnu Kathir. Sejalan dengan Sa
‘id H{awwa, at-Tustari menyebutkan dalam tafsirnya manusia dalam bersikap sabar terbagi dua golongan. Sabar untuk dunia, kesabarannya
bertujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan dirinya. Inilah sabar yang tercela. Kedua sabar untuk akhirat, karena mencari pahala akhirat dan takut dari azabnya.
Sabar akhirat ini ada 4 macamnya yaitu sabar dalam ketaatan menjalankan perintah Allah, sabar terhadap hal
–hal maksiat, sabar dari berbagai musibah. Adapun sabar keempat, terkait dengan perbuatan makhluk.
178
Menurut at-Tustari ayat 126 pada catatan kaki menjelaskan tentang keutamaan orang sabar. Adapun ayat 127 menerangkan bahwa Allah lah yang
menolong orang yang sabar dari berbagai persoalan.
179
Dari penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari diatas dipahami secara umum
bahwa jenis sabar ada tiga; sabar dalam melaksanakan perintah Agama, sabar
177
Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang yang beruntung
ح ف ا مه ك أ م ب م ه ى ع ك أ
. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo:
Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6, 6669
178
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423,
Cet. Ke –I, 204. Mengenai sabar jenis keempat yaitu sabar dari perbuatan manusia diterangkan Allah
dalam surat an –Nah}l ayat 126-127.
Artinya; Dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar sesungguhnya itulah yang lebih
baik bagi orang –orang yang sabar. Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan
pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.
179
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 204
menghadapi kemaksiatan dan sabar menghadapi musibah. Selain itu, Tustari merinci lagi sabar dengan orientasi dunia bahwa sabar untuk mendambakan keuntungan
dunia. Sabar jenis ini menurut tustari merupakan sabar yang cacat, buruk. Sabar kategori terakhir ini dalam pandangan Sa
‘id H{awwa termasuk sabar dari hal–hal yang batil hanya demi kesenangan sesaat di dunia.
Melihat penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari diatas mengenai ayat terakhir
al –‘As}r pada dasarnya memiliki pandangan yang sama dalam memaknai kesabaran.
Metodologi mereka menafsirkan ayat tetap mengacu pada makna zahir ayat, apalagi dikemukakan juga munasabah ayat terkait. Penafsiran mereka terlihat mencerminkan
jenis tasawuf ‘amali.
Sehubungan dengan sabar dalam ayat ini, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa sikap sabar harus kokoh dan istiqamah teguh pendirian dalam
‘ubudiyyah. Hal ini memudahkan untuk menuju al-H{aq. Selain itu sikap sabar harus dipelihara dalam
menghadapi ujian musibah dan menjalani latihan rohani riyad}ah. Dalam hal ini ia mengutip hadis nabi Muhammad yaitu ujian musibah merupakan salah satu cambuk
Allah untuk menggiring hamba kepadaNya agar merasa dekat.
180
Pada dasarnya sabar dalam
‘ubudiyyah yang dikemukakan Ibnu Arabi mencakup sabar yang diuraikan dalam penafsiran Sa
‘id H{awwa dan Tustari diatas bahwa intinya sabar akan mengantarkan hamba menjadi dekat dengan Allah bahkan sampai
هي ص kepadaNya.
Tafsiran Ibnu Arabi yang menjelaskan keberadaan sabar dan cakupannya memiliki kesamaan dengan pandangan dengan Sa
‘id H{awwa dan Tustari. Artinya mereka sepakat bahwa sifat sabar pada seseorang dalam menjalankan ajaran agama
mendorong kesadaran untuk merasakan hubungan dekat dengan Allah. Apalagi sabar juga bertujuan membersihkan rohani sebagai makna pokok puasa. Sabar menurut
Ibnu Arabi selain menjalankan ketaatan kepada Allah juga dalam rangka menjalani latihan rohani untuk sampai kepada Allah.
180
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2,
Cet. Ke –2, 428
Memperhatikan penafsiran Ibnu Arabi diatas, dipahami bahwa dalam hal ini ia juga menggunakan makna zahir ayat terlebih dahulu untuk kemudian menakwilkan
berdasarkan teori tasawuf. Terkait dengan takwil Ibnu Arabi mengenai sabar sebagai قح ا ى ص ا merupakan makna dari kedekatan hubungan antara hamba dengan
Tuhan. Makna ini secara tidak langsung sejalan dengan penjelasan Sa ‘id H{awwa
dan Tustari berkenaan dengan tafsir al –‘As}r ini. Di samping itu pada penafsiran
surat al-Baqarah: 45 pernah dikemukakan juga makna seperti demikian oleh Sa ‘id
H{awwa dan Tustari dimana puasa dijadikan sebagai makna sabar untuk membersihkan rohani sedangkan shalat merasakan wujud kedekatan hubungan hamba
dengan Allah. Penafsiran Sa‘id Hawwa dan at-Tustari lebih mencerminkan tasawuf
amali sementara Ibnu Arabi dengan istilah wus}ul ص yang dikemukakan
merupakan pengaruh teori filsafat sufistiknya, yang berlandaskan pada tasawuf naz}ari.
5. Ayat 200 surat Ali Imran 3
Bentuk lain dari sabar seperti perintah Allah kepada manusia dalam menjalankan ajaran agama haruslah dengan sikap sabar dan itu dinyatakan Allah
dalam surat Ali Imran 3 ayat 200. Perintah bersabar disini dikaitkan dengan perintah bertaqwa kepada Allah.
ح فت م ع ها قتا ا طبا ا ب ص ا صا ا ما ي ا يأ ي .
181
Dikemukakan dalam tafs ir Sa‘id H{awwa;
أ :
هف ت ي ا ى ع ا صا ,
د ج ا ىف ها ءا عأ ا ب ص ,
ى ع ص ا ىف مه غ أ م م ا ص قأ ا
ت ا ح ا ئا ش ,
أ ا طبا :
ءا عأ تق ي ص تم غ ا ىف ا يقأ ها
.
182
181
Artinya; Hai orang – orang yang beriman bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu
dan tetaplah bersiap siaga dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
182
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke
–6, 967
Menurut Sa ‘id H{awwa makna ayat ini adalah bersabarlah dalam
melaksanakan ajaran agama dan menanggung perkara agama yang dipikulkan. Dan kuatkanlah kesabaran dalam berjihad menghadapi musuh Allah, dalam
artian mengalahkan mereka dalam kesabaran ketika terjadi pertempuran hebat dan janganlah kesabaranmu lebih rendah dari mereka. Selanjutnya rabit}u
ا طبا berjaga–jaga yaitu bersiap di tempat pangkalan sambil mengadakan pengintaian dalam rangka memerangi musuh Allah.
Penafsiran sabar diatas menunjukkan pada kesabaran dalam menghadapi
musuh-musuh yang tidak menghendaki kehadiran Islam atau mengganggu dalam pelaksanaan ibadah. Kesabaran merupakan hal yang utama dalam berjuang
menghadapi musuh. Makanya ditegaskan Sa‘id Hawwa dalam tafsirnya, jangan sampai kekalahan disebabkan oleh kurangnya kesabaran.
Lebih dalam makna ayat di kemukakan Sa‘id Hawwa dengan mengutip
pendapat Hasan al-Basri seorang sufi, bahwa kesabaran harus selalu ada dalam menjalankan perkara agama. Jangan pernah meninggalkan ajaran agama karena
sedang susah atau keadaaan senang hanyut dalam kegembiraan. Namun tetaplah konsisten beragama sehingga mati dalam keadaan muslim.
183
Ini merupakan isyarat yang terkandung dalam ayat bahwa kesabaran termasuk jalan untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan sesuai dengan perintah diakhir ayat agar bertaqwa kepada Allah. Sehingga dengan kesabaran yang teguh akan membawa seseorang dalam penyerahan
diri yang sesungguhnya kepada Tuhan. Kesabaran dalam menjalankan ajaran agama menjadi bukti sebagai muslim, demikian yang ditegaskan Hasan al-Basri diatas.
Selanjutnya dijelaskan tentang arti طبا ا :
طي ا ض ط ب أ د ع ا م ىف م ا ا ف
184
Al-Murabat}ah adalah senantiasa berada dalam tempat peribadatan, sebab beribadah merupakan benteng yang dapat mengalahkan setan. Disebutkan juga
makna murabat}ah adalah menguatkan hati berada di dalam masjid seraya mempersiapkan diri memerangi setan,
183
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke
–6, 967. Ini makna dari, QS. Ali Imran 3: 102
184
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke
–6, 972
طي ا ح ي عتسم ج س ا ىف ا طبا
185
Masjid merupakan sentral dalam melakukan ibadah sebagai simbol sujud artinya kesabaran harus ditunjukkan dengan keterikatan hati berhubungan langsung
dengan Allah dalam berbagai macam ibadah yang dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Seperti dikatakan al-Alusi, murabat}ah merupakan
bagian dari kesabaran.
186
Boleh jadi kata masjid merupakan cerminan ibadah khusus seperti s}alat yang sering dilakukan di dalamnya agar lebih mendorong mendekatkan
diri kepada Tuhan. Substansinya adalah adanya keterpautan hati dengan Allah sehingga membentuk jiwa yang bertaqwa kepada Allah. Seperti melaksanakan salat,
zikir, wirid, berdoa dan sejenisnya. Selain setan yang dihadapi termasuk juga menghadapi nafsu yang akan mengganggu kesucian hati. Musuh yang berat adalah
melawan musuh yang tidak kelihatan baik nafsu atau godaan setan seperti dijelaskan Sa
‘id H{awwa bahwa kesabaran dikokohkan lagi untuk menghadapi musuh yang tidak nyata ini. Dengan beribadah akan mengokohkan batin dalam melawan pengaruh
setan yang menggoda nafsu. Makna ini sejalan dengan penjelasan Sa‘id Hawwa
tentang kesabaran dalam surat al- ‘Asr yaitu sabar dalam jihad melawan nafsu.
187
Karena itu dikatakan oleh para sufi bahwa sabar adalah perbuatan yang agung dan mulia. Ujian dalam kesabaran termasuk hal yang utama sebab dengan ujian lebih
melatih diri dan lebih menguatkan keyakinan berpegang teguh dalam keimanan.
188
Ketiga hal ini harus tertanam dan menjadi terpadu dalam diri agar hati selalu suci dan dekat dengan Allah. Bila diperhatikan tiga komponen antara
ا طبا ا صا –
ا ب ص -
tersebut merupakan sifat yang bertingkat artinya dari sabar meningkat menjadi mus}abarah terus meningkat menjadi murabat}ah. Pada tingkat
185
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke
–6, 972
186
Pengkhususan lain, seperti kata jibril yang disebut ar-ruh yang mengikuti kata malaikat dalam surat az-Zalzalah. Al-Alusi,
Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq
: Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 2, 532.
187
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke
–6, 6671
188
Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke-
1,187
murabat}ah, dua unsur lain tetap melekat dan tidak terpisah seperti maqam –
maqam tasawuf juga dimana ketika seseorang sampai pada suatu tingkat tertentu maka tingkat yang dibawahnya tidak lepas dan inklud didalam maqam yang baru.
Menurut Tustari ayat ini berbicara tentang implementasi cakupan iman yaitu tawakal kepada Allah, ketundukan terhadap perintahNya, rid}a dengan ketentuannya,
syukur atas nikmatNya dan taqwa kepadaNya.
189
Penjelasan Tustari ini terpadu kepada kepasrahan diri, taat kepada Allah. Makna pokok penafsiran Tustari ini
sejalan dengan makna sabar yang disampaikan Sa ‘id H{awwa diatas bahwa bersabar
menjalankan ajaran Islam agama yang dirid}ai Allah dan jangan sampai meninggalkannya baik dalam kondisi senang atau susah sehingga mati dalam keadaan
muslim. Ini menunjukkkan kepatuhan dan penyerahan totalitas diri kepada Allah. Selanjutnya disebutkan bahwa kesabaran adalah tiang keimanan, keikhlasan
merupakan kesempurnaan iman.
190
Iman digambarkan Tustari bagaikan bangunan maka tiangnya adalah kesabaran sedangkan kesempurnaan bangunan iman adalah
ikhlas. Sabar dalam pengertian Tustari menjadi hal yang harus kuat, kokoh sesuai dengan ayat 200 Ali Imran ini karena sabar nantinya akan menuju menjadi penopang
bangunan yang akan menampung berbagai unsur lain. Penafsiran Tustari bila dihadapkan pada penafsiran Sa
‘id H{awwa mengandung prinsip yang sama memahami substansi ayat melalui pendekatan makna
zahirnya. Bagi Sa ‘id H{awwa tiga komponen; sabar, mus}abarah dan murabat}ah
dalam ayat tersebut menjadi unsur pokok untuk membentuk keimanan yang kokoh yang diwujudkan dalam ketundukan, penyerahan diri secara totalitas kepada Allah.
Adapun dari penafsiran Tustari terlihat, menguraikan pemahaman isharinya masih tetap berdasarkan pada zahir ayat sejalan dengan penafsiran Sa
‘id H{awwa. Sementara itu Ibnu Arabi menafsirkan ayat diatas sebagai berikut; pertama
sabar ا صا artinya mujahadah pada maqam nafs, kedua s}abiru ا ب ص
189
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 52
190
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 52
artinya mukashafah pada maqam qalbu serta dorongan kuat menuju tajalli sifat Tuhan. Selanjutnya rabit}u
ا طبا artinya mushahadah berada pada maqam ruh}.
191
Penafsiran Ibnu Arabi mengenai ayat di atas tidak terikat oleh makna zahir ayat. Ibnu Arabi terlihat mengemukakan makna ishari sesuai pandangan filsafat
sufistik tasawuf falsafi. Bila dipertemukan dengan penafsiran Sa ‘id H{awwa dan
Tustari tampak sekali perbedaannya dengan tafsir Ibnu Arabi dalam hal pendekatan makna ishari. Kecenderungan naz}arinya Ibnu Arabi lebih menonjol, dengan istilah
seperti tajalli, mukashafah dan mushahadah. Penafsiran Sa
‘id H{awwa dan Tustari masih mendukung pemahaman lahiriyah sedangkan penafsiran Ibnu Arabi tidak nyata pemahaman lahiriyah tapi
melampaui itu semua. Artinya penafsiran Ibnu Arabi seakan terlepas dari struktur ayat sebagaimana terlihat diatas.
Dari penafsiran –penafsiran di atas antara Sa‘id H{awwa dan Tustari memiliki
pandangan yang pada dasarnya saling terkait. Kedua penafsiran tersebut lebih cenderung berpegang pada makna zahir dalam memberikan penafsiran ishari. Hal
ini menjadi faktor pendukung terhadap penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa. Perbedaannya dengan penafsiran Ibnu Arabi dalam hal ini di samping pengaruh
paham filsafat juga makna ishari terlihat jauh dari makna zahir. Penggunaan makna ishari
dan makna zahir ini yang membedakan penafsiran Ibnu Arabi dengan Sa‘id H{awwa dan a-Tustari.
D. Tafsir tentang Ayat-Ayat Tawakal