Tafsir Ayat tentang Ittih}ad

sufi, mendukung akan penafsiran Sa‘id H{awwa sebagai tafsir yang berorientasi sufistik.

C. Tafsir Ayat tentang Ittih}ad

Salah satu ajaran dari aspek tasawuf yang dijalankan para pelaku suluk adalah merasakan hubungan yang dekat dengan zat yang maha tunggal yaitu Allah pencipta langit dan bumi. Hubungan yang dekat yang dirasakan tersebut secara sadar dapat diwujudkan, dalam istilah tasawuf hubungan demikian dikenal dengan ittih}ad. Ajaran ittih}ad dibahas dalam penelitian ini guna melihat pandangan Sa‘id Hawwa terhadap penggunaan istilah tersebut. Sebab istilah ini sering menimbulkan polemik dikalangan umat Islam. Makna ittih}ad dikemukakan oleh al-Kashi yaitu menyadari segala yang maujud timbul dari wujud al-H{aq al-Wah}id al-Mut}laq, maka bersatu dengannya segala sesuatu maujud sehingga tiada hakikat dirinya. Persatuan mustahil dengan wujud yang khusus atau berbeda dengan wujud mut}laq. 65 Disebutkan oleh Tahanawi bahwa ittih}ad merupakan pengungkapan tentang keberadaan wujud mut}laq bahwa segala maujud disebabkan oleh wujud yang esa yang meniadakan pada diri yang maujud. Karena itu pengertiannya bukan berarti segala sesuatu memiliki wujud khusus yang dapat bersatu dengan al-H{aq. 66 Inti pengertian ittih}ad yaitu persatuan antara wujud mutlak dan maujud karena yang maujud berasal dari wujud mutlak tersebut. Dengan demikian persatuan antara keduanya tidak berbatas ibarat bayangan cermin, sebab esensi maujud memiliki hakikat yang sama dengan wujud mutlak. Persoalannya kemudian yaitu persatuan antara keduanya dimanifestasikan dalam bentuk apa atau bagaimana dapat digambarkan. 65 Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1,38 66 Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al–Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1,38 1. Ayat 16 surat Qaf 50 Adapun ayat yang sering dijadikan landasan tentang ittih}ad dalam kajian para sufi, diantaranya surat Qaf 50 ayat 16. Maksud bisikan dalam ayat ini, dijelaskan Sa‘id Hawwa; أ : ف ا ص ا س س ا , م ي ض ىف سج ي س إا ب ط ي م سف ا س س سف ا ثي ح . 68 Artinya, suara yang tersembunyi, bisikan dalam jiwa seperti apa yang terlintas dalam pikiran manusia dan yang terbayang dalam hatinya. Ma tuwaswisu dipahami sebagai bisikan jiwa seperti yang timbul dalam pikiran manusia dan apa saja yang terlintas dalam hati. Pengertian h}ablil warid d ijelaskan oleh Sa‘id H{awwa sebagai urat leher bagian dalam 69 ق ع ا ط ب ىف ع . Pada ayat ini Allah menerangkan kekuasaanNya dalam menjadikan manusia dan Dia menguasai pula semua urusan manusia bahkan segala hal yang terbetik dalam jiwanya, demikian Ibnu Kathi r yang dikutip Sa‘id H{awwa. 70 Dalam ayat ini Allah menunjukkan kepada manusia bahwa semua yang terjadi pada manusia dari perbuatan hati, pikiran dan tingkah laku, tiada yang luput dalam pengawasanNya. Bila dibandingkan dengan bahasa manusia berarti Allah dan manusia tak ada jarak yang membatasi dan tak ada celah bagi manusia berharap kepada yang lain. Karena itu pada ujung ayat ditegaskan kembali bahwa kedekatan Allah dengan manusia melebihi kedekatan manusia dengan urat lehernya sendiri. Penegasan akhir ayat ini untuk menyadarkan manusia agar tidak berbuat hal –hal yang menimbulkkan 67 Artinya; Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang diniatkan dalam dirinya. Dan kami lebih dekat dengannya dari pada urat lehernya sendiri. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H 68 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6, 5459 69 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6,5459 70 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6,5459 dosa sebab sewaktu-waktu Allah bisa mencabut urat lehernya. Makna ayat ini sekaligus mendorong manusia untuk selalu menebar kebaikan, berzikir dan merasakan bahwa hubungan yang dekat denganNya. Penegasan akhir ayat terkait kedekatan Allah dengan manusia dipahami juga secara ishari oleh Sa‘id H{awwa dengan menakwilkan ayat bahwa disamping Allah juga ada makhluk lain yaitu malaikat yang dekat dan selalu mengawasi manusia. Sa‘id H{awwa menjelaskan dengan mengutip tafsir Ibnu Kathir; ي ا ح م هي قأ ح , ى عي : هي ي ح م س إا ى قأ ى عت هت ئام , س قت ها ى عت جا ب يف م ه د حتا أ ح ي ا ف ف م ع ا ى ع ه أت م . هي قأ ح هي قأ أ قي م ه ف هيضتقي ا ظف ا . 71 Kami lebih dekat maksudnya malaikat juga lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya. Siapa yang memberikan takwil pada ilmu filsafat maka sesungguhnya jauh dari maknanya sebab pengertiannya tidak mesti h}ulul atau ittih}ad. Pengertian tersebut dapat menghilangkan kesucian pada Tuhan yang telah disepakati para ulama. Sebetulnya kalimat lafaz pada ayat tersebut tidak menunjukkan pengertian demikian, karena tidak menggunakan kata ana aqrabu قأ أ tapi nah}nu aqrabu قأ ح . Oleh sebab itu makna ayat ini tidak mesti dipahami sebagai bentuk ittih}ad atau h}ulul antara Allah dan manusia seperti yang dianut para sufi falsafi. 72 Lebih jauh dijelaskan Sa‘id H{awwa, dengan menganalisis bahasa bahwa lafaz yang digunakan bukan ana aqrabu قأ أ tapi nah}nu ح . Penggunaan kata nah}nu tidak berarti Allah saja tapi juga melibatkan yang lain artinya malaikat juga lebih dekat dengan manusia dari pada urat lehernya manusia sendiri. 73 Penafsiran Sa ‘id {H{awwa diatas dipahami bahwa ia tidak menghendaki terjadinya pemahaman ittih}ad atau h}ulul antara Allah dan manusia berdasarkan ayat diatas. 71 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6,5467 72 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6,5459 73 Sa ‘id H{awwa mengemukakan ayat lain terkait penggunaan kata nah}nu seperti ayat 9 surat al-H{ijr 15: ظف ح ه ك ا ح – Sesungguhnya Kami yang menurunkan Alquran dan sungguh Kami benar-benar memeliharanya. Disini malaikat turun dengan membawa Alquran dan ikut memliharanya. Lihat; Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6,5468 Secara tidak langsung Sa‘id H{awwa menolak takwil ayat dengan menyatakan bahwa maksud dekat dalam ayat ini menjadi dasar pengertian ittih}ad antara Allah dan manusia. Tampaknya Sa‘id H{awwa melihat pada hubungan ayat munasabah ini dengan ayat setelahnya yang menjelaskan makna kata nah}nu yaitu menunjuk pada malaikat yang berada pada posisi kiri dan kanan. 74 Dua hal ini menggambarkan akan dua perbuatan berbeda yaitu terkait dengan hal baik dan buruk atau dosa dan pahala. Sekalipun malaikat juga dianggap dekat dalam pengertian ayat diatas, namun Sa‘id Hawwa tetap mengakui bahwa Allah yang sangat dekat lagi. Penjelasan ini dikutipnya dari tafsir an-Nasafi bahwa; ه م ىفخأ ءىش ا سف ا ا طخ ى ه ع ص تي فيط ه , ك م س إا م قأ ه هب ظف تي م ظيفح ا ىق تي يح ي ق . 75 Sesungguhnya Dia maha halus, ilmuNya meliputi gerak jiwa manusia sehingga tidak ada yang tersembunyi dariNya. Dia sangat dekat kepada manusia dari setiap yang dekat dua malaikat yang selalu mengawasi manusia. Sekalipun malaikat juga dilibatkan dalam pengertian ayat diatas sebagai bagian yang dekat dengan manusia tetapi kedekatan Allah melebihi malaikat. Sungguhpun hubungan yang dekat antara Allah dengan manusia, namun tetap tidak dalam bentuk ittih}ad. Dari penafsiran Sa‘id H{awwa diatas juga tidak menolak terjadinya hubungan yang sangat dekat antara Allah dan manusia, sebab Sa‘id H{awwa mengakui tentang wus}ul kepada Allah namun juga tidak dalam bentuk ittih}ad. 76 Ia pun tidak menjelaskan lebih rinci bentuk kedekatan yang dirasakan. 74 Sa‘id H{awwa juga tidak sepakat tentang dua malaikat tersebut bernama dengan raqib dan ‘atid. Menurutnya istilah itu merupakan sifat bagi mereka sesuai fungsinya yaitu raqib sebagai pengawas ظف ح dan ‘atid yang selalu hadir ض ح . Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6,5460 75 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 9, Cet. Ke –6,5459-60 76 Siapa yang jiwanya bermujahadah pada zat Allah maka Allah akan memberi hidayah kepada jalan menuju Allah. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 8, Cet. Ke –6,4237 Penafsiran Sa‘id Hawwa diatas dapat dipahami, yaitu tidak jauh dari pengertian makna zahir apalagi didukung dengan analisis kebahasaan. Pengungkapan makna ishari dalam metodologi tafsir sufistik Sa‘id Hawwa tidak terpengaruh dengan teori filsafat. Penafsiran- penafsiran Sa‘id Hawwa dalam mengungkapkan makna ishari sebagaimana terlihat di atas, tetap berlandaskan pada makna zahir ayat. Ini bukan berarti penafsirannya tidak mengandung makna sufistik namun makna sufistik yang dikemukakan sesuai dengan rambu-rambu tafsir sufistik yang salah satunya adalah makna ishari tidak jauh dari makna zahir. 77 Karena itu, penafsiran sufistiknya tergolong pada tafsir sufi ishari. Penafsiran sufistik Sa‘id H{awwa seperti ini sangat tampak ketika menafsirkan ayat-ayat terkait dengan maqam- maqam tasawuf. Sesuai dengan lafaz ayatnya yang jelas, maka makna ishari yang dikemukakan tidak menyimpang dari makna zahir ayat sehingga antara makna zahir dan ishari ada kesejalanan. Metode tafsir sufistik seperti demikian, memberikan kemudahan dalam memahami ayat tasawuf. Bila diperhatikan dalam penafsiran sufistik, tercermin padanya uraian yang menjelaskan untuk agar memperoleh hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan atau dorongan untuk meraih kesucian jiwa. Adapun makna abstrak yang sering terdapat dalam penafsiran sufistik biasanya dipengaruhi oleh teori atau ajaran filsafat. Karena itu penafsiran sufistik demikian disebut dengan tafsir sufi naz}ari. Berbeda dengan Sa‘id H{awwa, menurut tafsir Ibnu Arabi ayat tersebut adalah mencerminkan kedekatan secara maknawi dengan penggambaran wujud nyata. Kedekatan antara wujud mutlak dengan maujud atau juz-un muttas}il tidak ada jarak. Dengan demikian hubungan tersebut antara keduanya, menafikan keterpisahan dan kegandaan. 78 Hal ini dipertegas oleh Abi Khazam bahwa ittih}ad menurut Ibnu 77 Muhammad Hamdi Zaglul, at –Tafsir bi ar–Ra’ yi Dimaskus:Maktabah al–Farabi, 14201999, Cet. Ke –1,442-3 78 ه يب هب صت ا ء ج ا يب ف س ا ع عم قأ ك . ي ي ثإا ي ب ي ء ب ء ج ا صتا أ ك ك سي ع م هب ق د حتا عفا ا . Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 263 Arabi adalah terjadinya dua zat menjadi satu dan tidak mungkin terjadi ittih}ad kecuali adanya dua esensi. Sementara Tuhan dan alam tidak membentuk jadi satu tapi dalam wujud yang satu. 79 Mengenai wujud ini, disebut oleh Ibnu Arabi dengan realitas dari realitas-realitas h}aqiqat al-h}aqaiq. 80 Dalam penafsiran Ibnu Arabi tentang ayat di atas, ia tidak menyorot tentang struktur bahasa dari ayat tersebut, misalnya terkait dengan penggunaan kata nah}nu. Sebab kata nahnu secara bahasa dapat menunjukkan makna banyak. Namun demikian, terkait dengan kata nah}nu, sebetulnya bisa dipahami bahwa didalamnya pasti mengandung pengertian wujud Allah, walaupun sementara ahli tafsir menyatakan, ada pihak lain yang dilibatkan. Melihat penafsirannya pada ayat berikutnya, tampaknya Ibnu Arabi tidak mengakui adanya pihak lain selain Allah. Ketika ia menafsirkan tentang dua pihak yang berada disamping kanan dan kiri manusia bukanlah sebagai malaikat tapi sebagai potensi pada diri manusia. Bagian kanan disebutnya sebagai kekuatan akal yang membentuk kebaikan sedangkan bagian kiri disebutnya sebagai daya khayal yang mendorong untuk pada hal-hal yang tidak baik dan cenderung kepada perbuatan setan. 81 Dengan demikian ittih}ad yang terjadi antara wujud mutlak dengan maujud yang juga merupakan bagian dari esensi wujud mutlak sesuatu yang dapat terjadi. Sementara itu, Tustari memahami urat ع ا pada ayat tersebut sebagai rongga hati qalbu sebab Allah lebih dapat dirasakan oleh hati. Karena itu apa saja yang terbetik dalam hati terhadap sesuatu yang dikehendaki nafsu maka wajar sekali manusia merasa malu memperturutkan. Manusia harus ingat bahwa Allah lebih dekat 79 حا يتا ا ييصت د حتاا , ح ه د ع ا ىف ا ي ا Penjelasan ini dikutip Abi Khazam dari kitab istilah sufi karya Ibnu Arabi halaman 31. Lihat; Anwar Fuad Abi Khazam, Mu’jam al– Mus}t}alah}at as}-S{ufiyyah Beirut: Maktabah Lubnan, 1993, Cet. Ke –1,38 80 Dalam istilah lain disebut juga oleh Ibnu Arabi dengan Materi Pertama. Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi: Wah}datul Wujud dalam Perdebatan Jakarta: Paramadina, 1995, Cet.ke-1, 52 56 81 Sangat wajar ia berpendapat tentang ittihad sebab menurutnya tidak ada pengertian malaikat dalam ayat tersebut. Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 2, Cet. Ke –2, 263 daripada hatinya sendiri. 82 Disini Tustari lebih memahami makna kedekatan Allah dalam arti pengawasan hati manusia. Apa saja yang terbersit dalam hati manusia tidak ada yang luput dalam pengawasanNya. Sama halnya dengan Sa‘id H{awwa, penafsiran Tustari tidak mengarahkan pada adanya ittih}ad berdasarkan ayat ini. Intinya ayat ini dipahami sebagai cerminan penguasaan Allah terhadap apa saja yang dilakukan manusia. Posisi Allah lebih mengetahui apa yang akan ditimbulkan dari hati dan pikiran manusia. Ini menunjukkan hubungan pengawasan yang sangat dekat kepada manusia. Dengan demikian, bila manusia menyadari akan hal ini maka ia akan malu berbuat yang tidak dikehendaki oleh Allah. Dari penafsiran-penafsiran diatas, dipahami bahwa takwil yang dikemukakan Sa‘id H{awwa dan Tustari masih memperhatikan makna zahir ayat yang mengenai kedekatan dalam hal pengawasan Allah. Sementara Ibnu Arabi memberikan takwil dengan memahami sebagai kedekatan wujud maknawi abstrak dengan bentuk keterpaduan wujud yang tidak ada batas. Pengertian ini secara zahir ayat tidak mudah dipahami . Walaupun demikian Sa‘id H{awwa dan Tustari mengakui hubungan dekat secara ruhani dapat terjadi antara manusia dan Tuhan. Namun mereka tidak menyebut dengan istilah ittih}ad atau kesatuan wujud seperti yang dikemukakan Ibnu Arabi. 2. Ayat 115 surat al-Baqarah 2 Selain ayat diatas, ayat lain yang dijadikan sebagai dasar oleh penganut ajaran ittih}ad yaitu ayat 115 dalam surat al-Baqarah. . Dalam tafsir Ibnu Arabi dijelaskan pengertian tentang wajah Allah bahwa zat Allah bertajalli pada seluruh sifat-sifatNya. Makna walillahil mashriq berarti Allah yang memunculkan cahaya pada hati kamu sebagai tajalli dari sifat Jamal 82 Sahl At –Tustari, Tafsir at–Tustariy Beirut: Darul Kutub al–Ilmiyah, 20021423, Cet. Ke –I, 75 83 Artinya; Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. Alquran dan Terjemahnya, Depag- Mujamma’ al-Malik al-Fahd al-Madinah al-Munawwarah, 1415 H Tuhan dalam kefanaanmu. Sedangkan maghrib berarti terbenam yaitu menutupi dengan zatNya. KetersembunyianNya dengan sifat JalalNya padamu ketika keadaanmu baqa’ setelah fana’. 84 Pengertian ini menunjukkan bahwa ibaratnya maghrib dan mashriq ada pada diri manusia maka kemana saja menghadap tetap ada wajah Allah. Mashriq sebagai bentuk tajalli sifat Tuhan pada hamba pada kondisi fana ’ sedangkan maghrib sebagai selubungan dari sifat-sifat Jalal Tuhan pada hamba ketika baqa’nya. Disini terbentuk penyatuan antara hamba dengan Tuhan dalam dua hal yaitu dari sudut maghrib dan dari sudut mashriq. Gambaran kesatuan wujud demikian dalam istilah Harun Nasution disebutnya melewati konsep ittih}ad dan hulul. 85 Takwil yang dikemukakan dalam tafsir Ibnu Arabi diatas selaras dengan konsep kesatuan wujud yang dianutnya bahwa esensi yang hakiki hanya wujud mutlak Tuhan. Hal ini dapat diumpamakan bayangan dalam cermin. Penafsiran ini akan dibandingkan dengan penafsiran Sa‘id H{awwa yang juga memahami bahwa keberadaan Allah meliputi timur dan barat. Menurut Sa‘id H{awwa makna ayat diatas pertama mengandung pengertian tentang kiblat dalam s}alat. Dikemukakannya; أ : ي تم م ه ه ك غ ا ا داب . هج م ف ي ت ا مت عف م أ ىفف ها 86 . Artinya; wilayah timur dan barat semuanya kepunyaan Allah, Dia pemiliknya dan pengaturnya. Maka pada tempat manapun kamu menghadapkan muka, disitulah keberadaanNya. Berkaitan arah salat, Sa‘id Hawwa mengakui bahwa Allah menyaksikan hambanya dimana saja memalingkan muka. Maksudnya, apabila ada sesuatu yang 84 ه ج فصب ى جت ا م ب ق ى ع ا شإا ه أ ت فص عي جب ي جت ا ها ا Ibnu Arabi, Tafsir Ibnu Arabi Beirut:Dar al –Kutub al–Ilmiyah, 1427 H2006 M, Jilid 1, Cet. Ke–2, 71 85 Ittih}ad diibaratkan hamba bergerak menuju Tuhan sedangkan h}ulul, Tuhan turun memilih hamba. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cet. Ke –8, 89 86 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6,224 menghalangi arah kiblat maka bumi ini dapat dijadikan tempat salat sekalipun menghadap ke arah mana saja. 87 Pandangan Sa‘id Hawwa diatas masih menjadikan Ka’bah sebagai arah s}alat dalam keadaan normal. Sekalipun demikian, ia tetap longgar dalam hal masalah kiblat. Syarat yang dikemukakannya yaitu bila terhalang dari masjid, artinya diluar masjid atau dimana saja masih dibolehkan menghadapkan muka. Selanjutnya dikemukakannya penafsiran terkait zat Allah. Dalam tafsirnya dinyatakan pendapat Ibnu Kathir; ت اف ى عت هتا مأ م ع ا عي جب طيحم ى عت ه ع ه ف م ه م ي ا ى عت ه أ هق خ م ئيش ىف صحم . 88 Bahwa sesungguhnya wujud Allah tidak kosong dari tempat manapun, ilmunya meliputi seluruh yang diketahui. Adapun zatNya, tidak terbatas pada sesuatu dari makhluk ciptaanNya. Adapun makna ayat terkait dengan pengertian sufistik yaitu dalam hal mengenal akan zat Allah ي إا ا ا ف عم bahwa timur dan barat mencerminkan keberadaanNya. 89 Adapun zat Allah tidak terbatas pada satu tempat dari makhluknya. Dimanapun posisi seorang hamba memanjatkan doa, disitu ada wajah Allah maka ia akan kabulkan doanya. 90 Pengertian dari penafsiran ini membawa pemaham an bahwa zat Allah meliputi pada semua alam namun Sa‘id H{awwa tidak menjelaskan lebih jauh bentuk hubungan antara keberadaan Allah yang meliputi alam semesta. Secara tidak langsung penafsiran Sa‘id H{awwa mengakui bahwa zat Allah tercermin pada alam maka arah timur atau barat adalah menjadi tempat menghadapkan muka menuju Allah. Pengertian menghadapkan muka ditakwilkan 87 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6,224 88 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6,254 89 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6,224 90 Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6,254 juga sebagai keadaan dalam berdoa. Takwil demikian sangat dekat dengan makna zahir ayat. Alam sebagai cerminan Allah tidak berarti ia juga menjadi kekal dengan kekekalan Allah. Sa‘id Hawwa memberi alasan dengan menyebut ayat 88 surat al- Qas}as}, segala sesuatu pasti akan hancur melainkan wajah zat Allah tetap kekal. 91 Bila alam dianggap sebagai penampakan tajalli sifat Tuhan berarti itu bukan wujud Tuhan sesungguhnya sebab ia alam akan hancur sedangkan Tuhan tidak akan hancur selamanya. Bila di\cermati terhadap makna zahir ayat maka dipahami bahwa penafsiran Sa‘id H{awwa masih menggunakan takwil sejalan dengan pengertian ayat. Zat Allah yang dimaksud tetap pada posisinya, bukan menyatu pada manusia atau alam. Pengertian ini sesuai dengan kandungan ayat yang tidak tegas menunjukkan pada makna ittih}ad. Adapun Ibnu Arabi menggunakan takwilnya dengan memahami bahwa locus tersebut ada pada diri manusia. Ibnu Arabi dalam mengemukakan penafsirannya menggunakan pendekatan filsafat sehingga kesimpulan yang diberikannya sejalan dengan teori filsafat tentang wujud. 92 Sa‘id Hawwa menjelaskan bahwa zat Allah meliputi alam semesta tapi tidak ditegaskan dalam bentuk penyatuan artinya masih terpisah antara dua unsur. Hal ini menunjukkan bahwa Sa ‘id Hawwa tidak memiliki kecenderungan mengkaji tasawuf secara teoritis. Penafsiran sufistiknya ditujukan supaya mudah diamalkan, makanya karakteristik tafsir sufinya dikenal dengan tasawuf amali. Sebaliknya pada tafsir Ibnu Arabi, yang dipahami sebagai tasawuf falsafi dengan jelas menyatakan bahwa terjadinya penyatuan dua unsur pada manusia adalah dalam bentuk tajalli sifat Tuhan. 91 Lihat; QS. Al-Qas}as}: 88. Sa‘id H{awwa, al–Asas fi at–Tafsir Kairo: Darussalam, 1424 H2003 M, Jilid 1, Cet. Ke –6,254 92 Tiap-tiap sesuatu mempunyai dua aspek yaitu aspek luar al-Khalq dan aspek dalam al-Haq. Al-Haq pada makhluk bersatu dengan al-Khalq pada Tuhan. Ibaratnya Tuhan melihat alam sebagai cermin diriNya. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cet. Ke –8, 92. Kesatuan antara al-Haq Tuhan dan al-Khalq alam terlihat dalam konsep ontologis Ibnu Arabi. Disini tidak ada dualitas dalam arti yang sebenarnya tetapi dua aspek atau sifat dari satu wujud, dapat diibaratkan dengan cermin. Sementara dalam teori al-Hallaj masih terdapat dualitas Tuhan dan manusia. Kautsar Azhari Noer, Ibnu Arabi: Wah}datul Wujud dalam Perdebatan Jakarta: Paramadina, 1995, Cet.ke-1, 52 56 Secara metodologis, Sa‘id H{awwa sangat dekat dengan makna zahir dalam mengemukakan penafsiran sufistiknya, sedangkan Ibnu Arabi tidak memperhatikan demikian. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa metodologi penafsiran Sa‘id H{awwa dalam menggunakan makna ishari tetap berlandaskan pada makna zahir ayat. Selain itu ia juga mengemukakan pendapat para mufasir seperti Ibnu Kathir, untuk memperkaya penjelasannya.

D. Tafsir Ayat tentang Karamah