Tafsir tentang Ayat-Ayat Mah}abbah

hamba tersebut telah menampung sifat –sifat Tuhan secara sempurna, pada kondisi demikianlah ia disebut dengan jiwa mut}mainnah. Jiwa demikian yang disebut jiwa yang kembali kepada Tuhan secara dhati sebab sifat –sifat Tuhan tercermin padanya. Penafsiran Ibnu Arabi ini menguatkan akan paham wah}datul wujud yang dianutnya. Jiwa mut}mainnah itulah yang dikatakan jiwa yang telah dirid}ai oleh Allah maka ia rid}a kepada Allah yang diwujudkan dengan kembali ke asalnya. Menurut Ibnu Arabi jiwa mut}mainnah adalah yang menyerap sifat –sifat Tuhan secara sempurna sedangkan Sa ‘id H{awwa dan Tustari menjelaskan jiwa mut}mainnah 277 adalah jiwa yang rid}a terhadap ketentuan Allah dan dirid}ai menuju perjumpaan denganNya. Artinya jiwa mut}mainnah dapat dimiliki oleh semua mukmin yang taat dan kembali menuju Tuhan tidak secara dhati seperti yang diterangkan Ibnu Arabi. Makna kembali kepada Tuhan ditafsirkan Ibnu Arabi dengan terjadinya kesatuan antara jiwa mut}mainnah dengan zat Tuhan. Penafsiran demikian termasuk menggunakan pendekatan makna ishari yang tidak mendekati makna zahir. Sementara Sa ‘id H{awwa masih berlandaskan pada makna zahir dalam tafsir sufistiknya.

F. Tafsir tentang Ayat-Ayat Mah}abbah

Pengertian mah}abbah dijelaskan oleh al –Junaid yaitu kecenderungan hati, maksudnya hati cenderung pada Allah dan kepada sesuatu karenaNya tanpa beban, tanpa berat hati. Sahl mengatakan bahwa mah}abbah adalah siapa yang menjadikan cinta kepada Allah maka ia hidup, maksudnya hidupnya menjadi baik karena al – muh}ib hamba merasa enak dengan segala yang terjadi datang padanya berasal dari al –Mah}bub Allah baik berupa kesenangan atau keburukan menurut 277 Jiwa manusia sebagaimana dinyatakan oleh para sufi ketika menjalani maqam seperti tobat, ikhlas dan seterusnya membawa perubahan pada keberadaan jiwa. Dari keadaan jiwanafs bernoda مأا سف ا ke maqam al-lawwamah ما ا سف ا kemudian jiwa mulhimah ا سف ا menuju jiwa mut}mainnah ط ا سف ا, kemudian menjadi rad}iyah-mard}iyyah- kamilah. Inilah maqam terakhir dan berakhirlah tujuan para salikin. Lihat uraian dalam; Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke-1, 153 logika. 278 Sementara itu menurut Ibnu Abdus} S{amad, mah}abbah itu dapat membutakan dan menulikan, maksudnya membutakan terhadap sesuatu selain al – Mah}bub Allah, ia tidak berharap untuk melihat, menyaksikan selainNya. Sebagaimana Rasul bersabda,” Kecintaanmu terhadap sesuatu dapat membutakan dan menulikan. 279 Berdasarkan pengertian diatas, mah}abbah berarti cinta hamba terhadap Allah menutup hati untuk mencinta yang lain. Atas dasar cinta demikian, apa yang datang dari Allah adalah baik seluruhnya. Kesenangan hati timbul menuju kepada objek Allah, tidak ada ruang pada hatinya untuk membenci sesuatu karena hati sudah diliputi cinta kepada Allah. Dari itu, dalam hati tidak ada lagi beda baik dan buruk yang terjadi pada diri menurut pandangannya baik semua. Ayat –ayat Alquran dapat menjadi dasar terkait dengan makna cinta kepada Allah. 1. Ayat 165 surat al –Baqarah 2 Cinta atau mah}abbah menggambarkan akan kecintaan yang dilmpahkan Allah. Berkaitan dengan keberadaan cinta ini, Allah menggambarkan keberadaan cinta yang sesungguhnya tercermin pada orang –orang beriman sebagaimana dinyatakan dalam surat al –Baqarah 2 ayat 165. Pernyataan Allah ini juga dimaksudkan untuk mencela mereka yang tidak murni mencintai Allah. 278 Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 157 279 Riwayat Abu Dawud, Adab : 116, مصي عي ئ ا ك ح . Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke–1, 157 280 Artinya; Dan diantara manusia ada orang –orang yang menyembah tandingan–tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang –orang yang beriman sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang –orang yang berbuat zalim mengetahui ketika mereka melihat siksa bahwa semua kekuatan itu milik Allah dan sesungguhnya Allah sangat berat siksaanNya tentu mereka menyesal. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H Orang –orang beriman adalah mereka yang sangat dalam cintanya kepada Allah ه ابح دشأ . Sa‘id Hawwa menjelaskan; ها حم ي ا حضا ا يإا يضتقم م أ ه ح . ت ها حم ه ع ب ع ا ع ا ثأ . 281 Orang beriman sangat cinta kepada Allah, hal itu merupakan bagian dari tuntutan iman yang nyata dan besar tentang mah}abbah terhadap Allah. Mah}abbah kepada Allah menjadi berpengaruh dalam merasakan nikmat- nikmat yang dianugerahkanNya. Keimanan yang terpatri kuat dalam sanubari seseorang merefleksikan pada jiwanya untuk mencintai Allah. Mah}abbah kepada Allah bukanlah merupakan dorongan pikiran tapi kesucian hati dan latihan ibadahlah yang membangkitkan mah}abbah tersebut pada seorang. Penjelasan ini didukung oleh hadis Nabi yaitu; Tumbuhkanlah mah}abbahmu kepada Allah disaat Dia mendatangkan berbagai nikmat kepadamu. 282 Hati dapat merasakan demikian bila ia terbebas dari berbagai penyakit seperti dengki, sombong dan sifat kemunafikan. 283 Bila hati telah suci maka akan mendorong untuk merasakan nikmat-nikmat Allah. Ketika hati merasakan berbagai nikmat maka terkandung didalamnya mah}abbah. Tumbuhnya mahabbah sangat terkait dengan terciptanya hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan yang tercermin sifat-sifat Tuhan pada manusia, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Sa‘id Hawwa. صئ صخ يه أا فص مه طعأ ه ح . 284 Orang beriman sangat cinta kepada Allah adalah orang yang dianugerahkan kepada mereka sifat-sifat uluhiyyah serta keistimewaannya. 281 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6, 353 282 ه ع م مك غي ها ا حأ Dikutip oleh Sa‘id H{awwa dalam tafsirnya. Sa‘id H{awwa, al– Asas fi at –Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke–6, 353 283 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6, 351 284 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6, 351 Menurut penafsiran Sa‘id H{awwa ada dua hal yang menjadikan orang-orang beriman memiliki cinta yang kuat kepada Allah, pertama mereka merefleksikan sifat- sifat ketuhanan yang diberikan. Kedua, mereka juga memperoleh berbagai keistimewaan terkait sifat-sifat ketuhanan. Seperti mendapatkan pengetahuan hikmah dari sifat ‘alim. Keistimewaan ini didukung oleh ketaatan dan kedekatan orang yang cinta kepada Allah. 285 Mereka mendapatkan anugerah akan sifat –sifat uluhiyyah dan keistimewaan –keistimewaannya merupakan buah ketaatan mereka karena murninya ibadah mereka kepada Allah. Demikian dikemukakan Sa ‘id H{awwa dalam menafsirkan ayat 165 diatas. 286 Kecintaan kepada Allah sangat bergantung dengan sifat-sifat ketuhanan tercermin pada diri orang mukmin. Dalam sebuah hadis qudsi juga disebutkan tentang keistimewaan yang yang terjadi pada orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunat sehingga Allah sangat mencintainya dan Dia menjadi bagian dari tindakannya. Hadis qudsi ini diriwayatkan oleh Bukhari yang bersumber dari Abu Hurairah. Artinya; Siapa yang memusuhi waliKu maka Aku nyatakan perang kepadaNya. Dan tiada sesuatu yang dapat mendekatkan hambaKu kepadaKu yang lebih Aku suka dari pada melaksanakan apa yang Aku wajibkan atasnya. Senantiasa hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amal –amal sunat sehingga Aku cinta padaNya, kemudian bila Aku cinta padanya maka Akulah yang menjadi pendengaran yang ia dengar, menjadi penglihatan yang ia lihat, tangan yang ia ayunkan dan kaki yang ia langkahkan. Jika ia minta kepadaKu, 285 Mah}abbah hamba kepada Tuhan adalah memuliakanNya ه ميظعت dan berusaha medekatkan diri sebagai cerminan ketaatan. Sebagaimana Allah juga mencintai hamba yang ikhlas. Hasan Sharqawi, Mu‘jam Alfaz} as}-S}ufiyyah Kairo: Muassasah Muhktar, 1987 Cet.ke-1,254 286 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6, 351 Aku beri dan jika mohon perlindungan maka Aku lindungi. Aku tidak ragu dalam segala hal yang Aku perbuat sebagaimana ragu Ku dari mencabut roh orang mukmin yang tidak suka mati dan masih ingin beribadah dan Aku tidak suka mengganggunya. 287 Kalau hamba sudah memperoleh mah}abbah dari Allah maka ia selalu merasakan kehadiran Allah yang menuntunnya dalam segala aktifitas yang dilakukan. Kehendaknya dengan kehendak Allah selalu sinergi, tingkah lakunya terpelihara sehingga setiap yang dilakukannya mendapatkan rid}a dari Allah. Wujud dari rid}a Allah seperti dijelaskan hadis qudsi diatas sebagai contoh bahwa ia mendengar dengan pendengaran Allah. Hal ini membuktikan akan kedekatan hamba dengan Allah dengan mempunyai keistimewaan sebagai hamba. Dalam ilmu tasawuf keistimewaan yang diberikan tersebut terjadi pada hamba yang merasakan sangat dekat antara dirinya dengan Allah. Sebagai dikatakan Sa‘id Hawwa, pada saat itu hati memunculkan mah}abbah kepada Allah yang hanya dapat dipahami dan diketahui oleh para sufi. 288 Oleh karena itu, menurut Sa‘id H{awwa mah}abah kepada Allah ها حم merupakan puncak perjalanan ibadah menuju Allah ها ى يس ا . Proses untuk meraih hubungan mah}abbah tersebut adalah dengan melaksanakan ibadah fard}u dan sunat. 289 Terkait dengan mahabbah, al-Ghazali juga menyebutnya sebagai akhir dari maqam tasawuf dan puncak yang tinggi dari derjat kesufian. 290 Dengan memandang mah}abbah sebagai maqam tertinggi dalam p andangan Sa‘id Hawwa samahalnya dengan al-Ghazali, menandakan bahwa kondisi yang dirasakan setelah mahabbah berarti hanya sementara. Dalam istilah tasawuf disebut dengan hal, yang 287 Muhammad Tajuddin bin al –Manawi al–H{addadi, al–Ahadith al–Qudsiyyah Terj, H. Salim Bahreisy, 272 Hadis Qudsi Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979, Cet. Ke –2, 81. Dalam hadis lain disebutkan keadaan demikian bahwa prilaku mereka sesuai dengan akhlak Allah sebagaimana sabda Nabi takhallaqu bi akhlaqillah. 288 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6, 353 289 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6, 353 290 ج ا م ي ع ا ا .Al-Ghazali. Ih}ya’ Ulum ad-Din Mesir: Maktabah Must}afa al- Babi al-H{alabi wa Auladihi, 19391358 , Jilid 4, 286 secara tidak langsung disepakati oleh Sa‘id Hawwa berdasarkan pemahamannya tentang mah}abbah, sekalipun ia tidak menyebut demikian. Dalam menjalankan tasawuf tidak dapat dipisahkan dengan pemaknaan ibadah formal baik itu sifatnya wajib atau sunat. Ibadah formal atau disebut juga sebagai shari ‘ah bagian dari eksoteris ajaran Islam tidak dipandang sebatas memenuhi ketentuan fiqh tetapi harus memberikan pengaruh dalam batin sehingga memperkokoh akidah dan akhlak. Selanjutnya ibadah formal yang dilakukan dengan memahami makna sufistiknya akan mengantarkan untuk mencapai mah}abbah kepada Allah. Pada dasarnya ibadah yang dalam ajaran Islam semuanya tidak bisa lepas dari dimensi tasawufnya. Karena itu tasawuf dan shariah harus sejalan dalam menjalankan ajaran agama. Sebagai muara perjalanan tasawuf menurut Sa‘id H{awwa adalah tumbuhnya mah}abbah dalam hati. Dalam penafsiran Ibnu Arabi dijelaskan bahwa kuatnya cinta orang beriman kepada Allah ه ابح دشأ karena bagi mereka hanya Allah yang dicinta, cinta mereka tidak bercampur dengan yang lain . يغتيا م ح ط ت ي ا Mereka mencintai sesuatu karena Allah dan karena cintanya kepada Allah ه ها ح ب . Selain itu mereka mencintai sesuatu berdasarkan aspek ketuhanan yang terdapat padanya. Sebagaimana yang mereka ahli sufi katakan, “ Al-H{aq h}abibuna dan al–Khalq h}abibuna, bila timbul pertikaian keduanya maka al-H{aq lebih cinta kepada kami ”. 291 Maksudnya sebagaimana penjelasan Ibnu Arabi, bila tidak tetap aspek ketuhanan pada mereka karena perselisihan tadi maka tidak tetap pula mah}abbah cinta kami pada mereka. Ditambahkannya, orang mukmin mencintai Allah dengan roh dan hati mereka bahkan dengan Allah, untuk Allah ه ه ب ب , cinta mereka tidak pernah berobah karena keadaannya. Mereka meninggalkan semua kehendaknya demi kehendakNya, mereka mencintai af ‘alNya perbuatanNya sekalipun menyalahi 291 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke –2, 84 kehendak hawa nafsunya. 292 Cinta orang mukmin yang sangat dalam kepada Allah tidak tergantikan oleh yang lain, tidak ada ruang lagi dalam hati dan jiwanya celah untuk selainNya. Menurut Ibnu Arabi cinta mah}abbah hamba kepada Allah selain dengan hati dan rohnya juga dengan Allah, karena dalam diri hamba terdapat aspek ketuhanan bahkan dalam diri makhluk lain juga terdapat aspek ketuhanan. Ketika mencintai akan makhluk berarti sesungguhnya adalah mencintai Allah karena pada makhluk tertampung aspek ketuhanan. Selintas penafsiran Ibnu Arabi tentang mah}abbah tampak sejalan dengan penafsiran Sa ‘id H{awwa hanya perbedaan dalam istilah. Sa‘id H{awwa dalam tafsirnya menyebutkan sifat uluhiyyah dapat terwujud pada hamba yang sangat cinta kepada Allah sedangkan bagi Ibnu Arabi menyebutnya dengan istilah aspek ketuhanan. Perbedaan ini membawa pengaruh dalam perwujudannya pada hamba, bagi Ibnu Arabi penekanan aspek ketuhanannya lebih dimaksudkan kepada sisi dalam zat Tuhan sedangkan Sa ‘id H{awwa menekankan sifat uluhiyyah pada sisi luar sifat Tuhan yang terimplementasi dalam prilaku hamba. Perbedaan lain, bagi Ibnu Arabi tentang aspek ketuhanan tidak saja pada orang mukmin tapi terdapat juga pada semua makhluk. 293 Namun aspek ketuhanan antara orang mukmin dan makhluk lain tidak sama. Bagi orang mukmin aspek ketuhanan dijadikan aktif potensial karena bisa menumbuhkan cinta mah}abbah, bagi selain mukmin aspek ketuhanan pada dirinya masih pasif. 294 Sementara menurut Sa ‘id H{awwa sifat uluhiyyah hanya dimiliki oleh orang mukmin karena sangat cintanya kepada Allah, seperti 292 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke –2, 84 293 Aspek ketuhanan pada makhluk secara umum berdasarkan penjelasan Ibnu Arabi, tidak permanen artinya aspek ketuhanan bisa tetap ada dan bisa hilang. Jika aspek ketuhanan hilang pada dirinya makhluk maka hilang pula kecintaan mahabbah kepada makhluk tersebut. Lihat penjelasan Ibnu Arabi tentang ungkapan ahli sufi. Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke –2, 84 294 Pernyataan ini sekaligus mencela manusia yang tidak bisa menumbuhkan mahabbah dalam jiwanya dan ini termasuk kerugian yang sangat besar karena hatinya sama saja dengan keberadaan benda lain benda lain. Apalagi bila benda yang tidak bernyawa, tentu lebih rendah lagi kualitas diri sebagai manusia. dikemukakan diatas. 295 Penafsiran Sa ‘id H{awwa diatas didukung oleh hadis qudsi yang dicantumkan diatas bahwa kemuliaan dan kelebihan yang diperoleh bagi mereka yang merasakan mahabbah dengan Allah itu merupakan anugerah dari Allah. Penafsiran sufistik Sa ‘id H{awwa demikian dapat digolongkan pada tafsir sufi ishari. Penafsiran Sa ‘id H{awwa bila diperhatikan merupakan cerminan dari pengalaman sikap zuhudnya. Sementara itu tentang pandangan Ibnu Arabi diatas cocok dengan paham tasawuf falsafinya seperti istilah al –H{aq dan al–Khalq. 296 Bahwa dalam diri orang mukmin tercermin kesempurnaan aspek ketuhanan disebut unsur khalq dibanding makhluk lain yang tidak memiliki mah}abbah cinta. 2. Ayat 54 surat al-Maidah 5 Pada ayat lain Allah telah menegaskan bahwa siapa yang mencintaiNya maka Ia pun lebih mencintainya. Siapa yang mendapatkan cinta dari Allah, itu merupakan suatu karunia yang sesungguhnya. Hal demikian terungkap dalam ayat 54 surat al- Maidah 5. 295 Lihat; Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6, 351 296 Al-H{aq adalah Tuhan dan al-khalq adalah alam. Alam adalah perbuatannya, karena itu ia menjadi tampak nyata dengan sifat al-Haq. Maka dalam pengertian ini, ia alam adalah al-H{aq dan sekaligus ia alam adalah ciptaan. Realitas adalah satu tapi mempunyai dua sifat yang berbeda; sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Dualitas yang terjadi hanyalah dualitas nisbi atau semu . Dari pengertian ini muncul istilah lahut sifat ketuhanan dan nasut sifat kemanusiaan. Bedanya dengan teori al-Hallaj dalam hal memahami dualitas. Menurutnya tetap ada terjadi dualitas Tuhan dan manusia. Lihat; Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi: Wah}datul Wujud dalam Perdebatan Jakarta: Paramadina, 1995, Cet.ke-1, 46 49. 297 Artinya; Hai orang –orang yang beriman, barang siapa diantaramu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya. Sikapnya yang lemah lembut terhadap orang mukmin, bersikap keras terhadap orang –orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan Sa ‘id Hawwa menafsirkan ayat ini terkait makna mah}abbah; أ : ب م ي ع ى ي م عأ ىض ي , يد ا ط ا ىف يسي ض ث ي ه عيطي غ ي م ى د ت ىت ا ط ا ع تي هت حم ى . 298 Maksudnya, Allah meridai amal mereka dan menyanjungnya. Mereka taat kepadaNya dan mengutamakan sikap rida terhadap ketetapan Allah, disamping itu mereka berprilaku pada jalan yang meningkatkan mah}abbah terhadap Allah dan menghindari jalan yang tidak disukaiNya. Dalam ayat ini, dipahami bahwa masalah keimanan merupakan pilihan manusia oleh sebab itu siapa yang ingin kembali kepada kekafiran bagi Allah tidak rugi justeru ia sendirilah yang celaka. Keimanan merupakan naluri ilahiyyah yang setiap manusia pada prinsipnya membutuhkannya makanya Allah melalui ayat ini menjelaskan bahwa bagi siapa yang murtad silakan karena bakal ada kaum lain yang naluri ilahiyyahnya terpelihara lebih mencintai Allah dari selainNya dan Allah mencintai mereka. Sa ‘id H{awwa menafsirkan cinta Allah sebagai ridha dan sanjungan ب م ي ع ى ي م عأ ىض ي . Maksudnya Allah merid}ai amal mereka dan menyanjung mereka disebabkan amalnya tersebut. Kemudian cinta mereka kepada Allah ها نوبحيو adalah mereka menampakkan ketaatan kepadaNya dan mengutamakan serta menonjolkan sikap rid}a terhadap ketetapan Allah ه عيطي ض ث ي .Wujud cinta hamba kepada Allah menurut Sa‘id H{awwa adalah ketaatan, rid}a dan akhlak mulia serta ibadah untuk menambah mah}abbah kepada Allah. Lebih jauh ditafsirkan Sa‘id Hawwa; قا م ا ك ا ك ك ي ا ع ا ا ع هب ع ا ح . ق مأ هب ع ا ح ي ح ا اك م ي ق ت ف ىف ا صت أ ع ا تع طتسا . هيف فت ا ا ه ا ه يقد ص ا ف صت ا ج م صا ا . 299 Allah maha luas dan lagi maha mengetahui. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al- Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 298 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 3, Cet. Ke –6,1430 Cinta hamba kepada Tuhannya merupakan kenikmatan yang dapat diketahui oleh orang yang merasakannya. Cinta hamba kepada Tuhannya bukanlah suatu perkara yang dapat digambarkan seperti tulisan melainkan munculnya secara tiba-tiba dari ucapan para muh}ibbin. Ini merupakan pintu yang akan mengantarkan para ahli sufi untuk mencapai wusul. Makna lain dari cinta hamba kepada Tuhan seperti ditafsirkan Sa‘id Hawwa adalah sebagai kenikmatan. Artinya orang yang mencapai tingkat mah}abbah akan merasakan suatu kenikmatan yang tidak dirasakan oleh orang lain, selain para sufi. Menurut para sufi merasakan kenikmatan dalam mah}abbah kepada Allah mengalahkan kecenderungan kepada yang lain sehingga apa yang dialami dirinya dipandang sebagai kenikmatan. 300 Di samping memperoleh kenikmatan, mereka para muh}ibbin mendapatkan keistimewaan yaitu mampu mengungkapkan berupa kata- kata hikmah dari bibir nya tanpa melalui pemikiran. Sa‘id Hawwa menerangkan bahwa hal demikian dapat dialami oleh mereka yang sampai menuju Allah wusul. 301 Cinta kepada Allah juga membawa kepada hamba bagaimana merasakan cinta Allah kepada dirinya. Bila diperhatikan uraian diatas, salah satu yang dapat dirasakan oleh hamba akan cinta Allah kepadanya adalah kemampuan mengeluarkan kata-kata hikmah. Hal ini diperoleh dengan selalu menyucikan diri dari segala bentuk yang dapat mengotori jiwa. Para muh}ibbin adalah mereka yang selalu merasa dekat dengan Allah. Demikian Sa ‘id H{awwa menjelaskan makna mah}abbah terkait ayat diatas. Menurut Ibnu Arabi, cinta Allah kepada hamba lebih tertuju kepada zatnya dan mereka hamba mencintai Allah ها نوبحيو pada zatNya tidak pada sifat– sifatNya seperti Lat}if, Rah}im dan seterusnya. Mencintai sifat dapat berubah 299 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 3, Cet. Ke –6,1445 300 Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alahat as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1, 157 301 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 3, Cet. Ke –6,1445 seiring perbedaan tajalli sifat. Misal, siapa yang mencintai al-Lat}if maka mah}abbahnya tidak bisa tetap bila terjadi tajalli dengan sifat al-Qahr, begitu juga bila mencintai al –Mun‘im maka kecintaannya menjadi hapus dengan tajalli pada sifat al –Muntaqim. Adapun dengan mencintai zatNya maka tidak akan berubah dan tetap dengan kekekalan zatNya. 302 Oleh sebab itu, lanjut Ibnu Arabi bahwa al- Muh}ibb yang mencintai al-Qahhar ketika Qahr sebagaimana ia cinta pada al – Lat}{if disaat keadaan Lut}f, begitu pula ketika mencintai al –Muntaqim pada keadaan intiqam sebagaimana ia mencintai al –Mun’im dalam keadaan in’am. Tidak terjadi perbedaan padanya, sama saja saat rid}a dan tidaknya. Tidak terjadi perubahan cinta dalam berbagai keadaannya, ia bersyukur ketika menghadapi bala sebagaimana ia bersyukur memperoleh nikmat. 303 Cinta hamba dalam penafsiran Ibnu Arabi diatas ditujukan pada diri zat Allah sebab dalam diriNya sudah terkandung semua sifat, karena itu dengan mencintai zatNya maka tidak muncul perbedaan dalam melihat sifat –sifatNya. Untuk mendekati Tuhan tidak perlu melalui sifat –sifatNya tapi langsung menuju zatNya. Bagi Ibnu Arabi Tuhan tidak terpilah atau terbagi –bagi, melainkan wujudnya yang satu, sehingga tidak timbul ada pertikaian. Pada saat mencintai satu sifat sekaligus mencintai semua sifat pada diriNya, karena terjadinya tajalli pada zatNya bukan pada sifatNya. Bila diperhatikan penafsiran ayat diatas bahwa cinta hamba kepada Allah dalam tafsir Sa ‘id H{awwa diwujudkan dalam ketundukan, perbuatan nyata, merasakan nikmat dalam mah}abbah, yang mencerminkan pada meningkatnya mah}abbah kepada Allah. Mah}abbah dapat meningkat dengan meneladani sifat – sifatNya sebagaimana sering dikemukakan dalam Alquran. Manusia mengenal Allah melalui sifat-sifatnya sebab Allah memperkenalkan diriNya dengan sifat tersebut. Disini Sa ‘id H{awwa berbicara tentang pengaruh mah}abbah kepada Allah. 302 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke –2, 203 303 Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darulkutub al –Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke –2, 203 Sementara Ibnu Arabi menafsirkan cinta hamba kepada Allah terjadi pada zatNya bukan pada sifatNya. Ibnu Arabi berbicara tentang bentuk terjadinya mah}abbah cinta yang timbul antara hamba dengan Allah. Tampak dari pandangan diatas bahwa Ibnu Arabi mengarahkan penafsiran kepada paham wahdatul wujud dengan terjadinya persatuan antara muh}ib dengan mah}bub melalui mah}abbah. Penafsiran Ibnu Arabi sangat jelas memberikan gambaran dalam memahami ayat sufistik berdasarkan teori –teori filsafat khsusnya paham wahdatul wujud. Dengan demikian penafsirannya digolongkan kepada bentuk tafsir sufi naz}ari. Sementara itu penafsiran Sa ‘id H{awwa lebih kepada prilaku nyata dan dapat direalisasikan dalam membentuk akhlak yang mulia. Penafsiran dengan kecenderungan pada perbuatan nyata ini merupakan bentuk dari tasawuf amali. Selain itu Sa‘id Hawwa dalam menggunakan makna ishari tetap berpegang dengan makna zahir dan berlandaskan pada ibadah praktis. Karena itu penafsiran Sa‘id Hawwa secara metodologis sangat memperhatikan dua hal tersebut di samping ia juga mencantumkan riwayat atau pandangan para sufi. Faktor-faktor demikian yang mendukung penafsiran sufistik Sa‘id Hawwa sebagai bentuk ciri tafsir sufi ishari. _________ 203

BAB V. METODOLOGI PENAFSIRAN AYAT DAN PEMIKIRAN SUFISTIK SA