pertimbangan bahwa tema tersebut yang sering diungkapkan oleh para ahli tasawuf sebagai jenjang tahapan dalam bertasawuf. Mengingat tema
–tema tersebut memiliki landasan kuat yang terungkap dalam Alquran .
Maqam –maqam yang diangkat dalam penelitian ini akan dieksplorasi
secara tematis dalam Alquran. Tema –tema dari maqam tersebut diidentifikasi dalam
ayat –ayat melalui penafsiran Sa‘id H{awwa untuk kemudian dideskripsikan dan
dianalisis komparatif guna mengetahui metodologi penafsiran serta corak pemikiran tafsir sufistik Sa
‘id H{awwa.
A. Tafsir tentang Ayat-Ayat Tobat
Tobat menurut istilah para sufi adalah kembali kepada ketaatan dari perbuatan maksiat, kembali dari nafsu kepada haq jalan kebenaran.
4
Dalam kitab ta’rifat
dijelaskan bahwa tobat adalah kembali kepada Allah dengan melepaskan ikatan yang membungkus hati mengekang kemudian bangkit menuju memenuhi hak Rab
Tuhan semesta alam.
5
Sementara itu zunnun al-Misri membaginya bahwa tobat orang awam dari dosa, tobat orang khusus dari kelalaian dan tobat para nabi ketika
melihat kelemahannya dalam ibadah dibandingkan dengan keberhasilan yang dicapai.
6
Sahl at-Tustari pernah ditanya; apakah tobat itu ? jawabnya; Tobat itu maksudnya ialah jangan lupa terhadap dosamu.
7
Jawaban Sahl ini mengisyaratkan bahwa dalam bertobat kita harus menyadari sungguh
–sungguh akan dosa yang dilakukan baik terkait dengan Allah atau kaitannya dengan manusia lain dan selalu
mengharap ampunan Allah bahkan terhadap dosa apapun yang harus dihindari.
4
Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 64
5
Syarif Ali bin Muhammad al –Jarjani, Kitab Ta’rifat Beirut: Darul Kutub Ilmiah,
19881408 H, Cet. Ke –3, 70. Terdapat juga dalam; Abi Khazam, Mu’jam …, 64
6
Abu Bakar Muhammad Al-Kalabazi, At- Ta‘arruf li madh-hab Ahli at-Tas}awwuf Kairo:
Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 13881969, Cet.ke-1,111
7
Abi Khazam, Mu’jam …, h. 64. Dari pengertian ini ditegaskannya tobat itu wajib setiap saat,
maka inilah yang disebut at –taib ئ ت ا , Lihat juga; Sahl at-Tustari, At–Tustari, Tafsir at–Tustariy
Beirut:Darul Kutub al –Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke–I, 74
Sejalan dengan pemahaman tobat diatas, ditemukan dalam Alquran berbagai bentuk penjelasan tentang tobat.
Penulis akan uraikan penafsiran Sa’id H{awwa tentang ayat
–ayat yang terkait dengannya.
1. Ayat delapan surat at- Tah}rim 66 Sehubungan dengan perintah bertobat, ditemukan ayat yang ditujukan Allah
kepada orang beriman dengan menekankan tentang tobat murni yang terdapat dalam ayat 8 surat at- Tah}rim 66 .
.
Mengenai makna tobat nas}uha dikemukakan dalam tafsir Sa‘id Hawwa;
أ :
ص خ أ قد ص ب ت .
ي ك با ق :
يس ا م ق م ح ت م ج قد ص ب ت ,
م ت اء ا م ط عتي ك ع ف ت هع جت ئ ت ا ثعش
.
9
Artinya: tobat yang benar atau yang murni. Ibnu Kathir mengatakan dengan tobat yang benar dan memutuskan maksudnya menghapus kesalahan-
kesalahan sebelumnya. Menghimpun yang terserak atau mengumpulkannya dan menghapuskan segala perbuatan yang hina.
Istilah tobat nas}uh}a dalam ayat diatas dimaknai oleh Sa
‘id H{awwa yaitu tobat s}adiqah jujur, benar dan khalis}ah murni, bersih, tulus.
Selanjutnya dijelaskannya dengan mengutip Ibnu Kathir bahwa taubat nas}uh}a adalah tobat yang menghapus kesalahan yang lewat. Berbagai kekusutan ataupun
kesalahan yang membuat diri terhina dan rendah lalu dihimpun dan menjadi terhapus
8
Artinya; Hai orang yang beriman tobatlah kamu kepada Allah dengan tobat yang sesungguhnya
ح ص ب ت
, Tuhanmu akan menghapus kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir sungai
–sungai dibawahnya. Alquran dan Terjemahnya, Depag-Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
9
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 10, Cet. Ke
–6, 6004
dengan tobat.
10
Artinya tobat tersebut berfungsi menghilangkan dan menghapus kesalahan. Tobat juga dipahami dapat memutus rangkaian dosa ibarat memutus tali
yang mengikat suatu benda. Apabila ujung tali dekat benda tersebut dipotong maka tidak ada lagi hubungan tali dengan benda tersebut. Begitulah tujuan yang
dikehendaki dari tobat nas}uha. Selanjutnya dijelaskan oleh Sa‘id H{awwa dengan mengutip tafsir an-Nasafi;
أ س ا حص ت ب ت دا ي :
ج ا ه عتسا ح ص ىف ه ثأ ظ م ى مه ع ت
ت يضتقم ى ع ع ا ىف ي ع ا .
11
Dan yang dimaksud juga adalah tobat yang memberi pengaruh pada manusia lain. Artinya dengan bertobat, dapat mendorong orang lain agar mengikuti
seperti demikian karena pengaruhnya tampak nyata dalam kehidupan orang yang bertobat itu sendiri. Merealisasikan tobat dalam prilaku yang
ditunjukkan dalam aktifitasnya dengan kesungguhan dan keinginan kuat.
Tobat seperti ini secara langsung memberi pelajaran kepada manusia karena pengaruhnya jelas bagi pelaku tobat dengan niatnya yang bulat dan ditunjukkan
dengan amal saleh yang dapat disaksikan. Orang yang betul –betul bertobat tidak
hanya memberi manfaat kepada dirinya sendiri tapi orang lain merasa terajak karena prilaku yang ditampakkannya setelah melakukan tobat. Pengertian dari penafsiran
Sa ‘id H{awwa ini menunjukkan bahwa prinsip dalam tasawufnya ingin membangun
manusia yang berhati bersih dan dekat dengan Tuhan secara kolektif. Proses untuk membentuk masyarakat supaya berhati suci dan merasakan dekat dengan Tuhan
menurut Sa‘id H{awwa tidak perlu mengambil jalan tarikat. Ia menginginkan tasawuf seperti yang dilakukan para salafi dengan berpedoman pada Alquran dan Sunnah.
12
10
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 10, Cet. Ke
–6, 6004
11
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 10, Cet. Ke
–6, 6004
12
Disebutnya bahwa Ia bukan merusak hubungan para pelaku tarikat dengan shaikh. Ia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak ada keterkaitan dengan tarikat.
ىسف يقأ ا أ ف صت ا ى ع تط تشا قي طب
. م خ يش ع س ا ف ي أ ى ع صي ح تس
. , Lihat; S
a‘id Hawwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke
–9, 12.
Tobat yang berimplikasi pada orang lain sehingga tercermin dalam prilaku sehingga secara tidak langsung terbangun tobat secara kolektif. Selain itu, terlihat
juga bahwa Sa‘id H{awwa tidak menginginkan terkonsenterasi pada satu sistem seperti guru tarikat. Artinya tasawuf dapat dilakukan oleh individu-individu tapi
bermakna kolektif. Bila masing-masing orang menjalankan aspek-aspek tasawuf tentu akan tercipta gerakan tasawuf massal.
Keinginan Sa‘id H{awwa ini tercermin dalam tafsir sufistiknya yang menekankan aspek praktis dalam memahami ayat. Salah satu
indikatornya adalah dengan berpegang pada makna zahir ayat ketika menjelaskan makna sufistiknya dan ia menghindari penjelasan yang abstrak.
13
Seterusnya penjelasan mengenai janji Allah sebagaimana tercantum dalam ayat bahwa Allah akan memasukkan orang yang bertobat kedalam surga, menurut
Sa ‘id H{awwa hal itu terjadi jika melakukan tobat nas}uh}a.
14
Sementara itu Tustari dalam tafsirnya mengemukakan bahwa tobat nas}uh}a tidak berbuat
kembali kesalahan. Ibaratnya; Orang yang suka muh}ib hamba tidak mau menghampiri pada sesuatu yang tidak disukai kekasihnya Allah. Tanda orang
bertobat menurut Tustari tidak menghiraukan bumi atau langit tapi jiwanya menempati posisi berada di
’arsh dan disisi Allah sampai ia meninggal dunia. Bila orang jarang bertobat, ketika saat didatangi malaikat maut maka ia akan berkata
tinggalkan aku, berikan aku kesempatan hidup untuk dapat berbuat baik. Selanjutnya bagi orang yang bertobat mukhlis} ketika menghadapi maut, dikatakan baginya;
Alangkah cepatnya engkau datang, jawabnya; kami datang sekira sebagaimana engkau datang.
15
Selanjutnya ditegaskan Sa ‘id H{awwa terkait taubat nas}uh}a dengan
mengutip perkataan Umar bin Khattab bahwa dalam bertobat artinya seseorang tobat dari dosa kemudian tidak mengulanginya atau tidak ada keinginan kembali lagi pada
13
Salah satu syarat tafsir sufi ishari adalah tidak keluar dari makna zahir ayat. adh –
Dhahabi,at –Tafsir wa al-Mufassirun Kairo: Tp, 13961976,juz 2,279.
14
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid10, Cet. Ke
–6, 6005
15
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 171
dosa untuk selamanya.
16
Menurut Sa ‘id H{awwa tobat yang paling tinggi adalah yang
dilakukan secara istimrar berkelanjutan sampai berpisah dengan dunia. Ini sesuai dengan kandungan dari riwayat yang dikemukakan bahwa makna tobat tidak ingin
kembali pada dosa artinya bertobat terus menerus sehingga hati tertutup untuk berbuat dosa.
17
Tidak saja terhadap dosa yang lewat, bahkan untuk berbuat dosa yang baru tidak ada celah lagi karena dalam pikiran selalu ingat dosa.
18
Dalam tafsirnya, Sa ‘id H{awwa mengemukakan pandangan ulama terkait
dengan proses bertobat. Pertama, harus meninggalkan atau mencabut sedalamnya akan perbuatan dosa. Kedua, menyesali perbuatan salah pada masa lalu dan bertekad
untuk tidak melakukan pada masa datang. Ketiga, berkenaan dengan hak dan kesalahan dengan manusia harus diselesaikan haknya. Jadi tobat itu memutus
kesalahan masa lalu sebagaimana Islam memutus ajaran sebelumnya jahiliyah.
19
Penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari dalam memaknai tobat nas}uh}a sebagai
maqam yang tetap pada seseorang sampai ia meninggal dan ditegaskan bahwa ia tidak bakal kembali lagi. Hal beginilah yang menjadikan sesorang masuk surga sesuai
janji Allah pada ayat tersebut sebagai balasan dari tobat nas}uh}a. Penafsiran Sa
‘id H{awwa tentang tobat pada ayat ini lebih kepada perubahan prilaku dan dapat ditunjukkan dengan amal saleh. Prilaku dan amal saleh bertujuan
agar kesadaran orang yang bertobat dapat berpengaruh pada orang lain. Nas}uh}a dalam hal ini adalah tobat yang dilakukan sepanjang hayat. Sebab dengan tobat
begitulah dapat merasakan hubungan yang dekat dengan Allah. Disamping merasa dekat juga menyucikan rohani, bila rohani senantiasa bersih dengan tobat maka dapat
16
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid10, Cet. Ke
–6, 6013
17
ا بأ هيف د عي ا مث ا ى ك ى ع ا تساا ص ا ب ت ا ط ش م Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–
Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid10, Cet. Ke –6, 6013
18
ك ىس ت ا أ ب ت ا Tobat itu adalah kamu tidak lupa terhadap dosa. Sahl at-Tustari, At– Tustari, Tafsir at
–Tustariy Beirut:Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke–I, 74
19
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid10, Cet. Ke
–6, 6014
membuka tabir antara hamba dengan rahasia gaib yang dalam istilah tasawuf dikenal dengan kashaf.
20
Makna tobat yang dijelaskan Sa ‘id H{awwa sejalan dengan konteks ayat
secara zahir. Ia kemukakan juga riwayat serta pandangan ulama untuk mendukung penafsirannya, seperti riwayat Umar bin Khat}t}ab, pandangan at-Tustari, Ibnu
Kathir dan an-Nasafi. Tobat yang berkelanjutan demikianlah yang bisa menghapus kesalahan
–kesalahan. Kesamaan pandangan Sa‘id H{awwa dengan at-Tustari dalam penafsiran tersebut, menjadi indikasi bagi ciri sufistik penafsiran
Sa‘id Hawwa. Dijelaskan juga dalam tafsir Ibnu Arabi bahwa tobat nas}uh}a berfungsi
memperbaiki jiwa yang rusak, membetulkan yang salah atau menutup yang cacat, sebab hal yang rusak, salah atau cacat tersebut tidak dapat baik kembali kecuali
dengan tobat. Tobat inilah yang disebut dengan tobat khalis}ah yaitu murni dari ketercampuran atau tercemar dari kecenderungan kepada hal
–hal yang mengandung dosa kepada posisi ia bertobat
ه ع ت ا ق ا ى ي ا ش ع ص خ ب ت
.
21
Penafsiran Ibnu Arabi terkait dengan tobat nas}uh}a menegaskan bahwa dengan tobat nas}uh}a seseorang terlepas dari dosa, naik taraqqi dari maqam yang
masih tercemar dengan dosa ke maqam tobat yang membuka hijab antara hamba dengan Tuhan. Maqam ini memperbaiki dan menyempurnakan yang rusak dari
kesalahan dan dosa.
22
Inti dari penafsiran Ibnu Arabi dengan Tustari dan Sa ‘id H{awwa sama–sama
berlandaskan pada makna zahir, tobat nas}uh}a. Artinya penafsiran sufistik mereka dalam hal ini masih tetap memperhatikan zahir ayat. Dengan tobat
nas}uh}a mereka sepakat bahwa kesalahan dan dosa yang diperbuat dapat bersih dan membuat jiwa suci untuk kembali kepada Tuhan. Karena tobat dilakukan terus
20
Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 147.
21
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2,
Cet. Ke –2, 333
22
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2,
Cet. Ke –2, 333
menerus maka kedekatan dengan Tuhan dapat dirasakan yang diwujudkan dengan terbuka h}ijab oleh Ibnu Arabi. Hanya dengan jiwa yang suci itulah menjadikan
hamba masuk surga sejalan dengan kandungan ayat diatas. Menurut tafsir Ibnu Arabi, surga yang disiapkan tersebut mempunyai
tingkatan sesuai dengan tingkatan tobat seseorang. Awal dari tingkatan tobat menurutnya adalah meninggalkan maksiat dan kembali kepada Allah, sedangkan
tingkatan terakhir adalah kembali kepada Allah dari menjauhi dosa apapun sesuai pemahaman ahli hakikat yaitu dosa
–dosa yang merupakan bagian dari induk dosa besar.
23
Disamping itu Sa ‘id H{awwa juga mengenal tingkatan tobat bahwa yang
paling tinggi adalah istimrar dalam bertobat dimana tidak terbatas pada tujuan penghapusan dosa yang lalu tapi terus menerus bertobat sampai badan berpisah
dengan dunia.
24
Kualifikasi tobat demikian berimplikasi kepada upaya menghindari dosa
–dosa lain tidak semata–mata menutup dosa lampau sehingga membentuk jiwa yang suci yang selalu merasa dekat dengan Tuhan.
Makna utama dari penafsiran Tustari dan Ibnu Arabi tentang tobat nas}uh}a dalam ayat diatas yaitu terbuka hijab antara hamba dan Allah. Tustari
memaknainya dengan berhubungan langsung dengan Allah dimana hamba tidak merasa bergantung kepada bumi dan langit tapi melampaui keduanya yaitu berada
dekat disisi Allah. Adapun Ibnu Arabi menjelaskan bahwa tobat demikian membukakan hijab dimana hamba naik menuju Tuhan dengan istilah taraqqinya.
Pandangan demikian tidak ditemukan dalam tafsir Sa ‘id H{awwa baik istilah taraqqi
ataupun hijab. Tampak disini bahwa Sa ‘id H{awwa lebih dekat pada makna zahir
dalam mengemukakan makna isharinya dibanding seperti yang ditunjukkan oleh Tustari dan Ibnu Arabi. Satu sisi Sa
‘id H{awwa dengan Ibnu Arabi dan Tustari mempunyai kesamaan dalam tujuan dan implikasi tobat nas}uh}a serta tingkatan
tobat tapi pada sisi taraqqi dan hijab Sa ‘id H{awwa tidak tegas menyatakan
demikian, padahal dengan istilah istimrarnya dalam bertobat sebetulnya
23
Ibnu Arabi, Tafsir, Jilid 2, h. 333
24
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid10, Cet. Ke
–6, 6013
menunjukkan jiwa yang bersih dan merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan.
25
Disini Sa ‘id H{awwa tidak memberikan istilah demikian untuk menunjukkan makna
tobat supaya pengertiannya tidak abstrak. Karena makna abstrak tersebut sulit bagi orang umum memahami dan mengamalkan apalagi tidak didukung oleh keterangan
lain sehingga maknanya terlihat jauh dari zahir ayat. 2. Ayat tiga surat Hud 11
Perintah tobat pada ayat lain seperti surat Hud 11 ayat 3;
هي ب ت مث م ب ا فغتسا أ
Makna ayat ini dinyatakan oleh Sa‘id Hawwa yaitu;
أ هي ا ب ت مث :
ع ط ب هي ا عج ا مث ا م فغتسا
26
.
Tobatlah kamu kepadaNya Allah maknanya adalah Mohon ampunlah kepadaNya dari dosa kemudian kembalilah kepadaNya dengan ketaatan.
Tobat dalam pengertian Sa‘id Hawwa dalam hal ini sama dengan yang dikemukakan dalam istilah para sufi. Seperti dijelaskan oleh Abi Khazam yaitu
kembali kepada ketaatan dari perbuatan maksiat.
27
Pengertian mendalam dijelaskan oleh S a‘id Hawwa bahwa tobat tidak cukup
hanya mohon ampun terhadap dosa yang lalu saja tapi dilakukan berkelanjutan;
ك ى ع ا تست أ ه قتست يف ج ع ها ى
ا م ب ت ا .
28
Tobat dari segala dosa yang akan kamu hadapi masa datang dan lakukanlah olehmu secara terus-menerus.
Penafsiran ini mengandung makna bahwa manusia dalam menjalani
kehidupan akan selalu menghadapi berbagai kesalahan dan kealpaan maka sudah sewajarnya tobat dilakukan setiap hari istimrar. Dengan melakukan tobat
demikian, maka kesalahan-kesalahan dan maksiat lebih mudah terhindari terlebih
25
Dengan terhapusnya dosa, sesuai dengan makna ayat QS. At-Tah}rim: 66
26
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6, 2532
27
Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 64
28
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6, 2532
dahulu karena selalu ingat akan dosa. Dengan sering melakukan tobat, akan meningkatkan kesucian jiwa dan terasa semakin dekat dengan Allah. Makna ishari
yang dikemukakan Sa‘id Hawwa diatas sejalan dengan kandungan zahir ayat. Tujuan bertobat supaya menjadikan seseorang kembali kepada Allah dengan ketaatan yang
dicerminkan dengan tobat terus menerus. P enafsiran Sa‘id H{awwa tersebut
didukung oleh pengertian yang diberikan at-Tustari, ia menjelaskan dengan membuat urutan pertama istighfar
–inabah –taubat ; istighfar sifatnya secara zahir, inabah dengan hati sedangkan taubat maknanya istighfar yang berkekalan tetap
dari dari pada kesalahan dan lalai.
29
Penjelasan Sa ‘id H{awwa dalam tafsirnya
memiliki kesamaan makna dengan yang dikemukakan at-Tustari. Penafsiran mereka sama-sama menghendaki tobat dilakukan terus-menerus. Sementara itu makna tobat
dalam tafsir Ibnu Arabi
هي ا ب ت
berarti kembalilah kepada Allah dengan fana ’
dhati meleburkan diri.
30
Pengertian yang dikemukakan Ibnu Arabi ini sangat berbeda dengan yang dipahami oleh Sa‘id H{awwa atau at-Tustari. Ibnu Arabi dalam
tafsirnya juga tidak menyertakan riwayat atau pandangan lain yang mendukung penafsirannya.
Dari beberapa penafsiran tentang perintah tobat ini dipahami bahwa Sa ‘id
H{awwa dan Tustari masih terlihat menafsirkan sufistik ayat sangat dekat berpegang pada makna zahir. Makna tobat bagi mereka harus dilakukan terus menerus kekal
melekat pada hati yaitu dengan istighfar. Artinya mohon ampunan dari dosa yang lalu dan tobat daripadanya kepada Allah terhadap apa yang dihadapi masa datang
artinya tobat terus menerus. Sedangkan Ibnu Arabi menafsirkannya dengan sikap fana
’, artinya kembali kepada Allah dengan meleburkan diri yang merupakan proses wus}ul menuju baqa
’ dan sampai kepada Allah. Pendekatan ishari yang digunakan Ibnu Arabi melampau pendekatan ishari Sa
‘id H{awwa dan at-Tustari dalam menafsirkan ayat secara sufistik. Penafsiran demikian mengandung kajian
29
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 78
30
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1,
Cet. Ke –2, h. 316
teoritis tasawuf dan mencerminkan kepada ajaran filsafat yang dianutnya. Bahwasanya dengan kembali kepada Allah dalam fana
’ sehingga membentuk kesatuan dengan Tuhan. Berdasar teori filsafat demikian maka jenis penafsiran
tersebut termasuk tafsir sufi naz}ari.
3. Ayat tujuh belas surat an –Nisa’`
Dalam ayat 17 surat an –Nisa’` dijelaskan tentang jenis tobat terkait dengan
dosa yang dilakukan. Tobat yang terkandung dalam ayat tersebut, terkait dengan yang dilakukan oleh orang yang berbuat salah karena kejahilan.
Terkait dengan orang yang bertaubat dengan segera min qarib dijelaskan:
Mereka melakukan tobat pada bagian waktu yang dekat dalam artian masa bertobat berada diantara mengerjakan maksiat dan sebelum datangnya
kematian.
Berkenaan dengan tobat bagi orang yang berbuat dosa dilakukan sebelum datangnya kematian, ini termasuk dalam pengertian qarib. Artinya tobat itu
masanya sepanjang waktu sebelum nyawa sampai dikerongkongan. Menurut Sa ‘id
H{awwa tobat harus muncul dari kesadaran atau merupakan ikhtiar pilihan bukan karena terpaksa seperti muncul tanda
–tanda dekatnya kematian. Makna tobat dalam penjelasan Sa‘id Hawwa diatas, menunjukkan kesadaran bagi orang yang merasakan
hubungan yang dekat dengan Tuhan. Sebaliknya, orang yang menangguhkan tobatnya
31
Artinya; Sesungguhnya tobat disisi Allah hanyalah tobat bagi orang –orang yang
mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, kemudian mereka bertobat dengan segera maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya. Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. Alquran dan
Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
32
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke 6, 1018. Lihat juga; Al-Alusi,
Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq
: Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 2,620.
sampai timbul dekatnya kematian atau berhadapan dengan malaikat maut maka tobatnya tidak diterima.
33
Selanjutnya dijelaskan,
Orang yang bertobat kepada Allah berarti ia mengharapkan kehidupan, karena itu tobatnya diterima.
Orang yang bertobat kepada Allah sebagai implikasi dari pilihannya berarti ia
mengharapkan kehidupan bukan karena mendekati kematian atau ingin mati. Ini memberi kesan bahwa tobat itu harus dilakukan setiap saat tidak terbatas pada waktu
atau pengaruh kondisi apa pun. Sekalipun batasnya menjelang ajal menjemput tetapi tiada seorangpun yang mengetahui akan ajalnya. Mengenai ini, Al-Jailani pernah
menyebutkan, manfaatkanlah pintu tobat dan masuklah kedalamnya selama pintu itu terbuka untukmu. Pergunakanlah pintu doa maka ia dibukakan untukmu.
35
Ungkapan al-Jailani diatas mengisyaratkan bahwa bertobat jangan ditunda-tunda sebab pintunya
akan tertutup secara tiba-tiba sedangkan pintu doa sengaja dibuka kesannya tidak terbatas. Ihwal bertobat seperti tergambar dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Aghar bin Yasar al –Muzani yang berbunyi :
م ئ م ي ا ىف فغتسأ ها ى تأ ف فغتسا ها ى ا ب ت س ا يأ ي .
Artinya; Wahai sekalian manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan mohonlah ampunanNya. Sesungguhnya aku bertobat kepada Allah dalam
sehari semalam sebanyak seratus kali.
36
Nabi Muhammad saw sendiri yang jauh dari dosa senantiasa melakukan tobat dan menyuruh kita umatnya juga berbuat demikian, artinya tobat bukan karena hanya
33
Termasuk tobatnya orang kafir yang tetap dalam kekafirannya, atau orang yang murtad dan ingin kembali pada iman tapi sudah terlambat karena datangnya tanda kematian.
Sa‘id H{awwa, al– Asas fi at
–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke–6,1018. Demikian juga, M. Husein T{abat}aba-i, Al
–Mizan fi Tafsir al–Quran Beirut: Muassasah al–A’lami, 2006 M1428 H, Juz 3-4, Cet. Ke-1, 466
34
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke 6, 1018
35
Abdul Qadir Al-Jailani, al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Faydu ar-Rahmaniy Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Cet.ke-2, 31, Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah
36
Sahih Muslim, Lihat juga penjelasannya; Abdul Qadir Isa, H{aqaiq at-Tasawwuf Jakarta: Qisthi Press, 2006, Cet. Ke
–2, 201 Terj. Khairul Amru Harahap, Lc dan Afrizal Lubis, Lc.
nyata mengerjakan salah. Hadis ini memperkuat penafsiran Sa‘id Hawwa diatas
bahwa dengan sering melakukan tobat maka dapat meningkatkan kesucian jiwa dan bertambah dekat dengan Tuhan.
Pendekatan ishari yang dikemukakan Sa‘id H{awwa tersebut terlihat dekat
dengan makna zahir sebagaimana terkandung dalam kandungan ayat yang menghendaki tobat dengan segera. Dengan mengharapkan kehidupan dalam bertobat
artinya seseorang dapat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya kepada Tuhan. Semakin tinggi frekuensi ibadah yang dilakukan semakin terasa hubungan
yang dekat dengan Tuhan. Implikasi dari makna tobat tersebut menjadikan seseorang menjalani
kehidupan terasa dinamis dan tidak pasif sebab orientasi tobatnya bukan karena kematian sudah dekat. Bila seseorang bertobat karena menuju kematian maka akan
membawa pada kemalasan dan cara pandang yang pasif. Sebaliknya, dengan sering melakukan tobat menumbuhkan rasa optimisme dalam meraih kedekatan hubungan
dengan Allah. Makna sufistik tentang tobat yang ditegaskan Sa‘id H{awwa tidak
akan menghambat beraktifitas justeru menumbuhkan kreatifitas sehingga mendorong akal untuk selalu berpikir positif. Pandangan Sa‘id H{awwa diatas akan membawa
tasawuf berada dalam dunia nyata. Di samping menjelaskan makna diatas, Sa‘id H{awwa juga melakukan
analisis terkait makna jahil dalam ayat diatas. Adapun tentang makna kejahilan terkait dengan dosa dari orang yang bertobat dalam ayat diatas dijelaskan oleh Sa
‘id H{awwa, jahil yang dimaksud bukanlah jahil berhadapan dengan ilmu
م ع ا ب قي
tapi jahil disini berhadapan dengan akal
قع ا ب قي
. Karena jahil akal demikian, memberi pengertian bahwa ia memilih kesenangan sementara fana` dari kesenangan
yang abadi.
37
Jahil dalam pandangan Sa ‘id H{awwa tipe diatas adalah orang yang
berbuat dosa karena tidak mau berpikir tidak memfungsikan akal lalu ia
37
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke 6, 1017
menjatuhkan pilihan pada kesenangan sesaat karena nafsu semata. Ia menyadari akan perbuatan salah yang dikerjakannya.
Disebutkan Sa ‘id H{awwa pengertian lain dari jahil akal yaitu bukanlah yang
dimaksud kejahilannya itu karena sewaktu berbuat dosa tapi kejahilannya menjadikan tertutup akalnya tentang akibat yang timbul dari perbuatan jahatnya.
38
Kejahilan tipe kedua ini, orang yang sengaja saat melakukan dosa tapi ia tidak menyadari akan
akibat yang muncul dari perbuatan dosa karena ditutupi oleh kejahilannya. Perbuatan dosa yang dilakukan disebabkan kebodohannya yang tidak mengetahui akibat dari
perbuatannya. Terkait dengan uraian diatas Sa
‘id H{awwa mengemukakan riwayat Abdurrazaq yang berasal dari Qatadah, ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang
mendurhakai Allah baik sengaja atau tidak maka dikatakan jahil.
39
Jadi pengertian berdasarkan riwayat ini, keadaan orang yang berbuat dosa disebut jahil baik sadar
atau tidak sadar. Kejahilan disini lebih umum yaitu cenderung kepada jahil ilmu. Dari penafsiran Sa
‘id H{awwa diatas tentang kejahilan dapat disimpulkan bahwa ada tiga kategori, dua diantaranya terkait jahil secara akal:
1. Perbuatan dosa karena jahil secara akal sengaja. Si pelaku mengetahui kalau perbuatan itu dosa dan bakal menanggung akibatnya, tetapi akalnya dikalahkan
oleh nafsunya lalu pilihannya tetap tertuju pada kesenangan sementara dengan mengabaikan kesenangan yang sesungguhnya.
2. Perbuatan dosa karena kejahilannya pada akibat yang timbul dari perbuatannya. Ia sadar ketika melakukan dosa tapi tidak menyadari akibat buruk dari perbuatanya
sehingga kejahatan itu tetap dilakukan. Termasuk juga dalam kategori ini yaitu orang yang melakukan kejahatan tanpa menghiraukan hukuman.
3. Kejahilan ketiga terkait dengan perbuatan dosa yang dilakukan dengan sengaja atau tidak maka pelakunya dikatakan jahil. Si pelaku boleh jadi mengetahui akan
38
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke 6, 1017
39
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke 6, 1017
perbuatan jahatnya atau tidak mengetahuinya ketika berbuat, maka dengan perbuatannya disebut ia jahil disaat perbuatan dosa itu dilakukan. Pada level ini
tergambar bahwa siapa saja yang berbuat jahat disebut jahil tanpa kualifikasi. Kategori ketiga ini sejalan dengan yang dijelaskan oleh T{abat}aba-i dalam
tafsir al –Mizan. Menurutnya jahil disini berhadapan dengan ilmu kesadaran,
berarti orang yang mengerjakan kejahatan karena dorongan hawa nafsu atau syahwat. Dari itu, pada dasarnya setiap maksiat yang dikerjakan termasuk kejahilan manusia.
40
T{abat}aba-i tidak membedakan jahil pada ayat ini sebagaimana Zamakhshari juga demikian namun bagi Sa
‘id H{awwa membagi jahil terkait akal dengan perbuatan jahat manusia. Disinilah bedanya penafsiran Zamakhshari seorang mutakallim
ataupun T{abat}aba-i yang cenderung tafsirnya ke filsafat dan ilmu pengetahuan dengan tafsir Sa
‘id H{awwa. Justeru terlihat perbandingan, bahwa sekalipun Sa‘id H{awwa menyorot makna makna zahir ayat namun tetap memiliki nuansa sufistik.
Menurut pandangannya, secara akal manusia sadar dalam berbuat dosa namun akalnya dikalahkan oleh nafsunya. Karena itu, sangat wajar manusia bersegera
bertaubat sebab perbuatan dosa tersebut merupakan unsur kesengajaan. Selain itu, Sa‘id Hawwa menerima juga jahil secara ilmu sebagaimana terungkap dalam riwayat
yang dikutipnya. Mengenai riwayat ini, Sa‘id H{awwa tidak ada memberikan
komentar. Pada dasarnya pemikiran Sa‘id H{awwa tentang makna kejahilan diatas yang
cenderung kepada jahil akal, mendukung terhadap makna tobat yang membentuk hidup dinamis. Orang yang melakukan kesalahan merupakan orang yang tidak
menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya. Sementara manusia yang jahil ilmu hanyalah yang tertutup akalnya majnun sehingga tidak bisa berpikir untuk
membedakan hal yang baik dan salah apalagi untuk memikirkan hubungan dengan Tuhan.
Karena itu, dalam pandangan Sa‘id H{awwa tentang jahil kategori ketiga diatas pada hakikatnya tidak wajar dimiliki oleh orang yang sehat normal.
40
M. Husein T{abat}aba-i, Al –Mizan fi Tafsir al–Quran Beirut: Muassasah al–
A’lami, 2006 M1428 H, Juz 3-4, Cet. Ke-1, 463
Berkaitan dengan menerima tobat, Sa ‘id H{awwa juga melakukan analisis
terhadap zahir ayat, bahwa Allah menerima tobat bagi pelaku dosa karena kejahilannya. Ada dua hal terkait dengan masalah diatas, pertama tentang
kewenangan Allah menerima to bat dan makna kejahilan. Penggunaan “ ى ع ” pada
ayat tersebut tidaklah bermakna wajib, karena tidak ada sesuatu yang mewajibkan Allah untuk berbuat. Kata “’ala“ ى ع disini dimaksudkan sebagai ta`kid memperkuat
untuk ع ا janji Allah bahwa pengertiannya Allah tidak dapat tidak seperti wajib
yang tidak dapat ditinggalkan.
41
Penjelasan Sa ‘id H{awwa diatas tidak
menghilangkan makna wajib bagi Allah maksudnya sama saja yaitu Allah tidak dapat tidak, melaksanakan janjinya dalam menerima tobat. Namun demikian Sa
‘id H{awwa tidak dengan tegas menyatakan wajib bagi Allah dalam menerima tobat. Ia tetap
mengakui hak prerogatif Allah untuk menerima tobat sebagai indikasi tidak ada unsur lain yang mempengaruhi kehendakNya. Disini Sa
‘id H{awwa sepertinya tidak mau dianggap terlibat dalam polemik kalam mu
‘tazilah sebab tentang kewajiban Allah menepati janji termasuk dalam ajaran mu
‘tazilah. Sebagaimana terlihat dalam tafsir karya Zamakhshari
pengikut mu‘tazilah ketika menafsirkan ayat tersebut menyatakan, sesungguhnya menerima tobat dan
mengampuni orang yang bertobat wajib bagi Allah. Ini pemberitahuan oleh Allah bahwa Allah mewajibkan pada dirinya seperti kewajiban hamba untuk taat.
42
Menepati janji dan berbuat yang terbaik untuk manusia merupakan wajib bagi Tuhan. Kewajiban Tuhan bersumber pada sifat kesempurnaanNya. Tidak melaksanakan janji
dan ancaman berarti ketidaksempurnaan dalam pengetahuan dan kemauan Tuhan.
43
41
ك ى ع
ها ى ع ج ا يفت ا ه ,
جا ك حم ا ي ه أ ى عي ع ا يك أت ه ئيش ها ى ع جي ا
تي ا ا Lihat; Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke
–6, 1017
42
Zamakhshari, al –Kashshaf ‘an H{aqaiq at–Tanzil wa ‘Uyun al–Aqawil fi
Wujuh at –Ta’wil Mesir: Maktabah Mesir, t.th, juz 1, 427. Senada dengan ini juga dijelaskan oleh
T{abat{aba-i, Allah menjanjikan kepada hamba untuk menerima tobat orang yang tobat ئ ت ا karena
Allah tidak akan menyalahi janjiNya,lihat; M. Husein T{abat}aba-i, Al –Mizan fi Tafsir al–
Quran Beirut: Muassasah al –A’lami, 2006 M1428 H, Juz 3-4, Cet. Ke-1, 462
43
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah Jakarta: UI-Press,
1987, Cet. Ke –1, 84-88
Kewajiban Tuhan melakukan demikian tidak ada pengaruh dari sesuatu tapi memang sudah merupakan kesatuan yang terdapat pada diri Tuhan, demikian pendapat yang
dianut oleh mu ‘tazilah. Sa‘id H{awwa secara tidak langsung juga menggunakan
pendapat demikian namun tidak tegas mengakui bahwa Allah wajib melakukan demikian. Sa
‘id H{awwa tidak menyebut dalam tafsirnya tentang mu‘tazilah atau asy
‘ariyah artinya ia tidak menaruh perhatian tentang wacana kalam. Penafsiran sufistik Sa
‘id H{awwa disamping menjelaskan makna tobat, ia juga membahas ayat dari tinjauan bahasa. Bila diperhatikan dengan pandangan
Zamakhshari dalam tafsirnya yang dengan tegas mengatakan Allah berkewajiban menerima tobat terhadap hambaNya. Sedangkan Sa
‘id H{awwa tidak dengan tegas mengatakan demikian, namun pada dasarnya sama saja dengan Zamakhshari, sebab
makna ‘ala pada ayat tersebut menurut Sa‘id H{awwa hanya untuk menguatkan
akan janji Allah untuk menerima tobat. Kelihatannya Sa ‘id H{awwa memahami bila
menggunakan kata wajib akan membawa persepsi pada paham mu ‘tazilah, sekalipun
ia tidak menyatakan sebagai pengikut kepada aliran tertentu. Analisis kebahasaan dalam penafsiran termasuk bagian dari pengungkapan makna zahir ayat.
4. Ayat 128 surat al –Baqarah
Selanjutnya Sa ‘id H{awwa menjelaskan tentang tingkat implementasi tobat
seperti dikandung dalam ayat 128 surat al –Baqarah:
Ayat ini menerangkan tentang usaha Ibrahim dan Ismail membangun kembali Ka’bah lalu mereka menyampaikan doa kepada Allah agar menjadi orang yang
tunduk, berserah diri
ي سم
begitu juga keturunannya. Permohonan selanjutnya
44
Artinya; Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada engkau dan jadikanlah diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada engkau dan tunjukkanlah pada
kami tentang peribadatan kami dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya engkaulah yang maha penerima tobat lagi maha penyanyang. Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al- Munawwarah, 1415 H
adalah agar tobat mereka diterima. Ini termasuk doa orang yang sungguh-sungguh berserah diri yang dicontohkan Ibrahim dan Ismail;
أ :
ع قتف تي ا ا ه ء ب كي ب قت ب ي ,
ئ ضب مي ع ا ئ ع عي س ا ت أ ك تي
.
45
Ya Tuhan kami, seungguhnya kami telah mendekatkan diri kepadaMu dengan membangun rumah ini ka‘bah maka terimalah amal kami. Sesungguhnya
Engkau Maha Mendengar akan doa kami lagi maha mengetahui terhadap hati dan niat kami.
Kemudian Sa ‘id Hawwa mengutip perkataan Wuhaib bin al-Ward bahwa ia menangis ketika dia membaca ayat ini dan menyatakan;
ك م قتي ا أ قف م ت أ ح ا تيب مئا ق عف ت ح ا ي خ ي .
46
Wahai kekasih Allah nabi Ibrahim, engkau tinggikan pondasi baiturrah}man K
a‘bah kemudian engkau bersedih bahwa pengabdianmu tidak akan diterima.
Dalam penafsiran diatas Sa‘id Hawwa ingin menegaskan bahwa Ibrahim dan Ismail merasakan pengabdian yang mereka lakukan itu masih kecil dibandingkan
nikmat yang dianugerahkan Allah . Padahal pengorbanan mereka membangun Ka‘bah
sebagai salah satu shi‘ar ibadah haji khususnya dan kiblat kaum muslimin adalah
suatu amal yang luar biasa. Bahkan Ibrahim digambarkan sebagai orang yang merasakan kecemasan bahwa pengorbanannya yang mulia seakan-akan menurutnya
tidak ada artinya dimata Allah. Ini merupakan pengajaran untuk umat dalam berbuat kebajikan jangan merasa
sudah berbuat baik padahal perbuatan itu tiada nilainya dihadapan Allah karena niat yang tidak bersih. Sebaliknya, harapan untuk mendapatkan pahala justeru boleh jadi
akan mengurangi pahala yang ada. Sementara itu Ibrahim yang berbuat sangat luar biasa masih merasakan penyerahan dirinya belum total.
45
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6, 273
46
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6, 272
Kemudian doa mereka diakhiri dengan terimalah tobat kami
ي ع ت
mereka bermohon tobat kepada Allah. Sa
‘id H{awwa menafsirkan watub ‘alaina adalah;
يصقت ا م م ط ف م ,
ق تي اد ش يسف م ه ك ا ق
.
47
Apa saja kelalaian yang luput dari kami. Ucapan mereka tersebut menggambarkan dirinya luluh, hina rendah dan sebagai pengajaran untuk
keturunannya dan manusia seluruhnya.
Tobat dalam penafsiran Sa‘id Hawwa dalam hal ini dimaknai dengan tobat dari kesalahan-kesalahan yang tidak disadari. Permohonan tobat mereka dari apa saja
kekurangan yang terlupakan atau kelalaian pada mereka. Tobat dalam doa mereka mengandung pengertian bahwa mereka sungguh berserah diri dengan merasakan diri
mereka hancur luluh, hina
يسف ضه .
Ibrahim dan Ismail menunjukkan kepasrahan totalitas dirinya dalam bertobat kepada Allah. Ini menunjukkan
kesungguhan dan kesadaran yang kuat bahwa mereka takut bila mereka masih lalai dari mengingat Allah.
48
Tobat yang mereka lakukan bukan karena berbuat jahat atau dosa justeru sebelum tobat dipanjatkan mereka melakukan amal saleh dengan
membangun Ka ‘bah sebagai tempat peribadatan. Ungkapan muslimain dalam doanya
menunjukkan sebagai bentuk penyerahan diri secara utuh. Artinya mereka masih merasa penyerahan dirinya belum sepenuhnya makanya mereka bertobat dari hal
yang mereka alpa. Dalam istilah al-Alusi, tobat yang mereka lakukan dalam rangka lebih meninggikan kualitas iman dan juga sebagai pembelajaran untuk manusia dalam
bertobat.
49
Makna muslimain sebagai penyerahan diri maksudnya supaya berkesinambungan. Mereka khawatir bahwa hatinya berpaling sesaat dalam hal
ketundukkan kepada Allah.
50
47
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6, 273
48
Dalam istilah zunnun al-Misri, ini termasuk tobat orang khusus yaitu tobat dari kealpaan dan melihat kekurangan diri. Anwar Fuad Abi Khazam,
Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke
–1, 64
49
Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan,
Tah}qiq : Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 1,530.
50
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6, 273
Istilah had}man dalam tafsir Sa ‘id H{awwa sebagai cermin penyerahan diri
Ibrahim dan Ismail yang merasa dirinya sudah luluh, hanyut dalam tobat yang dilakukan. Istilah luluh yang dikemukakan Sa
‘id H{awwa menunjukkan bahwa mereka merasakan hina seakan tiada arti di haribaan Tuhan. Dalam istilah tasawuf
kehinaan yang dalam dirasakan dalam bertobat bisa diartikan sebagai fana. Seperti disebutkan oleh Hasan Sharqawi dalam buku M
u‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah, tobat dapat bermakna fana terhadap diri dan tetap bersama Allah.
51
Namun demikian Sa‘id H{awwa tidak menyebut dengan kefanaan. Tampak disini, Sa
‘id H{awwa tidak ingin mengemukakan istilah yang bisa mendatangkan makna kontroversial yang
mempersulit pemahaman. Istilah fana’ dalam tasawuf biasanya identik dengan paham
tasawuf teoritis. Sa‘id H{awwa dalam metodologi tafsir sufinya menghindari istilah-
istilah yang kontroversial dan dalam pandangannya disebut dengan ungkapan yang tidak wajar.
52
Karena itu, Sa ‘id H{awwa berusaha memahami makna sufistik ayat
dengan tetap bersandar pada konteks ayat sehingga pemahaman mengandung makna aplikatif.
Intinya, Sa‘id Hawwa ingin menjelaskan bahwa perwujudan tobat yang dilakukan Ibrahim dan Ismail supaya menjadi teladan dalam bertobat yang sungguh-
sungguh. Penafsiran makna tobat sebagai merasakan diri luluh tersebut didukung oleh
ungkapan muslimain tersebut. Makna muslimain sebagai bukti bahwa jiwa raganya setulusnya diserahkan kepada Allah sekalipun mereka statusnya sebagai Nabi yang
ma ‘s}um terjamin dari dosa. Setelah mereka menunjukkan berserah diri muslimain
kemudian mereka bertobat. Inilah tobat yang sesungguhnya supaya senantiasa merasakan dekat dengan Allah. Makna demikian termasuk makna ishari yang dapat
dipahami dan pelajaran bagi orang yang sungguh-sungguh dalam bertobat.
51
Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke-
1,89
52
Sebab, istilah fana pemahamannya bermuara kepada ittihad kesatuan dengan Tuhan seperti yang dipahami para sufi falsafi. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta:
Bulan Bintang, 1992, Cet. Ke –8, 80-83. Pemahaman seperti ini yang dihindari Sa’id H{awwa. Sa’id
H{awwa, Tarbiyatuna ar –Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke–9,5.
5. Ayat 70 surat al –Furqan 25
Dalam melakukan tobat tidak cukup hanya kembali kepada Allah tapi harus disertai dengan amal saleh sebagaimana terungkap dalam ayat 70 surat al
–Furqan 25.
Sa ‘id H{awwa menjelaskan bahwa makna tobat dalam ayat ini adalah;
أ :
ص ا ب ت ا ,
ق ت يس ا أ أ يس ا ب سح ا ع ى ها م قف ي أب م سح
.
54
Tobat yang dimaksud adalah at-taubah an-nas}uh}} Dengan tobat nas}uh}
murni maka Allah akan memberikan taufik kepada mereka yang tobat untuk selalu melakukan amal baik sebagai pengganti kejahatan sebelumnya. Selain
itu dengan tobat yang murni ini maka dapat merubah kejahatan menjadi kebaikan.
Makna tobat yang pahami dari penafsiran Sa‘id H{awwa diatas adalah tobat yang bersih dari hati pelakunya, sehingga tobat demikianlah yang bisa menghapus
dosa-dosa yang pernah diperbuat. Sebagai indikator dari tobat nas}uh} bersih, murni yaitu pelaku tobat mendapatkan taufik dari Allah yang mendorongnya untuk
mengerjakan yang baik sebagai penghapus kesalahan masa lalu. Taufik bagi para sufi merupakan anugerah yang diperoleh oleh orang yang berhati suci sehingga
perbuatannya senantiasa mendapat bimbingan Tuhan.
55
Makna taufik demikian akan selalu memberikan banyak kemudahan hidup bagi orang yang betul-betul menjalani
tobat yang murni. Taufik yang diperoleh juga merupakan cerminan bagi orang yang
53
Artinya; Orang-orang yang berdosa pada ayat 68 akan mendapat azab pada hari kiamat, kecuali orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh maka kejahatan mereka akan
diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
54
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 7, Cet. Ke
–6, 3879
55
Secara definitif makna taufik menurut para sufi adalah, Allah menjadikan perbuatan hambanya sesuai dengan yang disukai dan dirid}aiNya
ض ي ه حي قفا م د ع عف ها عج. Anwar Fuad Abi Khazam,
Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke
–1, 65
merasakan hubungan yang dekat dengan Tuhan. Kedekatan inilah yang membimbing dalam perbuatannya.
Ibnu Arabi menafsirkan orang bertobat dalam ayat 70 diatas dengan kembali kepada Allah dan membebaskan diri dari maksiat maka Dia mengganti syirik dengan
keimanan begitu juga keburukan diganti dengan kebaikan. Dengan demikian keadaan diri sebelumnya yang berdosa terhapus dan tetaplah iman padanya. Inilah yang
disebut dengan tobat hakiki.
56
Tustari menjelaskan dalam tafsirnya tobat tidak sah sebelum seseorang itu banyak meninggalkan hal yang mubah halal. Ia mengutip
hadis Aishah yang mengatakan, jadikanlah kehalalan itu sebagai dinding tutupan antara kamu dan hal yang haram.
57
Hal ini dapat dilakukan oleh orang yang dekat dengan Tuhan dan merasakan terbimbing olehNya. Kalau Ibnu Arabi menyatakan
tobat hakiki dengan tetapnya keimanan dan lepas dari kemaksiatan, hal ini dikuatkan oleh Tustari dengan sering meninggalkan hal yang halal sebagaimana layaknya ketika
menjauhi perkara yang haram. Ini sejalan dengan makna ayat sebagai pengakuan diri bahwa tobatnya murni dan berharap tergantinya keburukan dengan kebaikan.
Sehubungan dengan ini, Sa ‘id H{awwa menambahkan bahwa tobat harus
diiringi dengan amal saleh. Amal saleh sebagai realisasi dari tobat. Dengan demikian kejahatannya betul
–betul hapus dan berganti dengan kebaikan hanya dengan tobat yang murni
ص ا ب ت ا
.
58
Sementara itu penafsiran Ibnu Arabi terkait ayat ini hampir semakna dengan penafsiran Tustari dan Sa
‘id H{awwa, dimana Ibnu Arabi terlihat masih berpegang pada makna zahir ayat. Ide dasar penafsiran mereka dimana
tobat dari dosa yaitu kembali kepada keimanan dengan meninggalkan syirik yang diikuti dengan berbuat kebajikan. Masing
–masing tetap berpegang pada makna zahir
56
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2,
Cet. Ke –2, 85
57
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 114
58
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 7, Cet. Ke
–6, 3879
ayat. Istilah Ibnu Arabi terkait dengan tobat diatas disebut sebagai tobat hakiki, Sa ‘id
H{awwa menyebut sebagai tobat murni nas}uh}. Sa
‘id H{awwa menegaskan mengenai tobat yang murni harus terbukti dengan amal saleh, karena itu amal jahat yang lampau akan berganti menjadi amal baik,
artinya amal jahat menjadi terhapus. Penafsiran Sa ‘id H{awwa dan penafsiran at-
Tustari dan Ibnu Arabi saling mendukung pada penafsiran sufistik. Bila dianalisis penafsiran Sa
‘id H{awwa menghendaki tindak nyata dalam bertasawuf. Seperti ditegaskannya tobat tidak mencapai sasaran yang diharapkan untuk mengganti
keburukan dengan kebaikan bila tidak ada usaha perbaikan termasuk perubahan dalam masyarakat. Ini sebagai ciri dari tasawuf Sa
‘id H{awwa yang ingin melakukan perubahan dalam masyarakat melalui pendidikan ruhani.
59
Dengan melihat penafsiran
–penafsiran Sa‘id H{awwa diatas secara metodologis ia menggunakan makna ishari yang berdasar pada makna zahir sehingga penafsirannya dapat disebut
dengan tafsir sufi ishari. Penafsiran sufistik masing
–masing diatas dapat dipahami, masih berpegang pada makna zahir ayat. Ini mengindikasikan bahwa tafsir Ibnu Arabi tidak selalu
meninggalkan makna zahir walaupun sering mengedepankan makna bat}iniyyah apalagi dengan didukung oleh tinjauan filsafatnya.
B. Tafsir tentang Ayat-Ayat Zuhud