Analisis Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada:

Sigap Gajah Mada memberikan sembahnya. Tugas yang sangat berat itu telah digenggam dan siap untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka demikianlah, dengan jelas dan gamblang Patih daha Gajah Mada melaporkan yang terjadi, siapa saja orang yang terbunuh dan kemungkinan kepentingan apa saja yang berada di belakang rentetan kejadian itu. Tegas dan penuh keyakinan Patih Daha Gajah Mada menyebut, apa yang terjadi itu merupakan tanda-tanda terjadinya perebutan kekuasaan. Di belakang Raden Cakradara ada pihak yang bermain, ingin menunggangi dan memanfaatkan Raden Cakradara. 140 Selain tema sentral yang telah disinggung di atas, dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara ini juga memiliki tema sampingan yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Langit Kresna Hariadi menggunakan tema percintaan dan dendam sebagai bumbu dalam novel ini. Cinta terlarang yang dimiliki Raden Kudamerta kepada istrinya Dyah Menur, seorang perempuan dari kalangan rakyat biasa, menjadikan konflik peralihan kekuasaan ini menjadi lebih rumit. ....Raden Kudamerta yang oleh Ratu Gayatri dianugrahi gelar Sri Wijaya Rajasa Sng Apanji Wahninghyun itu tidak mampu memusatkan perhatiannya pada rangkaian acara yang diikutinya. Ketika mata Kudamerta terpejam, selalu muncul wajah seseorang yang amat mencuri dan menyita perhatiannya. Wajah itu wajah perempuan yang dipelukannya ada bayi yang tengah menyusu. 141 “Aku meminta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan,” jawab Raden Kudamerta. 142 Panji Wiradapa yang merupakan paman Kudamerta menculik Dyah Menur. Hal ini dilakukan Panji Wiradapa untuk memaksa Kudamerta agar menikahi Dyah Wiyat, seorang Sekar Kedaton kerajaan besar. Dengan adanya peristiwa terbunuhnya Sri Jayanegara, Panji Wiradapa semakin membenarkan alasannya sendiri untuk menawan Dyah Menur, karena dengan begitu kesempatan Dyah Wiyat mewarisi dampar istana menjadi lebih besar. Jika Dyah Wiyat menjadi ratu, maka otomatis Kudamerta mejadi seorang raja. Jika Kudamerta 140 Ibid, hlm. 241-242 141 Ibid, hlm. 149 142 Ibid, hlm. 266 menjadi orang nomor satu di Majapahit, maka kemungkinan Panji Wiradapa menjadi orang nomor dua, yaitu Mahapatih, akan terwujud. “Kau bisa menjadi raja, Kudamerta. Manfaatkanlah kesempatan yang sangat langka ini. Mulai sekarang bermainlah dengan cantik. Untuk meraih gegayuhan itu memerlukan pengorbanan. Untuk sebuah tujuan yang sangat kau yakini, kau bahkan harus menggunakan dan membenarkan cara apa pun. Mulai menyusun rencana dari sekarang, kau bisa memanfaatkan hubunganmu dengan Tuan Putri,” lanjut orang itu. 143 Bila berkaca pada brenggala, dahulu Panji Wiradapa pernah menggantungkan cita-citanya setinggi langit. Jabatan keprajuritannya kali ini hanyalah sebgai lurah prajurit, padahal Panji Wiradapa merasa dirinya pantas menjadi seorang patih, orang kedua setelah raja. Karena mimpi untuk menjadi orang penting itu ternyata tidak terwujud, cukuplah orang lain yang mewakilinya. Asal bisa melihat Raden Kudamerta menjadi raja maka puaslah rasanya. Ki Panji merasa cita-cita itu telah terwakili. 144 “Kau harus bermimpi, Kudamerta,” ucap Panji Wiradapa tegas, tetapi dalam nada bisik. “Kau harus menggantungkan angan- anganmu setinggi langit. Akan tetapi, tidak sekadar bermimpi, jauh lebih penting dari itu, kau harus berusaha dengan keras mewujudkanmimpi itu menjadi kenyataan. Kau punya peluang itu, kau bisa menjadi raja, menjadi orang tedepan. Kini saatnya, gunakan kesempatan yang terbu ka jelas di depan matamu.” 145 Dan dari cinta terlarang ini jugalah yang menjadikan Gajah Mada merasa kekhawatirannya akan kestabilan kekuasaan trah murni Raden Wijaya, karena Raden Kudamerta dan Dyah Menur memiliki seorang putra. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi peralihan kekuasaan di masa yang akan datang. Selain itu, hal ini berarti Raden Kudamerta menempatkan Dyah Wiyat sebagai istri kedua. Kesalahan yang sangat fatal Betapa remuk hati Menur yang merasa harus melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kata hatinya. Namun, melawan kehendak orang itu akan berakibat buruk bagi dirinya. Laki-laki itu sangat kejam. Ancaman akan menyakiti dirinya bukan ancaman paling kejam, ancaman terhadap anaknyalah yang justru sangat mengerikan, apabila tidak dituruti apa yang menjadi kehendaknya, nyawa anaknya menjadi taruhan. Setiap kali ia 143 Ibid, hlm. 52 144 Ibid, hlm. 54 145 Ibid melawan, ancaman terhadap anaknya yang akan dihadapi. Laki- laki tua itu tak segan-segan akan membuktikan ancamannya. 146 ...Kekuatan derajat yang dimiliki Raden Kudamerta tak cukup untuk digunakan mempersoalkan masalah itu. Dyah wiyat anak raja, anak kandung Raden wijaya, Raja Majapahit yang gung binatara, sementara Kudamerta hanyalah pewaris kekuasaan Pamotan, penguasa wilayah yang kecil saja. Ketika berniat menjamah, Raden Kudamerta harus menyembah lebih dulu.... 147 Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang bersedekap berbalik. “Boleh tahu siapa nama istrimu itu, Kakang?” tanya Dyah Wiyat. Raden Kudamerta sungguh bingung, tak tahu bagaimana cara menjawab. “atau, akan kau sembunyikan istrimu itu selamanya dariku?” 148 ....Dyah Wiyat tidak merasa terpanggil untuk segera memberikan pertolongan. Rahasia yang disembunyikan laki-laki itu, rahasia yang kini bukan rahasia lagi, bahwa ia telah beristri saat mengawini dirinya, sungguh merupakan pelecehan yang tak akan terampunkan. 149 Namun, tidak hanya Raden Kudamerta saja yang memiliki cinta terlarang. Dyah Wiyat pun menyimpan cinta kepada pria beristri, mantan pemberontak, dan pembunuh Sri Jayanegara: Ra Tanca. Kisah cinta terlarang mereka telah dimulai secara diam-diam. Dyah Wiyat yang seorang Sekar Kedaton tentu saja mengetahui bahwa hubungannya dengan Ra Tanca yang seorang mantan pemberontak tidak akan disetujui keluarganya, terutama Sri Jayanegara sendiri. Dan benar Ketika Sri Jayanegara mengetahui hubungan terlarang Dyah Wiyat dengan Ra Tanca ia menjadi murka. Walaupun kemurkaan itu hanya diketahui oleh Ra Tanca seorang. Penolakan Sri Jayanegara diterima Ra Tanca dengan sangat pahit, sehingga memicu keputusan Ra Tanca untuk mengulang dosa lamanya sembilan tahun silam: makar. Ra Tanca bekerja sama dengan istrinya, Nyai Tanca, dan Panji Wiradapa merencanakan merebut dampar istana. Rencana makar ini pun dimulai pada saat Ra Tanca yang ketika itu dipanggil ke istana untuk mengobati Sri Jayanegara yang sedang 146 Ibid, hlm. 105 147 Ibid, hlm. 237 148 Ibid, hlm. 266 149 Ibid sakit, namun justru meracuni Sri Jayanegara hingga tewas, walau hal ini dibayar dengan nyawa Ra Tanca sendiri. Kabar cinta terlarang antara Dyah Wiyat dan Ra Tanca ternyata telah menjadi rahasia umum di kerajaan Majapahit, bahkan sampai ke telinga istri Ra Tanca, Nyai Tanca. Nyai Tanca memiliki cinta yang teramat besar kepada Ra Tanca, tidak memercayai suaminya berselingkuh tanpa digoda oleh wanita lain dan ia beranggapan Dyah Wiyatlah akar dari pohon perselingkuhan itu. Nyai Tanca beranggapan Dyah Wiyat merebut suaminya dari pelukannya. Sehingga ia menjadi sangat membenci Dyah Wiyat, sampai kematian Ra Tanca pun ia anggap disebabkan oleh Dyah Wiyat. Sehingga memicu Nyai Tanca melakukan percobaan pembunuhan kepada Dyah Wiyat dengan mengirimkan sekeranjang buah mangga yang di dalamnya dimasukkan ular bandotan yang sangat beracun. “Segenap rakyat memuji Sri Jayanegara sundul langit sebagai raja yang adil bijaksana, berbudi bawa laksana, ambek adil paramarta. Tidak ada seorang pun yang tahu raja macam apa Jayanegara yang menggerayangi semua perempuan. Laki-laki macam itu tidak pantas menjadi panutan dan sesembahan. Sementara adik perempuan Sri Jayanegara, kebanggaan macam apa yang dimiliki oleh Sekar Kedaton yang selalu mengganggu ketentraman rumah tangga orang. Bagaimana penilaian khalayak ramai apabila mereka mengetahui perempuan macam apa Dyah wiyat Rajadewi Maharajasa yang tidak punya urat malu, masih terus mengusik Kakang Ra Tanca meski telah beristri?” 150 “Aku yang menerima, Ki Patih,” jawab abdi dalem itu. “Aku menerimanya dari seorang laki-laki berkuda. Orangnya masih muda dan sangat tampan. Orang itu meminta aku menyerahkan sekeranjang mangga ini kepada Tuan Putri Dyah Wiyat.” 151 “Orang itu tidak menyebut nama dan asalnya. Hanya itu pesannya dan orang itu pun pergi. Aku sungguh tidak menyangka di bawah buah mangga ada tiga ekor ular itu.” 152 “Perempuan tidak tahu malu. Pengganggu ketentraman rumah tangga orang. Seharusnya kamu mati dipatuk ular itu,” umpat Nyai Tanca yang mendadak liar itu. 153 150 Ibid, hlm. 309 151 Ibid, hlm. 342 152 Ibid, hlm. 343 153 Ibid, hlm. 496 Majapahit adalah sebuah negara yang berbentuk monarki. Monarki adalah bentuk negara yang dalam pemerintahannya hanya dikuasai dan diperintah yang berhak memerintah oleh satu orang saja. Dalam hal ini, Majapahit diperintah oleh seorang raja. Menurut Machiavelli, monarki terbagi menjadi dua jenis, yaitu monarki warisan yang telah lama ada dan monarki baru. Pada masa awal terbentuknya Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya, Majapahit berbentuk monarki baru. Namun, ketika kekuasaan diwariskan kepada keturunan Raden Wijaya, maka seketika Majapahit berubah bentuk menjadi monarki warisan. Majapahit sebagai negara monarki menempatkan raja dan kerabatnya terpisah dari lapisan masyarakat lainnya, baik karena mereka memiliki hak istimewa atau karena kepercayaan rakyatnya yang menganggap raja adalah jelmaan dewa. Kerajaan Majapahit seperti halnya kerajaan nusantara pada umumnya, menganut sistem pemerintahan monarki turun-temurun. Tipe monarki ini adalah tipe yang umum, di mana ahli waris laki-laki yang tertua biasanya menjadi raja, menggantikan raja atau ayahnya sendiri. Dalam kasus kerajaan Majapahit, raja pertama, Raden Wijaya, sebagai pendiri kerajaan Majapahit, setelah wafat digantikan oleh putra mahkota, Sri Jayanegara, sebagai raja. Namun, setelah Sri Jayanegara wafat tanpa keturunan seorang pun, maka tahta diwariskan kepada adiknya. Pewarisan tahta inilah yang berujung konflik, di mana pewaris itu bukanlah laki-laki melainkan perempuan. Mengapa konflik? Sri Gitarja, sang kakak, seharusnya yang lebih berhak mendapatkan tahta kerajaan dan menjadi ratu, namun sifatnya yang sangat lembut dianggap menjadi hambatan dalam menjalankan pemerintahan yang menbutuhkan tangan besi. Dyah Wiyat, sang adik, mewarisi sifat kepemimpinan Raden Wijaya, namun sebagai adik ia tidak bisa begitu saja diangkat menjadi ratu. Hal ini dikarenakan karena sistem monarki turun-temurun. Di samping itu, walaupun Sri Gitarja dan Dyah Wiyat seorang Sekar Kedaton yang berhak mewarisi tahta kerajaan, mereka tetap harus mematuhi orang yang kelak akan menjadi suami mereka, dalam hal ini adalah Raden Cakradara dan Raden Kudamerta. Sesuai dengan nilai yang ditanamkan kepada kedua Sekar Kedaton semenjak kecil, walaupun mereka Sekar Kedaton mereka harus tunduk, patuh, dan taat kepada suami mereka kelak. Hal inilah yang menjadikan kekhawatiran Patih Gajah Mada terhadap kemurnian pewaris tahta kerajaan. Karena, ketika salah satu Sekar Kedaton diangkat menjadi ratu, dalam menjalankan pemerintahan mereka akan sangat mendengarkan pendapat suami mereka, bahkan tidak menutup kemungkinan suami merekalah nanti yang akan menjalankan pemerintahan di balik bahu istri mereka yang seorang ratu. Jika hal ini terjadi, maka suami Sekar Kedaton menjadi seorang “raja”. Padahal Raden Cakradara maupun Raden Kudamerta adalah pihak yang berada di luar trah Raden Wijaya sebagai pewaris sah kerajaan Majapahit. Di samping itu, pihak-pihak pendukung di belakang Raden Cakradara dan Raden Kudamerta dapat mempengaruhi kedua Raden dalam menyumbangkan pendapat mengenai kebijakan pemerintahan yang dijalankan Sekar Kedaton. Dengan begitu, kepentingan kedua pihak dapat mengotori kebijakan Sekar Kedaton dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini menjadi kekhawatiran Gajah Mada, karena Majapahit adalah negara monarki mutlak, di mana kehendak raja adalah hukum. Kestabilan pemerintahan akan goyah jika hukum-hukum tersebut menguntungkan suatu kelompok dalam hal ini orang-orang di balik Raden Kudamerta atau Raden Cakradara. Politik kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari tubuh manusia karena akhirnya kepentingannya adalah mendapatkan kepatuhan. Kekuasaan adalah kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang lain, memaksa dan mengendalikan mereka sampai mereka patuh, mencampuri kebebasannya dan memaksakan tindakan-tindakan dengan cara-cara yang khusus. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Oleh karena itu, sejak periode kerajaan seperti Majapahit sampai era pemerintahan modern kekuasaan merupakan hal yang selalu diperebutkan karena sebagai alat mengontrol suatu pemerintahan. Tujuan kekuasaan yaitu memberi struktur kegiatan manusia dalam masyarakat dan selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu disebut institusional kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Pihak-pihak di balik Raden Cakradara dan Raden Kudamerta sadar bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja khususnya kerajaan besar seperti Majapahit adalah kekuasaan potensial, oleh karena itu mereka memutuskan ingin menguasai dampar Kerajaan Majapahit. Majapahit memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti daerah kekuasaan yang luas, kekayaan yang didapat dari upeti tiap-tiap daerah kekuasaan yang yang banyak, bala tentara yang mumpuni dan persenjataan lengkap yang siap digunakan untuk menaklukan daerah baru atau untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan. Kekuasaan raja Majapahit juga merupakan kekuasaan eksplisit dan langsung, di mana pengaruh dari kekuasaan itu jelas terlihat dan dapat dirasakan secara langsung. Karena perkataan raja yang dipercaya jelamaan dewa adalah hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat Majapahit. Keyakinan bahwa raja merupakan penjelmaan dewa jga menjadikan raja Majapahit memiliki reverent power. Karena rakyat akan menjadikan raja sebagai panutan simbol dari perilaku mereke. Karena hal-hal inilah Panji Wiradapa melakukan berbagai macam cara agar keponakannya, Raden Kudamerta, menjadi raja Majapahit. Panji Wiradapa memaksa Raden Kudamerta menikahi Dyah Wiyat agar kemungkinan Kudamerta menjadi raja semakin besar. Namun, di sisi lain, Panji Wiradapa juga menyadari bahwa Dyah Wiyat yang seorang Sekar Kedaton tidak mungkin mewarisi tahta jika kakak laki- lakinya, Sri Jayanegara masih hidup. Oleh karena itu, Panji Wiradapa juga telah memiliki rencana dengan Ra Tanca dan Nyai Tanca untuk melakukan makar. Langkah pertama makar tersebut adalah dengan membunuh Sri Jayanegara oleh racun yang dibuat oleh ahli racun terkemuka se-Majapahit, Ra Tanca. Setelah Sri Jayanegara wafat, masih ada pihak yang harus disingkirkan Panji Wiradapa agar Dyah Wiyat mendapatkan tahta. Ia juga harus menyingkirkan Sri Gitarja, kakak perempuan Dyah Wiyat. Karena walaupun sama-sama perempuan, Sri Gitarja lebih tua daripada Dyah Wiyat, jadi jika Sri Jayanegara Wafat maka yang lebih berhak mendapatkan tahta adalah Sri Gitarja. Untuk mencegah hal itu, Panji Wiradapa memasang jebakan berupa fitnah-fitnah pembunuhan dilingkungan istana yang mengarah kepada calon suami Sri Gitarja, Raden Cakradara. Bahkan Panji Wiradapa membayar pembunuh bayaran yang merupakan mantan anggota pasukan Bhayangkara untuk melukai keponakannya sendiri, Raden Kudamerta, dengan tujuan untuk memfitnah Raden Cakradara. Hal ini dilakukan Panji Wiradapa karena ia tahu sifat Sri Gitarja yang terlalu baik hati. Jika Sri Gitarja tahu calon suaminya adalah dalang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di istana, maka Sri Gitarja akan menyerahkan haknya sebagai pewaris tahta kepada adiknya, Dyah Wiyat, dengan sukarela. Jika Sri Gitarja menyerahkan tahtanya kepada Dyah Wiyat, maka Dyah Wiyat pun akan dinobatkan menjadi ratu Majapahit, dan suaminya Raden Kudamerta menjadi raja. Jika Raden Kudamerta menjadi raja, maka ambisi Panji Wiradapa menjadi Mahapatih juga akan terwujud.

C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sastra

Indonesia di Sekolah Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan berbahasa. Sastra dapat membantu pendidikan secara utuh karena sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, rasa dan karsa, menunjang pembentukan watak, mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi. Jika kita mengacu pada solusi yang dikemukakan Jakob Sumardjo, yaitu pengadaan buku-buku penuntun yaitu karya sastra serius di sekolah, maka proses pembelajaran sastra di sekolah akan lebih maksimal. Melalui karya sastra, kita diajak untuk melihat fenomena- fenomena yang terjadi di dalam masyarakat dengan kacamata yang berbeda, yaitu sastra. Sebuah karya sastra yang baik bukan hanya dapat menghibur, tapi juga dapat membuka pikiran kita kan kemungkinan-kemungkinan lain dalam menjalani hidup. Asahan emosi dan logika bisa kita dapatkan melalui karya sastra khususnya novel. Jika dikaitkan dengan novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara, pendidik dapat memberikan alternatif pembelajaran yang diharapkan dapat memotivasi peserta didik dalam mempelajari disiplin ilmu yang lain. Selain peserta didik dapat lebih memahami dalam menganalisis unsur intrinsik di dalam novel, peserta didik dapat lebih memahami sejarah Nusantara khususnya pada masa Kerajaan Majapahit. Selain itu, peserta didik diharapkan dapat terbantu dalam menganalisis lebih lanjut pengaplikasian ilmu politik dalam suatu pemerintahan. Di mana ketika suatu pemerintahan mengalami pergantian kekuasaan, maka pada saat itulah kestabilan negara terusik. Dengan mempelajari hal ini, diharapkan peserta didik memiliki bekal dalam menganalisis bahkan berpartisipasi aktif dalam sistem politik di Indonesia. Sehingga diharapkan ke depannya, peserta didik akan menjadi pemimpin Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang.

BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan analisis yang diuraikan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Unsur intrinsik dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi ini terdiri dari: tema, yaitu perebutan kekuasaan; alurnya merupakan alur campuran; perwatakan para tokoh; latar dalam novel; sudut pandang yang digunakan dalam hal ini sudut pandang orang ketiga; gaya bahasa yang digunakan pengarang seperti penggunakan bahasa Jawa, pemakaian ulasan, dan gaya bertutur yang lugas dan tegas namun sederhana. 2. Dalam penelitian ini, peneliti menguraikan tema novel tentang perebutan kekuasaan. Tema perebutan kekuasaan menjadi tema utama dalam novel ini, namun novel ini juga memiliki tema sampingan seperti tema percintaan dan dendam. Perebutan kekuasaan terjadi karena sistem monarki turun-temurun yang berlaku di kerajaan Majapahit di mana garis keturunan laki-laki yang menggantikan raja sebelumnya. Namun, setelah meninggalnya Sri Jayanegara, pewaris tahta Majapahit dua Sekar Kedaton: Sri Gitarja dan Dyah Wiyat. Namun, pemilihan pewaris tahta selanjutnya tidak hanya berkisar apakah sang kakak, Sri Gitarja, yang lebih berhak mewarisi tahta sesuai dengan sistem monarki, namun tidak memiliki aura pemimpin, atau sang adik, Dyah Wiyat, yang mewarisi sifat-sifat Raden Wijaya. Tapi juga masalah latar belakang calon suami mereka dan orang-orang di belakang calon suami mereka. Yang kemudian diketahui bahwa paman dari Raden Kudamerta, Panji Wiradapa, yang paling berambisius menjadikan Raden Kudamerta, suami Dyah Wiyat, sebagai raja. Ia melakukan penculikan, pembunuhan, dan bekerja sama dengan Ra Tanca dan Nyai Tanca untuk merencanakan makar. Hal ini dilakukan paman Raden Kudamerta karena posisi raja memiliki kekuasaan potensial. 3. Penelitian ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek membaca. Dalam pembelajaran sastra ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialah menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta menemukan tema dalam novel tersebut. Setelah dapat menemukan tema, peserta didik diharap dapat memahami tema tersebut dan mengaplikasikannya dalam terapan ilmu disiplin yang lain. Sehingga pelaksanaan pembelajaran peserta didik dapat lebih bervariatif dan menyenangkan.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti dapat memberi beberapa saran yang diharapakan dapat menjadi salah satu upaya konsrtuktif dalam mengembangkan konsep pendidikan di Indonesia. 1. Dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara, pengarang ingin menceritakan kepada kita peristiwa sejarah pada masa Kerajaan Majapahit. Pada era globalisasi sekarang ini, para peserta didik sudah melupakan dan tidak memedulikan peristiwa sejarah bangsanya sendiri. Padahal banyak yang bisa dipelajari dari peristiwa lampau dan dapat dijadikan acuan penerapan kebijakan di era kekinian. 2. Pengarang juga ingin menyampaikan peristiwa perebutan kekuasaan yang telah terjadi sejak masa lampau. Bagaimana konflik-konflik itu terjadi, dan bagaimana cara mengatasinya. Hal ini dapat dijadikan pembelajaran bagi peserta didik sebagai calon penerus bangsa di masa yang akan datang, bagaimana intrik-intrik politik mengenai pemerintahan dan kekuasaan terjadi.

Dokumen yang terkait

Citra Kuasa Wanita Jawa: Telaah Feminisme Kekuasaan dalam Novel Perang Paregrek Karya Langit Kresna Hariadi

0 6 20

Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA

45 364 133

Sarana retorika pada alur utama dan alur bawahan dalam Novel Gajah Mada: takhta dan angkara karya Langit Kresna Hariadi Indonesia Kelas XII

20 401 231

Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir karya Clara Ng dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

0 17 158

Karakter Ayah dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

1 19 113

Kebudayaan Tionghoa dalam novel dimsum terakhir karya Clarang dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia Di SMA

0 7 158

ANALISIS GAYA BAHASA DALAM NOVEL RATU KECANTIKAN KARYA LANGIT KRESNA HARIADI EDISI 2010 Analisis Gaya Bahasa dalam Novel Ratu Kecantikan Karya Langit Kresna Hariadi Edisi 2010.

0 1 12

BAB 1 PENDAHULUAN Analisis Gaya Bahasa dalam Novel Ratu Kecantikan Karya Langit Kresna Hariadi Edisi 2010.

0 2 5

NOVEL KIAMAT PARA DUKUN KARYA LANGIT KRESNA HARIADI; KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA, NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DAN RELEVANSINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA.

0 0 15

ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM NOVEL MENAK JINGGO SEKAR KEDATON KARYA LANGIT KRESNA HARIADI (Kajian Sosiologi Sastra, Nilai Pendidikan Karakter, dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra di SMA).

0 0 19