Analisis Tema Perebutan Kekuasaan dalam Novel Gajah Mada:
Sigap Gajah Mada memberikan sembahnya. Tugas yang sangat berat itu telah digenggam dan siap untuk dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, maka demikianlah, dengan jelas dan gamblang Patih daha Gajah Mada melaporkan yang terjadi, siapa saja orang
yang terbunuh dan kemungkinan kepentingan apa saja yang berada di belakang rentetan kejadian itu. Tegas dan penuh
keyakinan Patih Daha Gajah Mada menyebut, apa yang terjadi itu merupakan tanda-tanda terjadinya perebutan kekuasaan. Di
belakang Raden Cakradara ada pihak yang bermain, ingin menunggangi dan memanfaatkan Raden Cakradara.
140
Selain tema sentral yang telah disinggung di atas, dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara ini juga memiliki tema sampingan
yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Langit Kresna Hariadi menggunakan tema percintaan dan dendam sebagai bumbu
dalam novel ini. Cinta terlarang yang dimiliki Raden Kudamerta kepada istrinya Dyah Menur, seorang perempuan dari kalangan rakyat
biasa, menjadikan konflik peralihan kekuasaan ini menjadi lebih rumit.
....Raden Kudamerta yang oleh Ratu Gayatri dianugrahi gelar Sri Wijaya Rajasa Sng Apanji Wahninghyun itu tidak mampu
memusatkan perhatiannya pada rangkaian acara yang diikutinya. Ketika mata Kudamerta terpejam, selalu muncul wajah seseorang
yang amat mencuri dan menyita perhatiannya. Wajah itu wajah perempuan yang dipelukannya ada bayi yang tengah menyusu.
141
“Aku meminta maaf, Dyah Wiyat. Aku tak berniat menyembunyikan hal itu. Aku bahkan ingin meluruskan
perkawinan ini sejak awal, tetapi aku tidak punya pilihan,” jawab Raden Kudamerta.
142
Panji Wiradapa yang merupakan paman Kudamerta menculik Dyah Menur. Hal ini dilakukan Panji Wiradapa untuk memaksa
Kudamerta agar menikahi Dyah Wiyat, seorang Sekar Kedaton kerajaan besar. Dengan adanya peristiwa terbunuhnya Sri Jayanegara,
Panji Wiradapa semakin membenarkan alasannya sendiri untuk menawan Dyah Menur, karena dengan begitu kesempatan Dyah Wiyat
mewarisi dampar istana menjadi lebih besar. Jika Dyah Wiyat menjadi ratu, maka otomatis Kudamerta mejadi seorang raja. Jika Kudamerta
140
Ibid, hlm. 241-242
141
Ibid, hlm. 149
142
Ibid, hlm. 266
menjadi orang nomor satu di Majapahit, maka kemungkinan Panji Wiradapa menjadi orang nomor dua, yaitu Mahapatih, akan terwujud.
“Kau bisa menjadi raja, Kudamerta. Manfaatkanlah kesempatan yang sangat langka ini. Mulai sekarang bermainlah dengan
cantik. Untuk meraih gegayuhan itu memerlukan pengorbanan. Untuk sebuah tujuan yang sangat kau yakini, kau bahkan harus
menggunakan dan membenarkan cara apa pun. Mulai menyusun rencana dari sekarang, kau bisa memanfaatkan hubunganmu
dengan Tuan Putri,” lanjut orang itu.
143
Bila berkaca pada brenggala, dahulu Panji Wiradapa pernah menggantungkan
cita-citanya setinggi
langit. Jabatan
keprajuritannya kali ini hanyalah sebgai lurah prajurit, padahal Panji Wiradapa merasa dirinya pantas menjadi seorang patih,
orang kedua setelah raja. Karena mimpi untuk menjadi orang penting itu ternyata tidak terwujud, cukuplah orang lain yang
mewakilinya. Asal bisa melihat Raden Kudamerta menjadi raja maka puaslah rasanya. Ki Panji merasa cita-cita itu telah
terwakili.
144
“Kau harus bermimpi, Kudamerta,” ucap Panji Wiradapa tegas, tetapi dalam nada bisik. “Kau harus menggantungkan angan-
anganmu setinggi langit. Akan tetapi, tidak sekadar bermimpi, jauh lebih penting dari itu, kau harus berusaha dengan keras
mewujudkanmimpi itu menjadi kenyataan. Kau punya peluang itu, kau bisa menjadi raja, menjadi orang tedepan. Kini saatnya,
gunakan kesempatan yang terbu
ka jelas di depan matamu.”
145
Dan dari cinta terlarang ini jugalah yang menjadikan Gajah Mada merasa kekhawatirannya akan kestabilan kekuasaan trah murni Raden
Wijaya, karena Raden Kudamerta dan Dyah Menur memiliki seorang putra. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi peralihan kekuasaan di
masa yang akan datang. Selain itu, hal ini berarti Raden Kudamerta menempatkan Dyah Wiyat sebagai istri kedua. Kesalahan yang sangat
fatal
Betapa remuk hati Menur yang merasa harus melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kata hatinya. Namun, melawan
kehendak orang itu akan berakibat buruk bagi dirinya. Laki-laki itu sangat kejam. Ancaman akan menyakiti dirinya bukan
ancaman paling kejam, ancaman terhadap anaknyalah yang justru sangat mengerikan, apabila tidak dituruti apa yang menjadi
kehendaknya, nyawa anaknya menjadi taruhan. Setiap kali ia
143
Ibid, hlm. 52
144
Ibid, hlm. 54
145
Ibid
melawan, ancaman terhadap anaknya yang akan dihadapi. Laki- laki tua itu tak segan-segan akan membuktikan ancamannya.
146
...Kekuatan derajat yang dimiliki Raden Kudamerta tak cukup untuk digunakan mempersoalkan masalah itu. Dyah wiyat anak
raja, anak kandung Raden wijaya, Raja Majapahit yang gung binatara, sementara Kudamerta hanyalah pewaris kekuasaan
Pamotan, penguasa wilayah yang kecil saja. Ketika berniat menjamah, Raden Kudamerta harus menyembah lebih dulu....
147
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang bersedekap berbalik. “Boleh tahu siapa nama istrimu itu, Kakang?” tanya Dyah Wiyat.
Raden Kudamerta sungguh bingung, tak tahu bagaimana cara menjawab.
“atau, akan kau sembunyikan istrimu itu selamanya dariku?”
148
....Dyah Wiyat tidak merasa terpanggil untuk segera memberikan pertolongan. Rahasia yang disembunyikan laki-laki itu, rahasia
yang kini bukan rahasia lagi, bahwa ia telah beristri saat mengawini dirinya, sungguh merupakan pelecehan yang tak akan
terampunkan.
149
Namun, tidak hanya Raden Kudamerta saja yang memiliki cinta terlarang. Dyah Wiyat pun menyimpan cinta kepada pria beristri,
mantan pemberontak, dan pembunuh Sri Jayanegara: Ra Tanca. Kisah cinta terlarang mereka telah dimulai secara diam-diam. Dyah Wiyat
yang seorang Sekar Kedaton tentu saja mengetahui bahwa hubungannya dengan Ra Tanca yang seorang mantan pemberontak
tidak akan disetujui keluarganya, terutama Sri Jayanegara sendiri. Dan benar Ketika Sri Jayanegara mengetahui hubungan terlarang Dyah
Wiyat dengan Ra Tanca ia menjadi murka. Walaupun kemurkaan itu hanya diketahui oleh Ra Tanca seorang.
Penolakan Sri Jayanegara diterima Ra Tanca dengan sangat pahit, sehingga memicu keputusan Ra Tanca untuk mengulang dosa lamanya
sembilan tahun silam: makar. Ra Tanca bekerja sama dengan istrinya, Nyai Tanca, dan Panji Wiradapa merencanakan merebut dampar
istana. Rencana makar ini pun dimulai pada saat Ra Tanca yang ketika itu dipanggil ke istana untuk mengobati Sri Jayanegara yang sedang
146
Ibid, hlm. 105
147
Ibid, hlm. 237
148
Ibid, hlm. 266
149
Ibid
sakit, namun justru meracuni Sri Jayanegara hingga tewas, walau hal ini dibayar dengan nyawa Ra Tanca sendiri.
Kabar cinta terlarang antara Dyah Wiyat dan Ra Tanca ternyata telah menjadi rahasia umum di kerajaan Majapahit, bahkan sampai ke
telinga istri Ra Tanca, Nyai Tanca. Nyai Tanca memiliki cinta yang teramat besar kepada Ra Tanca, tidak memercayai suaminya
berselingkuh tanpa digoda oleh wanita lain dan ia beranggapan Dyah Wiyatlah akar dari pohon perselingkuhan itu. Nyai Tanca
beranggapan Dyah Wiyat merebut suaminya dari pelukannya. Sehingga ia menjadi sangat membenci Dyah Wiyat, sampai kematian
Ra Tanca pun ia anggap disebabkan oleh Dyah Wiyat. Sehingga memicu Nyai Tanca melakukan percobaan pembunuhan kepada Dyah
Wiyat dengan mengirimkan sekeranjang buah mangga yang di dalamnya dimasukkan ular bandotan yang sangat beracun.
“Segenap rakyat memuji Sri Jayanegara sundul langit sebagai raja yang adil bijaksana, berbudi bawa laksana, ambek adil
paramarta. Tidak ada seorang pun yang tahu raja macam apa Jayanegara yang menggerayangi semua perempuan. Laki-laki
macam itu tidak pantas menjadi panutan dan sesembahan. Sementara adik perempuan Sri Jayanegara, kebanggaan macam
apa yang dimiliki oleh Sekar Kedaton yang selalu mengganggu ketentraman rumah tangga orang. Bagaimana penilaian khalayak
ramai apabila mereka mengetahui perempuan macam apa Dyah wiyat Rajadewi Maharajasa yang tidak punya urat malu, masih
terus mengusik Kakang Ra Tanca meski telah beristri?”
150
“Aku yang menerima, Ki Patih,” jawab abdi dalem itu. “Aku menerimanya dari seorang laki-laki berkuda. Orangnya masih
muda dan sangat tampan. Orang itu meminta aku menyerahkan sekeranjang mangga ini kepada Tuan Putri Dyah Wiyat.”
151
“Orang itu tidak menyebut nama dan asalnya. Hanya itu pesannya dan orang itu pun pergi. Aku sungguh tidak menyangka
di bawah buah mangga ada tiga ekor ular itu.”
152
“Perempuan tidak tahu malu. Pengganggu ketentraman rumah tangga orang. Seharusnya kamu mati dipatuk ular itu,” umpat
Nyai Tanca yang mendadak liar itu.
153
150
Ibid, hlm. 309
151
Ibid, hlm. 342
152
Ibid, hlm. 343
153
Ibid, hlm. 496
Majapahit adalah sebuah negara yang berbentuk monarki. Monarki adalah bentuk negara yang dalam pemerintahannya hanya dikuasai
dan diperintah yang berhak memerintah oleh satu orang saja. Dalam hal ini, Majapahit diperintah oleh seorang raja.
Menurut Machiavelli, monarki terbagi menjadi dua jenis, yaitu monarki warisan yang telah lama ada dan monarki baru. Pada masa
awal terbentuknya Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya, Majapahit berbentuk monarki baru. Namun, ketika kekuasaan
diwariskan kepada keturunan Raden Wijaya, maka seketika Majapahit berubah bentuk menjadi monarki warisan. Majapahit sebagai negara
monarki menempatkan raja dan kerabatnya terpisah dari lapisan masyarakat lainnya, baik karena mereka memiliki hak istimewa atau
karena kepercayaan rakyatnya yang menganggap raja adalah jelmaan dewa.
Kerajaan Majapahit seperti halnya kerajaan nusantara pada umumnya, menganut sistem pemerintahan monarki turun-temurun.
Tipe monarki ini adalah tipe yang umum, di mana ahli waris laki-laki yang tertua biasanya menjadi raja, menggantikan raja atau ayahnya
sendiri. Dalam kasus kerajaan Majapahit, raja pertama, Raden Wijaya, sebagai pendiri kerajaan Majapahit, setelah wafat digantikan oleh
putra mahkota, Sri Jayanegara, sebagai raja. Namun, setelah Sri Jayanegara wafat tanpa keturunan seorang pun, maka tahta diwariskan
kepada adiknya. Pewarisan tahta inilah yang berujung konflik, di mana pewaris itu bukanlah laki-laki melainkan perempuan. Mengapa
konflik? Sri Gitarja, sang kakak, seharusnya yang lebih berhak mendapatkan tahta kerajaan dan menjadi ratu, namun sifatnya yang
sangat lembut dianggap menjadi hambatan dalam menjalankan pemerintahan yang menbutuhkan tangan besi. Dyah Wiyat, sang adik,
mewarisi sifat kepemimpinan Raden Wijaya, namun sebagai adik ia tidak bisa begitu saja diangkat menjadi ratu. Hal ini dikarenakan
karena sistem monarki turun-temurun. Di samping itu, walaupun Sri
Gitarja dan Dyah Wiyat seorang Sekar Kedaton yang berhak mewarisi tahta kerajaan, mereka tetap harus mematuhi orang yang kelak akan
menjadi suami mereka, dalam hal ini adalah Raden Cakradara dan Raden Kudamerta. Sesuai dengan nilai yang ditanamkan kepada
kedua Sekar Kedaton semenjak kecil, walaupun mereka Sekar Kedaton mereka harus tunduk, patuh, dan taat kepada suami mereka
kelak. Hal inilah yang menjadikan kekhawatiran Patih Gajah Mada terhadap kemurnian pewaris tahta kerajaan. Karena, ketika salah satu
Sekar Kedaton diangkat menjadi ratu, dalam menjalankan pemerintahan mereka akan sangat mendengarkan pendapat suami
mereka, bahkan tidak menutup kemungkinan suami merekalah nanti yang akan menjalankan pemerintahan di balik bahu istri mereka yang
seorang ratu. Jika hal ini terjadi, maka suami Sekar Kedaton menjadi seorang “raja”. Padahal Raden Cakradara maupun Raden Kudamerta
adalah pihak yang berada di luar trah Raden Wijaya sebagai pewaris sah kerajaan Majapahit. Di samping itu, pihak-pihak pendukung di
belakang Raden
Cakradara dan
Raden Kudamerta
dapat mempengaruhi kedua Raden dalam menyumbangkan pendapat
mengenai kebijakan pemerintahan yang dijalankan Sekar Kedaton. Dengan begitu, kepentingan kedua pihak dapat mengotori kebijakan
Sekar Kedaton dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini menjadi kekhawatiran Gajah Mada, karena Majapahit adalah negara monarki
mutlak, di mana kehendak raja adalah hukum. Kestabilan pemerintahan akan goyah jika hukum-hukum tersebut menguntungkan
suatu kelompok dalam hal ini orang-orang di balik Raden Kudamerta atau Raden Cakradara.
Politik kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari tubuh manusia karena akhirnya kepentingannya adalah mendapatkan kepatuhan. Kekuasaan
adalah kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang lain, memaksa dan mengendalikan mereka sampai mereka patuh,
mencampuri kebebasannya dan memaksakan tindakan-tindakan
dengan cara-cara yang khusus. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku
seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Oleh karena itu, sejak periode kerajaan seperti Majapahit sampai era
pemerintahan modern kekuasaan merupakan hal yang selalu diperebutkan karena sebagai alat mengontrol suatu pemerintahan.
Tujuan kekuasaan yaitu memberi struktur kegiatan manusia dalam masyarakat dan selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur
kegiatan itu disebut institusional kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan
suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Pihak-pihak di balik Raden Cakradara dan Raden Kudamerta sadar
bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja khususnya kerajaan besar seperti Majapahit adalah kekuasaan potensial, oleh karena itu mereka
memutuskan ingin menguasai dampar Kerajaan Majapahit. Majapahit memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti daerah kekuasaan yang
luas, kekayaan yang didapat dari upeti tiap-tiap daerah kekuasaan yang yang banyak, bala tentara yang mumpuni dan persenjataan
lengkap yang siap digunakan untuk menaklukan daerah baru atau untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan. Kekuasaan raja
Majapahit juga merupakan kekuasaan eksplisit dan langsung, di mana pengaruh dari kekuasaan itu jelas terlihat dan dapat dirasakan secara
langsung. Karena perkataan raja yang dipercaya jelamaan dewa adalah hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat Majapahit. Keyakinan
bahwa raja merupakan penjelmaan dewa jga menjadikan raja Majapahit memiliki reverent power. Karena rakyat akan menjadikan
raja sebagai panutan simbol dari perilaku mereke. Karena hal-hal inilah Panji Wiradapa melakukan berbagai macam
cara agar keponakannya, Raden Kudamerta, menjadi raja Majapahit. Panji Wiradapa memaksa Raden Kudamerta menikahi Dyah Wiyat
agar kemungkinan Kudamerta menjadi raja semakin besar. Namun, di
sisi lain, Panji Wiradapa juga menyadari bahwa Dyah Wiyat yang seorang Sekar Kedaton tidak mungkin mewarisi tahta jika kakak laki-
lakinya, Sri Jayanegara masih hidup. Oleh karena itu, Panji Wiradapa juga telah memiliki rencana dengan Ra Tanca dan Nyai Tanca untuk
melakukan makar. Langkah pertama makar tersebut adalah dengan membunuh Sri Jayanegara oleh racun yang dibuat oleh ahli racun
terkemuka se-Majapahit, Ra Tanca. Setelah Sri Jayanegara wafat, masih ada pihak yang harus disingkirkan Panji Wiradapa agar Dyah
Wiyat mendapatkan tahta. Ia juga harus menyingkirkan Sri Gitarja, kakak perempuan Dyah Wiyat. Karena walaupun sama-sama
perempuan, Sri Gitarja lebih tua daripada Dyah Wiyat, jadi jika Sri Jayanegara Wafat maka yang lebih berhak mendapatkan tahta adalah
Sri Gitarja. Untuk mencegah hal itu, Panji Wiradapa memasang jebakan berupa fitnah-fitnah pembunuhan dilingkungan istana yang
mengarah kepada calon suami Sri Gitarja, Raden Cakradara. Bahkan Panji Wiradapa membayar pembunuh bayaran yang merupakan
mantan anggota pasukan Bhayangkara untuk melukai keponakannya sendiri, Raden Kudamerta, dengan tujuan untuk memfitnah Raden
Cakradara. Hal ini dilakukan Panji Wiradapa karena ia tahu sifat Sri Gitarja yang terlalu baik hati. Jika Sri Gitarja tahu calon suaminya
adalah dalang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di istana, maka Sri Gitarja akan menyerahkan haknya sebagai pewaris tahta kepada
adiknya, Dyah Wiyat, dengan sukarela. Jika Sri Gitarja menyerahkan tahtanya kepada Dyah Wiyat, maka Dyah Wiyat pun akan dinobatkan
menjadi ratu Majapahit, dan suaminya Raden Kudamerta menjadi raja. Jika Raden Kudamerta menjadi raja, maka ambisi Panji Wiradapa
menjadi Mahapatih juga akan terwujud.