Tafsir tentang Ayat-Ayat Tawakal

artinya mukashafah pada maqam qalbu serta dorongan kuat menuju tajalli sifat Tuhan. Selanjutnya rabit}u ا طبا artinya mushahadah berada pada maqam ruh}. 191 Penafsiran Ibnu Arabi mengenai ayat di atas tidak terikat oleh makna zahir ayat. Ibnu Arabi terlihat mengemukakan makna ishari sesuai pandangan filsafat sufistik tasawuf falsafi. Bila dipertemukan dengan penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari tampak sekali perbedaannya dengan tafsir Ibnu Arabi dalam hal pendekatan makna ishari. Kecenderungan naz}arinya Ibnu Arabi lebih menonjol, dengan istilah seperti tajalli, mukashafah dan mushahadah. Penafsiran Sa ‘id H{awwa dan Tustari masih mendukung pemahaman lahiriyah sedangkan penafsiran Ibnu Arabi tidak nyata pemahaman lahiriyah tapi melampaui itu semua. Artinya penafsiran Ibnu Arabi seakan terlepas dari struktur ayat sebagaimana terlihat diatas. Dari penafsiran –penafsiran di atas antara Sa‘id H{awwa dan Tustari memiliki pandangan yang pada dasarnya saling terkait. Kedua penafsiran tersebut lebih cenderung berpegang pada makna zahir dalam memberikan penafsiran ishari. Hal ini menjadi faktor pendukung terhadap penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa. Perbedaannya dengan penafsiran Ibnu Arabi dalam hal ini di samping pengaruh paham filsafat juga makna ishari terlihat jauh dari makna zahir. Penggunaan makna ishari dan makna zahir ini yang membedakan penafsiran Ibnu Arabi dengan Sa‘id H{awwa dan a-Tustari.

D. Tafsir tentang Ayat-Ayat Tawakal

Dalam shighat bahasa Arabnya disebut dengan tawakkul 192 artinya bersandar pada janji dan ancaman Allah dengan menghilangkan keinginan pada selainnya. 193 Dikatakan oleh Ibnu Masruq tawakal berarti tunduk terhadap ketentuan hukum Allah 191 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke –2, 159 192 Asal kata derivasinya ك ت – ك تي - اك ت tawakkala – yatawakkalu – tawakkulan. 193 Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 65 yang ditetapkanNya. 194 Pengertian tawakal ini masing –masing sufi memiliki pemahaman hampir sama yang secara umum disimpulkan yaitu menyandarkan kepada Allah dengan menerima segala bentuk kejadian yang berlaku dan yakin terhadap hukum Allah. Beberapa ayat yang sangat terkait dengan tawakal sebagai bentuk penyerahan diri, dalam rangka membersihkan rohani maka dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Ayat 159 surat Ali Imran 3 Pada ayat 159 surat Ali Imran, Allah menjelaskan keberadaan tawakal bagi manusia dalam menghadapi berbagai persoalan. Sikap tawakal dalam ayat ini mengandung unsur yang disebut sebelumnya yaitu ‘azam pada ayat tersebut sebagaimana terlihat berikut ini. Dijelaskan oleh Sa‘id Hawwa terkait dengan tawakal dalam ayat; أ : هئ ضم ىف ها ى ع ك تف ا عب ئيش ى ع أ ا تعطق ا ف . 196 Apabila keputusan dalam musyawarah sudah ditetapkan maka bertawakallah kepada Allah mengenai hasilnya. Tawakal yang diperintahkan dalam ayat dilakukan setelah ada ‘azam sebagai wujud dari harapan dan tekad yang kuat. Keputusan yang diambil sebelum bertawakal sudah melalui berbagai usaha pemikiran dan pertimbangan. 194 Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 65 195 Artinya; Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu urusan. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad ‘azam ع maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang–orang yang bertawakal kepadanya. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al- Madinah al-Munawwarah, 1415 H 196 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6,916 Selanjutnya dijelaskan Sa ‘id H{awwa bahwa orang yang betul-betul bertawakal adalah; أ : هي مه مأ يض ف ا هي ع ي تع ا , مأ يف ت ها قحب م قي سا ب خأي ها ى ع ا تعي ا ق ط ا ب عس ا د ف تس ب . 197 Orang-orang yang menyandarkan dan menyerahkan segala urusan mereka kepada Allah. Mereka memahami hukum sebab-akibat, melaksanakan memenuhi hak Allah, melaksanakan perintahnya dengan menghabiskan kekuatan maksimal, mengerahkan segala kemampuan dan Mereka hanya menyandarkan kepada Allah. Inti tawakal menurut S a‘id H{awwa adalah hanya kepada Allah bersandar dan menyerahkan segala perkara urusan yang dikehendaki. Pengertian ini sejalan dengan at-Tustari, dikatakannya sebagai sikap menyerahkan segala urusan kepada Allah dan hanya kepadaNya berkehendak tidak kepada selainnya مأ عي ج هي ف dan يغ د هي قتفا. 198 Makna ini terkandung dalam pengertian para ahli sufi seperti terdapat dalam mu‘jam istilah sufi. 199 Menurut Sa ‘id H{awwa beberapa hal seperti disebut diatas harus dipenuhi dalam menjalankan tawakal. Dalam bertawakal menunjukkan akan hubungan yang dekat dengan Allah. Maknanya, adanya pengakuan yang tulus dalam menjalankan kewajiban-kewajiban kepada Allah. Seseorang yang bertawakal, akan selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam kondisi apapun ia berada. Ibadah-ibadah yang dilakukan menjadi pengikat batin antara ia dan Tuhan ها قحب م قي. Seperti ditegaskan al-Ghazali bahwa dalam bertawakal mengandung unsur tauhid yang harus 197 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6,916. Dalam bahasa lain, dinyatakan juga yaitu dengan; مأ ك ىف ها ى ع د تعاا menyandarkan segala perkara kepada Allah. Lihat juga, Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 7, Cet. Ke –6, 3876 198 Siapa yang melakukan musyawarah dan berserah diri kepada Allah tentang hasil dari apa yang sudah diputuskan kemudian ia menyesali kenyataan yang dihadapi maka sesungguhnya ia telah melakukan tuduhan salah kepada Allah. Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al –Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke–I, 51 199 Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 65 dirasakan. 200 Hal itu dapat menyucikan jiwa dari pengaruh syirik sekecil apapun, apabila jiwa suci maka hidayah Allah mudah diserap. Demikian makna tawakal berdasarkan penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa. Penafsiran Sa ‘id Hawwa diatas menunjukkan kepada pandangan tasawufnya dalam memahami ayat secara sufistik. Makna yang dikemukakannya menggali isyarat yang tersembunyi dari semangat ayat tentang bentuk tawakal. Adapun perintah tawakal dalam ayat, dijelaskan Sa ‘id H{awwa bahwa contoh dalam menjalankan tawakal yaitu tentang musyawarah. Ketetapan berbagai pendapat mengenai sesuatu yang telah diputuskan setelah musyawarah, maka kesudahan hasilnya diserahkan tawakal kepada Allah. Ini merupakan hasil sebagai konsekuensi keputusan tersebut. 201 Keputusan dalam musyawarah merupakan salah satu upaya ’azam yang dilakukan dalam bertawakal. Dalam tawakal tersimpan makna pengakuan bahwa Allah sebagai tumpuan yang menguasai hal gaib termasuk hasil akhir dari apa yang diusahakan. Penyerahan total kepada Allah mengikat diri untuk tidak bergantung kepada selainnya. Tidak ada yang bisa menentukan apa yang akan berlaku masa berikut, manusia hanya bisa mengambil sebab seperti disebut Sa ‘id H{awwa. 202 Mengenai tawakal ini at-Tustari juga memahami bahwa musyawarah dalam ayat tersebut sebagai contoh bentuk ‘azam. Adapun keputusan yang telah diambil dalam musyawarah maka diserahkan kepada Allah sebagai konsekuensi. 203 Selanjutnya pengaruh bagi orang tawakal disebutkan Tustari yaitu Allah 200 ك ق ه ج تي ا يح ت ا ه ك ت ا هي ع ى م ى تح : ه كي ش ا ح ها ا ه ا Al-Ghazali, Ih}ya ’ Ulum ad-Din Mesir: Maktabah Must}afa al-Babi al-H{alabi wa Auladihi, 19391358 Jilid 4, 240 201 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6, 916 202 Surat Luqman 31 ayat terakhir 34 menjelaskan 5 perkara dimana hanya Allah yang mengetahui, diantaranya sesuatu yang akan terjadi masa nanti; ا غ س ت ا م سف ت م Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa saja yang akan diusahakannya besok . 203 Siapa yang melakukan musyawarah dan berserah diri kepada Allah tentang hasil dari apa yang sudah diputuskan kemudian ia menyesali kenyataan yang dihadapi maka sesungguhnya ia telah melakukan tuduhan salah kepada Allah. Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al –Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke–I, 51 menyingkapkan ف ي dalam hatinya berbagai ilmu sehingga antara hamba dan Allah tidak ada perantara يف طسا اب karena itu wajib menggunakan akal dan merenung untuk mendapatkan hikmah disebabkan kekuasaan Tuhan dan juga supaya memperoleh tambahan ilmu ع ى د ىب ق هط : 11 . 204 Dengan menjalankan tawakal maka Allah akan membuka hijab bagi hambanya di dunia dengan berbagai ilmu sehingga pertolongan Allah bagi orang yang bertawakal sangat dekat. Berkaitan dengan datangnya pertolongan Allah atau tidak menurut Sa ‘id H{awwa manusia tetap bertawakal. Tawakal itu sifatnya meliputi setiap keadaan baik dalam menghadapi pertolongan Allah atau tidak adanya pertolongan, baik dalam kecelakaan atau keselamatan. Harus dipahami dalam tawakal bahwa pertolongan atau tidak diberi pertolongan itu semua datangnya dari Allah. 205 Bagi orang yang tawakal harus meyakini bahwa bila Allah memberi pertolongan maka tidak ada yang dapat menggagalkannya namun bila Allah membiarkan tidak memberi pertolongan siapa yang dapat menolong selainNya. 206 Artinya kalimat “ tidak memberi pertolongan” terbantahkan dengan kalimat setelahnya yaitu siapa yang sanggup mendatangkan pertolongan selain kekuasaan Allah. Kalimat tersebut menambah keyakinan bagi orang yang bertawakal dan memberikan motivasi untuk berserah diri kepada Allah bahwa hanya kekuatan Allah yang dapat menolongnya. Pada dasarnya penafsiran Tustari dengan Sa ‘id H{awwa terdapat satu pandangan mengenai keberadaan tawakal. Adapun akibat dari tawakal bagi seseorang, Tustari memaknai dengan terbukanya kashaf dari Allah dengan memperoleh berbagai ilmu sebagai pertanda dekatnya hubungan antara hamba dengan Allah. Sedangkan bagi Sa ‘id H{awwa pengaruh tawakal menjadikan seseorang semakin menambah ketundukkan diri kepada Allah sehingga dalam 204 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 51 205 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6, 921 206 Sesuai penjelasan Alquran ayat 160 surat Ali Imran sebagai motivasi dalam bertawakal. عب م مك ص ي اا ف م ي م غ اف ها مك ص ي . Artinya; Jika Allah menolong mu maka tiada yang dapat mengalahkan mu dan jika Allah membiarkan mu maka siapa yang dapat menolong mu setelah itu melainkan kekuasaan Allah. bertawakal tidak menghiraukan kondisi yang dirasakan apakah baik atau tidak menyenangkan karena semua datang dari sisi Allah. Artinya dengan tawakal tidak ada penyesalan dalam menerima konsekuensi dari ‘azam yang telah diputuskan. Bahkan bila dirujuk kepada penjelasan Tustari bahwa tidak datangnya pertolongan Allah hanya menimpa orang yang berdosa, karena dosa yang dilakukanlah maka ia dibiarkan. 207 Pertolongan inilah yang dimaksud sebagai hidayah dalam pandangan Sa‘id Hawwa. Hidayah ini hanya akan diperoleh oleh orang yang konsisten melaksanakan hak Allah هقحب ها م قي . Tampak dari penafsiran Sa ‘id H{awwa dalam hal ini bahwa pemaknaan yang dinyatakannya sesuatu yang mungkin dicapai orang secara umum dan mudah dipahami. Penafsiran Sa‘id H{awwa mengandung unsur yang sejalan dengan pandangan para sufi tentang makna tawakal. Perbedaan istilah dengan at-Tustari yaitu tentang mendapatkan berbagai pancaran ilmu dari Allah. Sementara itu Sa ‘id H{awwa memahami demikian sebagai anugerah yang diperoleh berkat kedekatan dengan Allah dengan senantiasa melaksanakan hak-hakNya. Sementara itu Ibnu Arabi dalam tafsirnya menyebutkan tawakal dalam ayat itu mengaitkannya dengan musyawarah seperti peperangan. Tawakal yang dilakukan setelah melihat berbagai kondisi yang meliputi pengetahuan, kekuatan, kecerdasan kemudian diterapkan makna tawakal dan tauhid dalam perbuatan. Artinya bila telah membulatkan tekad maka serahkan perkara itu kepada Allah dengan tawakal dan dengan memperhatikan segala faktor yang mempengaruhinya ك ت ب ها ى مأا فف عفأا عي ج ي 208 . Tawakal dan tauhid menurut Ibnu Arabi dijalankan serentak dan tidak terpisah. Dalam tawakal mengandung nilai tauhid yang murni sebagaimana dijelaskan Sa ‘id H{awwa dengan; ها قحب قي penyandaran yang utuh kepada Allah dalam melaksanakan hak –hak Allah. Tawakal disini sangat dinamis artinya tidak semata –mata menyerahkan kepada Allah tapi setelah melihat seluruh daya upaya. 207 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 51 208 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke –2,152 Bila diperhatikan penafsiran sufistik Ibnu Arabi dalam hal ini sesuai dengan makna zahir seperti yang dipahami oleh Sa ‘id H{awwa diatas. Bahkan Ibnu Arabi menyatakan juga secara eksplisit dalam tafsirnya contoh musyawarah dalam peperangan yang sesuai dengan sejarah turun ayat. Dengan mengemukakan contoh musyawarah tersebut menunjukkan pemahaman ayat sangat dekat dengan zahir ayat. Dari beberapa bentuk penafsiran yang dikemukakan Ibnu Arabi dan at-Tustari diatas yang sejalan dengan makna yang dijelaskan Sa‘id Hawwa, mendukung akan keberadaan orientasi sufistik penafsiran Sa‘id Hawwa. 2. Ayat 58 surat al –Furqan 25 Perintah untuk bertawakal diungkapkan dengan lebih tegas lagi sebagaimana terdapat dalam surat al –Furqan 25: 58. Ayat ini tidak mengaitkan kepada suatu objek sebagaimana terdapat dalam surat Ali Imran diatas dimana yang secara tidak langsung perintah tawakal yang dikandungnya mengarah kepada keputusan bulat ’azam dalam musyawarah. Kandungan ayat ini menuntun untuk menguatkan keyakinan supaya bertawakal kepada Allah semata dalam hal apa saja. Makna tawakal d ijelaskan Sa‘id H{awwa disini adalah; مأ ك ىف ها ى ع د تعاا 210 Makna tawakal yang disebutkan Sa ‘id Hawwa ini sangat dasar dalam istilah ajaran agama. Ada dua hal yang ditekankan dalam pengertian tersebut; pertama, menjadikan Allah sebagai tempat bersandar, kedua, tawakal menyangkut segala macam persoalan. Makna tawakal diterangkan lebih lanjut bahwa; 209 Artinya; Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup kekal yang tidak mati dan bertasbihlah dengan memujinya. Dan cukuplah Dia maha mengetahui dosa –dosa para hambaNya. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 210 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 7, Cet. Ke –6, 3876 ا بأ ي ا ا ها ى ع ك مأ ىف اك تم ك . ى ع تت ا هي ا مأ سا هب قث ي ح . 211 Jadilah sebagai orang yang betul-betul dalam bertawakal terhadap semua persoalan kepada Allah yang tidak akan mati selamanya. Kuatkanlah bertawakal denganNya dan jangan menggantungkan persoalan kepada sesuatu makhluk yang akan mati. Bila diperhatikan penafsiran diatas, memiliki makna tauhid yang tegas yaitu agar manusia jangan sampai rusak akidah dalam menghadapi urusan dunia sehingga menodai nilai ketauhidan. Orang yang kuat keyakinan dalam bertawakal dan tawakal menjadi sifat yang melekat pada dirinya mutawakkil sehingga ia merasa dekat dengan Tuhan. Keadaan orang yang bertawakal kepada Allah digambarkan oleh Sharqawi seperti anak bayi bersama ibunya. Ia tidak mengenal selain ibunya, ia hanya berlindung dan menyandarkan kebutuhan sama ibunya. 212 Dengan demikian orang yang bertawakal keterikatannya hanya kepada Allah. Penjelasan Sa‘id H{awwa diatas mengkritisi prilaku manusia yang salah dalam bertawakal atau mencampurkan dengan hal lain seperti menggantungkan harapan, nasib kepada benda-benda atau manusia yang sudah pasti akan mati hancur. Prilaku seperti ini akan menjauhkan seseorang dari Tuhan dan membuat jiwa jauh dari kesucian. Makna penafsiran Sa ‘id H{awwa tersimpul padanya tauhid yang sesungguhnya, membatalkan kekuatan lain yang dapat merusak akidah dan tauhid keislaman yang akhirnya membawa pada kemusyrikan,. Tidak layak benda yang dapat musnah menjadi sandaran dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Dinyatakan dalam tafsir Tustari, bahwa ayat diatas mengandung pengertian tentang tawakal dan kasab. Tawakal merupakan keadaan kondisi Rasul sedangkan 211 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 7, Cet. Ke –6, 3876 212 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke- 1,94 kasab adalah sunnahnya. 213 Antara tawakal dan kasab dua hal yang tak terpisah, hal ini diungkapkan oleh Tustari yaitu siapa yang mencela mengabaikan kasab berarti ia mencela sunnah, siapa yang mencela tawakal berarti ia merusak keimanan. 214 Penjelasan Tustari tersebut menguatkan akan hubungan tawakal dan kasab ibaratnya antara kepribadian Muhammad dengan risalahnya menjadi satu padu yang memang harus diikuti oleh umat muslim. Konsep tawakal dan kasab yang dijelaskan at-Tustari diatas, sejalan dengan makna tawakal Sa‘id H{awwa yang disebutnya dengan istilah memahami hukum sebab akibat سأ ب خأي . 215 Pengertian kasab at-Tustari dan memahami sebab Sa‘id H{awwa ini termasuk bagian dari ‘azam dalam bertawakal. Sementara itu tawakal pada ayat ini diterangkan Ibnu Arabi bahwa tumbuhnya tawakal itu tampak pada sifat hayatnya al-H{aq menjadi tumpuan hidup segala yang hidup sebab sesuatu yang mati secara zatnya tidak hidup. 216 Secara prinsip dalam hal ini, penafsiran Ibnu Arabi memiliki makna yang sejalan dengan penafsiran Sa ‘id H{awwa diatas bahwa tempat sandaran bertawakal hanya kepada zat yang hidup dan yang tak akan mati. 217 Disebutkan oleh Ibnu Arabi bahwa dengan sifat hayat pada Allah maka itu menjadi dasar kuat sebagai pendorong dalam bertawakal kepadaNya. Adapun maqam tawakal yang sesungguhnya adalah dengan taraqqi naik mendaki dari maqam fana ’ dalam perbuatan عفأا ء ف kepada fana’ dalam sifat h}ayat. 218 Dijelaskan oleh Ibnu Arabi dengan mengutip pandangan para ahli tasawuf bahwa tidak mungkin berada pada setiap maqam dapat dikatakan sah 213 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 114 214 Mencela, merusak عط itu seumpama benda yang dilubangi, ditusuk – tusuk. Keimanan yang dirusak demikian mengakibatkan kehancuran padanya. Sahl Tustari, Tafsir, h. 114 215 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6,916. 216 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 83 217 Rujuk penjelasan Sa’id Hawwa terkait ayat ini terdapat pada catatan kaki no 133. Sa‘id H{awwa, al –Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 7, Cet. Ke–6, 3876 218 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 83 kecuali mengalami taraqqi naik kepada maqam yang diatasnya. 219 Penafsiran taraqqi yang abstrak dalam tawakal seperti yang dimaksud Ibnu Arabi tidak ditemukan dalam penafsiran Tustari dan Sa ‘id H{awwa. Penjelasan sufistik tentang maqam tawakal oleh Ibnu Arabi dalam memahami ayat tersebut termasuk kajian teori tasawuf dan dikemukakan setelah menjelaskan makna zahir. Sementara itu penafsiran ishari Sa ‘id H{awwa dan Tustari lebih dekat dengan pemahaman realistis karena sangat dekat dengan makna zahir ayat. Ditambahkan Sa ‘id H{awwa bahwa dalam bertawakal tidak menggantungkan urusan kepada selain Allah, karena dalam tawakal terhimpun padanya zikir tasbih} dan tahmid. Bertasbih} dengan memuji Tuhan dalam ayat itu mengiringi dalam bertawakal. 220 Demikian penjelasannya menyangkut akhir ayat diatas sebagai bukti kemurnian tauhid. 221 3. Ayat 81 surat an –Nisa’ 4 Selanjutnya perintah tawakal pada surat an –Nisa’ 4: 81 menegaskan supaya berpaling dari orang yang punya tipu daya sebab mereka tidak bisa jadi teman. Karena itu dalam tawakal kepada Allah berarti sepenuhnya menjadikan Allah sebagai wakil pelindung. 219 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 83 220 Tawakal membuka pintu taufik dari Allah yang menandakan hubungan yang dekat dengan Allah. QS. Hud : 88, ت ك ت هي ع ه ب ا ىقيف ت م . Tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah, hanya kepadaNya aku bertawakal. 221 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 7, Cet. Ke –6, 3876 222 Artinya; Dan mereka mengatakan, kewajiban kami hanyalah taat. Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari mengambil keputusan lain dari yang telah diucapkannya. Allah merekam siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi wakil pelindung. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al- Munawwarah, 1415 H Sa ‘id H{awwa memahami ayat ini dengan tetap mengacu pada struktur ayat bahwa perintah tawakal diatas sebagai respon terhadap perbuatan orang munafik. Karena itu dengan tawakal maka cukuplah Allah yang membalas dan menyiksa akan perbuatan mereka. 223 Selanjutnya bagi siapa yang bertawakal kepadaNya maka Allah menjadi pelindungnya wakil. 224 Makna lain diterangkan Sa ‘id H{awwa; ها ت ب ت ا ى ع ماا ىب ت م قب ه أ ى عي ا ه , ع ط ا حيحص ا ط ض اا ي ص ا . 225 Maksud peristiwa diatas adalah dengan selalu mendidik umat dalam memperhatikan Alquran tadabbur li kitabillah, akan menumbuhkan kepatuhan yang sesungguhnya kepada Allah serta ketaatan yang nyata. Adanya rasa kepatuhan yang nyata menunjukkan bahwa manusia meyakini akan pengawasan Tuhan yang sangat dekat keberadaannya. 226 Memperteguh ketaatan kepada Allah harus dilakukan dengan pemahaman Alquran. Abdul Qadir al-Jailani pernah menegaskan agar selalu berpedoman kepada Alquran. Muliakanlah Alquran dan laksanakanlah pendidikan bersama Alquran, sebab ia akan menghubungkan 223 مه مأ ى تي م م ك مقت ي م ت ضم كيف ي ها ف Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6,1132. 224 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6,1132. Wakil dalam ayat ini beda dengan naib yang berarti sebagai pengganti. Shighat tawakkala merupakan derivasi dari kata wakil - wakala; wakkala, مأا هي ك menyerahkan urusan yang didalamnya ada unsur ketundukkan kepadanya . Dikutip dari; Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab –Indonesia Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, t.th, Cet. Ke –4, h. 2037. Dengan demikian kata wakil memberikan makna sebagai pelindung yang diserahi urusan kepadanya. Orang yang bertawakal berarti menyerahkan urusan kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai pelindung terhadap apa yang menjadi ‘azam tekad yang ditetapkan. Dalam bertawakal berarti menunjukkan pada kelemahan manusia dihadapan Tuhan. 225 S a‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke –6, 1132 226 Dijelaskan dalam surat al- Baqarah ayat 186 bahwa Allah memang dekat dengan manusia; ى عد ا ا ا ع ا يجأ ي ق ى ف ى ع د ع ك أس ا ... artinya; dan bila hamba –hambaku bertanya kepadamu tentang aku maka jawablah bahwa aku adalah dekat. Sejalan dengan ini pada ayat 16 surat Qaf dinyatakan bahwa Allah sangat dekat; ح م هي قأ ح هسف هب س س ت م م ع ي ا artinya; dan kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. ص ا antara kamu dan Allah. 227 Alquran tidak sebatas media tapi menjadi penghubung yang selalu menyertai terhadap orang yang selalu berhubungan dengan Allah. Karena itu Alquran tidak bisa lepas bagi orang yang selalu berupaya untuk semakin dekat dengan Allah. Sebagai indikator kedekatan manusia dengan Tuhan salah satunya diwujudkan dengan ketundukkan dalam bertawakal. Disamping itu, dalam berprilaku tidak memperturutkan hawa nafsu yang akan mencemari rohaninya. Sebab ia merasakan bahwa Allah selalu hadir dalam kondisi apapun. Ini termasuk bagian dari makna penyerahan secara total dalam tawakal kepada Allah. Penyerahan diri secara total kepada Allah menunjukkan kuatnya berpegang pada nilai ketauhidan. Karena itu, kata al-Ghazali bahwa tawakal itu tidak sempurna kecuali dengan hati dan keyakinan yang kuat kepada Allah sehingga melahirkan ketenangan dan ketentraman hati. 228 Sehubungan dengan tawakal yang dikemukakan dalam ayat 81 surat an – Nisa ’ 4 diatas dijelaskan dalam tafsir at-Tustari bahwa tawakal itu mengandung makna mengosongkan badan fisik dalam penyembahan beribadah –‘ubudiyyah, menggantungkan hati dalam ketaatan rububiyyah dan berlepas diri dari daya dan kekuatan. 229 Dijelaskan juga mengenai hakikat tawakal menurut Tustari adalah pengakuan tauhid يح ت ب ا قإا karena itu janganlah berkeluh kesah dalam tawakal. 230 Dalam hal ini penafsiran at-Tustari sejalan dengan yang dijelaskan Sa ‘id H{awwa pada ayat 58 surat al –Furqan 25 tentang kekuatan tauhid yang 227 هعم ا بدأت ج ع ها تك ا م تحا , ج ع ها يب م يب ص ا ه . Abdul Qadir al- Jailani. al-Fathu ar-Rabbaniy wa al-Fayd}u ar-Rah}maniy Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14242003, Tahqiq: Shaikh Anas Mihrah, Cet.ke-2, 55 228 Al-Ghazali, Ih}ya ’ Ulum ad-Din Mesir: Maktabah Must}afa al-Babi al-H{alabi wa Auladihi, 19391358 Jilid 4, 254 229 ق ا ح ا م ت ا يب ب ب ق ا ق عت يد ع ا ىف ا ط Pengertiannya yang dikandungnya yaitu penyerahan seluruh jiwa raga secara utuh kepada Allah. Sahl At –Tustari, Tafsir at –Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke–I, 54 230 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 54 terkandung dalam tawakal. 231 Artinya penafsiran ishari at-Tustari masih berlandaskan pada makna zahir ayat sebagaimana Sa ‘id H{awwa. Penafsiran Tustari tentang karakter dalam tawakal yang meliputi pengosongan jasmani, ikatan hati kepada Allah sebagai cerminan ketaatan dan menunjukkan kelemahan dihadapanNya juga dipahami dalam tafsir Sa ‘id H{awwa sebagai bentuk ketaatan dan ketundukkan yang nyata kepada Allah. Dengan demikian terlihat at- Tustari dan Sa ‘id H{awwa sama-sama berpegang pada makna zahir ayat dalam penafsiran sufistiknya. Penafsiran makna lain dikemukakan oleh at-Tustari setelah penjelasan diatas terkait ayat 81 yaitu; sesungguhnya orang yang bertawakal memiliki proses-proses yang dilalui. Lebih lanjut dijelaskannya, bahwa harus dipahami prosesnya yaitu awal sesuatu adalah al-ma ‘rifah mengenal kemudian al-iqrar pengakuan, at- tauh}id, al-islam, al-ih}san, at –tafwid}, at–tawakkul hal tawakal, kemudian tenangtetap kepada al-H{aq dalam semua keadaan 232 عي ج ىف ع ج قح ا ى س ا ا ح ا Penafsiran sufistik at-Tustari demikian lebih rinci sebagai tambahan penjelasan terdahulu. Disini ia menggambarkan bahwa dengan tawakal yang sesungguhnya akan membawa wusul kepada Tuhan. Bila dikaitkan dengan penafsiran Sa‘id H{awwa tampak bahwa penjelasan seperti ini mendukung yang dikemukakannya. Ini menunjukkan bahwa makna yang dikandung dalam penafsiran Sa‘id H{awwa memiliki kesamaan pengertian dengan at-Tustari. Hanya saja at- Tustari menjelaskan dengan mengemukakan proses yang terdapat dalam jalan tawakal. 231 Lihat; Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 7, Cet. Ke –6, 3876 232 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 54. Makna yang tidak berkaitan langsung secara zahir ayat ditemukan juga dalam tafsir at- Tustari yaitu: م ف أ ه ك ت ا , ءا ا ىف ا ه م م أ Orang yang bertawakal itu memiliki seribu manzil, adapun manzil pertamanya adalah berjalan di udara. Ini merupakan level tinggi dan harus menjalani berbagai proses. Karena itu disebutnya, tidak sah tawakal kecuali bagi orang yang bertaqwa. Dari uraian at-Tustari di atas, dipahami bahwa tawakal dan taqwa sangat berpautan. Bagi orang yang bertaqwa akan mudah merasakan tawakal kepada Allah. Hal itu memberi pengertian bahwa penafsiran ayat –ayat tasawuf Sa‘id H{awwa mendukung kecenderungan kepada orientasi sufistik. Makna yang dikemukakannya terlihat dekat dengan zahir ayat supaya tidak terjadi kontradiksi dengan ayat tapi sesuai dengan konteks dan makna zahirnya. Dalam bukunya juga disebutkan bahwa tasawuf harus dibebaskan dari daki –daki yang selama ini berkembang. Tasawuf harus dijelaskan kepada manusia bagaimana jalan yang benar menuju Allah berdasarkan Alquran dan Sunnah. 233 4. Ayat 3 surat at} –T{alaq 65 Allah telah menjanjikan dan memberikan ganjaran kepada orang yang bertawakal yaitu Dia akan mencukupkan nikmat kepadanya. Pengertian ini dinyatakan dalam surat at} –T{alaq 65: 3. ا ق ئيش ها عج ق مأ غ ب ها ه سح ف ها ى ع ك تي م . 234 Dikemukakan oleh Sa‘id H{awwa terkait ayat ini; أ : ي ا ا ىف هيف ك ف هسف يب ت ها ى مأ ي م . 235 Artinya; Siapa yang menyerahkan urusannya kepada Allah dan pengaturan dirinya maka Dialah yang mencukupkan untuknya di dunia dan di akhirat. Bentuk penyerahan urusan yang dihadapi kepada Allah sebagai wujud tawakal, dijelaskan oleh Sa‘id H{awwa mencakup padanya keyakinan bahwa dirinya juga dalam pengaturanNya. Ini bentuk penyerahan diri yang seutuhnya kepada Allah. Artinya tidak saja mengakui hasil tawakal terkait dengan persoalan yang dihadapi melainkan segala proses kehidupan dirinya juga diyakini bahwa Allah yang mengatur. Sesuai dengan yang dijelaskan Sharqawi bahwa dalam bertawakal wajib 233 Sa‘id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruhiyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke –9, 11-12 234 Artinya; Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusannya, Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al- Madinah al-Munawwarah, 1415 H 235 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 10, Cet. Ke –6, 5975 bagi hamba menyerahkan pengaturan diri kepada Allah sehingga dalam hatinya tidak ada syak dan kelalaian. Selain itu orang bertawakal percaya kuat kepada Allah sebagai wakilnya. 236 Pandangan Sharqawi ini memperkuat kecenderungan sufistik dalam penafsiran Sa‘id H{awwa tentang tawakal diatas. Selanjutnya tergantung dengan kemampuan manusia dalam memahami dan meyakini proses yang telah ditetapkan supaya dapat menjalani proses tersebut dengan benar dengan tidak memperturutkan nafsu belaka. Untuk itu, dengan keyakinan seperti demikian maka manusia dalam mengikuti proses yang telah ditetapkan tidak merasakan kekecewaan dengan keadaan dan hasil yang diterima. 237 Dengan melakukan tawakal secara benarlah maka kepuasan dapat dirasakan. Kepuasan ini mencakup di dunia dan di akhirat. Penjelasan ini sesuai dengan ayat 59 surat at- Taubah tentang kerid}aan. 238 Disinilah manusia mengharapkan taufik dari Allah sehingga apa yang menjadi harapan manusia dapat sejalan dengan kehendak Allah supaya dibimbing menentukan proses yang benar. Tidak terwujud segala sesuatu kecuali dengan mengikuti takdir dan taufikNya. 239 Karena itu tawakal dan at –tafwid} menjadi hal 236 Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke- 1,94. Pandangan ini termasuk dalam kajian ilmu tasawuf yang merupakan bagian dari ruang lingkup batasan tasawuf seperti dikemukakanAhmad al-Hasani yaitu; ي ي م ى ع ها عم سفت ا س تسا penyerahan diri bersama Allah terhadap apa saja yang dikehendaki. Lihat; Ahmad bin Muhammad al-Hasani, Iqaz} al-Himam fi Sharh} al- H{ikam li Ibni ‘At}a’ as-Sakandari Tt: Darul Kutub al- Islamiyah,t.th,Jilid 1, 4 237 Tawakal bukan tanpa berbuat tapi hasil perbuatan tersebut dipahami sebagai keseimbangan dalam mensikapi peristiwa. QS. al-Hadid 57: 22-3. Tiada satupun dari keadaan yang menimpa terjadi di bumi dan pada diri sendiri melainkan telah ditetapkan dalam kitab lauh mahfuz sebelum kami melaksanakannya. Supaya kamu jangan berduka terhadap yang luput darimu dan tidak terlalu gembira apa yang diperoleh. Allah tidak suka pada orang yang sombong dan membanggakan diri. 238 Lihat uraian Sa‘id H{awwa tentang keterpaduan rida dan tawakal. Sa‘id H{awwa, al– Asas fi at –Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 4, Cet. Ke–6,2305. 239 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 10, Cet. Ke –6,5975. Dalam menjalani kehidupan barangkali ada orang merasa bahwa suatu peristiwa yang dianggap kebetulan namun dalam kacamata agama hal itu bukan kebetulan tapi implikasi kedekatan hamba dengan Tuhan. Bukankah kita selalu memanjatkan doa, baik dalam s}alat atau dalam saat tertentu. Segala sesuatu, baik itu rezki atau hal lain didunia sudah ada ukuran dan ketentuannya lalu tugas manusialah berusaha memahami ukuran tersebut melalui sunnatullah. yang wajib dilakukan agar manusia puas dengan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan menurut takdirnya, supaya tidak muncul penyesalan apalagi mencela Tuhan. 240 Makna tawakal yang dikemukakan Sa‘id Hawwa diatas menyangkut penyerahan diri yang sesungguhnya kemudian menghubungkan terjadinya segala sesuatu dengan taufikNya, ini menunjukkan hubungan yang sangat dekat antara hamba dengan Tuhan. Suatu kejadian yang dirasakan seseorang berdasarkan taufikNya, 241 adalah termasuk anugerah padanya berkat latihan ibadah dan senantiasa berusaha dalam penyucian jiwa. Makna yang sama dikemukakan Tustari dalam tafsirnya yakni siapa yang menyerahkan segala urusannya kepada Tuhannya maka sesungguhnya Dia cukupkan baginya keperluan, harapan di dunia dan akhirat. Ini sejalan dengan makna taufik bahwa harapan hamba yang terpenuhi sejalan dengan kerid}aan Tuhan. 242 Keinginan yang dicitakan hamba diberikan Allah di dunia dan di akhirat bagi orang yang bertawakal. Demikian menurut penafsiran sufistik Sa ‘id H{awwa dan Tustari sebagaimana dikemukakan dalam tafsirnya yang dinyatakan berdasarkan makna zahir ayat. Penafsiran s ufistik Sa‘id Hawwa diatas yang memaknai tawakal dengan munculnya taufik dari Allah, didukung oleh tafsir at-Tustari yang juga mempunyai semangat yangsama. Selain itu makna taufik yang dikemukakan Sa‘id Hawwa didukung pula oleh ayat lain. Ini termasuk salah satu syarat tafsir sufi ishari yaitu ada dalil shara‘ yang menguatkannya. 243

E. Tafsir tentang Ayat-Ayat Rid}a