sufi, mendukung akan penafsiran Sa‘id H{awwa sebagai tafsir yang berorientasi
sufistik.
C. Tafsir Ayat tentang Ittih}ad
Salah satu ajaran dari aspek tasawuf yang dijalankan para pelaku suluk adalah merasakan hubungan yang dekat dengan zat yang maha tunggal yaitu Allah
pencipta langit dan bumi. Hubungan yang dekat yang dirasakan tersebut secara sadar dapat diwujudkan, dalam istilah tasawuf hubungan demikian dikenal dengan
ittih}ad. Ajaran ittih}ad dibahas dalam penelitian ini guna melihat pandangan Sa‘id Hawwa terhadap penggunaan istilah tersebut. Sebab istilah ini sering
menimbulkan polemik dikalangan umat Islam. Makna ittih}ad dikemukakan oleh al-Kashi yaitu menyadari segala yang
maujud timbul dari wujud al-H{aq al-Wah}id al-Mut}laq, maka bersatu dengannya segala sesuatu maujud sehingga tiada hakikat dirinya. Persatuan
mustahil dengan wujud yang khusus atau berbeda dengan wujud mut}laq.
65
Disebutkan oleh Tahanawi bahwa ittih}ad merupakan pengungkapan tentang keberadaan wujud mut}laq bahwa segala maujud disebabkan oleh wujud yang esa
yang meniadakan pada diri yang maujud. Karena itu pengertiannya bukan berarti segala sesuatu memiliki wujud khusus yang dapat bersatu dengan al-H{aq.
66
Inti pengertian ittih}ad yaitu persatuan antara wujud mutlak dan maujud karena yang
maujud berasal dari wujud mutlak tersebut. Dengan demikian persatuan antara keduanya tidak berbatas ibarat bayangan cermin, sebab esensi maujud memiliki
hakikat yang sama dengan wujud mutlak. Persoalannya kemudian yaitu persatuan antara keduanya dimanifestasikan dalam bentuk apa atau bagaimana dapat
digambarkan.
65
Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993, Cet. Ke –1,38
66
Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah
Lubnan, 1993, Cet. Ke –1,38
1. Ayat 16 surat Qaf 50 Adapun ayat yang sering dijadikan landasan tentang ittih}ad dalam kajian
para sufi, diantaranya surat Qaf 50 ayat 16.
Maksud bisikan dalam ayat ini, dijelaskan Sa‘id Hawwa;
أ :
ف ا ص ا س س ا ,
م ي ض ىف سج ي س إا ب ط ي م سف ا س س سف ا ثي ح
.
68
Artinya, suara yang tersembunyi, bisikan dalam jiwa seperti apa yang terlintas dalam pikiran manusia dan yang terbayang dalam hatinya.
Ma tuwaswisu dipahami sebagai bisikan jiwa seperti yang timbul dalam
pikiran manusia dan apa saja yang terlintas dalam hati. Pengertian h}ablil warid d
ijelaskan oleh Sa‘id H{awwa sebagai urat leher bagian dalam
69
ق ع ا ط ب ىف ع . Pada ayat ini Allah menerangkan kekuasaanNya dalam menjadikan manusia dan Dia
menguasai pula semua urusan manusia bahkan segala hal yang terbetik dalam jiwanya, demikian Ibnu Kathi
r yang dikutip Sa‘id H{awwa.
70
Dalam ayat ini Allah menunjukkan kepada manusia bahwa semua yang terjadi pada manusia dari
perbuatan hati, pikiran dan tingkah laku, tiada yang luput dalam pengawasanNya. Bila dibandingkan dengan bahasa manusia berarti Allah dan manusia tak ada
jarak yang membatasi dan tak ada celah bagi manusia berharap kepada yang lain. Karena itu pada ujung ayat ditegaskan kembali bahwa kedekatan Allah dengan
manusia melebihi kedekatan manusia dengan urat lehernya sendiri. Penegasan akhir ayat ini untuk menyadarkan manusia agar tidak berbuat hal
–hal yang menimbulkkan
67
Artinya; Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang diniatkan dalam dirinya. Dan kami lebih dekat dengannya dari pada urat lehernya sendiri.
Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
68
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke
–6, 5459
69
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke
–6,5459
70
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke
–6,5459
dosa sebab sewaktu-waktu Allah bisa mencabut urat lehernya. Makna ayat ini sekaligus mendorong manusia untuk selalu menebar kebaikan, berzikir dan
merasakan bahwa hubungan yang dekat denganNya. Penegasan akhir ayat terkait kedekatan Allah dengan manusia dipahami juga
secara ishari oleh Sa‘id H{awwa dengan menakwilkan ayat bahwa disamping Allah
juga ada makhluk lain yaitu malaikat yang dekat dan selalu mengawasi manusia. Sa‘id H{awwa menjelaskan dengan mengutip tafsir Ibnu Kathir;
ي ا ح م هي قأ ح ,
ى عي :
هي ي ح م س إا ى قأ ى عت هت ئام ,
س قت ها ى عت جا ب يف م ه د حتا أ ح ي ا ف ف م ع ا ى ع ه أت م .
هي قأ ح هي قأ أ قي م ه ف هيضتقي ا ظف ا .
71
Kami lebih dekat maksudnya malaikat juga lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya. Siapa yang memberikan takwil pada ilmu filsafat maka
sesungguhnya jauh dari maknanya sebab pengertiannya tidak mesti h}ulul atau ittih}ad. Pengertian tersebut dapat menghilangkan kesucian pada
Tuhan yang telah disepakati para ulama. Sebetulnya kalimat lafaz pada ayat tersebut tidak menunjukkan pengertian demikian, karena tidak menggunakan
kata ana aqrabu
قأ أ tapi nah}nu aqrabu قأ ح . Oleh sebab itu makna ayat ini tidak mesti dipahami sebagai bentuk ittih}ad
atau h}ulul antara Allah dan manusia seperti yang dianut para sufi falsafi.
72
Lebih jauh dijelaskan Sa‘id H{awwa, dengan menganalisis bahasa bahwa lafaz yang
digunakan bukan ana aqrabu قأ أ tapi nah}nu ح . Penggunaan kata nah}nu
tidak berarti Allah saja tapi juga melibatkan yang lain artinya malaikat juga lebih dekat dengan manusia dari pada urat lehernya manusia sendiri.
73
Penafsiran Sa ‘id
{H{awwa diatas dipahami bahwa ia tidak menghendaki terjadinya pemahaman ittih}ad atau h}ulul antara Allah dan manusia berdasarkan ayat diatas.
71
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke
–6,5467
72
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke
–6,5459
73
Sa ‘id H{awwa mengemukakan ayat lain terkait penggunaan kata nah}nu seperti ayat 9 surat al-H{ijr 15:
ظف ح ه ك ا ح – Sesungguhnya Kami yang menurunkan Alquran dan
sungguh Kami benar-benar memeliharanya. Disini malaikat turun dengan membawa Alquran dan ikut memliharanya. Lihat;
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke
–6,5468
Secara tidak langsung Sa‘id H{awwa menolak takwil ayat dengan menyatakan bahwa maksud dekat dalam ayat ini menjadi dasar pengertian ittih}ad
antara Allah dan manusia. Tampaknya Sa‘id H{awwa melihat pada hubungan ayat
munasabah ini dengan ayat setelahnya yang menjelaskan makna kata nah}nu yaitu menunjuk pada malaikat yang berada pada posisi kiri dan kanan.
74
Dua hal ini menggambarkan akan dua perbuatan berbeda yaitu terkait dengan hal baik dan buruk
atau dosa dan pahala. Sekalipun malaikat juga dianggap dekat dalam pengertian ayat diatas, namun
Sa‘id Hawwa tetap mengakui bahwa Allah yang sangat dekat lagi. Penjelasan ini dikutipnya dari tafsir an-Nasafi bahwa;
ه م ىفخأ ءىش ا سف ا ا طخ ى ه ع ص تي فيط ه ,
ك م س إا م قأ ه هب ظف تي م ظيفح ا ىق تي يح ي ق
.
75
Sesungguhnya Dia maha halus, ilmuNya meliputi gerak jiwa manusia sehingga tidak ada yang tersembunyi dariNya. Dia sangat dekat kepada
manusia dari setiap yang dekat dua malaikat yang selalu mengawasi manusia.
Sekalipun malaikat juga dilibatkan dalam pengertian ayat diatas sebagai
bagian yang dekat dengan manusia tetapi kedekatan Allah melebihi malaikat. Sungguhpun hubungan yang dekat antara Allah dengan manusia, namun tetap tidak
dalam bentuk ittih}ad. Dari penafsiran Sa‘id H{awwa diatas juga tidak menolak terjadinya hubungan
yang sangat dekat antara Allah dan manusia, sebab Sa‘id H{awwa mengakui tentang wus}ul kepada Allah namun juga tidak dalam bentuk ittih}ad.
76
Ia pun tidak menjelaskan lebih rinci bentuk kedekatan yang dirasakan.
74
Sa‘id H{awwa juga tidak sepakat tentang dua malaikat tersebut bernama dengan raqib dan
‘atid. Menurutnya istilah itu merupakan sifat bagi mereka sesuai fungsinya yaitu raqib sebagai pengawas
ظف ح dan ‘atid yang selalu hadir ض ح . Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke
–6,5460
75
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke
–6,5459-60
76
Siapa yang jiwanya bermujahadah pada zat Allah maka Allah akan memberi hidayah kepada jalan menuju Allah.
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 8, Cet. Ke
–6,4237
Penafsiran Sa‘id Hawwa diatas dapat dipahami, yaitu tidak jauh dari pengertian makna zahir apalagi didukung dengan analisis kebahasaan. Pengungkapan
makna ishari dalam metodologi tafsir sufistik Sa‘id Hawwa tidak terpengaruh
dengan teori filsafat. Penafsiran- penafsiran Sa‘id Hawwa dalam mengungkapkan
makna ishari sebagaimana terlihat di atas, tetap berlandaskan pada makna zahir ayat. Ini bukan berarti penafsirannya tidak mengandung makna sufistik namun makna
sufistik yang dikemukakan sesuai dengan rambu-rambu tafsir sufistik yang salah satunya adalah makna ishari tidak jauh dari makna zahir.
77
Karena itu, penafsiran sufistiknya tergolong pada tafsir sufi ishari. Penafsiran
sufistik Sa‘id H{awwa seperti ini sangat tampak ketika menafsirkan ayat-ayat terkait dengan maqam-
maqam tasawuf. Sesuai dengan lafaz ayatnya yang jelas, maka makna ishari yang dikemukakan tidak menyimpang dari makna zahir ayat sehingga antara makna zahir
dan ishari ada kesejalanan. Metode tafsir sufistik seperti demikian, memberikan kemudahan dalam
memahami ayat tasawuf. Bila diperhatikan dalam penafsiran sufistik, tercermin padanya uraian yang menjelaskan untuk agar memperoleh hubungan yang sangat
dekat dengan Tuhan atau dorongan untuk meraih kesucian jiwa. Adapun makna abstrak yang sering terdapat dalam penafsiran sufistik biasanya dipengaruhi oleh teori
atau ajaran filsafat. Karena itu penafsiran sufistik demikian disebut dengan tafsir sufi
naz}ari.
Berbeda dengan Sa‘id H{awwa, menurut tafsir Ibnu Arabi ayat tersebut adalah mencerminkan kedekatan secara maknawi dengan penggambaran wujud nyata.
Kedekatan antara wujud mutlak dengan maujud atau juz-un muttas}il tidak ada jarak. Dengan demikian hubungan tersebut antara keduanya, menafikan keterpisahan
dan kegandaan.
78
Hal ini dipertegas oleh Abi Khazam bahwa ittih}ad menurut Ibnu
77
Muhammad Hamdi Zaglul, at –Tafsir bi ar–Ra’ yi Dimaskus:Maktabah al–Farabi,
14201999, Cet. Ke –1,442-3
78
ه يب هب صت ا ء ج ا يب ف س ا ع عم قأ ك .
ي ي ثإا ي ب ي ء ب ء ج ا صتا أ
ك ك سي ع م هب ق د حتا عفا ا .
Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah,
1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 263
Arabi adalah terjadinya dua zat menjadi satu dan tidak mungkin terjadi ittih}ad kecuali adanya dua esensi. Sementara Tuhan dan alam tidak membentuk jadi satu tapi
dalam wujud yang satu.
79
Mengenai wujud ini, disebut oleh Ibnu Arabi dengan realitas dari realitas-realitas h}aqiqat al-h}aqaiq.
80
Dalam penafsiran Ibnu Arabi tentang ayat di atas, ia tidak menyorot tentang struktur bahasa dari ayat tersebut, misalnya terkait dengan penggunaan kata nah}nu.
Sebab kata nahnu secara bahasa dapat menunjukkan makna banyak. Namun demikian, terkait dengan kata nah}nu, sebetulnya bisa dipahami bahwa didalamnya
pasti mengandung pengertian wujud Allah, walaupun sementara ahli tafsir menyatakan, ada pihak lain yang dilibatkan.
Melihat penafsirannya pada ayat berikutnya, tampaknya Ibnu Arabi tidak mengakui adanya pihak lain selain Allah. Ketika ia menafsirkan tentang dua pihak
yang berada disamping kanan dan kiri manusia bukanlah sebagai malaikat tapi sebagai potensi pada diri manusia. Bagian kanan disebutnya sebagai kekuatan akal
yang membentuk kebaikan sedangkan bagian kiri disebutnya sebagai daya khayal yang mendorong untuk pada hal-hal yang tidak baik dan cenderung kepada perbuatan
setan.
81
Dengan demikian ittih}ad yang terjadi antara wujud mutlak dengan maujud yang juga merupakan bagian dari esensi wujud mutlak sesuatu yang dapat
terjadi. Sementara itu, Tustari memahami urat
ع ا pada ayat tersebut sebagai rongga hati qalbu sebab Allah lebih dapat dirasakan oleh hati. Karena itu apa saja
yang terbetik dalam hati terhadap sesuatu yang dikehendaki nafsu maka wajar sekali manusia merasa malu memperturutkan. Manusia harus ingat bahwa Allah lebih dekat
79
حا يتا ا ييصت د حتاا ,
ح ه د ع ا ىف ا ي ا
Penjelasan ini dikutip Abi Khazam dari kitab istilah sufi karya Ibnu Arabi halaman 31. Lihat; Anwar Fuad Abi Khazam,
Mu’jam al– Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke
–1,38
80
Dalam istilah lain disebut juga oleh Ibnu Arabi dengan Materi Pertama. Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi: Wah}datul Wujud dalam Perdebatan Jakarta: Paramadina, 1995, Cet.ke-1, 52
56
81
Sangat wajar ia berpendapat tentang ittihad sebab menurutnya tidak ada pengertian malaikat dalam ayat tersebut. Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al
–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke
–2, 263
daripada hatinya sendiri.
82
Disini Tustari lebih memahami makna kedekatan Allah dalam arti pengawasan hati manusia. Apa saja yang terbersit dalam hati manusia tidak
ada yang luput dalam pengawasanNya. Sama halnya dengan Sa‘id H{awwa, penafsiran Tustari tidak mengarahkan pada adanya ittih}ad berdasarkan ayat ini.
Intinya ayat ini dipahami sebagai cerminan penguasaan Allah terhadap apa saja yang dilakukan manusia. Posisi Allah lebih mengetahui apa yang akan ditimbulkan dari
hati dan pikiran manusia. Ini menunjukkan hubungan pengawasan yang sangat dekat kepada manusia. Dengan demikian, bila manusia menyadari akan hal ini maka ia
akan malu berbuat yang tidak dikehendaki oleh Allah. Dari penafsiran-penafsiran diatas, dipahami bahwa takwil yang dikemukakan
Sa‘id H{awwa dan Tustari masih memperhatikan makna zahir ayat yang mengenai kedekatan dalam hal pengawasan Allah. Sementara Ibnu Arabi memberikan takwil
dengan memahami sebagai kedekatan wujud maknawi abstrak dengan bentuk keterpaduan wujud yang tidak ada batas. Pengertian ini secara zahir ayat tidak mudah
dipahami . Walaupun demikian Sa‘id H{awwa dan Tustari mengakui hubungan dekat
secara ruhani dapat terjadi antara manusia dan Tuhan. Namun mereka tidak menyebut dengan istilah ittih}ad atau kesatuan wujud seperti yang dikemukakan Ibnu Arabi.
2. Ayat 115 surat al-Baqarah 2 Selain ayat diatas, ayat lain yang dijadikan sebagai dasar oleh penganut ajaran
ittih}ad yaitu ayat 115 dalam surat al-Baqarah.
.
Dalam tafsir Ibnu Arabi dijelaskan pengertian tentang wajah Allah bahwa zat Allah bertajalli pada seluruh sifat-sifatNya. Makna walillahil mashriq berarti
Allah yang memunculkan cahaya pada hati kamu sebagai tajalli dari sifat Jamal
82
Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet.
Ke –I, 75
83
Artinya; Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. Alquran dan
Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H
Tuhan dalam kefanaanmu. Sedangkan maghrib berarti terbenam yaitu menutupi dengan zatNya. KetersembunyianNya dengan sifat JalalNya padamu ketika
keadaanmu baqa’ setelah fana’.
84
Pengertian ini menunjukkan bahwa ibaratnya maghrib dan mashriq ada pada diri manusia maka kemana saja menghadap tetap
ada wajah Allah. Mashriq sebagai bentuk tajalli sifat Tuhan pada hamba pada kondisi fana
’ sedangkan maghrib sebagai selubungan dari sifat-sifat Jalal Tuhan pada hamba ketika
baqa’nya. Disini terbentuk penyatuan antara hamba dengan Tuhan dalam dua hal yaitu dari sudut maghrib dan dari sudut mashriq. Gambaran
kesatuan wujud demikian dalam istilah Harun Nasution disebutnya melewati konsep ittih}ad dan hulul.
85
Takwil yang dikemukakan dalam tafsir Ibnu Arabi diatas selaras dengan konsep kesatuan wujud yang dianutnya bahwa esensi yang hakiki hanya wujud
mutlak Tuhan. Hal ini dapat diumpamakan bayangan dalam cermin. Penafsiran ini akan dibandingkan dengan penafsiran
Sa‘id H{awwa yang juga memahami bahwa keberadaan Allah meliputi timur dan barat.
Menurut Sa‘id H{awwa makna ayat diatas pertama mengandung pengertian tentang kiblat dalam s}alat. Dikemukakannya;
أ :
ي تم م ه ه ك غ ا
ا داب .
هج م ف ي ت ا مت عف م أ ىفف ها
86
.
Artinya; wilayah timur dan barat semuanya kepunyaan Allah, Dia pemiliknya dan pengaturnya. Maka pada tempat manapun kamu menghadapkan muka,
disitulah keberadaanNya.
Berkaitan arah salat, Sa‘id Hawwa mengakui bahwa Allah menyaksikan hambanya dimana saja memalingkan muka. Maksudnya, apabila ada sesuatu yang
84
ه ج فصب ى جت ا م ب ق ى ع ا شإا ه أ ت فص عي جب ي جت ا ها ا Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al
–Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke–2, 71
85
Ittih}ad diibaratkan hamba bergerak menuju Tuhan sedangkan h}ulul, Tuhan turun memilih hamba. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang,
1992, Cet. Ke –8, 89
86
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6,224
menghalangi arah kiblat maka bumi ini dapat dijadikan tempat salat sekalipun menghadap ke arah mana saja.
87
Pandangan Sa‘id Hawwa diatas masih menjadikan Ka’bah sebagai arah s}alat dalam keadaan normal. Sekalipun demikian, ia tetap
longgar dalam hal masalah kiblat. Syarat yang dikemukakannya yaitu bila terhalang dari masjid, artinya diluar masjid atau dimana saja masih dibolehkan menghadapkan
muka. Selanjutnya dikemukakannya penafsiran terkait zat Allah. Dalam tafsirnya
dinyatakan pendapat Ibnu Kathir;
ت اف ى عت هتا مأ م ع ا عي جب طيحم ى عت ه ع ه ف م ه م ي ا ى عت ه أ هق خ م ئيش ىف صحم
.
88
Bahwa sesungguhnya wujud Allah tidak kosong dari tempat manapun,
ilmunya meliputi seluruh yang diketahui. Adapun zatNya, tidak terbatas pada sesuatu dari makhluk ciptaanNya.
Adapun makna ayat terkait dengan pengertian sufistik yaitu dalam hal mengenal akan zat Allah
ي إا ا ا ف عم bahwa timur dan barat mencerminkan keberadaanNya.
89
Adapun zat Allah tidak terbatas pada satu tempat dari makhluknya. Dimanapun posisi seorang hamba memanjatkan doa, disitu ada wajah
Allah maka ia akan kabulkan doanya.
90
Pengertian dari penafsiran ini membawa pemaham
an bahwa zat Allah meliputi pada semua alam namun Sa‘id H{awwa tidak menjelaskan lebih jauh bentuk hubungan antara keberadaan Allah yang meliputi alam
semesta. Secara tidak langsung penafsiran Sa‘id H{awwa mengakui bahwa zat Allah
tercermin pada alam maka arah timur atau barat adalah menjadi tempat menghadapkan muka menuju Allah. Pengertian menghadapkan muka ditakwilkan
87
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6,224
88
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6,254
89
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6,224
90
Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke
–6,254
juga sebagai keadaan dalam berdoa. Takwil demikian sangat dekat dengan makna zahir ayat.
Alam sebagai cerminan Allah tidak berarti ia juga menjadi kekal dengan kekekalan Allah.
Sa‘id Hawwa memberi alasan dengan menyebut ayat 88 surat al- Qas}as}, segala sesuatu pasti akan hancur melainkan wajah zat Allah tetap kekal.
91
Bila alam dianggap sebagai penampakan tajalli sifat Tuhan berarti itu bukan wujud Tuhan sesungguhnya sebab ia alam akan hancur sedangkan Tuhan tidak akan
hancur selamanya. Bila di\cermati terhadap makna zahir ayat maka dipahami bahwa penafsiran
Sa‘id H{awwa masih menggunakan takwil sejalan dengan pengertian ayat. Zat Allah yang dimaksud tetap pada posisinya, bukan menyatu pada manusia atau alam.
Pengertian ini sesuai dengan kandungan ayat yang tidak tegas menunjukkan pada makna ittih}ad. Adapun Ibnu Arabi menggunakan takwilnya dengan memahami
bahwa locus tersebut ada pada diri manusia. Ibnu Arabi dalam mengemukakan penafsirannya menggunakan pendekatan filsafat sehingga kesimpulan yang
diberikannya sejalan dengan teori filsafat tentang wujud.
92
Sa‘id Hawwa menjelaskan bahwa zat Allah meliputi alam semesta tapi tidak ditegaskan dalam bentuk penyatuan artinya masih terpisah antara dua unsur. Hal ini
menunjukkan bahwa Sa ‘id Hawwa tidak memiliki kecenderungan mengkaji tasawuf secara teoritis. Penafsiran sufistiknya ditujukan supaya mudah diamalkan, makanya
karakteristik tafsir sufinya dikenal dengan tasawuf amali. Sebaliknya pada tafsir Ibnu Arabi, yang dipahami sebagai tasawuf falsafi dengan jelas menyatakan bahwa
terjadinya penyatuan dua unsur pada manusia adalah dalam bentuk tajalli sifat Tuhan.
91
Lihat; QS. Al-Qas}as}: 88. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir
Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6,254
92
Tiap-tiap sesuatu mempunyai dua aspek yaitu aspek luar al-Khalq dan aspek dalam al-Haq. Al-Haq pada makhluk bersatu dengan al-Khalq pada Tuhan. Ibaratnya Tuhan melihat alam sebagai
cermin diriNya. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cet. Ke
–8, 92. Kesatuan antara al-Haq Tuhan dan al-Khalq alam terlihat dalam konsep ontologis Ibnu Arabi. Disini tidak ada dualitas dalam arti yang sebenarnya tetapi dua aspek atau sifat dari satu
wujud, dapat diibaratkan dengan cermin. Sementara dalam teori al-Hallaj masih terdapat dualitas Tuhan dan manusia. Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi: Wah}datul Wujud dalam Perdebatan
Jakarta: Paramadina, 1995, Cet.ke-1, 52 56
Secara metodologis, Sa‘id H{awwa sangat dekat dengan makna zahir dalam
mengemukakan penafsiran sufistiknya, sedangkan Ibnu Arabi tidak memperhatikan demikian. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa metodologi
penafsiran Sa‘id H{awwa dalam menggunakan makna ishari tetap berlandaskan pada makna zahir
ayat. Selain itu ia juga mengemukakan pendapat para mufasir seperti Ibnu Kathir, untuk memperkaya penjelasannya.
D. Tafsir Ayat tentang Karamah