BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh ilmuwan atau ahli tafsir untuk menjelaskan kandungan Alquran, agar mudah dipahami dan dapat dijadikan pedoman
dalam kehidupan. Supaya manusia dapat hidup selamat di dunia dan akhirat. Sudah tidak terhitung kitab-kitab tafsir yang dihasilkan para mufasir. Artinya studi tentang
Alquran tidak akan berhenti dilakukan, ibaratnya Alquran selalu hadir dalam setiap masa
1
yang tentunya membutuhkan penafsiran sesuai perkembangan zaman dan kemajuan peradaban. Para pengkaji Alquran senantiasa menafsirkan Alquran dengan
menyesuaikan dengan keahlian bidang ilmu pengetahuan serta kecenderungan pemikirannya.
Keahlian dan kecenderungan pemikiran ini paling tidak memberikan pengaruh langsung bagi mufasir dalam rangka memahami dan menjelaskan petunjuk Alquran
dalam kitab tafsirnya. Contohnya, Tafsir yang ditulis oleh Zamakhshari w.538 H yang memiliki keahlian bahasa Arab dan balaghah, ia menggunakan ilmu kebahasaan
dan sasteranya tersebut sebagai alat untuk mengupas makna Alquran. Tersebutlah kitab tafsirnya sebagai tafsir yang beraliran lughawi bahasa dan sastera Arab.
Sedangkan dari segi pemikiran, ia cenderung ke Mu‘tazilah maka mewarnai pula
dalam tafsirnya sebagai kitab tafsir yang bercorak kalam. Bila kita analisa dan teliti berbagai kitab tafsir, ditemukan di dalamnya aliran atau corak tafsir yang merupakan
cerminan dua hal diatas atau bisa lebih.
2
Ada kita jumpai pula kitab tafsir yang
1
Alquran tidak akan lenyap ditelan masa, tidak akan punah diterpa zaman dan senantiasa baru dalam penerapan artinya berbagai persoalan kehidupan didunia yang senantiasa berubah maka Alquran
dengan pembaruan pemikiran tafsir dapat dijadikan solusi. Ibarat kata; baju dipakai usang, Alquran dijalankan pakai baru. Hal ini terbukti dengan munculnya bermacam kitab tafsir sejalan dengan
masing –masing situasi yang dihadapi. Menurut Moh. Arkoun, Alquran memberikan kemungkinan arti
yang tak terbatas, kesan yang ditimbulkan ayatnya mengenai pemikiran dan penafsiran pada tingkat wujud adalah mutlak. Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran Bandung: Mizan,1993,
Cet.ke-5,72
2
Disinilah kita harus membedakan antara pendekatan tafsir dan nuansa pemikiran yang dikembangkan. Jika dalam penafsiran Alquran, seseorang menggunakan keahlian bahasa Arab serta
1
memfokuskan bahasan dari aspek ilmu Alquran disamping mengandung corak tafsir tertentu seperti tafsir yang ditulis oleh Sa
‘id H{awwa
3
yang dijadikan objek penelitian ini. Sa
‘id H{awwa menjelaskan dalam pendahuluan kitabnya bahwa ia menggunakan pendekatan kajian tafsirnya dengan memperkenalkan teori al
– Wah}dah al
–Quraniyyah. Teori yang dikembangkan ini termasuk bagian dari ilmu munasabah Alquran yang nota bene rumpun dari ilmu Alquran.
4
Kemudian dari aspek pemikiran atau corak tafsir teridentifikasi ada kecenderungan tasawuf di dalam
penafsirannya yang dapat pula disebut tafsir ini dengan corak tasawuf. Sa ‘id H{awwa
juga menyatakan dalam pendahuluan kitab tafsirnya bahwa ia berupaya menjelaskan dalam tafsirnya dari segi aqidah, fiqh, tasawuf, sulukiyyah dan usuluddin.
5
Paling tidak ini mencerminkan bahwa Sa
‘id H{awwa seorang mufasir disamping
balaghahnya maka disebut kitab tafsirnya dengan aliran lughawi. Bila seseorang menggunakan keahlian dari aspek ilmu Alquran maka disebutlah kitab tafsirnya dengan pendekatan ilmu Alquran. Ini
dapat dirinci lagi bagian ilmu Alquran yang mana yang lebih ditekankan, seperti mengkaji aspek munasabah, konsep nasakh, pendekatan kisah dan seterusnya. Pendekatan seperti ini dapat disebut
dengan manhaj penafsiran. Sedangkan yang terkait dengan nuansa atau orientasi pemikiran maksudnya kecenderungan pada suatu bidang kajian yang mendominasi uraiannya, seperti ahli tafsir yang
cenderung membahas bidang kalam, teologi maka disebutlah kitab tafsirnya dengan corak kalam. Begitu pula bila kecenderungannya dengan ayat
–ayat hukum maka disebut kitab tafsirnya dengan corak fiqh tafsir ahkam.
Selanjutnya bila cenderung membahas ayat –ayat tasawuf maka disebutlah kitab tafsirnya
dengan corak tafsir sufi. Sama halnya dengan pendekatan tafsir diatas, pemikiran tafsir juga dapat dirinci, seperti corak kalam mu’tazilah, khawarij, corak tafsir sufi naz}ari, tafsir ishari dan
seterusnya.
3
Nama lengkapnya adalah Syaikh Sa‘id bin Muhammad Dib H{awwa. Ia lahir di kota Hamah, Suriah pada tahun 1935 M. Wafat tahun 1411 H1990 M. Periode beliau tumbuh dan
berkembang disaat negerinya dikuasai rezim kolonial Perancis. Dicuplik dari al –Mustasyar Abdullah
al –Aqil, Mereka yang telah Pergi; Tokoh–tokoh Pembangun Pergerakan Islam Kontemporer Jakarta:
Al- I’tisham Cahaya Umat, 2003,401. Lihat juga, Sayyid Muhammad Ali Iyazi, al–Mufassirun
H{ayatuhum wa Manhajuhum Teheran:Wazarah ath –Thaqafah wa al–Irshad, 1414 H1992 M,
132.
4
Sa‘id H{awwa menegaskan bahwa dari segi pendekatan dalam menafsirkan Alquran, ia mempunyai konsep tentang munasabah yaitu teori baru al-Wah}dah al-Quraniyyah
. Lihat Sa‘id H{awwa,al
–Asas fi at–Tafsir Kairo:Darussalam, 1424 H2003 M, Cet. Ke–6 juz 1, 30. Teori inilah yang akan diterapkan dalam penafsiran yang dikenal juga dengan sebutan Manhaj. Sedangkan
metode t}ariqah tafsir, itu terkait dengan penyajian dalam kitab tafsir ibaratnya kulit seperti metode tahlili, maud}u
’i, ijmali dan muqaran.
5
Lihat mukaddimah al-Asas fi at –Tafsir; Sa‘id H{awwa,al–Asas fi at–Tafsir, juz 1, h.
30, lihat juga penggolongan M. Aqil al- Mahdini yang memasukkan Sa’id Hawwa diantara ulama yang
berperan mengkaji tasawuf, seperti Taftazani, Dr. Muhammad Mustafa, Syaikh Abu Hasan Ali Hasani an
–Nadwi dan lain–lain. Sayid M. Aqil bin Ali al–Mahdini, Madkhal ila at–Tas}awwuf al–Islami Kairo:Darul Hadith, tth, Cet. Ke
–2,29
menggunakan ilmu munasabah dan juga memiliki pandangan tasawuf dalam bahasan tafsirnya.
Keberadaan corak tasawuf dalam tafsir tidak bisa dipungkiri sebab Islam mengajarkan bahwa diri manusia terbagi dalam jasmani dan ruhani maka tinjauan
tasawuf dalam penafsiran sangat berhubungan dengan aspek ruhani manusia itu sendiri. Alquran yang menjadi dasar ajaran Islam sering mendorong manusia untuk
membersihkan aspek ruhani tersebut. Karena aspek ruhani ini pula yang dapat mengenal Tuhan dan merasakan kedekatan diharibaanNya. Ayat
–ayat Alquran yang berorientasi tasawuf yang menjadi dasar amalan kelompok sufi lebih terbuka
ditafsirkan dengan pendekatan ishariy. Bila dipandang mengenai sejarah penafsiran diketahui bahwa ulama pada
zaman generasi awal perkembangan Islam sudah menafsirkan Alquran dengan menggali aspek tasawuf.
6
Dalam sejarah tafsir sufi, ulama yang populer dalam hal ini adalah Ibnu Arabi yang lebih terkenal sebagai filosof sufi atau tasawuf falsafiy
dengan paham wujudiyyahnya ketimbang sebagai mufasir. Nama tafsirnya yaitu Alquran al-Karim atau yang disebut juga dengan nama tafsir Ibnu Arabi.
7
Sebagai referensi pendukung bagi kita untuk memudahkan dalam memahami tafsirnya dapat
dianalisa 2 karangannya yang lain seperti al-Futuh}at al-Makkiyah dan Fus}us} al-H{ikam. Didalam kedua buku tersebut pembahasan tasawufnya sering mengutip
bagian ayat –ayat Alquran.
Menurut pelaku tasawuf, penafsiran secara makna zahir belum membuka isyarat yang tersembunyi dibalik makna batin Alquran.
8
Ketika menjelaskan makna
6
Adh –Dhahabi ketika mengategorikan tafsir ini kepada tafsir sufi dikemukakannya tafsir
Tustari sebagai tafsir awal yang membahas dengan pendekatan sufistik yaitu tafsir al –Quran al-
‘Az}im. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Isa bin Abdullah at
–Tustari, lahir tahun 200 H di Tustari negeri Ahwaz. Ia meninggal di Basrah tahun 283 H. Lihat, adh
–Dhahabi,at–Tafsir wa al-Mufassirun Kairo: Tp, 13961976,juz 2,281.
7
Ibnu Arabi, Tafsir Alquran al –Karim Beirut: Dar al–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H 2006
M, Cet.Ke –2, halaman depan. Tafsir ini terdiri dari 2 juz tebal. Ibnu Arabi Lahir di Mursiyah-Andalus
tahun 560 H 1165 M, wafat tahun 638 H.
8
Kalangan pengkaji tasawuf sangat mengenal hadis Nabi Muhammad yang menyatakan tentang Alquran mempunyai makna zahir dan makna batin. Makna batin sering bertalian dengan
penafsiran sufistik yang dipahami oleh pelaku sulukTasawuf. Hadis tentang makna zahir dan batin ini acap kali disinggung oleh penulis buku
–buku ilmu Alquran, seperti adh–Dhahabi dalam at–Tafsir wa
batin ini sering terjadi kesalahpahaman bagi orang lain khususnya diluar pelaku tasawuf.
Ada anggapan bahwa pendekatan ishariy yang digunakan oleh mufasir sufi tersebut keluar dari maksud Alquran atau sudah terjadi penyimpangan makna. Ibnu
S{alah} misalnya, dalam melihat tafsir ishariy ini dikatakannya tafsir tersebut tidak layak disebut tafsir. Orang yang menafsirkan tersebut sesungguhnya masuk
golongan bat}iniyyah.
9
Bahkan dijelaskan juga oleh Ibnu S{alah}, Imam Abu H{asan al –Wa}h}idi
seorang mufasir, pernah mengungkapkan ketidaksetujuannya terkait dengan tafsir karya Abu Abdurrahman as
–Sulami yang menggunakan pendekatan ishariy. Lebih dari itu dikatakannya siapa yang mempercayai tafsir as
–Sulami tersebut berarti ia sudah kufur.
10
Dalam istilah G. Bowering menyebutnya dengan outright-unbelief kufur.
11
Tokoh lain yang dikenal sebagai seorang pembaharu pemikiran Islam yang terkenal dengan rasionalitasnya, Muhammad Abduh pernah mencela tafsir Ibnu Arabi
dan dianggapnya sudah menyimpang dari kitab yang mulia Alquran dan jauh dari agama Islam. Masih menurutnya, tafsir Ibnu Arabi ini adalah tafsirnya al
–Qasha}ni penganut bat}iniyyah.
12
Penafsiran sufistik tidak bisa dilepaskan dari pengalaman kesufian mufasirnya yang sulit dipahami oleh orang yang tidak memasuki dunia itu. Berkenaan dengan
pendekatan ishariy dalam penafsiran sufi, itu sangat berhubungan dengan aktifitas latihan rohani pelaku suluk.
13
Sebagaimana dipahami bahwa aspek tasawuf dalam kajian pemikiran tafsir merupakan salah satu aspek ajaran yang dikandung Alquran
al –Mufassirun, Manna‘ al–Qat}t}an dalam Mabahith fi Ulum al–Quran, Abdul Warith M.Ali
dalam pengantar tafsir Ibnu Arabi. Az –Zahabi, at–Tafsir …, Beirut:tp, 1976, Cet. Ke – 2,353.
9
Disebutkan oleh Syaikh Abdul Warith M.Ali dalam Pengantar Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Darul Kutub al
–Ilmiyah, 2006 1428, Cet. Ke–2, 16.
10
Syaikh Abdul Warith, Pengantar …, 16
11
G.Bowering, Sufi Hermeneutics: dalam Alexander D. Knysh, Encyclopaedia of the Quran Leiden: MNP, 2006, V.5, 143.
12
Adh-Dhahabi, at –Tafsir wa al-Mufassirun Beirut: tp, 1976, 400
13
Suluk merupakan istilah lain dalam tasawuf artinya yang menunjuk orang yang menempuh jalan kesufian.
disamping aspek hukum, kalam, politik dan seterusnya. Penafsiran terhadap aspek –
aspek ajaran Alquran sangat berkaitan dengan kemampuan teoritis ataupun praktis dan kecenderungan mufasirnya.
Menurut Zarqani penafsiran sufistik atau tafsir ishariy diperoleh dengan menakwilkan ayat diluar makna zahir yang dapat diungkap melalui jalan suluk dan
riyad}ah tasawuf. Tafsir ishariy dapat saja menggabungkan makna z}ahir dengan makna ishariy yang tersembunyi.
14
Adh-Dhahabi sependapat dengan pernyataan diatas dengan menambahkan bahwa ahli tafsir sufi menafsirkan Alquran sesuai
dengan teori dan ajaran tasawuf yang dijalaninya.
15
Kontroversi penafsiran sufistik terjadi karena ketidaksamaan dalam memahami kerangka tasawuf. Selain itu pihak yang kontra beranggapan pendekatan
ishariy terlalu jauh dipakai dalam memahami aspek tasawuf ajaran Alquran bahkan sudah masuk dalam ruang aliran bat}iniyyah.
Penafsiran sufistik awal sebagaimana dijelaskan adh-Dhahabi
16
bahwa yang berbentuk kitab tafsir pernah dilakukan Tustari w.283 H dengan nama tafsirnya
Tafsir Alquran al –‘Az}im. Zaman berikutnya muncul ahli sufi dengan tafsirnya
H{aqaiq at –Tafsir yang disusun oleh as–Sullamiy w.412 H Selanjutnya pada
abad VII H Abu Muhammad as –Shairazi w.666 H menulis tafsir ‘Araisu al–
Bayan fi H{aqaiq al –Quran. Masih pada abad yang sama muncul seorang guru
besar sufi dari Andalus yaitu Ibnu Arabi w.638 H dengan Tafsir Alquran al –
‘Azhim atau dikenal juga dengan Tafsir Ibnu Arabi. Selain demikian, terkait dengan pendekatan ishariy dalam penafsiran perlu
disebutkan juga disini yang juga menjadi rujukan dalam ta fsir Sa‘id H{awwa yaitu
tafsir Ruh al –Ma‘ani yang ditulis oleh al–Alusiy w.1270 H serta tafsir an–
Nasafiy w.701 H, dikenal juga dengan Madarik at –Tanzil wa H{aqaiq at–
14
Zarqani, Manahil al- ‘Irfan, dikutip oleh Abdul Warith M.Ali, Tafsir Ibnu Arabi
Beirut:Darul Kutub, 2006, 8
15
Adh –Dhahabi, at–Tafsir wa al–Mufassirun Beirut: tp, 1976, 352 .
16
Adh –Dhahabi, at–Tafsir wa al–Mufassirun Beirut: tp, 1976, 380 - 400 .
Ta ’wil. Kedua tafsir yang juga kategori tafsir bi ar–ra’yi ini sangat berpengaruh
pada tafsir Sa ‘id H{awwa.
Pola penafsiran Sa ‘id H{awwa sementara dapat tergambar bahwa ia tidak
memberikan tema –tema terkait pengelompokkan ayat–ayat dalam suatu surat.
Penafsiran tasawuf dikemukakannya baik melalui riwayat atau analisanya dengan menafsirkan ayat
–ayat yang bernuansa sufistik dan memerlukan penjelasan tasawuf. Penafsiran melalui ayat dengan ayat yaitu menghubungkan ayat pokok dengan ayat
lain yang saling mendukung munasabah ayat. Setiap ayat yang terkait dengan ajaran tasawuf, Sa
‘id H{awwa menguraikan makna tasawuf yang dikandungnya. Dalam tafsirnya, Sa
‘id H{awwa sering merujuk kepada athar Nabi atau sahabat bahkan pendapat ulama. Ketika menafsirkan ayat terakhir surat al-
‘Ankabut 29:69 misalnya;
ي سح ا ع ها س م ي يف ا ه ج ي ا .
69 Artinya; Dan orang
–orang yang berjihad untuk mencari keridhaan kami, sungguh akan kami tunjukkan kepada mereka jalan
–jalan kami. Sesungguhnya Allah benar beserta orang
–orang yang berbuat baik. Biasa ayat ini dipahami sebagai motivasi bagi orang yang mengalami
kesulitan dalam pekerjaan, menghadapi persoalan dalam usaha dan sejenisnya. Justeru Sa
‘id H{awwa menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini bagian ajaran tasawuf dimana hal itu merupakan tangga menuju kedekatan dengan Allah. Lebih
jauh dikatakannya bahwa siapa yang memahami ayat ini secara komprehensif dan mengenali maknanya serta mengamalkannya niscaya ia memperoleh kebaikan yang
banyak. Dengan mengutip hadis Nabi, siapa yang berjihad semata –mata karena Allah
maka Dia akan menunjuki jalan agar sampai kepadaNya.
17
Ini contoh ayat tasawuf yang dipahami lebih dalam oleh Sa ‘id H{awwa bahwa
mujahadah dalam ayat diatas merupakan penghubung hidayah hati menuju Allah dan ridhaNya. Ayat tersebut membentuk keterkaitan erat, dengan mujahadahlah
17
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 8, Cet. Ke
–6, 4237–8
maka hidayah akan turun kepada orang yang berkehendak kepada taqwa. Urutannya; Mujahadah
– Hidayah – Taqwa – sampai pada jalan Allahterbuka hijab Usaha yang dilakukan ulama dalam menafsirkan Alquran senantiasa dituntut
agar mengalami perkembangan pemikiran supaya wahyu Allah ini lebih mudah dimengerti dan diamalkan serta dapat menjawab persoalan dalam masyarakat yang
selalu berubah dari masa ke masa. Dari masa awal perkembangan Islam sampai sekarang sudah bermacam
–macam orientasi penafsiran yang muncul. Mulai dari jenis tafsir bi al-
Ma’thur kemudian ada penafsiran yang menekankan aspek bahasa gramatikal, ada yang menekankan kepada ayat
–ayat hukum yang dikenal dengan tafsir ah}kam, ada yang memfokuskan menafsirkan ayat
–ayat tasawuf yang melahirkan tafsir sufi, ada juga yang menyorot fenomena sosial yang melahirkan
tafsir adab ijtima ‘i, dan banyak lagi.
Memperhatikan dari fenomena ulama tafsir dengan menyorot berbagai kitab tafsirnya, dipahami bahwa ada dua kategori penafsiran. Ada kitab tafsir yang memang
ditulis oleh seorang mufasir kemudian ada ulama yang termasuk kategori penulis tafsir. Kelompok pertama, mengindikasikan bahwa mereka memang ahli tafsir yang
menguasai ilmu tafsir dan ilmu Alquran ulumul Quran. Ini akan terlihat dalam uraian penafsirannya bahwa mereka mengungkapkan berbagai konsep
–konsep ilmu tafsir. Diantara konsep ilmu tafsir tersebut akan terlihat pula, konsep mana yang
dominan dalam penafsirannya. Sebagai contoh tafsir Sa ‘id H{awwa, salah satu
indikator bahwa ia seorang mufasir adalah konsep ilmu munasabah yang dikembangkan dalam tafsirnya. Disamping tidak menutupi dalam tafsirnya analisa
kecenderungan pemikiran tafsir seperti bidang tasawuf. Adapun kelompok kedua yaitu ulama yang dianggap sebagai penulis tafsir.
Sebagai indikatornya ulama tersebut terdeteksi tidak banyak menguasai serta mendalami persoalan tentang ilmu tafsir dan ilmu Alquran. Ini akan terlihat ketika
dalam penafsirannya jarang membahas seputar ilmu Alquran apalagi dengan menawarkan salah satu konsep ilmu Alquran. Mereka hanya sebatas menjelaskan
maksud Alquran sesuai kapasitas dan kecenderungan ilmu yang dimiliki. Pandangan
seperti ini menguatkan pernyataan Quraish Shihab bahwa diantara ulama terdapat perbedaan dalam memahami arti tafsir.
18
Sebagai implikasi dari kelompok akhir ini, memunculkan buku tafsir pendidikan, tafsir politik, tafsir sosial, tafsir tentang hak asasi manusia dan
sebagainya.
19
Penafsiran berbagai bidang tersebut dilakukan oleh mereka yang bukan “ mufasir “ melainkan berangkat hanya dari latar belakang keilmuannya. Karena tidak
dikemas dengan menggunakan analisis kerangka ilmu tafsir atau ilmu Alquran maka wujud tafsirnya tidak memberikan uraian yang komprehensif dan bahkan cenderung
sebagai bahan legitimasi dasar keilmuan. Disertasi ini merupakan salah satu cerminan mengatasi persoalan di atas untuk mengkaji satu aspek pemikiran tokoh tafsir yaitu
tentang ayat –ayat tasawuf dengan tetap memperhatikan kerangka ilmu tafsir dalam
proses pembahasan penelitian.
20
Sekalipun yang dibahas aspeknya ayat tasawuf namun tetap disinggung juga aspek ilmu tafsir ketika Sa
‘id H{awwa menafsirkan ayatnya. Ini akan beda halnya bila penelitian yang sengaja memfokuskan kajiannya
18
Ada dua macam pengertian yang dikemukakan oleh ulama tentang arti tafsir pertama,
Tafsir: sebagai penjelasan tentang firman Allah atau menjelaskan arti dan maksud lafal Alquran. Bagi golongan ini tafsir bukan merupakan suatu cabang ilmu. Golongan kedua berpendapat, tafsir adalah
suatu ilmu yang membahas tentang maksud Alquran, mengeluarkan hukum dan hikmahnya sesuai dengan kemampuan manusia. Bagi mereka ini tafsir itu ada ilmunya atau kaedah
–kaedah tafsir yang harus dikuasai. Lihat: M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran Bandung: Mizan, 1993, Cet. Ke-5,
152. Implikasinya kita temukan ada cendekiawan muslim yang berani menafsirkan Alquran walau bukan ahli ilmu tafsir bahkan ada yang mengatakan sehubungan dengan menafsirkan Alquran tidak
harus menguasai kaedah –kaedah tafsir yang detil dan seterusnya.
19
Perguruan tinggi agama Islam khususnya IAINUIN dengan wajah baru memang membutuhkan buku
–buku terkait berbagai program studi beberapa kecenderungan tafsir semacam itu dalam rangka menghadirkan mata kuliah tafsir bagi mahasiswa agar sejalan dengan program studi
yang ditempuh. Untuk menjembatani persoalan diatas maka perlu di kembangkan arah baru kajian tafsir, maka bagi pengkaji atau ahli tafsir juga perlu mempelajari ilmu pendukung dalam bahasan tafsir
sesuai konsenterasi diatas. Mereka yang mendalami disiplin tafsir juga harus menambah
pengetahuannya dengan konsenterasi tertentu. Kini IAINUIN sudah membuka program studi “ umum “ yang tentu harus mengambil mata kuliah tafsir yang disesuaikan dengan program studi masing–
masing. Disamping itu bagi program studi lama bidang agama juga memerlukan pengembangan mata kuliah tafsir sesuai keahliannya. Seperti tafsir ayat
–ayat hukum, ayat ekonomi mu‘amalah, ayat tasawuf, pendidikan tarbiyah dan seterusnya.
20
Diantara kitab tafsir yang dapat kita temukan dalam uraian tafsirannya menyangkut berbagai orientasi. Ada yang dominan penafsirannya tentang politik seperti tafsir al-Maududi, ada
yang orientasi tasawuf seperti tafsir Ibnu Arabi, tafsir Sa‘id Hawa, Tustari, ada yang ke dakwah, sosial-politik seperti tafsir Sayyid Qutb, begitu seterusnya.
untuk meneliti konsep ilmu Alquran dalam sebuah kitab tafsir, misal konsep nasikh dan mansukh dalam tafsir al
–Maraghi. Pengkajian mengenai Alquran dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang
seperti mengkaji aspek pemikiran tafsir, aspek tema –tema dalam Alquran tafsir
maud }u‘i , meneliti konsep ilmu Alquran atau studi mengenai seputar Alquran itu
sendiri semacam sejarah penulisannya atau sejarah turun dan seterusnya. Penelitian disertasi ini akan melakukan kajian menyangkut aspek pemikiran tafsir dengan fokus
kajian pemikiran tasawuf dalam tafsir Sa ‘id H{awwa.
Aspek tasawuf yang dikaji dalam disertasi ini dilatar belakangi oleh kondisi manusia di abad modern ini yang hanyut dalam arus modernitas yang salah dan ada
pula yang salah mencari jalan sendiri dan keliru untuk meraih kebahagiaan rohani. Prilaku sebagaian masyarakat yang hanyut dalam hedonisme, hidup berfoya
–foya, arogansi kekuasaan, frustasi menghadapi persoalan kehidupan dan seterusnya
seakan –akan lupa bahwa ada bagian dirinya yang belum terpenuhi yaitu kepuasan
rohani. Sebaliknya, ada prilaku manusia yang jenuh dengan kesibukan, hidup serba cukup maka dicari solusinya dengan mengurung diri tanpa beribadah yang benar.
Disamping itu ada orang yang ditimpa kemiskinan lalu ingin mencari kebahagiaan sendiri demi kepuasan rohani namun dengan cara yang keliru pula seperti bunuh diri
atau bunuh diri masal dan sebagainya. Pengkajian ayat tasawuf akan memberikan jalan untuk menyadarkan kembali
akan jati diri manusia sebagai hamba Allah serta memberi motivasi agar selalu membersihkan rohani dan supaya lebih dekat denganNya. Syariat yang dijalankan
sebagai sarana lahir, harus diimbangi dengan jalan tasawuf sebagai aspek batin demi menuju kebahagiaan rohani. Sebab dalam beragama harus ada peningkatan
pemahaman dan pengamalan, jadi setelah syariah naik ke hakikat: Rukun Islam aspek lahir agama akalteori dan praktek ibadah, terus Iman dan Ihsan sebagai aspek batin
agama prilaku sebagai perwujudan qalbu. Dari akal terus ke hati. Kalau sudah terbiasa di jalan datar maka lanjutkan menempuh jalan mendaki, demikian adagium
tasawuf. Dunia global dan pesat informasi membuat orang haus kebahagiaan rohani
dan mencari kepuasan batin. Disamping berguna untuk membentengi diri dan sebagai perisai preventif dalam berkarya didunia dan memberikan ketenangan lahir batin
juga berimplikasi baik ke orang lain. Aspek tasawuf dalam Islam lebih mencerminkan ekspresi ajaran Islam yang
sangat universal karena bersentuhan dengan rasa, hati yang semua orang tentu menginginkan ketenangan hati. Karena itu, ajaran tasawuf paling gampang diterima
bahkan oleh orang yang tidak dibesarkan dalam tradisi Islam.
21
Terkadang ajaran tasawuf dapat melampaui keyakinan parsial, jadi ia dapat berdiri diatas ibadah zahir
yang sering mengundang perselisihan pendapat karena bermain di ranah logika. Sehingga dalam perkembangan ajaran Islam misalnya di Nusantara, aspek tasawuf
mudah diterima masyarakat Indonesia
22
karena tidak banyak mempersoalkan ibadah zahir dan kesannya sangat egalitarian.
Bila ditelusuri prinsip ajaran tasawuf sebetulnya dalam Alquran ditemukan isyarat
–isyarat tentang landasan tasawuf. Dalam Islam tujuan bertasawuf untuk membersihkan hati dan prilaku agar memperoleh hubungan yang dekat sekali bahkan
tanpa batas dengan Allah maha pencipta. Ibadah yang dilakukan terutama ibadah pokok mah}d}ah merupakan jalan untuk membersihkan dirirohani agar dapat
merasakan kehadiran Allah disisi mana saja berada. Diantara ayat yang dijadikan dasar utama yang dipahami sebagai pokok tasawuf yaitu surat al-Baqarah 2:186,
Qaf 50:16. ش ي م ع با م ي
يجتسي ف ى عد ا عا ا عد يجأ ي ق ى ف ى ع د ع ك أس ا .
ي ا ح م هي قأ ح هسف هب س س ت م م ع س إا ق خ ق .
Artinya; Bila hambaku bertanya kepadamu tentang aku maka bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
21
Ini merupakan pernyataan Karel Steenbrink, sarjana Islamolog dari Belanda, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya seputar aspek Islam yang bercorak sempalan, ajaran asing
–unik seperti doktrin tasawuf atau semacam shat}ah}at yang lebih disukai orientalis mempelajarinya.
Dapat ditemukan pada pengantar buku Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri. Lihat, Karel Steenbrink, pengantar dalam, Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri Yogyakarta: Gelombang Pasang,
2004 , vi
22
Secara historis periode awal Islam Nusantara bercorak tasawuf. Lihat, Sri Mulyatiet.al, Oman Faturrahman, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia Jakarta: Kencana PMG,2004, Cet.Ke-
3,152
memohon kepadaku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintahku dan hendaklah mereka beriman kepadaku agar mereka selalu berada dalam
kebenaran. Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.
Untuk memahami ayat –ayat yang berkenaan dengan tasawuf, ulama telah
memberikan perhatian besar dengan menafsirkan ayat tasawuf seperti terlihat dari beberapa kitab tafsir yang membahas tentang hal tersebut. Berdasarkan potret sejarah
dan pemikiran tafsir, teridentifikasi bahwa kitab tafsir Alquranul Karim karya Ibnu Arabi 560
–638 H merupakan perintis kitab tafsir bercorak tasawuf khususnya tasawuf naz}ariy.
23
Pada zaman modern ini perhatian untuk mengkaji penafsiran ayat –ayat
tasawuf suatu hal yang sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri yang merasakan kegersangan dalam kehidupan atau istilah lain kehampaan spiritual. Penulis tafsir ini
dikenal sebagai tokoh pergerakan Islam dan pejuang melawan penjajahan atas negerinya dari pengaruh asing. Bila diperhatikan ada beberapa konsep pemikiran
yang direfleksikannya lewat penafsiran ayat –ayat Alquran baik menyangkut politik,
sosial, tasawuf dan hukum fiqh. Sa ‘id H{awwa disamping tokoh pergerakan lahiriyah
juga dikenal sebagai penyiram rohani dengan pendekatan tasawuf. Karya –karya
beliau banyak yang menyentuh dan mengajak kemerdekaan diri, kemerdekaan beribadah, kebersihan rohani yang tertuang dalam buku tarbiyatuna ar-ruhiyyah.
Karya beliau yang monumental adalah Kitab tafsir al –Asas fi at–Tafsir. Disini
23
Ulama yang cenderung ke tasawuf memasukkan teori dan ajaran falsafat yang dimiliki dalam tafsirnya ketika memahami ayat-ayat Alquran. Adh-Dhahabi menyebutkan bahwa Ibnu Arabi
merupakan seorang ahli tasawuf yang menggunakan berbagai teori diatas dalam tafsirnya. Tersebutlah tafsir Ibnu Arabi sebagai tafsir sufi naz}ariy, dari tafsir sufi naz}ariy teridentifikasi pula ia
menggunakan teori naz}ariyyah wah}datul wujud sebagai situasi perjalanan sufi yang diperoleh. Penafsiran yang dilakukan berdasarkan pengalaman ruhani riyad}ah ruhiyyah seseorang tersebut
maka tafsirnya dapat pula disebut dengan tafsir sufi ishariy, kenyataan ini tampak pula pada penafsiran Ibnu Arabi. Karena itu, adh
–Dhahabi menggolongkan tafsir Ibnu Arabi kepada tafsir sufi naz}ariy dan juga sebagai tafsir sufi ishariy. Uraian rinci dapat ditelusuri, Muhammad Husein adh-
Dhahabi, at –Tafsir wa al-Mufassirun Kairo, tp, 1396 H1976, Cet. Ke–2, 340–379.
beliau wujudkan kemampuan menafsirkan Alquran dengan pendekatan ilmu munasabah serta kecenderungan tasawuf dalam pemikiran yang dikuasainya.
Pandangan tasawuf Sa ‘id H{awwa dapat ditelusuri lebih jauh dalam
penafsirannya terkait dengan ayat –ayat tasawuf. Disini juga akan terlihat kerangka
metodologi tafsir yang digunakannya. Dan memang dua hal ini menjadi perhatian pokok peneliti dalam disertasi ini. Sehubungan dengan penafsiran tasawufnya, Sa
‘id H{awwa sangat dalam pandangannya ketika memahami ayat
–ayat tasawuf secara implisit apalagi yang jelas eksplisit bermakna tasawuf.
Ketika menjelaskan kedudukan Maryam yang sering mengalami peristiwa luar biasa, salah satunya ketika didatangi oleh malaikat Jibril. Sa
‘id H{awwa tetap berkeyakinan dengan berpegang pada dasar Alquran bahwa Maryam hanyalah
seorang wanita s}alih}ah dan s}iddiqiyyah dan tidak mencapai predikat sebagai Nabi sebagaimana ditegaskan dalam surat Yusuf
12:109, “ Kami tidak mengutus seorangpun sebagai Nabi atau Rasul melainkan kepada laki
–laki yang diberikan wahyu”. Dalam surat al-Maidah 5:75 dijelaskan bahwa Isa AS adalah seorang
Rasul seperti rasul –rasul terdahulu sedangkan ibunya adalah seorang wanita
S{iddiqah.
24
Keistimewaan yang dialami Maryam memunculkan beberapa pemahaman, menurut Sa
‘id H{awwa bahwa jalan untuk berdialog mukhat}abah dengan malaikat dapat dialami oleh selain Nabi. Seseorang dapat mencapai kashf
mukashafah dengan memperoleh pengetahuan dari alam gaib sebagai suatu keramat pintu keramat yang dibukakan Allah. Hal ini merupakan dalil bahwa
kemuliaan keramat dapat terjadi pada manusia selain NabiRasul. Siapa yang sering melakukan amalan
–amalan sunat dengan ikhlas maka Allah akan membukakan pintu baginya.
25
24
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at-Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6, 2713–14 Dapat diselaraskan keterangan ini dengan uraiannya tentang kashf yang terdapat dalam bab 14 dalam buku Tarbiyatuna ar-Ruhiyyah
. Lihat, Sa‘id H{awwa, Tarbiyatuna ar– Ruhiyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke
–9,163
25
Sa‘id H{awwa, al-Asas fi at-Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke
–6, 765-766
Untuk memperkuat keterangan ini Sa ‘id H{awwa mengemukakan hadis Nabi
yang diriwayatkan oleh Muslim. Nabi pernah memberitahukan kepada Abu Bakar dan H{anz}alah bahwa kalau kamu senantiasa mencontoh dengan mengikuti aku dan
melakukan zikir niscaya kamu dapat bersalaman dengan malaikat.
26
Bersalaman yang dinyatakan Nabi Saw diatas menandakan bahwa untuk berhubungan langsung dengan
malaikat dapat terwujud dengan memperbanyak zikir terutama untuk menjaga kekosongan hati dari mengingat Allah. Ini merupakan indikasi bahwa malaikat dapat
dijumpai dan wujudnya dapat dirasakan. Contoh penafsiran Sa
‘id H{awwa diatas menggambarkan sisi tasawuf dan juga kerangka munasabah ilmu Alquran. Sisi metodologisnya; pertama, Sa
‘id H{awwa menukil beberapa ayat untuk memperjelas penafsirannya yang dikenal
sebagai munasabah Alquran. Seperti, Surat Ali Imran 3:42
27
dikorelasikan dengan surat Yusuf 12:109 kemudian disebutkan juga penjelasannya dalam surat al-
Maidah 5:75. قي ص همأ س ا ه ق م ت خ ق س ا مي م با حيس م . Sisi tasawufnya,
Sa ‘id H{awwa menggali makna tasawuf misal diatas yaitu tentang kashf salah satu
ajaran tasawuf. Kedalaman pikiran tasawufnya dalam menafsirkan Alquran terlihat ketika pengidentifikasian yaitu menghubungkan ayat
–ayat yang mengandung kesamaan makna kedua memahami aspek tasawuf tentang ayat tersebut. Penafsiran
seperti ini tidak mudah dilakukan tanpa menekuni kedua bidang tersebut yaitu munasabah Alquran serta pemahaman tasawuf yang mendalam.
Seperti dijelaskan diatas bahwa sebuah kitab tafsir mengandung berbagai pemikiran yang dikonsep oleh penulisnya dengan menganalisa ayat
–ayat Alquran. Melihat beberapa karya Sa
‘id H{awwa tentang tasawuf dan masih jarang kajian penafsiran tasawuf, menjadikan tafsirnya penting untuk dikaji khususnya aspek
tasawufnya. Penelitian ini akan berupaya menggali pemikiran tasawuf yang tercermin dalam kitab tafsir Sa
‘id H{awwa. Tema tasawuf yang dikaji menurut hemat peneliti
26
Sa‘id Hawwa, al-Asas fi at-Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 2, Cet. Ke
–6,766
27
ي ع اء س ى ع فطصا ط فطصا ها مي م ي ه ئا ا ت ق
lebih aplikatif dan sangat bersentuhan dengan kehidupan nyata sehari –hari serta
berkait langsung dengan rasa setiap orang. Selain itu, tema tasawuf dalam penafsiran tidak saja mencerminkan pemikiran mufasir tapi juga meliputi pengalaman
kerohaniannya. Aspek praktis
28
inilah yang membedakan kajian ayat tasawuf dibanding tema lain. Apalagi kajian konsep ilmu tafsir yang selam ini dijadikan
penelitian, cenderung teoritis dan sangat relatif, seperti konsep takwil, hermeneutik, nasakh, munasabah dan seterusnya.
Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin tegaskan bahwa sangat menarik diteliti lebih jauh mengenai penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa dalam kitabnya yaitu al–
Asas fi at
–Tafsir. B. Rumusan dan Batasan Masalah
Dengan melihat judul di atas maka masalah pokok yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan penelitian yaitu :
Bagaimanakah metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa‘id H{awwa
dalam kitab al-Asas fi at-Tafsir? Melihat lapangan kajian tafsir sufi yang begitu
luas maka penulis tentu tidak akan mampu membahas semuanya. Dari masalah pokok ini maka pembahasan dibatasi pada
penafsiran Sa‘id Hawwa yang terkait dengan enam maqam-maqam dan dimensi metafisis ajaran tasawuf.
Sesuai dengan masalah pokok di atas kemudian ditetapkanlah beberapa sub masalah dengan pertanyaan penelitian yaitu :
a. Bagaimanakah metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa‘id H{awwa
mengenai konsep maqam dalam tasawuf? b.
Bagaimanakah metodologi penafsiran dan pemikiran sufistik Sa‘id H{awwa mengenai dimensi metafisis ajaran tasawuf?
c. Dimanakah posisi penafsiran sufistik Sa‘id H{awwa dalam peta tafsir sufi?
28
Pemikiran yang digagas dalam tafsir tersebut tidak lagi sebatas konsep tapi sudah diamalkan. Ini akan beda sekali dengan kajian tafsir maud}
u’i seperti yang sudah–sudah.
C. Signifikansi Penelitian