Makna zahir dan makna batin dalam tafsir sufi

kewajiban ditujukan kepada manusia. Bagi yang mengingkari wahyu Tuhan tentu akan celaka. 82 Keterangan Ibnu Arabi ini terkait juga dengan kebebasan manusia memilih jalan menuju keselamatan dunia akhirat. Bila semua agama memenuhi perintah penciptaan berarti baru tahap diizinkan Tuhan sedangkan terhadap agama yang memenuhi perintah kewajiban berarti masuk level diridhai Tuhan. Tidak mudah memang untuk memahami makna ishari yang dimunculkan para sufi, apalagi pemikiran sufi yang dipengaruhi ajaran filsafat. Sebetulnya para sufi karena didorong kecintaan kepada Tuhan sehingga memunculkan pikiran –pikiran mendalam yang dipahami lewat makna ishari yang sukar dipahami orang diluarnya. Baik makna sufi ishari atau sufi naz}ari berusaha melihat makna batin ayat dengan cara melakukan takwil. Dalam hal takwil yang digunakan para sufi dalam metode penafsirannya bisa diklasifikasikan pada takwil jauh dan dekat. 83 Bila sufi menggunakan takwil terlalu jauh dari pengertian lafaz}nya maka penafsirannya semakin sulit dipahami. Bila diperhatikan tudingan yang ditujukan pada penafsiran sufistik karena mengabaikan makna zahir dan itu seperti yang terjadi pada tafsir sufi naz}ari karena terpengaruh ajaran filsafat. Sedangkan pada tafsir sufi ishari penafsiran mereka cenderung mengakui makna zahir dan kemudian mengungkap isyarat yang yang tersembunyi dibalik pengertian zahir. Ketidak setujuan pengkritik tafsir sufi lebih diarahkan kepada penafsiran sufi naz}ari atau tafsir sufi falsafi seperti paham ittih}ad, h}ulul dan wah}datul wujud yang tidak bisa diterima para kelompok salafi –sunni.

2. Makna zahir dan makna batin dalam tafsir sufi

Dasar yang dipegang oleh para sufi dalam memahami ayat bahwa mereka sangat mengakui setiap ayat mengandung makna zahir dan batin. Seperti dijelaskan 82 Kautsar, Memahami Sufisme; Suatu Tanggapan terhadap Beberapa Tuduhan Bandung:Penerbit Angkasa –UIN Jakarta, 2003, Cet. Ke–1, 91 83 Abdul Warith M.Ali, Pengantar Tafsir Ibnu Arabi Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 14272006, Cet.ke-2,19. adh –Dhahabi, para sufi mengakui akan makna zahir ayat sebagaimana mereka juga mengakui makna batin ayat. Ketika menafsirkan makna batin mereka berpijak pada amalan ibadah yang dilakukan. Berkenaan dengan ini ada hadis yang diriwayatkan Daylami dari Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Nabi mengatakan Alquran berada dibawah ‘arsh, ia memiliki makna zahir dan batin. 84 Adapun yang dimaksud dengan zahir Alquran adalah lafaz Alquran yang tersusun dalam bahasa Arab, ini bisa dipahami secara umum oleh yang mengerti bahasa Arab. Sedangkan batinnya adalah maksud yang dikehendaki Allah diluar lafaz} dan struktur ayat. 85 Untuk yang terakhir hanya dapat dilakukan dengan menakwilkan ayat. Pernyataan yang disampaikan adh – Dhahabi diatas dan juga disepakatinya bahwa para mufasir tidak akan meninggalkan makna zahir dalam mengambil makna batin. Persoalan mengenai makna batin dan zahir bersinggungan dalam hal porsi yang diberikan masing –masing mufasir dalam mengakomodir makna zahir. Ada diantara mereka yang memberikan perhatian besar pada makna zahir ayat ada pula yang sebaliknya. Sehubungan dengan itu ada yang mengakui makna zahir tapi dalam tafsirnya tidak diterapkan. Seperti diakui oleh as –Sulami dalam tafsirnya, bahwa ia tidak menolak makna zahir tapi tafsir yang disusunnya hanya menghimpun berbagai pendapat ahli hakikat. 86 Untuk menafsirkan Alquran seseorang tidak dapat meninggalkan makna zahirnya, bagaimana bisa memahami makna batin bila tidak memahami pengertian lahirnya atau arti lafz}inya. Ibaratnya seperti kata ulama kalau ingin berada dalam masjid tentu melewati pintunya, tidak mungkin langsung ada di masjid. Artinya kalau mengaku berada dalam masjid tapi tidak melalui pintu berarti samahalnya menafsirkan ayat meninggalkan makna zahir. Adh –Dhahabi menegaskan, penafsiran tanpa melihat makna zahir adalah termasuk kelompok tafsir bat}iniyyah. Aliran batiniyah tidak mengakui makna zahir 84 د ع ا حي طب ظ ه ع ا تحت ا ق ا Adh–Dhahabi, at–Tafsir wa al-Mufassirun Kairo: Tp, 13961976,juz 2, 262 dan 4 85 Adh –Dhahabi, at–Tafsir wa al-Mufassirun Kairo: Tp, 13961976,juz 2, 265 86 Lihat, Adh –Dhahabi, at–Tafsir wa al-Mufassirun Kairo: Tp, 13961976,juz 2,285 Alquran, mereka hanya mengakui makna batin saja. Disamping itu penafsiran bat}iniyyah dalam menafsirkan Alquran juga bersandar hanya pada yang disepakati aliran mereka. Bentuk tafsir seperti ini digolongkan adh-Dhahabi tafsir sesat dan bid ‘ah. 87 Senada dengan itu, an –Nasafi menjelaskan dalam kitab al–‘Aqaid yang diberi komentar oleh Taftazani mengatakan bahwa para ahli batiniyah mengakui makna secara batin dan meninggalkan makna zahir. Sementara ahli hakikat memahami ayat secara batin dan zahir, itulah yang sempurna iman dan memperoleh pengetahuan ‘irfani. 88 Uraian diatas memberi kejelasan bahwa kekeliruan mufasir bat}iniyyah terletak pada penolakan mereka terhadap makna zahir. Ini berbeda sekali dengan metode tafsir sufi yang masih mengakui makna zahir. Alasan ini pula yang dapat kita tangkap bahwa penafsiran sufistik tidak bisa dikatakan tafsir batiniyah. Tafsir sufi lebih cenderung dikatakan dengan tafsir ishari untuk membedakan dengan tafsir bat}ini. Karena penafsiran sufistik mengungkap makna batin sesuai dengan isyarat yang terselubung yang dipahami oleh pelaku suluk disebutlah dengan tafsir sufi ishari. Disamping itu penafsiran sufistik yang mengungkap makna batin melalui kajian dan nalar maka disebut dengan tafsir sufi naz}ari. Berkaitan dengan makna batin dalam tafsir sufi, dijelaskan oleh Ahmad Abdurraziq al-Bakri sebagai muhaqqiq dalam tafsir at}-T{abari bahwa orientasi mufasir sufi dan bat}ini dua hal yang berbeda. Orientasi sufi lebih kepada dhauq pengalaman ruhani, ibadah yang bersandar pada zahir ayat. 89 Sementara bat}ini tidak melandaskan pada zahir ayat. Ada tiga hal yang harus dipenuhi terkait dengan makna batin. Pertama, bahwa makna batin masih sesuai dengan pemahaman secara makna zahir Alquran. Kedua ada ayat atau dalil shar‘i lain yang mendukung akan makna batin tersebut sehingga 87 Adh –Dhahabi, at–Tafsir wa al-Mufassirun Kairo: Tp, 13961976,juz 2, 264 88 Adh –Dhahabi, at–Tafsir wa al-Mufassirun Kairo: Tp, 13961976,juz 2, 264 89 Ahmad Abdurraziq al-Bakri, dkk,. Dalam Ibnu Jarir at}-T}abari, Ja mi’ al–Bayan fi Tafsir al-Quran Kairo: Darussalam, 14252005, Cet.Ke-1,ii makna batin tersebut tidak berlawanan dengan aturan shara ‘. Ketiga, makna batin tidak memberikan takwil menyimpang jauh. 90 Berkenaan dengan makna zahir dan makna batin dalam tafsir sufi melahirkan tafsir sufi naz}ari dan ishari. Secara umum tafsir sufi memahami ayat tidak saja berdasarkan pengertian lahir tapi juga menakwilkan ayat diluar makna zahir. Dalam mneggunakan takwil muncul dua jenis penerapan, pertama terkait dengan teori filsafat, kedua berangkat dari latihan rohani. Kalau dianalisis perkembangan tafsir sufi maka yang pertama melahirkan tafsir sufi naz}ari yang menafsirkan ayat berdasar teori filsafat dan pembahasan tasawuf bisa dikatakan ia kelompok sufi falsafi. Kedua, kelompok yang menafsirkan ayat berdasar riyad}ah ruh}ani atau menjalankan tarekat berarti ia dikatakan sufi ishari. Identifikasi ini dapat saja dilakukan simultan dialami oleh para sufi artinya disamping mereka membahas konsep tasawuf sekaligus juga sebagai pelaku tasawuf pengamal tarekat.

D. Aspek Kajian Tasawuf dalam Penafsiran Sufistik