Tafsir tentang Ayat-Ayat Zuhud

ayat. Istilah Ibnu Arabi terkait dengan tobat diatas disebut sebagai tobat hakiki, Sa ‘id H{awwa menyebut sebagai tobat murni nas}uh}. Sa ‘id H{awwa menegaskan mengenai tobat yang murni harus terbukti dengan amal saleh, karena itu amal jahat yang lampau akan berganti menjadi amal baik, artinya amal jahat menjadi terhapus. Penafsiran Sa ‘id H{awwa dan penafsiran at- Tustari dan Ibnu Arabi saling mendukung pada penafsiran sufistik. Bila dianalisis penafsiran Sa ‘id H{awwa menghendaki tindak nyata dalam bertasawuf. Seperti ditegaskannya tobat tidak mencapai sasaran yang diharapkan untuk mengganti keburukan dengan kebaikan bila tidak ada usaha perbaikan termasuk perubahan dalam masyarakat. Ini sebagai ciri dari tasawuf Sa ‘id H{awwa yang ingin melakukan perubahan dalam masyarakat melalui pendidikan ruhani. 59 Dengan melihat penafsiran –penafsiran Sa‘id H{awwa diatas secara metodologis ia menggunakan makna ishari yang berdasar pada makna zahir sehingga penafsirannya dapat disebut dengan tafsir sufi ishari. Penafsiran sufistik masing –masing diatas dapat dipahami, masih berpegang pada makna zahir ayat. Ini mengindikasikan bahwa tafsir Ibnu Arabi tidak selalu meninggalkan makna zahir walaupun sering mengedepankan makna bat}iniyyah apalagi dengan didukung oleh tinjauan filsafatnya.

B. Tafsir tentang Ayat-Ayat Zuhud

Dalam urutan yang dikemukakan terdahulu, zuhud merupakan jenjang kedua setelah maqam tobat. Secara umum menurut para sufi, zuhud maksudnya berpaling dari kenikmatan dunia, meninggalkan kesenangan dunia demi mencari kesenangan akhirat. Abu Sulaiman ad –Darani menyatakan zuhud adalah meninggalkan apa saja yang melalaikan dari mengingat Allah. Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang 59 Makna ini dipaparkan dalam bukunya, lihat ; Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 2007 1428, Cet. Ke –9, 4. Lihat juga; Sayid M. Aqil bin Ali al–Mahdi, Madkhal ila at –Tasawwuf al–Islami Kairo: Darul Hadis, tth, Cet. Ke–2, 29. Ia menjelaskan Sa’id H{awwa termasuk pengkaji tasawuf yang berupaya menjadikan tasawuf agar berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. zuhud, katanya jangan anda pedulikan terhadap keenakan dunia. 60 Beberapa penjelasan tentang zuhud memberi pengertian bahwa kehidupan akhirat menjadi lebih utama dari kepentingan dunia. Berkaitan dengan istilah kata zuhud ditemukan dalam surat Yusuf 12 ayat 20. 61 Sekalipun dalam Alquran disebutkan hanya pada ayat tersebut bukan berarti prilaku zuhud sebagai maqam dalam tasawuf tidak ada anjuran dalam petunjuk ajaran agama. Bahkan melihat dari pengertian pokok dari zuhud diatas banyak ayat-ayat Alquran digunakan sebagai dasar untuk mendukung tentang prilaku zuhud tersebut. Diantaranya berbicara tentang keutamaan memperhatikan akhirat dari kehidupan dunia, juga celaan Alquran terhadap orang yang lebih mementingkan dunia. 1. Ayat 17 surat al –A‘la 87 Ayat Alquran sering mendorong manusia lebih memperhatikan kehidupan akhirat dari pada larut dalam kehidupan dunia dan bahkan kecintaan dunia dapat melalaikan dari perintah agama. Ayat 17 surat al –A‘la 87 menggambarkan pilihan orang yang terhadap kehidupan dunia. Sa‘id Hawwa menyatakan dalam tafsirnya pendapat an-Nasafi dan Ibnu Kathir; ىفس ا ق , أ : ح فت هب م عفت اف خاا ى ع . ي ك با ق : مأ ى ع م قت أ م ش عم ىف م حاص م عف هيف م ى ع ت خاا . م يخ خاا ا ا ىف ها ا ث 60 Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 94, Lihat juga al–Jarjani, Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifat Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 19881408 H, Cet. Ke–3,115 61 Ayat ini menerangkan sikap orang yang tidak berkecenderungan hati pada sesuatu dinyatakan dengan pengertian zuhud secara bahasa. Bunyi ayat; ا ك د عم مها د س ب ب ش ي ها ا م هيف , artinya; Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah yaitu beberapa dirham saja dan mereka merasa tidak tertarik hatinya pada Yusuf. 62 Artinya; Tetapi kamu memilih kehidupan dunia. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al- Munawwarah, 1415 H يق ب في ش خاا ي ف ي اد ي ا ف ىقبأ ي ا , م ى ع ى في م ق ع ث ي في ف ىق ي . 63 Artinya; Kamu mengutamakan kehidupan dunia dari pada akhirat maka hal yang kamu lakukan itu tidaklah memberikan keuntungan bagimu. Sementara itu Ibnu Kathir menyebutkan arti ayat; Kamu mendahulukan kehidupan dunia dari urusan akhirat dan kamu tonjolkan kehidupan dunia yang memberikan manfaat dan kebaikan dalam penghidupanmu. Pahala yang dijanjikan Allah di akhirat lebih baik dari dunia dan lebih kekal. Sesungguhnya dunia ini sifatnya sementara dan hancur lenyap, sedangkan akhirat itu mulia dan kekal. Mengapa orang yang berakal justeru mengutamakan sesuatu yang akan lenyap dari pada yang kekal. Demikian pandangan an-Nasafi dan Ibnu Kathir yang menjelaskan bahwa manusia yang lebih mengutamakan perhatian kehidupan dunia karena merasakan kesenangan sesaat yang cepat dirasakan. Sedangkan kebaikan di akhirat yang dijanjikan bagi orang yang memperhatikan urusan akhirat sifatnya kekal dan melebihi kesenangan dunia. Sa‘id Hawwa menegaskan akibat dari orang yang lebih mementingkan kehidupan dunia sebagai berikut; ي ا يح ا ي ه اص ا يك ت ا يك ت ا ف يسيئ ا ع ا 64 Alasan utamanya karena meninggalkan zikir, penyucian diri dan s}alat, itulah yang menjadi penyebab kecenderungan untuk mengutamakan kehidupan dunia. Sebagai akibat dari perhatian dalam kehidupan dunia melebihi urusan akhirat adalah akan melalaikan diri dari upaya menyucikan diri, berzikir dan s}alat. Dalam penafsiran Sa‘id H{awwa ini dipahami bahwa ayat diatas mendorong manusia agar lebih memperhatikan urusan akhirat dari pada kehidupan dunia. Orang yang mengutamakan kepentingan akhirat senantiasa berusaha untuk menyucikan diri dan merasakan supaya dekat dengan Allah. Untuk selalu merasakan dekat dengan Allah 63 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid11, Cet. Ke –6, 6482 64 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid11, Cet. Ke –6, 6482 ditunjukkan dengan berzikir dan s}alat. 65 Bila manusia lalai dari hal ini dan lebih disibukkan dengan dunia, berarti ia menghijab dirinya dengan Tuhan. 66 Sifat yang dijelaskan diatas merupakan cerminan dari sikap zuhud. Dijelaskan oleh Sa ‘id H{awwa, kandungan ayat ini menerangkan tentang nafsu jiwa bashariyyah ي ا سف ا yang dimiliki oleh setiap manusia. 67 Nafsu 68 bashariyah harus dibersihkan yaitu dengan s}alat, karena dengan s}alat banyak aspek terkandung didalamnya termasuk zikir, bertasbih sesuai dengan bunyi ayat pertama surat ini, menyucikan Allah, sucikanlah nama Tuhanmu dan sekaligus jalan untuk menyucikan diri. 69 Penafsiran Sa ‘id H{awwa diatas menekankan tentang nafsu bashariyyah yang punya kecenderungan kepada kehidupan dunia sehingga melupakan kehidupan akhirat yang lebih utama. Disamping itu, Sa ‘id H{awwa mementingkan penyucian diri manusia yang memberikan pengaruh positif pada prilaku. Nafsu bashariyyah jangan dibiarkan untuk memperturutkan keinginan rendah dan fana itu, justru harus dapat dikendalikan dan ditahan. Nafsu bashariyyah harus dibersihkan dari kecenderungan demikian agar meyakini akan kehidupan akhirat yang kekal. 70 Bertasbih dan kesucian manusia saling terkait, dengan selalu bertasbih menjadikan kesucian tetap pada nafsu bashariyyah. Nafsu bashariyyah merupakan 65 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke- 1,143 66 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke- 1,143 67 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid11, Cet. Ke –6, 6483 68 An-Nafs disebutkan oleh Sa‘id H{awwa, adalah roh setelah bercampur bergabung dengan jasad. Nafs memiliki kecenderungan pada kekal hissi materifisik atau maknawi. Karena itu nafs harus disucikan agar kembali ke sifat aslinya. Sa ‘id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke –9, 49 69 Bertasbih, menyucikanlah Allah supaya manusia berusaha meneladani kesucianNya dengan memperbaiki ibadah dan berzikir. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid11, Cet. Ke –6, 6483 70 Dilihat dari keadaan nafs pada manusia, dikatakan oleh Sa‘id Hawwa terbagi dua yaitu س م kotor dan ك م suci. Sa‘id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke –9, 51 lawan dari nafsu hayawaniyyah ي ا يح ا سف ا , artinya nafsu bashariyyah sebagai dorongan keinginan jiwa dalam diri manusia yang apabila tidak dikendalikan dapat jatuh kepada nafsu hayawaniyyah. 71 Nafsu hayawaniyyah tidak peduli akan kehidupan akhirat. Berkaitan dengan ayat diatas, Tustari menjelaskan bahwa tidak layak bagi mukmin untuk memiliki kecenderungan kepada dunia. Bila ini terjadi, ia bagaikan orang yang memegang berada pada sebatang kayu ditengah lautan sambil berseru wahai Tuhan, wahai Tuhan Berharap semoga Tuhan menyelamatkannya dengan tompangan kayu tersebut. 72 Perumpamaan yang dikemukakan Tustari menggambarkan kedudukan orang yang mengutamakan kehidupan dunia berada pada posisi yang lemah dan membahayakan bagi keselamatan dirinya. Bila diperhatikan penafsiran Tustari dan Sa ‘id H{awwa sama berpijak pada makna zahir ayat bahwa mementingkan kehidupan dunia akan mengotori jiwa manusia dan kedudukannya tidak akan selamat. Kemegahan dunia menjadikan ia lalai dan terlena jauh dari kesucian diri dan di akhirat hidupnya celaka. Selanjutnya Tustari menjelaskan, bagi seorang hamba mukmin yang zuhud pada dunia maka Allah mewakilkan untuknya malaikat yang bijaksana yang menanam dalam hatinya bermacam –macam hikmah. Gambaran orang tersebut seperti seseorang petani yang menanam banyak pohon di kebun –kebunnya. 73 Ini suatu keistimewaan yang dirasakan orang yang zuhud terhadap dunia, ia memperoleh sebagian rahasia hikmah gaib seperti rahasia sunnatullah. Semakin menjauh ia dari kesenangan duniawi akan bertambah hikmah yang diperolehnya yang membuat hatinya dikelilingi dan dipenuhi pohon hikmah bagaikan petani yang menanam pohon pada setiap kebunnya semakin lama akan berkembang. Begitupula seorang hamba 71 Jika nafs jiwa h{ayawaniyyah yang bergantung pada manusia maka ia bisa menyerupai hewan, demikian Ibnu Sina yang dijelaskan oleh Harun Nasution. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cet. Ke –8, 37 72 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I,192 73 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I,192 yang zuhud dari dunia akan dimudahkan Allah menangkap rahasia kejadian alam. Orang seperti ini dapat dikatakan senantiasa mendapat taufik, artinya harapannya selalu bersesuaian dengan takdir Allah karena telah dibukakan tabir oleh Allah untuk memahami rahasia sunnatullah. Zuhud dalam hal ini salah satu pembuka untuk dapat dapat berhubungan lebih dekat dengan Allah karena hati dan rohani telah disucikan seperti penjelasan Sa ‘id H{awwa. Kalau rohani telah suci maka untuk berhubungan langsung dengan yang maha suci lebih terbuka. Karena Tuhan itu suci maka ia dapat didekati oleh yang suci pula. 74 Surat al –A‘ala diatas tentang orang yang memilih kehidupan dunia lalu tentang keutamaan akhirat dari dunia ditafsirkan oleh Ibnu Arabi dengan orang yang lalai dan terhalang terhijab hatinya dari mengingat Allah dan s}alat. Mereka dilalaikan oleh kehidupan lahir dunia, kenikmatan dan keindahannya karena rohani mereka tidak bersih li ‘adami at-tazkiyah. Kecenderungan mereka pada dunia melebihi kecintaan pada kehidupan ruh}aniyyah yang hakiki dan kekal di akhirat. 75 Dalam tafsirnya tersebut, Ibnu Arabi menafsirkan tentang dua jenis kehidupan dalam ayat itu dengan kehidupan h}issiyyah lahir dunia berhadapan dengan kehidupan ruh}aniyyah akhirat kekal. Nyata tersebut dalam penafsirannya bahwa kehidupan diakhirat bersifat rohani dan kekal dan inilah kehidupan yang sesungguhnya bagi rohani yang suci. Mengenai gambaran kehidupan akhirat lebih utama dari kehidupan dunia dan kecenderungan manusia lebih pada dunia menunjukkan tidak ada perbedaan diantara Sa ‘id H{awwa, Tustari dan Ibnu Arabi. Mereka memaknai kecenderungan manusia mencintai kehidupan dunia membuat rohaninya tidak bersih. Sa ‘id H{awwa menyebut kecenderungan demikian dengan nafsu bashariyyah yang jatuh menjadi nafsu h}ayawaniyyah. Oleh sebab itu nafsu bashariyyah harus senantiasa disucikan 74 Harun Nasution, Tasawuf, dalam Budhi Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. Ke-2, 161 75 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 398 - 9 dengan s}alat, bertasbih, berzikir 76 karena semua itu bermuara pada kesucian rohani. Bila nafsu bashariyyah dijaga selalu suci maka prilaku zuhud akan tercermin dalam kehidupannya. Dalam istilah Tustari diatas orang yang zuhud demikian mendapat kemuliaan dengan mengetahui bermacam hikmah gaib dalam perbuatan Allah di alam ini yang dikenal sebagai sunnatullah. Sedangkan Ibnu Arabi sebagaimana ia jelaskan dalam tafsirnya menyebut orang yang mencintai kehidupan dunia atau kehidupan h}issiyyah berarti membuat hijab sendiri antara ia dengan Tuhan. Rohani kotor dalam istilah Ibnu Arabi disebut sebagai Rohani yang terhijab artinya bila rohani itu suci tentu hijab menjadi terbuka untuk berzikir dan berkomunikasi dengan Allah. Kemudian yang lebih sempurna lagi diakhirat hijab tersebut tiada lagi bagi rohani yang suci. Berkaitan dengan sikap zuhud ini, Nabi pernah menganjurkannya agar seseorang dapat dicintai oleh Allah dan disukai oleh manusia. Berdasarkan hadis diriwayatkan oleh Sahal bin Sa ‘ad –ra– ia berkata, seseorang pernah bertanya kepada Nabi tentang amal yang dengan itu ia menjadi dicintai oleh Allah dan Manusia. Nabi menjawab zuhudlah kamu. س ا ى حأ ها ى حأ هت ع ا ع ى ع ى د ها س ي , قف : ها ك حي ي ا ىف ه ا س ا ك حي س ا ع يف ه ا . يغ هج م با ا . 77 Hai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amal yang bila dikerjakan maka aku dicintai Allah dan disukai manusia. Jawab Nabi: Zuhudlah kamu pada dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia niscaya manusia menyukaimu. Penafsiran –penafsiran diatas pada dasarnya memberikan inti yang sama terkait dengan kesucian rohani. Sa ‘id H{awwa lebih tampak menekankan pada aspek tingkah laku dimana sikap zuhud sebagai cerminan rohani yang suci, disamping itu 76 Dengan zikir akan merasakan kehadiran Tuhan di dalam hati, makanya hati akan membuka tabir dengan zikir. Sebagaimana dikatakan al-Jailani; Lidah merupakan anaknya hati dan ia selalu mengikutinya hati. Abdul Qadir Al-Jailani,. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy. Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Cet.ke-2, 102, 77 Ibnu H{ajar al-Asqalani L. 773 H, Bulughul Maram Bandung: Mat} ba’ah al-Ma’arif, t.th, 301 Tustari menekankan aspek karamah yaitu menerima berbagai hikmah ilahi yang dialami bagi orang yang zuhud. Pemahaman kesucian rohani demikian juga ditemukan dalam tafsir Ibnu Arabi yang menekankan pada istilah terbukanya h}ijab bila mengabaikan kesenangan dunia. Jika diperhatikan lebih teliti penafsiran Sa ‘id H{awwa mempunyai dimensi sosial dan memberikan contoh prilaku yang mengajak orang lain untuk memperbaiki diri menuju kesucian rohani. Bedahalnya dengan Tustari yang dipahami lebih condong kepada perbaikan kualitas diri sendiri agar merasa dekat dengan Tuhan dan merasakan hikmah ilahi. Begitu pula Ibnu Arabi, yang lebih menonjolkan pengertian perbaikan pribadi bahwa orang yang mencintai dunia terh}ijab dari mengingat Allah dan s}alat, sebaliknya dengan mencintai akhirat membawa pada kesucian rohani dan terbuka hijab mendorong untuk selalu berzikir. Perbedaan diatas memberikan kesan bahwa Sa ‘id H{awwa berupaya memperjuangkan kesucian rohani menjadi suatu gerakan massal dalam bertasawuf, tidak terbatas perbaikan diri sendiri tapi harus dirasakan secara kolektif. Penafsiran Sa ‘id H{awwa yang memaknai cinta dunia dengan nafsu bashariyyah yang tercemar oleh keinginan buruk. Makna ini sebagai pemahaman dari keinginan manusia yang lebih terikat dengan kepentingan dunia sehingga tidak dipikirkan kehidupan akhirat yang lebih utama. Nafsu bashariyyah beda dengan nafsu h}ayawaniyyah bahkan lebih tinggi namun bila nafsu bashariyyah tidak dikendalikan dapat membawa manusia kepada prilaku hewan. Derjatnya turun menjadi makhluk yang hina bahkan lebih rendah dari hewan. 78 Hewan menjalani hidup dunia tanpa memperdulikan kehidupan setelah ini. Dalam kaitan dengan zuhud maka nafsu bashariyyah jangan diperturutkan namun harus diisi dengan zikir. Tampak dari penafsiran Sa ‘id H{awwa terhadap ayat diatas dengan nafsu bashariyyah sejalan dengan makna zahir ayat dan didukung oleh hadis yang dikemukakan diatas. Dengan mengutamakan kehidupan akhirat, itu menunjukkan perilaku zuhud pada dunia. Penjelasan Sa ‘id H{awwa di atas, didukung juga oleh 78 Lihat, QS. Al- A‘raf 7: 179, At-Tin 95: 4-5 penjelasan Tustari yang sama –sama berpegang pada makna zahir ayat. Kenyataan demikian memperkuat tafsir Sa‘id Hawwa sebagai penafsiran berorientasi sufistik. Selain itu, Ibnu Arabi dalam hal ini juga menafsirkan dengan tidak meninggalkan makna zahir. Sekalipun ia menggunakan istilah lain tapi memiliki semangat yang sama. Dengan demikian dari aspek pemikiran tafsir beberapa penafsiran diatas termasuk pada pendekatan isyari yang berlandaskan makna zahir. 2. Ayat 4 surat ad} –D{uha 93 Selanjutnya berkaitan dengan kelebihan akhirat dari dunia ditunjukkan juga dalam surat ad} –D{uha 93 ayat 4; . 79 Makna keutamaan kehidupan akhirat menurut ayat ini ditafsirkan Sa ‘id H{awwa dengan mengutip an-Nasafi sebagai berikut; م يخ د ع ا ي ا د ا ح ا د ح ا ق ا م خاا ىف ك ها عأ م أ ي ا ىف ك جعأ . 80 Artinya diantara yang disiapkan Allah diakhirat seperti kedudukan yang terpuji maqam mahmuda, telaga yang disediakan dan kebaikan yang dijanjikan adalah lebih baik dari apa yang mengagumkanmu di dunia. Disebutkan oleh Sa‘id Hawwa bahwa keadaan yang dialami nabi Muhammad yang mampu berhubungan dengan Allah lewat wahyu, yang disebut juga dengan habibullah itu adalah kemuliaan yang paling agung yang tiada lagi kemuliaan dunia lebih dari itu. Adapun di akhirat posisi nabi Muhammad memiliki derjat yang paling tinggi diantara para Nabi begitu pula umat Muhammad menjadi saksi atas umat nabi lain. Kemegahan dan kemuliaan yang dirasakan siapapun di dunia tidak sebanding 79 Artinya; Kehidupan akhirat lebih baik bagimu dari kehidupan dunia. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 80 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid11, Cet. Ke –6, 6568 dengan kemuliaan yang disiapkan Allah di akhirat. 81 Keutamaan akhirat itu karena berada pada posisi maqam mah}muda yang diperoleh sebagai ganjarannya bagi orang yang tidak cenderung pada kesenangan dunia. Bagi yang ingin mencapai maqam mah}muda harus meyakini bahwa kebaikan akhirat melebihi apa yang ada di dunia. Orang yang menjadikan kehidupan akhirat lebih utama dari kehidupan dunia merupakan perwujudan sikap zuhud. Sementara itu Tustari menafsirkan ayat diatas bahwa keutamaan akhirat disamping sebagai maqam mah}muda juga sebagai tempat ع ف ا حم shafa ‘at. Hal demikian lebih tinggi dari predikat kenabian dan risalah yang diberikan Allah di dunia. 82 Prilaku zuhud pada dunia menjadikan diri sangat mulia di akhirat. Kemuliaan akhirat menurut at-Tustari bila dibandingkan dengan kedudukan sebagai nabi, masih mulia kehidupan akhirat yaitu maqam mah}muda tersebut. Seterusnya Sa ‘id H{awwa menyatakan dalam tafsirnya, prilaku nabi Muhammad menunjukkan bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik dari kehidupan dunia. Ia adalah orang yang paling zuhud pada dunia dan jauh dari kemegahan hidup duniawi. Nabi pernah mengatakan bahwa perumpamaan kehidupan dunia baginya seperti petualang berkuda yang singgah dibawah pohon rindang untuk beristirahat kemudian ia pergi meninggalkan pohon itu. 83 Kehidupan dunia hanyalah tempat persinggahan untuk melanjutkan perjalanan menuju kehidupan yang kekal di akhirat. Tidak patut seseorang menjadikan tempat singgah sebagai tujuan dan menumpahkan kesenangan padanya sehingga melupakan tujuan yang sebenarnya. Penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari menjadikan maqam mah}muda sebagai kedudukan tertinggi di akhirat. Pemahaman sufistik ini diambil dari makna 81 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid11, Cet. Ke –6, 6568. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh al-Alusi tentang kedudukan nabi Muhammad yang memberikan shafa‘at yang meninggikan derjat orang mukmin. Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al- ‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq: Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 15, 478. 82 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I,197 83 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid11, Cet. Ke –6, 6571 zahir ayat yang menyatakan kehidupan akhirat yang kekal lebih tinggi dari dunia yang fana ini. Artinya penafsiran diatas tetap memperhatikan makna zahir ayat yang mengandung bahwa akhirat lebih tinggi dari dunia. Dengan sikap zuhud demikian kedudukan nabi sendiri di dunia, nanti mendapat tempat lebih mulia maqam mah}mu.da yang lebih tinggi dari kehidupan dunia sekarang. Sementara itu menurut tafsir Ibnu Arabi ayat diatas menjelaskan tentang keadaan hidup di akhirat lebih baik dari hidup yang pertama dunia sebab ketenangan hidup di akhirat dengan wujudnya yang kekal. Keadaan di akhirat maksudnya adalah tercapainya tajalli 84 setelah lama terhijab dan didorong kerinduan yang dalam terhadap Allah. 85 Selama di dunia masih merasakan h}ijab maka diakhirat tajalli betul dapat dirasakan dan disadari. Inilah makna dari keutamaan hidup akhirat dari dunia. Penafsiran Ibnu Arabi terkait ayat ini lebih tegas menyatakan keutamaan akhirat yaitu tidak sekedar menempati posisi mulia maqam mah}muda tapi kemuliaannya terletak pada tajalli yang dirasakan manusia. Tajalli merupakan proses tertinggi tasawuf dan merupakan idaman para pelaku tasawuf. Kedudukan seperti inilah yang dalam istilah Sa ‘id H{awwa dan Tustari menyebutkan dalam tafsirnya sebagai maqam mah}muda. Sedangkan Ibnu Arabi tidak menyebut istilah maqam mah}muda tapi dengan makna tajalli. Memang bila diperhatikan istilah maqam mah}muda oleh Sa ‘id H{awwa dan Tustari masih bersifat umum, bahkan Sa ‘id H{awwa menambahkan sebagai kebaikan yang disiapkan khair mau ‘ud , hawd} maurud - telaga yang disediakan ح ا د ا atau disebut juga oleh Tustari sebagai tempat munculnya shafa ‘at. Disini terdapat perbedaan mendasar antara Ibnu Arabi dengan Tustari dan Sa ‘id 84 Ada tingkatan-tingkatan tertentu sebagai proses dalam latihan ruhani yang dikenal di kalangan sufi yaitu: takhalli lepaskan diri dari pengaruh dunia – tah}alli isi jiwa dengan akhlak mulia – tajalli terbuka hijab antara hamba dengan Tuhan. Penjelasan ini dipetik dari; Barmawie Umarie, murid langsung Prof. Dr. Hamka dalam ilmu tasawuf. Barmawie Umarie, Systematik Tasawuf Sala: Penerbit AB. Sitti Sjamsijah, 1966, Cet. Ke-2, 12 85 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 411 H{ awwa dalam memaknai “ Sesungguhnya akhirat lebih baik bagimu dari dunia”. Bila dicermati lebih jauh maka Ibnu Arabi menafsirkannya dengan tajalli, Tustari dengan adanya shafa ‘at, sedangkan Sa‘id H{awwa kebaikan atau telaga yang indah. Artinya Ibnu Arabi tidak lagi memahaminya sebagai kebahagiaan h}issiy tapi merupakan kebahagiaan ruhani. Pemahaman Ibnu Arabi ini mendukung penafsirannya pada surat al –A‘la terdahulu tentang kehidupan rohani yang hakiki di akhirat. Berdasarkan pandangan demikian, rohani yang suci akan terbuka h}ijab baginya terutama di akhirat kelak sebagaimana makna ayat tersebut. Penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari menunjukkan kebahagiaan akhirat dengan bersifat nyata atau masih bersifat kesenangan fisik, sementara Ibnu Arabi memahami dengan kesenangan rohani yaitu sebagai tajalli pada Tuhan. Bila diperhatikan penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari yang tidak menggunakan istilah demikian karena memang tidak didukung secara zahir oleh ayat. Ini sebagai bentuk ciri dari penafsiran sufi ishari. Sebaliknya, Ibnu Arabi mengemukakan demikian sesuai dengan pemikiran filsafatnya yang dikenal dengan tasawuf naz}ari tentang wujud di akhirat bersifat rohani, sebagai bentuk ciri dari penafsiran sufi naz}ari. 3. Ayat 77 surat al –Qas}as} 28 Ayat lain yang mendukung bahwa kehidupan akhirat harus lebih diutamakan dari kehidupan dunia seperti ayat 77 surat al –Qas}as} 28. 86 Artinya; Carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H Sa‘id Hawwa menjelaskan bahwa diantara yang dikaruniakan Allah yaitu kekayaan dan perbendaharaan harta ا ى غ ا م digunakan untuk kepentingan hidup akhirat. Maksudnya dijelaskan lebih lanjut; ي ا ا بأ ى ف صت مح ا صت ءا قف ا ى ع صتت أب . 87 Kekayaan tersebut engkau gunakan dengan bersedekah kepada kaum miskin, engkau mengembangkan tali silaturrahmi dan melakukan hal-hal yang mendatangkan kebaikan. Dengan demikian kekayaan yang dimiliki dapat dirasakan juga oleh orang lain ditambah dengan menyambung hubungan persaudaraan merupakan upaya membuat orang lain bahagia. Tindakan seperti ini sebagai sarana meraih kebahagiaan untuk negeri akhirat. Selain melakukan hal demikian, harus diwujudkan pula bahwa kecenderungan kepada akhirat membuat diri merasakan lebih dekat kepada Allah, seperti dijelaskan dibawah ini. ا أب هي قت ا كب ع ط ىف ئ ط ا ع ا ي ج ا ا ا ه م ها ك ه م عتسا ب ق ا . 88 Jadikanlah harta dan kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepadamu sebagai sarana untuk menjadikan taat kepadaNya dan menambah kedekatan diri serta ketundukkan kepadaNya. Allah mendorong manusia untuk bekerja memperhatikan keperluan dunia disamping perintah untuk bekerja untuk kepentingan kehidupan akhirat. Sa ‘id H{awwa menafsirkan perintah ayat tersebut dengan segala bentuk karunia Allah seperti nikmat yang luas digunakan sebagai perwujudan ketaatan dan taqarrub berusaha merasa dekat kepada Allah. Hal demikian akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. 89 Disamping itu jangan lupa memperhatikan 87 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 7, Cet. Ke –6, 4113 88 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 7, Cet. Ke –6, 4112 89 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 7, Cet. Ke –6, 4113 keperluan terkait dengan urusan dunia bahwa ada bermacam –macam hak yang harus dipenuhi seperti bagi Tuhan ada haknya, diri sendiri ada haknya, keluarga ada haknya, suamiisteri ada haknya karena itu setiap hak tersebut harus ditunaikan masing –masingnya. 90 Dari ayat tersebut ada dua hal pokok yang dikemukakan yaitu perintah untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat dan larangan agar tidak mengabaikan keperluan kehidupan dunia dengan melaksanakan masing-masing hak secara seimbang. Bila diperhatikan penafsiran Sa ‘id H{awwa diatas terkait ayat 77 tersebut, mengindikasikan bahwa kehidupan akhirat adalah objek utama dari misi ayat tersebut, karena yang disebut pertama dengan redaksi perintah sedangkan tentang persoalan kehidupan dunia redaksinya lebih rendah. Artinya persoalan yang lebih utama adalah mengejar kepentingan untuk kehidupan akhirat kelak. Seperti dijelaskan Sa ‘id H{awwa bahwa aktifitas memenuhi persoalan keduniaan juga tidak bisa lepas dari kepentingan akhirat. Objek yang dilakukan zahirnya keperluan dunia tapi pada dasarnya juga berkait dengan kebahagiaan di akhirat juga. Misalnya perkara menyangkut hak –hak yang disebutkan diatas harus dilaksanakan sebagai kewajiban pribadi manusia, bila diabaikan maka berarti termasuk bertindak zalim. Apapun bentuk kezaliman, apakah pada diri sendiri, keluarga apalagi berhubungan dengan Allah semuanya mengandung dosa. Penafsiran Sa ‘id H{awwa diatas prinsipnya mendorong manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah baik itu menyangkut aktifitas perkara dunia yang bisa langsung dirasakan hasilnya didunia ini atau menyangkut ibadah formal yang ganjarannya diakhirat nanti. Ini merupakan dasar dari proses tasawuf yaitu membentuk kesadaran diri agar merasa dekat dengan Allah dalam segala aktifitas yang dilakukan. Bila dilakukan analisis penafsiran terkait ayat 77 diatas dengan tafsir al-Alusi, tidak ditemukan penafsiran sufistik seperti yang dilakukan Sa‘id Hawwa sebagaimana 90 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 7, Cet. Ke –6, 4113 terlihat di atas. Dalam tafsirnya, al-Alusi lebih melihat makna bahasa dari struktur ayat. 91 Ini menunjukkan bahwa tafsir al —Alusi sebagai salah satu rujukan utama dalam penafsiran Sa‘id Hawwa tidak serta merta sama pandangan sufistiknya dalam melihat ayat-ayat yang bercorak tasawuf. Ini sekaligus membuktikan akan kebera daan tafsir Sa‘id Hawwa yang pada dasarnya memiliki kecenderungan sufistik. Artinya pemikiran sufistik Sa‘id Hawwa tidak hanya mengambil dari para penafsir terdahulu tetapi ia juga mengemukakan pandangan sendiri disamping melakukan pengembangan pemikiran tafsir masa lalu. Kecenderungan penafsiran Sa‘id H{awwa untuk lebih memperhatikan kehidupan akhirat dari dunia sejalan dengan pengertian zuhud yang dikemukakan para ahli sufi. 92 Sikap zuhud dalam hal ini diwujudkan dengan menjadikan kenikmatan dunia sebagai sarana agar lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Makna sufistik yang diun gkapkan Sa‘id Hawwa mudah diterapkan dan lebih kongkrit karena sejalan dengan makna zahir ayat. Sa‘id Hawwa dalam menangkap isyarat ayat sesuai dengan sikap zuhud yang dilakukannya. Kehidupan zuhudnya ditunjukkan dengan kesederhanaan dan pengabdian hidupnya ditujukan untuk memperjuangkan syariat Islam di Syria. 93 Kenyataan ini sebagai cerminan bahwa pengorbanan Sa‘id Hawwa didunia dalam rangka meraih kebahagiaan akhirat yang lebih kekal. 4. Ayat 38 -39 al –Mukmin 40 Berkaitan dengan zuhud terhadap dunia, Sa ‘id H{awwa menambahkan penjelasan dengan mengutip ayat 38 -39 al –Mukmin 40. 91 Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq : Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 10, 418. 92 Berpaling dari kenikmatan dunia demi mencari kesenangan akhirat. Kenikmatan dunia yang diperoleh digunakan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al –Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke–1, 94 93 Al –Mustasyar, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer Jakarta: Al- I‘tis}am Cahaya Umat, 2003, 402-3 . . 94 Disebutkan oleh Sa‘id Hawwa dalam tafsirnya tentang makna ayat diatas; غ ا يق ه د ش ا ي س . ه يف مه ه ف ي ا ب حتتف ف سف هت عد ىف جأ أ عب خأا ى ع ه ثا ق ىت ا . 95 Sabil ar-rashad adalah jalan yang benar lawan dari jalan yang sesat. Setelah ia menghimpunkan dalam dakwah ajakannya maka keyakinannya sudah jelas. Karena itu, ia terdorong dengan merendahkan kehidupan dunia sehingga ia menjadikan mereka zuhud pada dunia yang dulu mereka lebih mengutamakannya dari akhirat. Ayat ini sebagaimana dijelaskan Sa‘id Hawwa, menceritakan tentang seorang beriman diantara pengikut Fir‘aun yang menyerukan kepada golongannya bahwa jal an Fir‘aun adalah sesat. Ia mengajak untuk tidak mencintai dunia dan mengikuti jalan kebenaran yang disampaikan Musa agar mementingkan kehidupan akhirat. 96 Zuhud dalam penafsiran Sa‘id Hawwa adalah memandang rendah kehidupan dunia dan sikap zuhud terhadap dunia termasuk jalan yang benar. Lebih jauh dijelaskan Sa‘id Hawwa; ي ا ىف ه ا ه هقي ط د ش ا يا ب أ ى ش ك ىف . 97 Mengikuti seruan ajakan bertauhid adalah isyarat menunjukkan kepada permulaan jalan kebenaran dan sarananya adalah melakukan zuhud pada dunia. 94 Artinya; Orang yang beriman itu berkata, “ Hai kaumku ikutilah aku, lalu aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar د ش ا ي س . Hai kaumku sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 95 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6, 4963. 96 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6, 4963. Penjelasan senada juga ditemukan dalam tafsir al-Alusi terkait dengan salah seorang mukmin dari pengikut Musa yang mengajak kepada jalan yang disampaikan Musa. Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq: Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 12, 433 97 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6, 4963 Ayat ini menurut Sa ‘id H{awwa mengajak manusia untuk menzuhudkan diri pada dunia yaitu memandang rendah kehidupan dunia. Zuhud pada dunia merupakan sarana menempuh kebenaran dan sebagai jalan menuju kebenaran rasyad. 98 Selanjutnya ayat berikut menjelaskan, kehidupan dunia adalah kesenangan sementara. Dijelaskan oleh Sa ‘id H{awwa bahwa larut dalam kesenangan dunia merupakan pangkal kejahatan dan sumber bencana sedangkan akhirat adalah tempat yang kekal, baik dalam bentuk kenikmatan atau kesengsaraan sesuai dengan amal perbuatan. 99 Penjelasan Sa ‘id H{awwa diatas menegaskan bahwa kekekalan akhirat mencakup dua hal apakah kerugian dengan menanggung siksaan ataukah kemenangan dengan mendapat ganjaran kebahagiaan yang dirasakan. Sebagai cerminan orang yang zuhud adalah dengan memilih kehidupan akhirat. Disebutkan oleh Sharqawi, zuhud adalah mengandung berbagai kebaikan yang sempurna karena itu orang zuhud tidak peduli dengan dunia dan perhatiannya tertuju pada akhirat. 100 Zuhud merupakan awal menempuh kebenaran dalam agama yang membawa kebahagiaan di akhirat. Jalan menuju Allah bukan melalui jalan fisik, inderawi ىسح ا قي ط ا tapi jalan rohani dengan melaksanakan ajaran-ajarannya. 101 Uraian Sa‘id Hawwa di atas yang didukung pula oleh penjelasan dari ahli tasawuf, sehingga penafsiran Sa‘id Hawwa semakin tampak orientasi sufistiknya. 5. Ayat 77 surat an –Nisa’ 4 Mengenai orang yang lebih mengutamakan kesenangan dunia dan takut ditimpa kematian yang berarti akan memisahkannya dari kesenangan dunia, termasuk dalam prilaku yang dicela Alquran. Hal ini seperti ditunjukkan dalam surat an – Nisa ’ 4 ayat 77. 98 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6, 4963 99 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6, 4963 100 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke- 1,168 101 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6, 4962 Kesenangan dunia dalam ayat diatas dijelaskan oleh Sa‘id H{awwa yaitu; مئاد خاا تم ئا ي ق ي ا تم , ي ق ف ا ا ف ش ى ع ك ا ي ا . في ف ئا ا ي ق ب . 103 Kesenangan yang diperoleh di dunia itu dianggap sedikit tingkatnya rendah dan akan hilang sedangkan kesenangan yang dijanjikan di akhirat sifatnya tetap. Sekalipun kesenangan dunia itu banyak diraih tetapi bila kesenangan tersebut hilang ketinggiannya tidak langgeng maka ia dipandang sedikit. Kemudian, bagaimana jadinya bila yang sedikit itu pun lenyap. 104 Sa ‘id H{awwa menjelaskan tentang ayat diatas bahwa betapapun besar dan banyaknya kekayaan didunia semuanya akan hilang, lenyap, sedangkan kenikmatan akhirat itu tetap dan tidak berobah. Demikian gambaran kesenangan dunia yang sifatnya sangat sementara. Masalah mendalam terkait makna ayat itu adalah tentang kesenangan dunia. يح ا ح ه , خأتي ا قتي ا ا أ ف عم خا س ب ي ا قيقح ف عم . 105 Maksudnya adalah cinta terhadap kehidupan. Terkait dengan cinta kehidupan, ada dua hal yang harus diketahui. Pertama mengetahui hakikat dunia yang sangat berkaitan dengan mengetahui akan hakikat akhirat. Kedua, mengetahui bahwa kematian adalah hal yang tidak dapat dimajukan dan dimundurkan. Maksudnya adalah orang yang mementingkan kehidupan dunia h}ubbul h}ayah dan tidak mempedulikan akan kepentingan hidup di akhirat. Ini yang 102 Artinya; Mereka ber kata, “ Wahai Tuhan kami mengapa engkau wajibkan berperang pada kami? mengapa tidak engkau tangguhkan kewajiban berperang pada kami beberapa waktu lagi. Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanyalah sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang bertakwa dan kamu tidak dianiaya sedikitpun. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 103 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6, 1130 104 Penjelasan Sa ‘id Hawwa ini, tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan al-Alusi dalam tafsirnya. Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq : Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 3,118. 105 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6, 1130 dikatakan oleh Sa‘id Hawwa bahwa orang yang tidak mengetahui hakikat dunia dan hakikat akhirat hanya akan memperhatikan kehidupan yang sekarang saja. Ia tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan akhirat. M akna zuhud bagi Sa‘id Hawwa dalam ayat ini yaitu memberikan perhatian yang besar kepada akhirat dari pada mencintai kehidupan dunia. Ini dapat dijalani bila seseorang mengetahui hakikat dunia dan akhirat. Orang yang zuhud mempunyai cara pandang yang optimis dalam menjalani kehidupan, dapat berkarya dan beraktifitas tanpa melupakan hakikat kehidupan akhirat. Selain itu, kematian menurut Sa‘id H{awwa adalah sesuatu yang tidak dapat dimajukan atau ditunda. Artinya, manusia senatiasa dituntut untuk menyucikan jiwanya dan selalu menjaga dirinya dari hal-hal yang akan mengotorinya. Bagi orang yang suci jiwanya, kematian bukanlah hal yang ditakutkan tapi proses untuk menerima kesenangan yang sesungguhnya. Sehingga ia akan melakukan kebajikan sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan ibadahnya. Pengertian ini sesuai dengan ayat 9-10 surat asy-Syams 91; ه ك م ح فأ ق . ه سد م خ ق . 106 Karena itulah untuk mengetahui hakikat dunia berhubungan dengan hakikat akhirat dimana hakikat dunia fana sedangkan hakikat akhirat dawam kekal. Ibaratnya kematian merupakan hal yang tidak dapat ditunda dan dimajukan tapi pasti terjadi. Larut dalam cinta pada kehidupan berarti tidak mengetahui hakikat dunia. Menyinggung ayat ini tentang hakikat dunia pernah ditanyakan kepada Tustari, ia mengatakan dunia itu adalah kebodohan kecuali majlis ilmu, ilmupun hanyalah tempat wacana berdebat kecuali ilmu yang diamalkan. Amal yang dikerjakan semuanya hampa bagaikan debu yang beterbangan kecuali amal yang didasarkan kepada keikhlasan. Adapun keikhlasan tidak sempurna kecuali dengan sunnah. Selanjutnya ditegaskan Tustari terkait pertanyaan ini bahwa duniamu adalah 106 Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H, 1064. dirimu bila dirimu mencapai fana maka tidak ada lagi dunia bagimu. 107 Menurut Tustari hakikat dunia terletak pada diri manusia sendiri. Dalam diri manusia ada nafsu, dunia akan terasa fana seperti kefanaan diri. Kemudian bagi Sa ‘id H{awwa hakikat dunia adalah cinta pada kehidupan fana, yang disudahi dengan kematian sebagai akhir kehidupan dunia tidak kekal. Bila kematian datang berarti diri sudah tidak ada lagi fana sama halnya dunia tidak lagi berhubungan dengan diri. Dunia bagi diri sudah mengalami kefanaan. Penafsiran Tustari dan Sa ‘id H{awwa mengenai dunia mengarah pada kefanaan diri bahwa bila diri sudah fana maka dunia tidak dirasakan lagi. Adapun yang mengikat manusia dengan dunia menurut Sa ‘id H{awwa adalah keadaannya yang hanyut dalam cinta terhadap kehidupan. Orang yang zuhud tiada merasa keterikatan dengan dunia. Menurut Tustari sebagaimana dipahami dari tafsirnya, dunia dapat dilepaskan dari diri manusia tanpa menunggu kematian sebab yang mengikat manusia dengan dunia adalah dirinya. Sedangkan pandangan Sa ‘id H{awwa, dunia dapat dilepaskan dari diri seseorang bila ia tidak lagi cenderung kepada dunia. Sekiranya dirinya mengalami fana yang sesungguhnya itulah mati yang lepas dari dunia. Sedangkan cinta terhadap kehidupan itulah dorongan nafsu. Pandangan Sa ‘id H{awwa sejalan dengan tafsiran Tustari yang menyatakan bahwa nafsu itulah dunia itu sendiri. Seseorang yang mengabaikan cinta kehidupan dunia berarti ia telah menghilangkan melakukan fana terhadap dirinya dari dunia. Penafsiran Sa ‘id H{awwa menunjukkan bahwa manusia bisa lepas dari dunia bila ia meninggalkan dorongan nafsu cinta dunia atau meninggalkan dunia. Terlihat penafsiran Sa ‘id H{awwa dalam hal ini berlandaskan pada makna zahir ayat. Melihat penafsiran Sa ‘id H{awwa demikian, menunjukkan kepada corak tasawuf amali. Sementara itu menurut tafsir Ibnu Arabi, hakikat kehidupan dunia adalah kehidupan h}issiyyah perasaan indera, akal pikiran. Ibarat permainan yang tidak 107 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 54 berasal dan tidak berhakikat, cepat lenyap,habis dan tidak abadi. Hal demikian beda sekali dengan akhirat sebagai alam rohani. 108 Kehidupan dunia sebagai perasaan berdasarkan akal pikiran dan penggambaran secara makna. Penggambaran atau pemunculan ide berdasarkan objek, tanda oleh akal pikiran. 109 Karena demikian, dunia ini sangat terikat dengan materi. Dalam hal ini, penafsiran Ibnu Arabi pada dasarnya menyinggung tentang kefanaan di dunia. Ibnu Arabi menyorot juga bahwa kehidupan akhirat tidak lagi mengenal materi, bahkan dengan tegas disebutnya sebagai alam rohani, lawan dari kehidupan dunia yang menonjolkan materi. Secara umum, penafsiran Ibnu Arabi juga menganggap kehidupan akhirat lebih utama dari kehidupan dunia sebagai cerminan prilaku zuhud. Pengungkapan makna sufistik oleh Ibnu Arabi terkait ayat diatas an- Nisa’: 77 masih sejalan dengan makna zahir ayat, sebagaimana terkandung juga dalam penafsiran Sa‘id Hawwa dan at-Tustari. Dari uraian penafsiran Sa‘id Hawwa tentang pandangannya terhadap akhirat lebih utama dari pada dunia sejalan dengan rumusan yang dikemukakan oleh para sufi. Diantaranya mengatakan, berpaling dari keenakan dunia. 110 Metodologi penafsiran makna isharinya terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan berpedoman pada makna zahir ayat. Kesejalanan penafsiran Sa‘id Hawwa dengan tafsir at-Tustari merupakan salah satu indikasi penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa. 6. Ayat 20 surat ash–Shura Allah Swt telah menjanjikan kepada siapa yang zuhud maka akan menerima ganjaran lebih besar dari sekedar imbalan amalnya. Dasar dari pandangan ini termaktub dalam surat ash –Shura ayat 20. 108 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke –2, 221 109 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke –2, 365 110 Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 94, Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke-1,168 Menurut tafsir Sa ‘id H{awwa tentang h}arthul akhirah maksudnya adalah amal untuk mengharap pahala demi kepentingan hidup akhirat. Selanjutnya dijelaskan dengan mengutip Ibnu Kathir; أ : ء ي م ى فعض ئ ع س ى مأ ع سح ب هي ج ء د صب ه م ى ع ه يع هي ق ها . 112 Artinya; Kami beri kekuatan dan kami menolongnya untuk mencapai tujuannya. Kami kembangkan dan kami beri ganjaran amalnya dengan kebaikan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat sesuai yang dikehendaki. Allah itu maha pemberi rezki Razzaq terhadap hambanya. Beramal untuk akhirat merupakan kewajiban manusia sebagai hamba, bukan sebaliknya bahwa beramal untuk akhirat menjadi penghalang untuk mendapatkan rezki. Justeru suatu keuntungan bagi zahid dimana dengan amal orientasi akhirat tersebut ia mendapat keistimewaan yaitu bagian di dunia dan di akhirat sekaligus. Sa‘id Hawwa menerangkan dalam tafsirnya bahwa makna tambahan keuntungan pada pangkal ayat adalah; 113 ه سح ىف فيعضت ا أ ه ع ىف قيف ت ب أ : Bentuk keistimewaan bagi orang yang mengutamakan akhirat adalah Allah akan anugerahkan taufik dalam perbuatannya atau dilipatgandakan dalam keberkahannya. 111 Artinya; Siapa yang menginginkan keuntungan akhirat, kami tambah keuntungan itu untuknya. Dan siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 112 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6, 5080 113 Kami tanbah bagian keuntungan baginya, artinya: kami anugerahkan taufik dalam perbuatannya dan dikembangkan keberkahannya. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6, 5080 Taufik 114 dalam istilah sufi merupakan keuntungan yang luar biasa diperoleh bagi orang yang zuhud. Apa saja perbuatan yang dilakukannya mendapat bimbingan dan dirid}ai Tuhan. Banyak kemudahan yang akan diperoleh dan harapannya sejalan dengan yang dikehendaki Tuhan. Segala sesuatu yang dilakukan didunia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dinyatakan oleh at-Tustari dalam tafsirnya sebagai sikap qana ’ah di dunia dan rid}a di akhirat. Orang yang termasuk h}arthul akhirah beramal orientasi akhirat, dalam melakukan kewajiban sebagai hamba tidak menuntut bagian apapun seperti imbalan di dunia bahkan surga. 115 Orang yang menginginkan h}arthul akhirah memang tidak memikirkan imbalan apapun karena ia merasa apa yang dinikmati sekarang datangnya tanpa diminta melainkan anugerah Allah. Inilah rezki yang merata pada semua makhluk. Keyakinan bagi orang yang tergolong h}artsul akhirah, maka ia akan merasa sangat puas di dunia dan di akhirat. Usaha yang dilakukan sejalan dengan keinginannya, ini termasuk makna dari taufik. Pengertian ini merupakan makna dari firman Allah; “kami tambahkan untuknya bagian akhiratnya”. 116 Kepuasan di dunia ditunjukkan dengan keikhlasan sedangkan kepuasan di akhirat ia dapat melihat Tuhan. 117 Bagi Tustari dengan amal h}arthul akhirah tersebut kebahagiaan dunia akhirat dapat tercapai keduanya. Taufik yang dianugerahkan Allah merupakan kesesuaian antara tindakan hamba dengan ketentuan sunnatullah. Dalam pandangan tasawuf, seseorang yang sudah terasa dekat dengan Allah terbuka baginya sebagian h}ijab rahasia sunnatullah. 114 Taufik seperti dikemukakan dalam Mu’jam istilah sufi adalah perbuatan hamba yang dijadikan Allah sesuai dengan apa yang disukai dan dirid}aiNya. ض ي ه حي قفا م د ع عف ها عج Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 94, Kesesuaian taufik berlaku hanya dalam hal kebaikan, Lihat juga; Raghib As}fahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al – Quran Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2004 1425 H, h. 601. 115 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I,138 116 Lihat, QS. ash –Shura ayat 20. 117 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I,138 Ia sendiri yang membuka hijab dengan sikap zuhud padanya, 118 sehingga keinginannya sejalan dengan ketentuan atau kehendak Allah. 119 Kalau makna taufik betul dirasakan seorang hamba maka kegagalan dalam kehidupan boleh jadi menunjukkan akan prosesnya dialihkan kepada yang lebih baik. Sebaliknya orang yang menginginkan bagian dunia, dijelaskan dalam tafsir Sa‘id H{awwa dengan mengutip tafsir Ibnu Kathir sebagai berikut; خاا ى ه سي ي ا م ئيش ه صحي هيعس ك م خاا ها ح ت ا مه ه ا صحي م ء ي م م طعأ ء ش ي ا مأ . 120 Siapa yang berusaha untuk mengharapkan hasil terbatas di dunia dan bukan untuk kepentingan akhirat maka Allah akan haramkan akhirat. Adapun yang orientasi amal di dunia, jika dikehendakiNya, Dia berikan sebagiannya dan jika tidak dikehendaki maka tidak akan menghasilkan apapun. Mengenai harthud dunya ي ا ح adalah beramal untuk kepentingan dunia maka ia hanya akan mendapatkan bagian dunia yang memang telah menjadi rezki untuknya sesuai usahanya. Sehubungan dengan keinginannya atau apa yang dikehendakinya tidak masuk dalam kategori itu. Bila muncul kegagalan atau ketidak sempurnaan yang dihadapinya merupakan hal yang wajar karena jauh dari makna taufik sehingga tidak mendapat pengetahuan hidayah untuk memahami proses hukum Allah. Inilah maksud dari tafsir yang dikemukakan Sa‘id Hawwa; أ : هيغت ي ي ي م ا ه ه سق ا هق ه م يش هت ي ه ع ك م . 121 Lebih menyedihkan lagi, kenikmatan akhirat diharamkan baginya bahkan siksaan yang diperoleh. 122 Adapun rezki yang diperoleh oleh mereka yang menuntut imbalan kehidupan dunia tak obahnya rezki yang dibagikan Allah kepada semua 118 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke- 1,169 119 Taufik itu hanya dari Allah; ه ب ا ىقيف ت م . QS. Hud : 88 120 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6, 5080 121 Artinya; siapa yang beramal untuk tujuan di dunia, kami berikan sebagian dari padanya yaitu rezki yang memang menjadi bagiannya. Itu bukanlah cerminan sebagai yang diinginkan atau yang dicarinya. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 10, Cet. Ke –6, 5080 122 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 10, Cet. Ke –6, 5080 makhluk. Artinya orang yang cinta kehidupan dunia h}arthud dunya ي ا ح tidak mendapatkan taufik dari Allah sebagaimana dirasakan bagi para zahid. Taufik yang dirasakan para zahid akan membuka hatinya untuk menjalani proses hukum Allah sunnatullah. Demikianlah keistimewaan bagi zahid, pertama ia merasakan manisnya beramal untuk hartsul akhirah karena mendapatkan kedua bagian dunia dan akhirat. Di dunia ia merasakan qana ’ah dan di akhirat ia rid}a dari segala ganjaran. Keistimewaan kedua menurut Tustari bagi zahid adalah melihat Allah 123 di akhirat, 124 dimana hal ini tidak dirasakan bagi orang yang h}arthud dunya. Sebagaimana dikemukakan at-Tustari, Sa ‘id H{awwa juga menegaskan bahwa orang yang beramal h}arthul akhirah tidak saja menerima pahala akhirat tapi memperoleh bagian didunia dan diakhirat disamping juga menerima taufik dari Allah. Artinya penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari saling mendukung, bahwa dalam memahami makna sufistiknya sejalan dengan makna zahir ayat. Adapun tafsir Ibnu Arabi dalam memberikan penafsiran tentang orang yang menginginkan h}arthul akhirah pada ayat tersebut merupakan keinginan dan tuntutan yang kuat mendapat tambahan bagian ganjaran akhirat dalam rangka menuju al-H{aq agar merasakan dekat denganNya. Sebagai tambahan bagiannya, Dia sempurnakan keadaannya di dunia dan di akhirat. 125 Sebaliknya bagi orang yang memilih h}arthud dunya berarti ia menggiring hawa nafsunya ke level yang rendah dan ia jauh dari al-Haq. Ia tetap mendapatkan bagian dunia sesuai usahanya yang diperolehnya sebagai rezki sebagaimana posisi kebanyakan makhluk tidak lebih dari itu; هي ع ي ما ق ه مسق م ه يص ه م . 126 123 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I,138 124 Mengenai melihat Tuhan, Sa ‘id Hawwa sependapat dengan at-Tustari bahwa orang mukmin nanti di akhirat akan melihat Tuhan dengan mata kepala sendiri. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at –Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 11, Cet. Ke–6, 6268 dan 6276. 125 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 218 126 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 218 Penafsiran Ibnu Arabi ini terkait h}arthud dunya memiliki makna yang sejalan dengan penjelasan Sa ‘id H{awwa bahwa rezki yang diterimanya merupakan bagiannya; م ا ه ه سق ا هق هيغت ي ي ي . 127 Bagian yang diperolehnya di dunia sebagai pilihan h}arthud dunyanya merupakan curahan dari sifat Rahman dari Allah yang menimpa seluruh makhluk. Kesamaan lain terkait penafsiran tentang h}arthul akhirah bahwa orang yang memilih jalan tersebut tidak saja mendapat imbalan akhirat tapi meraih bagian di dunia dan di akhirat, seperti terlihat uraian Ibnu Arabi dan Sa ‘id H{awwa diatas. Orang yang menginginkan keuntungan akhirat merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan sebagaimana tercermin dalam penafsiran Sa‘id H{awwa dan Ibnu Arabi. Dari penafsiran –penafsiran tentang ayat 20 diatas, ditemukan kesamaan pandangan bahwa orang yang menghendaki visi amalnya h}arthul akhirah akan memperoleh bagian keduanya, tidak saja bagian akhirat tapi juga mendapatkan bagian di dunia. Artinya amal orientasi akhirat yang dilakukan sudah dapat dirasakan atau mempunyai efek di dunia ini apalagi nanti di akhirat. Pandangan ini sesuai yang dikemukakan oleh at-Tustari, Sa ‘id H{awwa dan Ibnu Arabi. Adapun keistimewaan lain yang dirasakan menurut at-Tustari adalah bagian di akhirat mendapat nikmat lain yaitu melihat Tuhan, sedangkan bagi Sa ‘id H{awwa keistimewaan itu adalah mendapat taufik dari Allah. Adapun Ibnu Arabi mengistilahkan dengan hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan bagi orang yang zuhud tersebut. Inilah kesempurnaan yang diterima oleh mereka yang menghendaki h}arthul akhirah pada ayat diatas. Dari bentuk penafsiran demikian, dipahami bahwa penafsiran Sa ‘id H{awwa, at-Tustari dan Ibnu Arabi, terlihat pada pendekatan makna zahir dan ishari dalam penafsiran mereka. Adanya kesamaan pandangan tasawuf demikian, maka hal itu memperkuat akan penafsiran sufistik Sa‘id H{awwa.

C. Tafsir tentang Ayat-Ayat Sabar