yang wajib dilakukan agar manusia puas dengan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan menurut takdirnya, supaya tidak muncul penyesalan apalagi mencela Tuhan.
240
Makna tawakal yang dikemukakan Sa‘id Hawwa diatas menyangkut penyerahan diri yang sesungguhnya kemudian menghubungkan terjadinya segala
sesuatu dengan taufikNya, ini menunjukkan hubungan yang sangat dekat antara hamba dengan Tuhan. Suatu kejadian yang dirasakan seseorang berdasarkan
taufikNya,
241
adalah termasuk anugerah padanya berkat latihan ibadah dan senantiasa berusaha dalam penyucian jiwa.
Makna yang sama dikemukakan Tustari dalam tafsirnya yakni siapa yang menyerahkan segala urusannya kepada Tuhannya maka sesungguhnya Dia cukupkan
baginya keperluan, harapan di dunia dan akhirat. Ini sejalan dengan makna taufik bahwa harapan hamba yang terpenuhi sejalan dengan kerid}aan Tuhan.
242
Keinginan yang dicitakan hamba diberikan Allah di dunia dan di akhirat bagi orang yang
bertawakal. Demikian menurut penafsiran sufistik Sa ‘id H{awwa dan Tustari
sebagaimana dikemukakan dalam tafsirnya yang dinyatakan berdasarkan makna zahir ayat. Penafsiran s
ufistik Sa‘id Hawwa diatas yang memaknai tawakal dengan munculnya taufik dari Allah, didukung oleh tafsir at-Tustari yang juga mempunyai
semangat yangsama. Selain itu makna taufik yang dikemukakan Sa‘id Hawwa didukung pula oleh ayat lain. Ini termasuk salah satu syarat tafsir sufi ishari yaitu ada
dalil shara‘ yang menguatkannya.
243
E. Tafsir tentang Ayat-Ayat Rid}a
240
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 10, Cet. Ke
–6,5975. Seperti yang dijelaskan Tustari ketika menafsirkan ayat 159 Ali Imran. Penafsiran demikian juga terdapat dalam al-Alusi. Al
–Alusi, Ruh} al-Ma‘ani fi Tafsir al–Quran al- ‘Az}im wa as-Sab’i al-Mathani Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 14222001,Jilid 14, 442.
241
QS. Hud : 88, ت ك ت هي ع ه ب ا ىقيف ت م
242
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I,170
243
Abdul Warith M.Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14272006, Cet.ke-2,19. Lihat juga; Muhammad Hamdi Zaglul, at
–Tafsir bi ar–Ra’ yi Dimaskus:Maktabah al
–Farabi, 14201999, Cet. Ke–1,442-3
Menurut Jarjani rid}a ialah hati bahagia menghadapi segala ketentuan qadha dari Allah.
244
Senada dengan itu dikemukakan oleh H{arith Muh}asibi, rid}a adalah hati damai menerima menghadapi berjalannya hukum ketetapan Allah
تحت ق ا س
م ح ا ي ج .
245
Ridha berarti apa saja ketentuan Allah yang diberlakukan kepada hamba, dihadapi dengan hati gembira. Kesenangan hatinya karena ada objek yang
muncul bisa baik dan buruk tapi diterima dengan bahagia. Posisi rid}a masih membedakan ketetapan baik atau buruk.
Petunjuk Alquran terkait dengan ridha sering dinyatakan dalam ayat mengenai keadaan hamba yang dirid}ai dan sikap hamba yang juga rid}a dengan ketentuan
Allah, ini menunjukkan kepuasan hamba.
1. Ayat 22 surat al–Mujadalah 58
Keberadaan orang beriman di surga seperti digambarkan ayat ini terkait dengan sikap rid}a mereka terhadap ketentuan Allah. Mereka puas dengan balasan
amalnya, sedangkan nikmat yang dirasakannya sebagai cerminan bahwa Allah ridha kepada mereka. Makna ini terkandung dalam ayat 22 surat al
–Mujadalah 58.
244
Syarif Ali bin Muhammad al –Jarjani, Kitab Ta’rifat Beirut: Darul Kutub Ilmiah,
19881408 H, Cet. Ke –3,111, ini pendapat Dhunnun al–Mis}ri yang dikutip oleh Jarjani,
ق ا س
ء ضق ا ب.
Lihat juga Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut:
Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 90
245
Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 90
246
Artinya; Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, mereka saling berkasih sayang dengan orang
– orang yang menentang Allah dan rasulNya sekalipun orang
–orang itu bapak–bapak, anak-anak, saudara–saudara atau ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang
–orang yang telah ditanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari padaNya. Dan dimasukkanNya mereka ke dalam surga
yang mengalir dibawahnya sungai –sungai, mereka kekal didalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan
Ayat ini menerangkan kondisi penghuni surga yang sangat damai dan disebutkan keadaan mereka kekal didalamnya, Allah rid}a kepada mereka dan
mereka ridha padaNya. Kerid}aan Allah pada mereka dijelaskan Sa ‘id H{awwa yaitu
disebabkan tauhid mereka yang murni dan ketaatan mereka kepada Allah. Kerid}aan manusia terhadap Allah
dijelaskan Sa‘id Hawwa;
ي ا ىف م ي ع ىضق ب أ خاا ىف ميسج ا هبا ب
.
247
Dengan pahala yang besar di akhirat atau dengan apa yang telah ditentukan Allah kepada mereka di dunia.
Ada dua hal sebagai wujud dari keridaan manusia kepada Allah, pertama karena menerima ganjaran pahala yang besar di akhirat
با ب ميسج yaitu berada di surga, kedua; mereka rid}a terhadap apa yang telah ditentukan qad}a
’ Allah kepada mereka di dunia. Penafsiran yang sama dikemukakan Tustari bahwa mengenai
kerid}aan Allah adalah disebabkan keikhlasan manusia dalam beramal. Adapun mengenai manusia ridha kepada Allah yaitu terkait dengan luasnya pahala
هبا ث ي جب yang dianugerahkan Allah sebagai ganjaran amal mereka.
248
Pada dasarnya penafsiran Sa
‘id H{awwa dan Tustari mengandung pengertian yang sama seperti terlihat ketika menjelaskan makna kerid}aan Allah dan kerid}aan manusia. Namun
mengenai kerid}aan manusia terhadap Allah, Tustari dalam tafsirnya tidak menjelaskan tentang kerid}aan manusia terkait qad}a
’ Allah di dunia. Ia hanya menyatakan sikap rid}a manusia terkait dengan balasan amal yaitu surga di akhirat.
Penafsiran Sa ‘id H{awwa terkait rid}a juga sejalan dengan pengertian yang
dikemukakan dalam istilah sufi yang lain, seperti Harith Muhasibi diatas bahwa rid}a
mereka ridha terhadapNya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah orang yang beruntung. Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma’ al-Malik al-Fahd al- Madinah al-Munawwarah, 1415 H
247
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 10, Cet. Ke
–6, 5796
248
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I,164
adalah hati damai menerima menghadapi berjalannya hukum ketetapan Allah.
249
Menurut pendapat Muh}asibi ini, hukum Allah termasuk kehidupan di dunia. Disebutkan oleh Sa‘id Hawwa dengan mengutip Ibnu Kathir bahwa sifat
keridaan merupakan cerminan keimanan yang kuat tertanam dalam hati orang yang mulia. Kemuliaannya seperti dijelaskan berikut;
مه ك م ا م أ هئ ي أ هئ ي أ يأ ى ع ى عت ها هي جي ج ا أ م عا ,
م ص ش يف ا ها س س ى ع م تفص ء ج ق
.
250
Ketahuilah bahwa kemegahan itu diturunkan Allah kepada tangan para waliNya untuk wali-waliNya. Mereka tidak terkenal, kepribadian mereka
tertutup, dan sesungguhnya sifat mereka tersebut dalam hadis Rasulullah.
Kemegahan yang disebut Sa‘id H{awwa merupakan keistimewaan yang terdapat pada diri para wali Allah. Mereka inilah orang yang dirid}ai sebagaimana
dinyatakan dalam ayat, bahwa mereka sangat kuat memegang nilai tauhid dan taat dalam menjalankan ajaran agama. Seperti dijelaskan Sa‘id H{awwa bahwa ketaatan
dalam menjalankan ajaran agama tidak terbatas pada ketentuan fiqh dan ibadah fard}u tapi memperbanyak yang sunat juga dan mengikuti jalan tasawuf.
251
Keterpaduan dalam menjalankan ajaran agama yaitu selaras antara shariah dan tasawuf merupakan dasar untuk mendapatkan anugerah kemegahan yang dijelaskan
diatas. Sebagai disebut Sa‘id Hawwa, wali Allah yang mendapat kemegahan tersebut memiliki kepribadian yang luhur, rendah hati dan bahkan tidak dikenal masyarakat
luas. Keridaan Allah pada mereka ditunjukkan dengan keistimewaan yang terdapat pada mereka. Keridaan mereka ditunjukkan dengan keteguhan menjalankan ajaran
agama.
249
Anwar Fuad Abi Khazam, M u’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 90
250
Riwayat ini berasal dari Ibnu Abi Hatim. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo:
Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 10, Cet. Ke –6, 5805
251
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6, 353
Penafsiran Sa ‘id Hawwa mengenai kerid}aan pada wali Allah sejalan dengan kandungan ayat terkait dengan pertolongan batin
252
yang diberikan Allah.
Secara metodologis, penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa tetap mengacu pada zahir ayat sehingga makna ishari yang dikemukakan tidak keluar dari makna
zahirnya. Dalam penafsiran ayat 22 diatas, Sa‘id Hawwa mengemukakan pandangan
Ibnu Kathir untuk dasar penafsirannya . Ini merupakan metodologi Sa‘id Hawwa
dalam tafsir sufistiknya bahwa sering mengutip pendapat para mufasir dan mencantumkan riwayat-riwayat untuk memelihara syarat tafsir sufi ishari supaya
terlihat makna yang dikemukakan didukung dalil shar ‘i.
253
Sementara itu Ibnu Arabi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kerid}aan Allah adalah terhapusnya sifat manusia dengan sifat Tuhan yaitu dengan tajalli. Sedangkan
kerid}aan manusia tercermin dengan bertemu dan terhubung antara manusia dengan sifat
–sifat Tuhan.
254
Rid}a dalam pengertian Ibnu Arabi adalah terjadinya peleburan antara sifat yang ada pada manusia dengan sifat Tuhan sehingga yang muncul hanya
sifat Tuhan karena sifat manusia sudah diliputkanNya. Dapat diistilahkan dengan manusia bertajalli pada sifat-sifat Tuhan.
Penafsiran Ibnu Arabi diatas terlihat tidak mendekati paada makna zahir seperti yang ditemukan pada penafsiran Sa
‘id H{awwa dan Tustari. Penafsiran Ibnu Arabi diatas lebih mencerminkan paham filsafatnya yaitu wahdatul wujud dimana
keridhaan manusia dalam ayat tersebut menurutnya bersatunya sifat manusia dengan sifat Tuhan sehingga yang tinggal hanya sifat Tuhan. Adapun penafsiran Sa
‘id H{awwa dan Tustari pada intinya menyatakan bahwa kerid}aan manusia adalah
kepuasan dalam menerima balasan amal yaitu pahala yang besar dan hatinya senang menerima apa yang telah menjadi ketentuan Allah sesuai dengan yang didefiniskan
252
Lihat; komentar terjemahan dalam; Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik
al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H , 912
253
Abdul Warith M.Ali, Pengantar dalam tafsir Ibnu Arabi. Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al
–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke–2, 19
254
ها فصب صت اا
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427
H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 308
para ahli tasawuf. Penafsiran sufistik Sa ‘id H{awwa masih mengacu pada makna
zahir ayat sebagaimana dikemukakan juga oleh Tustari dalam tafsirnya.
2. Ayat 100 surat at –Taubah 9
Bersamaan dengan penjelasan ini, dalam surat at –Taubah ayat 100
diterangkan tentang ganjaran dari sikap rid}a mereka yaitu dibalasi Allah dengan surga yang kekal mereka didalamnya.
Penafsiran Sa ‘id H{awwa terkait dengan kerid}aan Allah dan manusia rid}a
kepada Allah dalam ayat ini menambah uraian sebelumnya ketika menafsirkan ayat 22 surat al
–Mujadalah, bahwa Allah merid}ai mereka dikarenakan amal–amal baik daripadanya.
Selanjutnya kerid}aan manusia kepada Allah ditafsirkan oleh Sa‘id Hawwa;
ي ي ا ي ي ا هت ع م م ي ع فأ ب
.
256
Manusia rid}a kepada Allah dengan merasakan nikmat melaksanakan ajaran agama dan menjalani segala hal kehidupan dunia yang didatangkan Allah.
Ini merupakan pengakuan yang tulus disampaikan oleh orang yang senang
menerima segala ketentuan Allah. Hatinya bahagia menerima beban agama sebagai ketetapan dari Allah. Terkait dengan kehidupan dunia, manusia rid}a menerima
segala yang dihadapi dan dipandangnya sebagai bentuk nikmat dari Allah.
257
Penjelasan ini mendukung kerid}aan manusia yang dikemukakan Sa ‘id H{awwa
255
Artinya; Orang –orang yang terdahulu lagi yang pertama masuk Islam diantara orang
Muhajirin dan Ansar dan orang –orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rid}a kepada
mereka dan merekapun rid}a kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir sungai
– sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalam selamanya, itulah kemenangan yang besar. Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
256
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 4, Cet. Ke
–6, 2343
257
Sebagaimana zunnun al-Misri menyebutkan demikian. Lihat; Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke–1, 90
dalam hal menerima segala ketentuan Allah dengan bahagia.
258
Pandangan Sa‘id H{awwa tentang rid}a sejalan dengan makna rid}a dikalangan sufi. Keridaan yang
paling tinggi dirasakan manusia bila menghadapi segala ketentuan Allah dipandang sebagai nikmat. Hal ini meliputi seperti ditegaskan Sharqawi yaitu semua yang
datang baik cobaan atau rezki, tetap senang dan cinta terhadap Allah.
259
Dengan demikian pandangan Sharqawi ini mendukung penafsiran rid}a yang dikemukakan
Sa‘id Hawwa. Sementara itu Ibnu Arabi dalam menafsirkan ayat 100 ini menjelaskan bahwa
kerid}aan Allah pada mereka orang beriman karena keterpaduan mereka terhadap tersingkap sifat
–sifat dan sampai kepada maqam rid}a yaitu pintu Allah yang sangat agung
مظعأا ها ب .
260
Maqam rid}a bagi orang beriman sebagaimana dimaksud merupakan jalan tersingkapnya akan sifat
–sifat al-H{aq. Keberadaan pada tingkat ridha dengan munculnya kashaf adalah dua hal yang bersamaan. Allah
merid}ai mereka karena mereka sudah mencapai maqam rid}a dan juga mereka mengalami kashaf. Penafsiran Ibnu Arabi diatas memberi pengertian bahwa
kedekatan yang dirasakan hamba dalam maqam rid}a menandakan tidak ada lagi batas antara hamba dengan Allah.
Penafsiran Ibnu Arabi tentang rid}a dimaksudkan sebagai kashaf sejalan dengan penafsirannya terdahulu bahwa rid}a menunjukkan larutnya sifat manusia
dalam sifat Tuhan sehingga maqam rid}a baginya membentuk hubungan padu antara hamba dengan Tuhan. Penafsiran seperti demikian tidak sejalan denmgan
penafsiran Sa ‘id H{awwa yang memahami kerid}aan manusia dengan menerima
segala yang ditetapkan Tuhan baik ganjaran akhirat ataupun keadaan di dunia. Bila
258
Uraian ini memperkuat bentuk keridhaan manusia kepada Allah, lihat; Sa‘id H{awwa, al–
Asas fi at –Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 10, Cet. Ke–6, 5796
259
Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke-
1,153
260
Maqam rid}a yang disebutnya sebagai pintu Allah yang agung مظعأا ها ب
. Selain itu, Ibnu Arabi menafsirkan kaum Muhajirin dengan orang yang hijrah dari tempat tinggal nafsu,
sedangkan kaum Ansar ditafsirkan sebagai orang –orang yang menolong hati dengan ilmu-ilmu hakikat
terhadap nafsu. Lihat, Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006
M, Jilid 1, Cet. Ke –2, 293
diperhatikan dalam rumusan –rumusan tasawuf, rid}a dalam pengertian Sa‘id
H{awwa yang mendekati pemahaman dan mudah diterapkan dan dirasakan.
261
Sehubungan dengan kashaf , Sa‘id Hawwa tidak melihat adanya pemahaman yang
mengandung demikian. Sedangkan Tafsir Ibnu Arabi karena berangkat dari ajaran filsafat sehingga mengarahkan pemahaman pada paham wah}datul wujudnya.
Penafsiran seperti inilah yang tergolong kepada tafsir sufi naz}ari dengan berlandaskan pada teori filsafatnya.
3. Ayat 59 at-Taubah 9 Mengenai kerid}aan manusia dalam menerima sesuatu dijelaskan juga dalam
ayat 59 at-Taubah bahwa manusia menerima apa yang telah ditentukan Allah kepada mereka.
Sa‘id Hawwa menyebutkan dalam tafsirnya terkait kerid}aan manusia;
م ا يخ م يص ق م س ف هب تب ط س ا هب م ب صأ م ا ض م أ
.
263
Mereka rid}a terhadap apa yang didatangkan RasulNya, jiwa mereka baik menerimanya. Sekalipun secara lahirnya sangat sedikit sesungguhnya yang
demikian itulah yang lebih baik bagi mereka.
Kerid}aan yang ditunjukkan dalam penafsiran Sa‘id Hawwa terkait ayat diatas adalah kerid}aan itu tidak memandang jumlah tapi menerimanya sebagai kebaikan
dan dengan hati senang. Selanjutnya ditafsirkan lebih dalam;
261
Lihat definisi yang dikemukakan tentang pengertian rid}a, Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke–1, 90
262
Artinya; Jikalau mereka sungguh –sungguh rid}a dengan apa yang diberikan Allah dan
RasulNya, mereka berkata, “ Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karuniaNya
dan demikian pula RasulNya”. Sesungguhnya kami adalah orang – orang yang berharap kepada Allah tentu itu lebih baik bagi mereka . Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
263
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 4, Cet. Ke
–6,2304.
قيف ت ا ىف ح ها ى غ ا ح ها ى ع ك ت ا ها ء طعب ض ا .
264
Rid}a dengan apa yang didatangkan Allah, bertawakal hanya kepada Allah dan berharap taufik hanya kepada Allah.
Keridaan tercermin dengan sikap bertawakal dan selalu mengharapkan taufik
dari Allah. Tawakal dan rid}a bila sudah tetap pada seseorang maka hubungan yang dekat dengan Tuhan akan dirasakan. Sebagai tanda dekatnya dengan Tuhan adalah
mendapat anugerah taufik dari Tuhan. Pandangan Sa ‘id H{awwa tentang rid}a
berdasarkan penafsirannya adalah menerima dengan senang hati semua yang dijadikan Allah untuknya. Makna rida ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh
zunnun al-Misri.
265
Sa ‘id H{awwa memahami antara rid}a dengan tawakal
merupakan dua hal yang saling terkait, dimana dalam rid}a terkandung padanya tawakal. Ibarat sisi mata uang, dibalik rid}a tersimpan tawakal dan sebaliknya.
Terkait dengan rida dan tawakal ini al-Jailani pernah menyebutkan bahwa siapa yang merasakan enak talazzuz dengan keridaan dalam menerima bencana
maka ia akan mendapat nikmat dari segala penjuru. Kelezatan rida akan muncul bila selalu mengingat mati.
266
Ini merupakan sikap yang dimiliki seseorang yang tidak terpikat dengan kelezatan dunia. Prilakunya dibuktikan dengan sikap rid}a atas segala
ketentuan Allah sehingga bencana yang datang dihadapi dengan rid}a. Ia tidak merasa terikat dengan kesenangan dunia. Penjelasan ini sangat berkaitan dengan rid}a
yang dinyatakan Sa‘id Hawwa diatas yaitu merasa senang apa saja yang menimpa diri.
Berdasarkan penafsiran Sa‘id H{awwa tentang maqam-maqam pada uraian
yang lalu dipahami bahwa antara maqam-maqam tersebut bagaikan tali-tali pengikat yang tidak terpisahkan. Dalam sifat sabar mengandung rid}a, dalam
264
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 4, Cet. Ke
–6,2305.
265
ء ضق ا ب ق ا س.
Lihat juga Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat
as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 90
266
ء ض ا كتء ج ك ى ع تمد ا ف ا ك ي ف ج ع ها ء ضقب ء ض ا
, ح ىف ء ض ب
ت م ج ك م مع ا كتء ج ءا ا Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-
Rahmaniy. Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Cet.ke-2,211
kerid}aan terdapat didalamnya sikap tawakal. Semua maqam mencerminkan akan hubungan yang dekat dengan Tuhan. Kedekatan orang bertawakal ditandai dengan
menerima taufik dari Allah. Begitu juga orang yang zuhud dan melakukan tobat yang sesungguhnya mendapatkan taufik dari Allah sebagai wujud kedekatannya.
Bila d iperhatikan penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa tentang rid}a diatas secara
metodologis sejalan dengan pengertian para ahli sufi. Selain itu makna yang dijelaskannya didukung oleh pengertian
shara‘ seperti ditegaskannya bahwa menjalankan ketentuan fiqh harus disejajarkan dengan tasawuf. Metode seperti ini
digunakan dalam mengemukakan makna sufistik sehingga tidak keluar dari makna zahir ayat.
4. Ayat 28 surat al –Fajri 89
Melalui surat al –Fajri 89 ayat 28 diterangkan tentang keadaan jiwa orang
mukmin yang rid}a rad}iyatan mard}iyyah dengan apa yang dialaminya, digambarkan oleh Alquran sebagai jiwa yang damai, tenang.
يض م يضا كب ى عج ا .
267
Sa ‘id H{awwa menjelaskan mengenai rid}a hamba dalam ayat diatas bahwa;
أ :
تيت أ ب ها م يضا أ سف ىف يضا .
268
ِArtinya ia rid}a melihat keadaan dirinya atau dipahami juga ia rid}a terhadap apa yang didatangkan Allah kepadanya.
Kerid}aan manusia ditunjukkan dengan bahagia menerima apa saja yang
didatangkan Allah kepadaNya. Inilah jiwa yang bersih, bila jiwa tidak bersih maka tidak akan sampai pada jiwa yang tenang mut}mainnah. Kerid}aan yang
ditampakkan merupakan saat akan menuju kehadirat Allah. Allah menggambarkan
267
Artinya; Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
268
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke
–6,6519
jiwa hamba tersebut sebagai jiwa tenang nafsu mut}mainnah.
269
Disebutkan juga oleh Sa
‘id H{awwa sebagaimana dikutip dari tafsir al-Alusi bahwa jiwa yang mut}mainnah itu adalah jiwa
mu’minah, jiwa tersebut tenang sampai menuju al-H{aq صا ا قح ا ى .. Artinya al–aminah - م ا yaitu jiwa yang aman yaitu terhindar
dari rasa takut, sedih dan tidak ada kebimbangan.
270
Kondisi tersebut bisa terjadi saat kematian, hari berbangkit atau saat masuk surga.
271
Kerid}aan hamba tersebut terkandung dalam jiwa mut}mainnah yang senang berjumpa dengan Allah. Disini
Sa‘id Hawwa tidak menjelaskan sampai menuju Allah itu mengambil posisi seperti apa. Misalnya penyatuan zat atau sifat atau berbentuk rohani. Ini salah satu bukti
bahwa penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa tidak mengarah kepada adanya paham
penyatuan antara hamba dan Tuhan. Selain itu Sa‘id Hawwa secara metodologis
menghindari penafsiran-penafsiran sufistik yang tidak didukung oleh dalil nas} atau dipandang bertentangan dengan
shara‘.
272
Ayat ini menggambarkan bahwa kerid}aan seperti ini adalah yang paling tinggi. Untuk menuju jiwa mut}mainnah yang rid}a menghadap Allah adalah dengan
menjaga kesucian rohani dan selalu merasakan dekat dengan Allah. Demikian penafsiran Sa
‘id H{awwa.
269
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke
–6,6519
270
Penafsiran yang sama disampaikan juga oleh al-Alusi yang dikutip oleh Sa‘id Hawwa.
Lihat juga; Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan,
Tah}qiq : Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 15, 438. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi
at –Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke–6,6519
271
Dalam menafsirkan ayat diatas, Sa’id Hawwa mengutip juga hadis Nabi Saw yang mengajarkan berdoa agar mendapatkan jiwa muthmainnah
. Diriwayatkan oleh Hafiz Ibnu ‘Asakir dalam tarjamah Rawahah binti Abi Umar al
–Auza’i dari Abi Umamah bahwa Nabi Saw pernah mengajarkan doa pada seseorang,”
كئ ضقب ىض ت كئ ق ب م ت طم كب سف ك أسأ م ا ق كئ طعب ع قت
. “ Artinya; Ya Allah, aku bermohon jiwa yang tenang yang yakin berjumpa denganMu,
ridha dengan ketentuanMu dan puas dengan pemberianMu. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir
Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke –6,6524.
272
Syarat tafsir sufi ishari diantaranya tidak bertentangan dengan shara‘. Lihat; Muhammad
Hamdi Zaglul, at –Tafsir bi ar–Ra’ yi Dimaskus:Maktabah al–Farabi, 14201999, Cet. Ke–1,442-3
Tanda senang berjumpa dengan Allah tampak dari mukanya yang berseri –seri
merasa bahagia rid}a karena usahanya
273
mencakup amal kebaikan dan ketaatannya dirid}ai oleh Allah
يضا يعس
. Jiwa tersebut bahagia merasakan kemuliaan dan pahala yang membawanya menuju Allah.
274
Keadaan ini cerminan calon penghuni surga di akhirat sebagai balasan amal di dunia.
Sementara itu Tustari menjelaskan bahwa yang diseru adalah jiwa yang tenang merupakan roh menempati nafsu dan yang mut}mainnah mus}addiqah tenang
lagi yakin akan pahala dan siksa. Jiwa yang rid}a adalah yang rid}a terhadap Allah dan dirid}ai karena jiwa tersebut tenang menuju Ilahi
ج ع ها ى س .
275
Jiwa yang tenang sebagaimana disebut Sa ‘id H{awwa adalah tidak ada keraguan
ataupun takut menghadapi perjumpaan dengan Allah, disebut juga dengan jiwa yang yakin akan pahala dan siksa. Jiwa mut}mainnah merasakan rid}a dengan segala yang
didatangkan Allah kepadanya. Penafsiran Tustari dengan Sa ‘id H{awwa sangat
berkaitan dan pada prinsipnya sama memahami dengan berpegang pada makna zahir ayat.
Adapun Ibnu Arabi menafsirkan rid}a pada ayat diatas tertuju kepada kesempurnaan sifat-sifat pada jiwa mut}mainnah. Dikatakannya, kembalilah kepada
Zat dalam keadaan rid}a yang sempurna keberadaan sifat –sifat. Rid}a terhadap Allah
tidak mungkin sebelum rid}a Allah kepadanya.
276
Kerid}aan hamba akan muncul bila
273
Bentuk usahanya disebutkan oleh Ibnu Arabi yaitu senantiasa dalam jalan kebaikan dan mendapatkan karunia dan menempuh jalan menuju Allah
ها ىف يس ا dalam keridaan yaitu selalu bersyukurdan tiada menyesal atau mengeluh. Lihat; Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:
Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke–2, 400. Dalam hal ini penafsiran surat al–
Ghashiyyah ini oleh Ibn u Arabi memiliki satu pandangan dengan yang dikemukakan Sa’id H{awwa
dan Tustari.
274
Demikian Sa’id H{awwa menafsirkan ayat 9 surat al – Ghasyiyah. Lihat; Sa‘id H{awwa, al
–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke–6,6495. Lihat juga Tustari, bahwa keadaan ini sebagai gambaran di akhirat karena menerima balasan nikmat dan
kemuliaan. Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I,192
275
Jiwa yang tenang kembali kepada Tuhan dengan jalan akhirat خ ا قي طب . Sahl
Tustari, Tafsir, h. 194
276
Diperkuat dengan mengemukakan ayat 119 surat al –Maidah, ه ع ا ض م ع ها ض ;
artinya Allah rid}a kepada mereka dan mereka rid}a kepadaNya. Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al
–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke–2, 404
hamba tersebut telah menampung sifat –sifat Tuhan secara sempurna, pada kondisi
demikianlah ia disebut dengan jiwa mut}mainnah. Jiwa demikian yang disebut jiwa yang kembali kepada Tuhan secara dhati sebab sifat
–sifat Tuhan tercermin padanya. Penafsiran Ibnu Arabi ini menguatkan akan paham wah}datul wujud yang
dianutnya. Jiwa mut}mainnah itulah yang dikatakan jiwa yang telah dirid}ai oleh Allah maka ia rid}a kepada Allah yang diwujudkan dengan kembali ke asalnya.
Menurut Ibnu Arabi jiwa mut}mainnah adalah yang menyerap sifat –sifat
Tuhan secara sempurna sedangkan Sa ‘id H{awwa dan Tustari menjelaskan jiwa
mut}mainnah
277
adalah jiwa yang rid}a terhadap ketentuan Allah dan dirid}ai menuju perjumpaan denganNya. Artinya jiwa mut}mainnah dapat dimiliki oleh semua
mukmin yang taat dan kembali menuju Tuhan tidak secara dhati seperti yang diterangkan Ibnu Arabi.
Makna kembali kepada Tuhan ditafsirkan Ibnu Arabi dengan terjadinya kesatuan antara jiwa mut}mainnah dengan zat Tuhan. Penafsiran demikian termasuk
menggunakan pendekatan makna ishari yang tidak mendekati makna zahir. Sementara Sa
‘id H{awwa masih berlandaskan pada makna zahir dalam tafsir sufistiknya.
F. Tafsir tentang Ayat-Ayat Mah}abbah