Secara metodologis, Sa‘id H{awwa sangat dekat dengan makna zahir dalam
mengemukakan penafsiran sufistiknya, sedangkan Ibnu Arabi tidak memperhatikan demikian. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa metodologi
penafsiran Sa‘id H{awwa dalam menggunakan makna ishari tetap berlandaskan pada makna zahir
ayat. Selain itu ia juga mengemukakan pendapat para mufasir seperti Ibnu Kathir, untuk memperkaya penjelasannya.
D. Tafsir Ayat tentang Karamah
Istilah karamah dalam kajian tasawuf sering dibicarakan dan itu biasanya dikaitkan dengan kesalehan para wali. Karamah adalah sesuatu yang terjadi diluar
kebiasaan seseorang yang bukan kapasitas sebagai Nabi tapi karena iman dan amal salehnya.
Tahanawi menyebutkan “Karamah merupakan bagian dari kejadian diluar adat kebiasaan yang timbul pada diri para wali
“.
93
Karamah merupakan keistimewaan diluar kebiasaan sebagai anugerah yang terjadi pada para wali berkat
kedekatannya dengan Allah karena iman dan ibadah yang dilakukan. Sesuai arti wali salah satunya ialah amat dekat, yang selalu mengiringi.
94
Wali adalah orang yang sangat dekat dengan Allah, karena itu mereka disebut sebagai waliyullah atau wali
Allah.
1. Ayat 62 –64 surat Yunus 10
Alquran menjelaskan dalam surat Yunus 10 ayat 62 –64 bahwa waliyullah
adalah mereka yang beriman teguh dan bertaqwa kepada Allah.
93
Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993, Cet. Ke –1,146, Lihat juga; Syarif Ali bin Muhammad al–Jarjani, Kitab Ta’rifat
Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 19881408 H, Cet. Ke –3, 184
94
Mahmud Yunus, Kamus Arab –Indonesia Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Pentafsir Alquran, 19731393, 506. Sedangkan dalam istilah sufi, wali adalah orang yang mengenal Allah al-
‘arif billah dan sifat–sifatNya, senantiasa berada dalam ketaatan dan jauh dari maksiat serta berpaling dari larut dalam syahwat. Anwar Fuad Abi Khazam,
Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}- S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke
–1, 188
Makna ayat ini dijelaskan sebagai berikut;
خاا ا حأ م ه قتسي يف أ –
ي ا م مهءا م ى ع مث .
هي مأ تم ب ها قتي ا ك هب يإا جي م ب ا ما ي ا م ف ي أ مأ .
ا ب ا يا ا ي ه ك يقت ك ف .
96
Para wali Allah tidak ada rasa takut menghadapi berbagai keadaan di akhirat. Tidak ada kesedihan buat mereka meninggalkan urusan dunia. Adapun para
wali Allah adalah mereka yang beriman dengan semua yang wajib diimani dan mereka adalah orang yang bertaqwa kepada Allah.
Siapa yang bertaqwa maka ia menjadi wali Allah, dan tidak ada kemuliaan kewalian kecuali dengan ketaqwaan.
Penafsiran Sa
‘id H{awwa diatas menggambarkan bahwa wali Allah tidak takut menghadapi kehidupan akhirat dan tidak sedih meninggalkan keindahan
kehidupan dunia justeru mereka meninggal dengan sikap gembira, h}usnul khatimah. Ciri wali Allah adalah memegang teguh semua aspek menyangkut
keimanan. Kemudian, selalu menjaga perintah dan larangan Allah sehingga disebut dengan muttaqin. Allah mensifatkan waliyullah yaitu orang yang tercermin padanya
iman dan taqwa. Dengan sifat ketaqwaan para Wali Allah, mereka mendapat anugerah kemuliaan dari Allah yang hanya dimiliki oleh orang yang dekat
denganNya. Penjelasan ini didukung oleh hadis ketika Nabi ditanya tentang wali Allah, beliau menjawab mereka adalah orang
–orang yang bila mereka melihat, disebut nama Allah selalu ingat Allah.
97
Ini menunjukkan hubungan yang sangat dekat dengan Allah seakan
–akan tidak ada ruang lagi untuk mengingat selain Allah.
95
Artinya; Ingatlah, sesungguhnya wali –wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang –orang yang beriman dan mereka selalu
bertaqwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan di dunia dan kehidupan akhirat, tidak ada perobahan bagi kalimat janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang besar. Alquran dan
Terjemahnya, Depag-Mu jamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
96
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6,2482
97
Hadis bersumber dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan al – Bazzar, Lihat; Sa‘id H{awwa, al–
Asas fi at –Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke–6, 2486
Implikasi kedekatan para wali Allah dapat terjadi dalam bentuk kelebihan ataupun keistimewaan mereka diluar kebiasaan nyata.
Sehubungan dengan wali Allah ini juga Nabi Saw pernah bersabda bahwa sesungguhnya diantara hamba Allah ada yang mencita
–citakan untuk memperoleh kenikmatan seperti yang terdapat pada para Nabi dan shuhada
’`. Mereka itu adalah suatu kaum yang lebih mencintai Allah dari pada harta atau keturunan. Wajah mereka
nur, mereka tidak merasa takut dikala manusia ketakutan, kemudian Nabi membaca ayat ini.
98
Selain mengemukakan kelebihan wali berdasarkan hadis diat as, Sa‘id
H{awwa menjelaskan bahwa karamah yang terjadi pada wali timbul kesalahpahaman. Disebutkannya;
يطخ فا ح ا ي ك ء طخأ تعق يا ا ض م ىف ,
ىتح ي ك ا قأ ك ا ب ى ع
ا فك ,
صأ ا يا ا ض م ىف عا ق س ا م ي ك تعا
.
99
Berkenaan dengan keistimewaan pada wali sering timbul kesalahan dan penyimpangan yang memprihatinkan. Sehubungan dengan hal ini, banyak
terjadi di masyarakat hingga membawa pada kekufuran. Banyak diantara manusia menyandarkan kepada kaedah-kaedah yang terdapat dalam hal
keistimewaan wali tanpa memahami dasarnya.
Wali Allah memiliki kekuasaan kewalian yang disebut dengan karamah, namun berkenaan dengan karamah yang terjadi padanya sering menimbulkan
kesalahpahaman pada kebanyakan manusia. Sebagaimana banyak terjadi dikalangan masyarakat dimana hanya menginginkan karamahnya saja tanpa memenuhi
persyaratan sebagai wali Allah dan tidak memahami bagaimana hal tersebut dapat terjadi pada wali. Ibaratnya, orang yang mau mendapatkan buahnya saja tanpa mau
menanamnya. Diakui oleh Sa ‘id H{awwa bahwa para wali Allah memiliki
karamah –karamah dan kelebihan-kelebihan sebagaimana tampak pada penjelasan
98
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abu Hurairah. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Lihat;
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6, 2486
99
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6,2486
diatas. Diantara tanda –tanda yang melekat pada wali Allah yaitu mereka yang sangat
mencintai Allah diatas segalanya sebagai bukti dekatnya hubungan dengan Allah. Karamah pada para wali
100
ada dua macam; sesuatu kejadian yang muncul diluar kebiasaan yang berlaku, kedua; sesuatu kejadian tersebut yang muncul karena
tuntutan sebab tetapi tetap merupakan bagian dari taufik Ilahi. Perlu kita ketahui bahwa karamah diakui secara sh
ara’ dan itu memang ada terjadi dalam lingkaran dunia tasawuf.
101
Ditegaskan lebih lanjut oleh Sa ‘id H{awwa bahwa kelompok diluar
tasawuf musuh tasawuf mengingkari adanya karamah yang dihubungkan dengan dunia tasawuf bahkan mereka menudingnya dengan memberi nama atau istilah yang
bermacam –macam. Ini merupakan suatu kesalahan dan berlebihan.
102
Peristiwa yang muncul diluar kebiasaan yang dialami para wali Allah dalam dunia tasawuf
merupakan hal yang wajar sebagai kemuliaan yang dilimpahkan Allah karena ketaatan mereka. Kejadian diluar kebiasaan tersebut ada yang datang tanpa diketahui
para wali tapi hanya langsung dirasakan, bentuk lain ada yang dikehendaki atas pengharapan semacam memohon pertolongan, yang dalam istilah Sa
‘id H{awwa karena tuntutan sebab dari wali tersebut.
Berkaitan dengan karamah ini pernah terjadi pada diri sahabat sebagaimana diceritakan oleh Anas
–ra– bahwa suatu malam yang gelap dua orang sahabat keluar dari kediaman Nabi dan terlihat padanya bagaikan dua lampu
يح ص ا م menyertai mereka. Ketika mereka berpisah menuju tempat masing
–masing, lampu itu pun berpencar mengikuti keduanya sampai mereka tiba dirumah.
103
Karamah seperti ini termasuk kategori yang disebutkan Sa
‘id H{awwa sebagai kejadian diluar kebiasaan tanpa didahului sebab bahkan boleh jadi mereka tidak mengetahuinya.
100
Karamah pada para wali Allah disebut juga oleh Sa’id H{awwa sebagai ا جع دا تما
perpanjangan dari mukjizat yang dianugerahkan kerpada para Nabi. Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna ar– Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke
–9, 179
101
Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke
–9, 179
102
Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke
–9, 179
103
Diriwayatkan dari Bukhari. Menurut sebagian sumber disebutkan dua orang sahabat tersebut adalah Usaid bin Hudhair dan ’Abbad bin Bisyr. Sa‘id H{awwa, Tarbiyatuna ar–
Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke –9,177
Munculnya karamah pada wali bukanlah menjadi syarat baginya sebagaimana mukjizat menjadi syarat bagi para nabi. Sesungguhnya wali yang
sempurna kemuliaannya tidak menuntut adanya karamah baginya.
104
Karamah merupakan anugerah yang datang dari Allah tanpa diidam-idamkan oleh para wali
dan bukan juga sebagai tujuan dari latihan rohani dan ketekunan ibadahnya. Mengenai status kewalian dalam rangka menjelaskan ayat diatas, ditafsirkan
oleh Sa ‘id H{awwa;
م قم عب أب ا متت ا يا ا :
ح ا قم أا ,
ا قم ى ا ,
ق ع ا قم ث ا ,
ف ع ا قم عبا ا .
ج ا ف ب ا ح ا ت ا
, ميس
تس ب ا ا
ي ا ص ا
, ا أا ب ا ق ع ا
ي ا ,
حص ب ا ف ع ا ت ا
.
105
Sesungguhnya predikat kewalian tidak sempurna kecuali menjalani empat macam maqam yaitu mahabbah, shauq,
‘ishq dan ma‘rifah. Tidak ada mahabbah kecuali dengan tersingkapnya tabir keindahansifat jamal
106
, tidak ada kerinduan yang kuat kecuali merasakan tercium pengalaman batin
berhubungan langsung dengan Allah, tidak ada kecintaan yang kuat kecuali merasa dikelilingi oleh cahaya-cahaya dan tidak ada
ma‘rifah kecuali merasakan sangat dekat dengan Allah bersahabat.
Untuk mencapai kewalian tidak mudah apalagi berniat untuk mendapatkan karamah. Adapun niat mengikuti jalan kewalian hanyalah agar merasakan
hubungan yang dekat dengan Allah. Empat maqam yang disebutkan Sa‘id Hawwa
diatas menunjukkan kepada hubungan sangat dekat seakan tiada lagi batas antara hamba dengan Tuhan. Kriteria kewalian yang dikemukakan ini merupakan bagian
dari pandangan Sa ‘id H{awwa terkait penafsiran sufistiknya mengenai ayat 62 surat
Yunus diatas. Predikat kewalian dapat dicapai dengan melewati tahapan –tahapan dan
104
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6,2486
105
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6,2486
106
Menurut para sufi ‘arifin, mahabbah itu terkait dengan zat Allah. Mahabbah dengan kecenderungan yang sangat kuat disebutlah dengan
‘ishq. Kalau mahabbah untuk mengharapkan pahala maka turunlah derjatnya. Lihat; Al-Alusi,
Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al- ‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan, Tah}qiq: Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid
2,174.
setiap tahapan mempunyai indikator masing –masing. Dari kriteria ini, Sa‘id H{awwa
ingin menjelaskan bahwa bagi siapa yang mengikuti praktek demikian maka buah dari tasawuf seperti karamah dapat dirasakan sebagai anugerah yang dilimpahkan
Allah. Dengan demikian, kekeliruan tidak lagi timbul dalam memahami karamah yang terdapat pada wali Allah.
Wali Allah adalah orang mukmin yang bersih, murni khalis}, karena rohaninya dekat dengan Allah.
107
Mereka termasuk orang yang konsisten menjalankan syariat yang suci. Bila ada orang dipandang telah keluar dari syariat
walaupun sejengkal maka ia bukan termasuk tingkatan wali. Orang tersebut tidak pantas dikatakan wali sekalipun ia mendatangkan seribu kejadian yang luar biasa.
108
Ini membuktikan bahwa kejadian luar biasa bukan suatu yang dikehendaki para wali tapi kesucian jiwalah yang menjadi ukuran dalam tingkat kewalian.
Sementara itu at-Tustari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa wali Allah yang dinyatakan dalam ayat 62 surat Yunus diatas adalah orang yang beriman dan
bertaqwa. Dijelaskan Tustari, mereka adalah orang –orang mukmin yang sebenarnya
sebagaimana dinyatakan dalam surat al –Anfal 8: 4, قح م ا مه ك أ . Mereka
disifatkan juga oleh Rasulullah sebagaimana dalam hadisnya, bila mereka melihat disebut nama Allah senantiasa zikir.
109
Hadis ini juga dikemukakan oleh Sa ‘id
H{awwa dalam menafsirkan ayat yang sama.
110
Dalam hal ini at-Tustari dan Sa ‘id
H{awwa tampak memiliki pandangan yang sama tentang tafsiran ayat dan sejalan dengan makna zahir yang dikandung ayat tersebut.
Selanjutnya dijelaskan oleh at-Tustari bahwa ayat tersebut mengandung makna tentang kelebihan para wali yaitu Allah mengisi hati mereka dengan nur dan
107
Al-Alusi, Ruh}ul Ma‘ani fi Tafsir al-Quran al-‘Az}im wa as-Sab‘i al-Mathan,
Tah}qiq: Sayyid ‘Imran Kairo: Darul Hadis, 14262005, Jilid 6,189.
108
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6,2486
109
Hadis sebagaimana dikutip dari Musnad Ahmad 6 459; “
ها ك ا ا ي ا
” Sahl At– Tustari, Tafsir at
–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke–I, 77
110
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 5, Cet. Ke
–6,2486, Lihat catatan kaki no. 21
lidahnya mengeluarkan kata –kata hikmah.
111
Ini merupakan kelebihan yang dianugerahkan Allah kepada para wali sebagai bukti kedekatan dan kesucian
jiwanya.Dalam pandangan
Sa‘id Hawwa,
merupakan keistimewaan
dalammah}abbah. Diantara tanda dan sifatnya adalah banyak bersyukur, berzikir, berpikir
ف ا, tidak banyak bicara dan pemurah
سف ا س , berjaga malam dan tidak kenyang.
112
Selain itu at-Tustari menyebutkan bahwa wali itu mempunyai marh}alah kelas seperti wali abdal, autad dan kelompok s}iddiq.
113
Penafsiran sufistik yang dijelaskan menyangkut keistimewaan para wali, sifat
–sifatnya bahkan ia juga menjelaskan tentang tingkatan
–tingkatan wali. Keistimewaan yang ada pada wali Allah dan sifat
–sifat yang dimiliki sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Sa‘id H{awwa dan at-Tustari diatas sebagai bentuk penafsiran sufistik mereka yang
dipahami berdasarkan ayat 62 surat Yunus 10. Sekalipun sifat dan keistimewaan yang terdapat pada wali seperti dikemukakan tidak persis sama antara kedua
penafsiran namun punya dasar pemikiran yang sama. Pada dasarnya penafsiran sufistik at-Tustari dengan Sa
‘id H{awwa tetap memperhatikan makna zahir ayat. Sementara itu dalam tafsir Ibnu Arabi mengenai ayat 62 surat Yunus 10
dijelaskan bahwa wali Allah orang yang tenggelam dalam esensi Tuhan ah}adiyyah dengan mengalami fana
’ pada aniyyah hakekat juziyyah Bila belum mengalami baqa
’ mereka takut. Tidak ada kesudahan terhadap apa yang telah sampai mereka padaNya, maka mereka takut munculnya h}ijab. Mereka
menjadi sedih bilamana luput sesuatu dari sifat –sifat kesempurnaan dan kelezatan
111
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 77
112
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 77. Sa‘id Hawwa memandang sifat-sifat demikian harus selalu melekat dalam perjalanan latihan
ibadah para sufi. Lihat; Sa’id H{awwa, Tarbiyatuna ar–Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428
H2007 M, Cet. Ke –9, 121
113
Mengenai tingakatan wali, Tustari memberikan ilustrasi sebagai berikut, Tustari pernah menjumpai 1500 para s}iddiq, diantara mereka ada 40 abdal dan 7 autad. Artinya Autaâd lebih
tinggi tingkatan dari abdal dan s}iddiq, sedangkan qut}b biasanya disekitar autad qut}b antara autad dan abdal. Sahl At
–Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke
–I,77
dalam baqa’.
114
Demikian penafsiran Ibnu Arabi menafsirkan ayat tersebut yang bila dibandingkan dengan tafsir Sa
‘id H{awwa dan Tustari tidak sejalan pengertiaannya. Penafsiran Ibnu Arabi ini terkesan jauh dari makna zahir ayat dan
penafsirannya sulit dipahami. Seperti pernah diungkapkan adh –Dhahabi bahwa tafsir
Ibnu Arabi sering tidak dimengerti maknanya dan terkadang tidak selaras dengan ayat yang ditafsirkan.
115
Untuk mendukung penafsirannya, Ibnu Arabi mengutip hadis Nabi, namun tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam tafsirnya. Ia
mencantumkan hadis tentang sifat wali yang disampaikan Nabi yaitu mereka adalah orang yang selalu ingat zikir kepada Allah.
116
Akan tetapi hadis tersebut tidak menguatkan keterangannya bahwa wali Allah adalah mereka yang tenggelam dalam
mata air telaga dengan fana ’.
Selain itu, Ibnu Arabi mengemukakan juga hadis Nabi terkait sifat wali yang mencintai Allah diatas segalanya. Disebutkan oleh Nabi bahwa wajah mereka
bercahaya nur dan mereka berada pada tempat –tempat kediaman dari nur.
Kemudian Nabi membaca ayat 62 diatas.
117
Maksud tempatnya dari nur menurut Ibnu Arabi berarti ittis}al merasakan hubungan sampai kepada Allah dengan dasar
– dasar ruhani yang tinggi seperti akal pertama
118
dalam istilah filsafat emanasi.
119
114
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid
1, Cet. Ke –2, 311. Mengenai uraiannya tentang ah}adiyyah terdapat dalam Fusus al-Hikam. Lihat;
Ibnu Arabi, Fus}us} al-H{ikam, disunting oleh.Abu al- ‘Ala ‘Afifi Beirut: Darul Kitab al-Arabi,
19801400, Cet.ke-2, 119
115
Lihat; az –Zahabi,at–Tafsir wa al-Mufassirun Kairo: Tp, 13961976,juz 2, 297
116
Hadis Sa’id bin Jubair, Nabi berkata “
ها ك ا ا ي ا مه
“ , Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Darulkutub al
–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke–2, 311
117
Hadis dari Umar, ia mendengar Nabi berkata, “
ءا ش ا ء ي أب مه م اد ع ها د ع م ءا
ا ء ي أا م ط غي ةمايقلا موي
ها م م .
س أ ا ا مأ يغ م ها ىف ا ب حت ق مه ,
م ب م ى ع م م ه ج .
Dikutip oleh Ibnu Arabi, Lihat; Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al
–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke–2, 311
118
Menurut al –Kindi akal pertama adalah akal yang selamanya dalam aktualitas, ia membuat
akal potensial dalam roh manusia menjadi aktual berpikir. Sedangkan menurut al –Farabi akal pertama
tak bersifat materi adalah sebagai wujud kedua setelah Tuhan Tuhan wujud pertama. Wujud kedua berpikir tentang wujud pertama, muncul wujud ketiga akal kedua. Lihat; Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cet. Ke –8, 1927. Tidak diketahui
maksud dari akal pertama yang disebut tafsir Ibnu Arabi diatas.
Hadis ini ditakwilkan oleh Ibnu Arabi dalam rangka memperkuat penafsiran ayat 62 tentang sifat wali Allah. Memperhatikan penafsiran ini dan penakwilan hadis oleh
Ibnu Arabi tersebut cenderung tidak berlandaskan kepada makna zahir ayat, apalagi bila dihubungkan dengan penafsiran Sa
‘id H{awwa dan Tustari yang terlihat masih menggunakan pendekatan makna zahir dalam tafsirnya.
Selanjutnya penafsiran Ibnu Arabi tentang ciri wali Allah yaitu beriman dan bertaqwa maksudnya sebagai orang yang memiliki iman yang benar hakiki
membawa kepada iman yang yakin. Kedua selalu terpelihara, cerminan orang bertaqwa yaitu terhindar dari sifat
–sifat nafsu dan wasawas bisikan setan.
120
Penafsiran ini terkandung dalam makna zahir ayat dan memiliki nuansa yang sama dengan yang dikemukakan Sa
‘id H{awwa diatas. Tampak disini bahwa tafsir Ibnu Arabi disamping memberikan makna batin corak falsafi juga menggunakan
pendekatan makna zahir dalam menafsirkan ayat.
2. Ayat 16 surat al –Kahfi 18
Berkaitan dengan pembahasan karamah, ditemukan peristiwa yang dialami para wali Allah yang diabadikan Alquran seperti dalam surat al
–Kahfi 18 ayat 16. Bahwa Allah menunjukkan keistimewaan yang dianugerahkan kepada orang yang
teguh memegang keimanan kepadaNya.
Sa‘id Hawwa menjelaskan dalam tafsirnya terkait dengan keteguhan tauhid;
119
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid
1, Cet. Ke –2, 311
120
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid
1, Cet. Ke –2, 312
121
Artinya; Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian
rahmatnya kepadamu dan menyempurnakan sesuatu yang berguna dalam urusanmu. Alquran dan Terjemahnya, Depag-
Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
خأ ا هعم ك ي م ها ف عي ا ك م م ق أ ى ع د
. ف ا ى ا أف
, أ
: م تد ع ىف مه تق ف ك م ا بأب مه ق فت مكا أم ف ا ا عجا
.
122
Hal itu menunjukkan tentang masyarakat yang ditinggalkannya, bahwa mereka itu mengenal Allah tapi mereka menyekutukan dengan sembahan lain.
Karena itu, berlindunglah ke gua; jadikanlah gua sebagai tempatmu berlindung supaya kamu benar-benar berpisah dengan mereka sebagaimana
kamu meninggalkan mereka dalam ketauhidanmu.
Mereka para pemuda kahfi meninggalkan kaumnya karena tidak mau turut dalam menyekutukan Allah dan mereka menjadikan gua sebagai tempat berlindung.
Dijelaskan oleh Sa ‘id H{awwa, makna ayat ini menunjukkan bahwa mereka
meninggalkan ق فم segala bentuk kekufuran dengan fisik mereka seperti
perpisahan mereka dengan roh dan qalbu.
123
Para pemuda tersebut benar –benar tidak
mau kembali melihat perbuatan kaumnya sehingga mereka meninggalkan paham kaumnya tersebut karena mereka takut dipaksa. Meninggalkan paham
–paham yang dapat mengurangi keimanan dan nilai tauhid kepada Allah harus dengan tekad yang
kuat seperti orang yang bertaubat dengan niat tidak bakal mengulangi perbuatan dosa. Ayat ini menggambarkan suatu bentuk karamah yang dianugerahkan Allah
kepada para pemuda
124
yang nyata murni keyakinannya, kuatnya harapan mereka dalam bertawakal kepada Allah. Mereka yakin dan percaya dengan karunia Allah
125
, lalu Allah membentangkan rahmat dan memelihara mereka dari kejaran kaumnya.
126
122
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 6, Cet. Ke
–6, 3168
123
Analogi dengan kematian. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam,
1424 H2003 M, Jilid 6, Cet. Ke –6, 3168
124
Pemuda ini termasuk dalam wali –wali pembimbing
ش ا ء ي أا yang mendapat hidayah dari Allah. Karamah
pada pemuda ini disebut oleh Sa’id H{awwa sebagai karamah sunniyyah.
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 6, Cet. Ke
–6, 3169
125
Perhatikan doa merek a, “
ا ش مأ م ئيه ح ك م تا ب
“ artinya wahai Tuhan kami Berikanlah rahmat kepada kami dari sisimu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang
lurus dalam urusan kami. Dicantumkan dalam ayat 10 surat al – Kahfi 10 .
126
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 6, Cet. Ke
–6, 3168
Allah menyempurnakan sesuatu yang berguna bagi mereka. Dengan rahmat Allah, mereka tinggal tidur didalam gua selama 300 tahun lebih.
127
Berdasarkan penafsiran diatas paling tidak ada tiga karakter yang dimiliki para pemuda tersebut yaitu keimanan yang teguh, yakin dengan doa yang dipanjatkan
kepada Allah dan tulus dalam bertawakal kepada Allah. Dengan karakter yang dimiliki tersebut, mereka merasakan sangat dekat dengan Allah. Peristiwa yang
mereka alami termasuk karamah yang dalam istilah Sa ‘id H{awwa karena ada
tuntutan sebab dengan doa yang dipanjatkan.
128
Ini termasuk orang yang memperoleh tambahan hidayah disebabkan mujahadah mereka pada jalan Allah.
129
Seperti keistimewaan yang mereka rasakan bagian dari hidayah sesuai dengan doa yang
dipanjatkannya.
130
Selanjutnya dijelaskan Sa ‘id H{awwa terkait makna ayat;
هتف عم ب م ق ص م م كأ ها أ ى ع ا ه د ق
, ا قم ا ح هب يف ع ا ح صأف
ك س .
م ها م ء طع ه ب قيس ف ب م م ق ا تعا أ ا ف ع م أ م تف عم ك م .
131
Keadaan yang dialami para pemuda kahfi menunjukkan bahwa dengan kebenaran mereka maka Allah memuliakan mereka dengan memperoleh
kesempurnaan ma‘rifah. Mereka menjadi golongan ‘arifin posisi hal,
maqal dan suluk. Sebagai bagian dari kesempurnaan ma‘rifah pada mereka
adalah pengetahuan mereka tentang anugerah yang akan didapat dari Allah dengan berlindung ke gua dalam rangka menghindar dari kaumnya tersebut.
Menurut penafsiran diatas pemuda kahfi sudah mencapai ma‘rifah dalam
mujahadah mereka kepada Allah. Mereka merasakan ma ‘rifah yang sempurna,
132
127
Lihat; ayat 25 surat al –Kahfi 10.
128
Lihat pembagian jenis karamah yang disebut Sa’id H{awwa. Lihat; Sa‘id H{awwa,
Tarbiyatuna ar –Ruh}iyyah Kairo: Darussalam, 1428 H2007 M, Cet. Ke–9, 179
129
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 6, Cet. Ke
–6, 3169
130
QS. al-Kahfi 18: 10
131
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 6, Cet. Ke
–6, 3168
132
Diantara makna ma ‘rifah adalah; sesuatu menjadi jelas dengan ma‘rifah karena terbuka
kashaf dari hal batin. Ma‘rifah tidak ada baginya sebab kecuali Allah menjadikan ma‘rifah untuk
‘arifin. Menjadikan ma‘rifah untuk merasakan dekat dengan Allah. Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke–1,165
sebagai orang arifin dan derjat itu bagi mereka merupakan bentuk hal, maqal
133
, dan suluk proses dalam menempuh perjalanan tasawuf.
134
Oleh karena itu dengan sempurnanya ma
‘rifah itulah mereka mengetahui bahwa mereka akan menghadapi karunia Allah lantaran menyelamatkan diri dari kaumnya untuk menuju ke gua.
135
Keadaan mereka ini disebut al –Ghazali merupakan bagian mukashafah bil ‘ilmi
yaitu membenarkan kejadian dengan pemahaman.
136
Berkat karunia Allah mereka mengetahui rahasia gaib dengan mengalami suatu peristiwa.
Beberapa kata kunci disebut Sa ‘id H{awwa dalam tafsirnya untuk menyifati
pemuda kahfi seperti tawakal, ma ‘rifah, kepercayaan pada karunia Allah dan murni
keyakinannya. Hal itu dikemukakan dalam penafsiran sufistiknya. Ini menunjukkan pada makna ishari dari ayat tersebut. Makna ishari yang dikemukakan Sa
‘id H{awwa tidak meninggalkan makna zahir ayat seperti terlihat diatas. Peristiwa yang
dikandung ayat disebutkannya secara eksplisit yang dikaitkan dengan aspek ajaran tasawuf. Artinya penafsiran sufistiknya dilakukan dengan memperhatikan konteks
ayat yang dapat dipahami hubungannya. Keberadaan ma
‘rifah sebagai diuraikan diatas, bila dicermati tampak bahwa Sa
‘id H{awwa tidak terlalu mempersoalkan istilah dan teori tasawuf. Ia memandang ma
‘rifah
137
yang terjadi pada ‘arifin merupakan bagian dari hal, maqal dan
suluk. Bagi Sa ‘id H{awwa penamaan istilah tidak prinsip, apakah termasuk hal
atau maqam atau ada istilah lain, yang penting maknanya mudah dipahami dan
133
Maqal berarti melihat, dalam tasawuf disebut juga mukashafah ‘uyun. Lihat catatan
kaki no. 2. Lihat; Abi Khazam, Mu’jam …, h. 147. Istilah lain seperti yang disebut al–Ghazali sebagai
dikutip Abi Khazam, dengan mukashafah bil hal yaitu penegasan kebenaran ru’yah sebagai
tambahan pada hal. Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut:
Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 167
134
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 6, Cet. Ke
–6, 3168
135
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 6, Cet. Ke
–6, 3168
136
Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 167
137
Bagi al –Junaid w. 381 H ma‘rifah sebagai hal, sedangkan dalam Risalah al–
Qushairiyyah disebut dengan maqam. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cet. Ke
–8, 75
diamalkan. Dalam tafsir Ibnu Arabi
ditafsirkan ayat ini … kamu meninggalkan jiwa
–jiwanya dan memeliharanya dengan kekosongan. Selanjutnya disebutkan berlindung ke gua ditafsirkan adalah kepada badan kamu
untuk memakai peralatan pada badan dalam rangka penyempurnaan ilmu dan amal. Mereka terpotong menjadi pecahan
–pecahan padanya ي س م هيف ا ا seakan–
akan mereka mayat dengan meninggalkan gerakan –gerakan jiwa dan melompat,
menerkam cara binatang artinya dikatakan kepada mereka, matilah kamu sesuai keadaan mati yang diinginkan
يدا ت م ا ت م . .
138
Penafsiran Ibnu Arabi ini tidak melandaskan lagi pada makna zahir ayat, dimana dijelaskan tentang gua dimaksudkan
sebagai berlindung ke gua –gua badan sendiri. Setelah itu alat–alat di badan
digunakan untuk penyempurnaan ilmu dan amal. Melihat demikian penafsiran ini dapat dikategorikan pada tafsir bat}ini atau paling tidak makna ishari ba
‘id jauh.
139
Hal semacam ini sering muncul dalam tafsirnya, seperti disebut az –Zahabi
juga bahwa penggunaan antara tafsir makna zahir sulit ditemukan didalamnya. Namun demikian, menurutnya tafsir Ibnu Arabi ini tetap masih mengakui makna
zahir sekalipun jarang sekali terungkap di dalamnya.
140
Makna ayat berikutnya tentang “ Tuhanmu akan melimpahkan rahmatNya kepadamu “ maksudnya yaitu kehidupan yang sesungguhnya dengan ilmu
141
dan ma
‘rifah ف ع ا م ع ب يقيقح يح . Sebagai tambahan kesempurnaan dan kekuatan dengan pertolongan kekuasaan besar dan kekuatan suci.
142
Suatu kelebihan yang dianugerahkan Allah kepada mereka dengan memperoleh ilmu dan ma
‘rifah yang
138
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid
1, Cet. Ke –2, 419-20
139
az –Zahabi,at–Tafsir wa al-Mufassirun Kairo: Tp, 13961976,juz 2, 297
140
Pandangan ini berdasar pada mukaddimah tafsirnya. Menurutnya makna zahir adalah tafsir sedangkan batin baginya adalah takwil, karena itu disebut juga makna batinnya itu dengan takwil jauh.
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke–2,
24. Lihat juga, az –Zahabi,at–Tafsir wa al-Mufassirun Kairo: Tp, 13961976,juz 2, 297
141
Sesuatu yang zahir menjadi jelas dengan ilmu, sesuatu berdasarkan kashaf batinnya menjadi jelas dengan
ma’rifah. Ilmu tetap kokoh dengan ma’rifah, ma’rifah tetap dengan zatnya.Lihat; Anwar Fuad Abi Khazam,
Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke
–1,165
142
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid
1, Cet. Ke –2, 420
disebut Ibnu Arabi sebagai kehidupan yang hakiki yang dirasakan. Dengan kelebihan yang disebutkan itu mereka pemuda kahfi merasakan keamanan yang luar biasa.
Hanya saja Ibnu Arabi dalam tafsirnya ini tidak pernah menyebut kelebihan yang dianugerahkan tersebut dengan karamah. Tampaknya Ibnu Arabi tidak ingin
menunjukkan kelebihan yang terlihat luar biasaterukur riil yang disebut dengan karamah.
143
Berbeda dengan Sa ‘id H{awwa dan Tustari yang nyata–nyata
menerangkan tentang karamah pada orang –orang saleh terlihat kongkrit.
Dilihat dari makna ma ‘rifah sebagai kesempurnaan rahmat dari Allah sebagai
dijelaskan Ibnu Arabi diatas dapat dipahami adanya kesesuaian dengan makna zahir ayat. Ini menunjukkan bahwa tafsir Ibnu Arabi tidak selalu menggunakan makna
batin yang jauh dari zahir ayat. Apalagi makna yang sama terdapat pula dalam tafsir Sa
‘id H{awwa yang sangat nyata menggunakan pendekatan makna zahir dalam menafsirkan ayat tersebut.
Selanjutnya ditafsirkan, Allah akan menyempurnakan pertolongannya atau sesuatu yang berguna dalam urusanmu maksudnya seperti tidak memberi manfaat
dengan lahirnya kelebihan –kelebihan dan timbulnya cahaya–cahaya tajalli عفت ي ا ك
ي جت ا ا أ ط ئ ضف ا ظب هب , maka kamu merasakan kenikmatan dengan mushahadat
144
serta merasa enak dengan sifat –sifat kesempurnaan
تف ا
ب عت ت ا ه ب .
145
Penafsiran tentang “ pertolongan yang berguna “ pada
akhir ayat 16 surat al –Kahfi diatas sebagai mushahadat dan sifat yang sempurna.
Tidak jelas hubungan apa yang dimaksud oleh Ibnu Arabi dalam penafsirannya
143
Begitu pula ketika memahami peristiwa yang dialami Maryam ketika mendapatkan rezki di ruangannya. Ibnu Arabi dalam tafsirnya, menyatakan sebagai hal abstrak rezki ruhani,
pengetahuan –pengetahuan dan hikmah–hikmah ishari dari Allah. Keadaan yang dihadapi maryam
menunjukkan bagian dari rezki ladunniyah langsung dianugerahkan Allah . QS. Ali Imran 3 : 37. Lihat; Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al
–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke
–2, 126.
144
Mushahadat digunakan dalam hal terkait dengan yakin hakiki tanpa keraguan, dipakai juga terhadap melihat sesuatu kebenaran dengan dalil-dalil tauhid. Mushahadat dan mukashafah
berdampingan dalam makna, makanya kondisi itu dalam tasawuf muncul saling berkait. Anwar Fuad Abi Khazam,
Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke– 1,163
145
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid
1, Cet. Ke –2, 420
karena tidak didukung oleh ayat lain atau makna zahir ayat sendiri. Bahkan uraian berikut juga
yang lebih membingungkan yaitu “ Rahasia lain tentang tempat berlindung ke gua waktu mereka pergi dari kaumnya dipahami dari masuknya Imam
Mahdi dalam gua apabila keluar dan turun Isa ”
س م تق فم ع ف ا ى أ ا ىف سيع خ ا غ ا ىف
ا خد م م في خا ,
م عأ ها .
146
Tampaknya Ibnu Arabi menjelaskan keadaan gua tersebut dengan peristiwa imam Mahdi al
–Muntaz}ar yang berdiam di gua tersebut. Padahal diatas ia menyebutkan berlindung ke gua yang
dimaksud adalah ke badan. Dari makna tersebut semakin jauh takwil yang diberikan Ibnu Arabi terkait akhir ayat diatas. Terang bagi kita bahwa dalam tafsir Ibnu Arabi
nuansa makna batinnya lebih menonjol. Melihat dari penafsiran-penafsiran diatas, dapat dikatakan bahwa penafsiran
Sa‘id Hawwa sangat dekat dengan pengertian yang diberikan para ahli sufi sebagaimana terungkap dalam pengertian tentang karamah. Di samping itu
penafsirannya lebih nampak kesejalanan dengan makna ayat dan pandangan shara‘,
karena itu penafsiran demikian termasuk kepada tafsir sufi ishari.
__________
146
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid
1, Cet. Ke –2, 420
252
BAB VI KESIMPULAN