Rencana makar Raden Panji Rukmamurti berhasil digagalkan dengan ditumpasnya pasukan tersebut dan ditangkapnya Rukmamurti
beserta Mandrawa. Pengadilan pun dilakukan di Bale Manguntur, dipimpin oleh Ratu Gayatri sendiri. Dari pengadilan itu diketahuilah
bahwa pembunuhan yang terjadi di dalam istana yang ditujukan untuk mengambinghitamkan Raden Cakradara dilakukan oleh Panji Wiradapa
agar tahta raja jatuh ke tangan Kudamerta. Serta dibukanya identitas asli Panji Rukmamurti yaitu Nyai Tanca, istri Ra Tanca. Dendamnya kepada
Gajah Mada yang telah membunuh suaminya dan kepada Dyah Wiyat yang selingkuh dengan suaminya membuatnya gelap mata dan
merancanakan makar. Mandrawa sendiri adalah salah satu anggota muda pasukan khusus Bhayangkara yang berkhianat akibat terjebak bujuk rayu
Nyai Tanca. Setelah menjatuhi hukuman kepada Nyai Tanca, Wiradapa, dan
Mandrawa, Ratu Gayatri memanfaatkan kesempatan ini untuk mengukuhkan status Dyah Wiyat sebagai istri sah dan satu-satunya Raden
Kudamerta demi keutuhan Kerajaan Majapahit dimasa depan. “Hamba belum pernah mengawini siapa pun, Tuan Putri,” jawab
Kudamerta dengan suara amat tegas. Dyah Menur yang mendengar pernyataan suaminya di depan
khalayak banyak mengukuhkan hatinya untuk memberikan suaminya tercinta kepada sekar kedaton. Dan pergi membawa bayi yang
dikhawatirkan Gajah Mada sebagai pembawa bencana bersama Pradhabasu.
B. Biografi Pengarang
Langit Kresna Hariadi lahir di Banyuwangi tahun 1959 sebagai anak bungsu dari keluarga besarnya. Ia banyak menghabiskan masa kanak-
kanaknya hingga tamat SD di desa bernama Tegaldlimo sebuah daerah di Banyuwangi, Jawa Timur. Jenjang SMP diselesaikan di Benculuk, SMA di
Genteng yang kemudian berlanjut ke IKIP di Surabayadengan mengambil
jurusan fisika. Hingga akhirnya Langit Kresna Hariadi memilih untuk tidak menamatkan kuliahnya. Sebuah kekecewaan dialami kakanya yang
telah membiayai studinya, tetapi sebuah berkah di balik itu semua karena sekarang telah menjadi pengarang yang hasilnya telah bisa untuk
memimpin hidup keluarganya sendiri.
1
Sekarang Langit Kresna Hariadi bertempat tinggal bersama keluarganya di Perumahan Korps Cacat Veteran Nomor 68 di daerah Jaten
Karanganyar. Tanah yang sekarang dibangun menjadi perumahan tersebut sebelumnya adalah milik almarhum Mantan Presiden Soeharto seluas
17.492 m
2
itu kemudian dibagi-bagikan kepada 136 anggota Yayasan Korps Cacat Veteran RI. Di rumah inilah Langit Kresna Hariadi sehari-
hari melakukan kegiatan menulisnya dan sekarang disibukkan dengan bolka-balik Solo-Jakarta karena ketiga seri novel Gajah Mada akan
diangkat ke layar lebar oleh Slamet Raharjo Djarot. Langit Kresna Hariadi kemudian menggubah ketiga seri novel Gajah Mada menjadi sebuah cerita
ringkas yang selanjutnya menjadi sebuah skenario film. Ketekunannya sebagai penulis inilah yang mengantarkannya menjadi orang yang dikenal
luas oleh berbagai kalangan.
2
Latar belakang keluarga yang biasa saja, tetapi terbiasa dengan semangat yang tinggi dalam memperjuangkan hidup. Pada awalnya pihak
keluarga tidak menyetujui ketika Langit Kresna Hariadi terjun menggeluti dunia tulis-menulis karena pemikiran pihak keluarga bahwa seorang suami
harus bekerja di kantor seperti orang-orang pada umumnya. Hal ini membuat Langit Kresna Hariadi tidak bergeming untuk melanjutkan
pemikirannya bahwa dengan menulis kelak akan bisa menghidupi keluarga. Keyakinan yang telah dibuktikan, novel pertamanya berjudul
Gajah Mada laris di pasaran, meskipun di dalamnya banyak terjadi berbagai kesalahan. Sebagai tanggung jawab ilmiah, novel pertama
1
Handoyo. Analisis Struktural Novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara dan Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi, skripsi mahasiswa Universitaas Sebelas
Maret, 2009. Dalam http:perpustakaan.uns.ac.id.
2
Ibid.
tersebut direvisi yang kemudian berjudul Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara
3
.
4
Latar Belakang seorang pengarang Langit Kresna Hariadi dalam mengangkat
karya dalam
novel Gajah
Mada adalah
karena keterpengaruhannya oleh gaya penceritaan novelis S.H. Mintardja pelopor
cerita silat. Hal ini adalah sebuah kewajaran, karena bagaimanapun juga seorang pengarang tidak akan pernah lepas pada apa yang pernah dibaca
atau ketertarikannya terhadap beberapa karya sastra yang terlanjur menjadi favoritnya sehingga secara sadar maupun tidak disadari turut memengaruhi
karya yang dihasilkannya.
5
Langit kemudian menekuni kepenulisan secara profesional ketika ia bekerja di radio PTPN Solo sebagai penulis naskah drama radio. Ia pindah
ke Sanggar Sakutala di Radio Roiska, kemudian ke Sanggar Prativi di Jakarta. Karena keterbiasaannya membuat naskah drama radio, ia pun bisa
mengetik secara cepat. Oleh karena itu, novel yang tebalnya beratus-ratus halaman dapat ia selesaikan dalam waktu tiga bulan.
Naskah awal novel Gajah Mada sebenarnya adalah naskah drama radio yang berjudul Dhuaja Bayangkara. Ia menulis naskah itu atas
perintah produser karena S. Tijab kelelahan. Namun, karena bisnis drama radio ambruk, naskah itu tidak disiarkan. Kemudian Langit mengubah
naskah drama itu ke dalam novel dan mencoba menawarkannya kepada dua penerbit, namun ditolak. Barulah pada saat ia menawarkan ke penerbit
Tiga Serangkai, naskahnya diterima dan judulnya diganti menjadi Gajah Mada.
Novel Gajah Mada awalnya tidak dibuat berseri. Tapi ketika telah diterbitkan novel tersebut mendapat sambutan yang antusias dari pembaca.
Akhirnya ia pun menyanggupi permintaan penerbit untuk membuat sekuel dari novel Gajah Mada. Namun, novel pertama Gajah Mada ternyata juga
menuai kritik pedas dari pembaca. Hal ini dikarenakan data-data yang
3
Selanjutnya mengalami revisi pada judul menjadi Gajah Mada: Tahta dan Angkara
4
Handoyo, Op.cit
5
Ibid.
Langit cantumkan di dalam novelnya banyak yang tidak akurat. Langit mengamini hal ini terjadi karena ia menulis novel tersebut tanpa riset yang
benar. Dari situlah keempat sekuel novel Gajah Mada ia buat berdasarkan riset yang sungguh-sungguh guna tidak adanya kesalahinformasian kepada
pembaca. Selain menelaah dari buku atau internet, Langit juga mendatangi
situs-situs bersejarah yang mendukung tulisannya. Ia pergi ke Sapih di daerah Probolinggo, yang termasuk wilayah Madakaripura dan di sana
terletak prasasti Sumpah Palapa. Kemudian ia ke Singapura untuk membayangkan armada Majapahit di wilayah Tumasek. Ia juga ke situs
Karang Kamulyan yang diperkirakan tempat berdirinya Kerajaan Sunda Galuh. Namun, ia kesulitan menetapkan lokasi di mana perang Bubat
berlangsung. Karena masih ada polemik mengenai letak lapangan Bubat. Langit juga dibantu oleh Yayasan Peduli Majapahit untuk mendapatkan
akses data mengenai situasi Majapahit berdasarkan rekonstruksi Henry Maclaine Pont, seorang peneliti dan arsitek dari Belanda. Dari situ ia
dapat membayangkan bahwa Kerajaan Majapahit sangat besar. Ia melihat balai prajurit majapahit yang telah dipugar oleh Kodam Brawijaya sangat
megah, berarti istana Majapahit pasti lebih megah dan besar. Menurut Langit, Majapahit bisa dikatakan sebagai pemersatu atau
agresor. Tapi Majapahit tidak mungkin menyerang jika tidak ada sebab. Jika suatu wilayah tidak ingin bergabung dengan kerajaan Majapahit
dengan sukarela, barulah melancarkan serangan. Hal ini dikarenakan Gajah Mada tidak ingin peristiwa Tarta menyerang Singasari terulang lagi,
maka ia pun berambisi menyatukan seluruh nusantara di bawah panji Majapahit. Masalah penyerangan, Langit membeberkan bahwa formasi
perang ia adopsi dari cerita pewayangan Baratayudha walaupun sebenarnya pada masa itu formasi perang belum ada.