Mengenai perebutan kekuasaan, setiap peralihan kekuasaan selalu ditandai dengan peristiwa berdarah.
“Sejak zaman Mataram, perebutan kekuasaan selalu terjadi. Setiap peralihan kekuasaan selalu ditandai peristiwa berdarah,”
Pancaksara melanjutkan. “Lebih-lebih zaman Singasari, wilayah paling berbahaya bagi negara adalah saat-saat peralihan
kekuasaan. Sekarang, tidak layak cemaskah kita dengan pengalaman peralihan kekuasaan yang macam itu?”
1
Sigap Gajah Mada memberikan sembahnya. Tugas yangb sangat berat itu telah digenggam dan siap untuk dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, maka demikianlah, dengan jelas dan gamblang Patih daha Gajah Mada melaporkan yang terjadi, siapa saja orang
yang terbunuh dan kemungkinan kepentingan apa saja yang berada di belakang rentetan kejadian itu. Tegas dan penuh
keyakinan Patih Daha Gajah Mada menyebut, apa yang terjadi itu merupakan tanda-tanda terjadinya perebutan kekuasaan. Di
belakang Raden Cakradara ada pihak yang bermain, ingin menunggangi dan memanfaatkan Raden Cakradara.
2
Dan pergantian kekuasaan di negeri mana pun selalu menyisakan gejolak tanpa terkecuali Majapahit setelah meninggalnya
Jayanegara. Udara pun terasa sesak. Gerah akan menyergap siapa pun yang mendambakan kedamaian dan ketenangan. Singasari
telah memberi contoh. Di setiap pergantian kekuasaan, udara selalu tersa panas.
3
b. Plot
Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fingsional yang sekaligus
menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Bisa dikatakan bahwa secara umum, alur merupakan rangkaian
peristiwa-peristiwa dalam sebuh cerita. Dalam menguraikan cerita alur terbagi ke dalam tahapan-tahapan yaitu pengenalan, konflik,
komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.
Alur atau plot di dalam novel Gajah Mada: Tahta dan Angkara adalah mundur-maju-mundur-maju atau bisa kita sebut
alur campuran. Bagian pengenalan dalam novel ini diawali dengan cuplikan peristiwa terakhir di dalam novel kemudian peristiwanya
1
Langit Kresna Hariadi, Gajah Mada: Tahta dan Angkara, Yogyakarta: Tiga Serangkai, 2009, hlm. 35
2
Ibid, hlm. 241-242
3
Ibid, hlm. 337
bergerak maju. Lalu peristiwa ini berlanjut ketika Pacaksara mengenang masa lalu mengenai silsilah raja dari Kerajaan
Singasari. Alur berubah menjadi maju, kemudian mulai muncul beragam konflik. Konflik-konflik ini semakin meruncing dengan
terkuaknya satu persatu rahasia di balik pihak-pihak yang memperebutkan kekuasaan. Konflik mencapai klimaksnya ketika
pasukan Bhayangkara mulai menyelidiki dan mengagalkan rencana makar yang akan dilakukan Rukmamurti setelah terjadinya
pembunuhan-pembunuhan di daerah istana. Konflikpun akhirnya terselesaikan ketika pemimpin makar tertangkap oleh pasukan
Bhayangkara dan Gajah Enggon menangkap Rangsang Kumuda sebagai otak dibalik sabotase yang terjadi di lingkungan istana.
1. Pengenalan
Cerita di dalam novel Tahta dan Angkara di awali dengan adegan Dyah Wiyat yang mengejar embannya yang pergi tanpa
pamit. Dyah Wiyat yang mengejar emban tersebut akhirnya menemukannya di dekat gerbang Purwarakta bersama
seseorang. Dialah Dyah Menur, nama yang dikenal oleh Dyah Wiyat sebagai emban kesayangannya. Dyah Menur yang
bernama asli Sekar Tanjung pergi dari Majapahit bersama dengan Pradhabasu. Adegan ini adalah akhir dari cerita novel
ini. Adegan inilah yang menandakan alur mundur.
...Nun jauh di barat setelah melintas Purawaktra, Dyah Wiyat akhirnya melihat dua orang yang berjalan kaki berdampingan.
Dyah Wiyat yang akhirnya berhasil menandai orang itu benar...
4
Alur kemudian mulai maju dengan diawali cerita sakit yang dialami raja Majapahit pertama, Sri Kertarajasa atau dimasa
mudanya biasa dipanggil Raden Wijaya. Adegan ini menggambarkan betapa dicintainya Sri Kertarajasa oleh
rakyatnya, begitupula orang-orang yang mengabdi padanya.
4
Ibid, hlm. 2
Kala itu tahun 1309. Segenap rakyat berkumpul di alun-alun. Semua berdoa, apa pun warna agamanya, apakah Siwa, Buddha
maupun Hindu. Semua arah perhatian ditujukan dalam satu pandang, ke Purwarakta yang tidak dijaga terlampau
ketat.segenap prajurit bersikap sangat ramah kepada siapa pun karena memang demikian sikap keseharian mereka. Lebih dari
itu, segenap prajurit merasakan gejolak yang sama, oleh duka mendalam atas gering yang diderita Kertarajasa Jayawardhana.
5
Sayangnya sakit yang dialami oleh Raden Wijaya tak kunjung sembuh. Dan terdengarlah bunyi bende Kiai Samudra,
mengisyaratkan mangkatnya sang raja.
Dan ketika bende Kiai Samudra dipukul bertalu, tangis serentak membuncah. Ayunan pada bende yang getar suaranya mampu
menggapai sudut-sudut kota merupakan isyarat yang sangat dipahami. Gelegar bende dengan nada satu demi satu, namun
berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran merupakan pertanda Sang Prabu mangkat. Semua orang yang mendengar
isyarat itu merasa denyut jantungnya berhenti berdetak.
6
Dari cerita ini, alur kemudian maju kepada peristiwa dibunuhnya Sri Jayanegara oleh tabib istana kepercayaan sang
raja, Ra Tanca. Ra Tanca yang kemudian mati dibunuh oleh Gajah Mada setelah meminumkan racun kepada Sri Jayanegara.
Kematian Jayanegara seakan mengingatkan kembali atas peristiwa meninggalnya Raden Wijaya.
Dan, suara bende Kiai Samudra itu .... Suara bende itu siapa pun tahu artinya. Senyap yang memberangus adalah nestapa bagi
siapa pun yang mencintai Raja. Suaranya yang menggelegar terdengar sampai ke sudut-sudut kotaraja. Bende yang dipukul
satu-satu, berjarak sedikit lebih lama dari isyarat kebakaran, merupakan pengulangan apa yang terjadi beberapa tahun
sebelumnya manakala raja pertama Majapahit yang sangat dicintai dan dihormati mangkat.
7
Alur kemudian menjadi mundur kembali ketika Pancaksara yang dipaksa Gajah Mada menceritakan kembali silsilah raja
Singasari yang menjadi leluhur raja Majapahit.
Jika dirunut jauh ke belakang, awalnya Ken Arok yang kelak di kemudian hari bergelar Sri Ranggah Rajasa Batara Sang
5
Ibid, hlm. 3
6
Ibid, hlm. 6
7
Ibid, hlm. 14