Analisis Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia

(1)

OLEH

LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO H14054245

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(2)

LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO. Analisis Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM).

Perkebunan merupakan salah satu sub sektor bidang pertanian yang mempunyai potensi besar dan memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Pada tahun 2008 sub sektor perkebunan mempunyai kontribusi sebesar 14,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian atau kurang lebih sebesar 2,14 persen terhadap PDB (BI, 2009).

Sebagai salah satu komoditas perkebunan utama pada pasar minyak nabati dunia, CPO (Crude Palm Oil) juga tidak terlepas dari sasaran untuk tujuan konversi ke produk agrofuel. Agrofuel adalah bahan bakar yang berasal dari tanaman pertanian seperti kelapa sawit, jarak pagar, dan singkong. Terlepas dari konversi minyak sawit menjadi agrofuel, digunakannya CPO sebagai bahan baku agrofuel ditengarai telah berperan pada peningkatan harga minyak sawit di dunia, sebagaimana yang terjadi pada berbagai komoditas yang menjadi sasaran untuk digunakan sebagai bahan baku untuk agrofuel seperti kacang kedelai, dan jarak pagar. Hal ini diungkapkan dalam bentuk respon penawaran kelapa sawit dan perubahan luas areal kelapa sawit.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan luas areal dan produktivitas kelapa sawit di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menduga respon penawaran dari petani kelapa sawit dalam jangka pendek dan jangka panjang. Setelah faktor-faktor dan dugaan respon penawaran diketahui, maka akan dirumuskan implikasi kebijakan yang dapat diterapkan pada sektor perkebunan kelapa sawit.

Pada penelitian ini, model ekonometrika yang digunakan untuk mengestimasi respon penawaran adalah model Nerlove. Model Nerlove adalah model dinamis yang menyatakan bahwa output adalah fungsi dari harga yang diharapkan, penyesuaian areal, dan beberapa variabel eksogen lainnya. Bentuk yang tereduksi (reduced form) dari model Nerlove akan berbentuk model autoregressive karena model tersebut memasukkan nilai lag dari variabel dependen diantara variabel-variabel penjelasnya.

Respon penawaran diduga secara tidak langsung melalui persamaan respon luas areal dan respon produktivitas menggunakan teknik estimasi Ordinary Least Square (OLS) menggunakan Eviews 5.1. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan deret waktu (time series) selama 38 tahun, yaitu dari tahun 1969-2006. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah antara lain : luas areal tanam kelapa sawit, produktivitas kelapa sawit, harga CPO, harga karet alam, upah tenaga kerja, harga pupuk urea, harga pupuk


(3)

peningkatan harga CPO pada tahun sekarang maka petani akan merespon dengan menaikkan luas areal kelapa sawitnya pada tahun yang akan datang. Pada jangka panjang, respon luas areal kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,2496. Ini menggambarkan bahwa para petani telah memahami bahwa pada jangka panjang, permintaan terhadap CPO sebagai bahan baku agrofuel akan semakin meningkat. Oleh karena itu, para petani memutuskan untuk mengkonversi sisa lahan yang dimiliki mereka menjadi areal perkebunan kelapa sawit guna meningkatkan respon penawaran mereka (IOPRI, 2008).

Hasil yang diberikan dari respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO dalam jangka pendek sebesar 0,0281 menggambarkan ketika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sekarang, maka petani akan meresponnya dengan meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya pada tahun berikutnya. Pada jangka panjang, respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami sedikit peningkatan yaitu sebesar 0,0880. Dengan demikian, dapat dipastikan akan terjadi peningkatan produktivitas kelapa sawit dalam jangka pendek dan panjang.

Nilai respon penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek bertanda positif dan bersifat inelastis yaitu masing-masing sebesar 0,3377 dalam jangka panjang dan 0,0542 dalam jangka pendek. Hasil ini menggambarkan jika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sekarang maka akan direspon dengan meningkatkan penawaran kelapa sawit di Indonesia pada tahun berikutnya. Ini menjelaskan bahwa pada jangka pendek, beberapa faktor yang mempengaruhi luas areal bernilai tetap sementara dalam jangka panjang faktor-faktor tersebut sangat bervariasi. Para petani menggunakan acuan harga CPO tahun sebelumnya untuk meningkatkan penawarannya.

Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai variabel-variabel yang belum bisa dimasukkan pada penelitian ini sehingga dapat memaparkan ruang lingkup lebih spesifik. Adapun variabel-variabel yang dimaksud seperti curah hujan, harga tanaman tumpang sari yaitu kacang kedelai, harga minyak kedelai, dan luas areal teririgasi.


(4)

Oleh :

LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO H14054245

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(5)

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002


(6)

BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2009

Lukman Kresno Oktavianto H14054245


(7)

Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Oktober 1985 di Bandung. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Eddy Priandono dan Siti Kadariyah Rahayu. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Angkasa XII Kabupaten Bandung yang kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 21 Bandung. Penulis kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di SMU Negeri 8 Bandung.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2005 melalui jalur SPMB dan pada tahun berikutnya memilih Mayor Ilmu Ekonomi dan Minor Kebijakan Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis cukup aktif di beberapa kegiatan organisasi seperti SES-C (Sharia Economics Student Club) dan Hipotesa serta beberapa kegiatan kepanitiaan di IPB.


(8)

(9)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua karunia rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia”. Respon penawaran merupakan topik yang menarik untuk diangkat karena melihat berbagai pengaruh harga (baik harga komoditi sendiri ataupun komoditi substitusi) dan biaya-biaya input terhadap respon produksi para petani. Disamping hal tersebut, skripsi juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Keluarga penulis, Bapak Eddy Priandono, Ibu Siti Kadariyah Rahayu, Mas Yan, dan Fina atas semua do’a dan dukungannya dalam penyusunan skripsi ini. 2. Dedi Budiman Hakim, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan baik secara teoritis dan teknis kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Wiwiek Rindayati selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik, dan ilmu yang bermanfaat dalam skripsi ini. 4. Tony Irawan, M.App.Ec selaku penguji komisi pendidikan yang telah

memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa dan pedoman penulisan skripsi.

5. Iman Sugema, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan akademik kepada penulis selama menjadi mahasiswa di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. 6. Kepala Tata Usaha beserta staf pelaksana Departemen Ilmu Ekonomi atas

dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu Bapak Cecep, Mas Anto, Mbak Atik, Mas Dede, Mas Ryan, Mas Anwar.

7. Pihak Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian yang telah memberikan data statistik kelapa sawit periode 1969-2008.

8. Pihak Indonesian Palm Oil Research Institute yang telah memberikan informasi dan data-data tentang perkembangan tanaman kelapa sawit di Indonesia.


(10)

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

11.Riza dan keluarga, Gerry, Adrian, Inna, Vagha, Amalia, Dhamar, Riri, Nursechafia, Dewinta, Bayu, Adhitia, Arisa, Anggi, Reza, Ardani, Indra, Novi, Dian, Nada, Istiana, Reni, Hendra, Rizkita, Surya, keluarga AK 6, tim futsal IE 42, dan teman-teman IE 42 serta seluruh civitas FEM dan InterCAFE atas dukungan yang sangat berarti kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Kalian adalah orang-orang yang dianugerahi pengetahuan, wawasan dan rasa sosialitas yang tinggi dan tanpa kalian, diri ini takkan mampu tuk berdiri tegap dan merasa berarti. Penghargaan setinggi-tingginya untuk kalian.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Sekali lagi, terima kasih banyak.

Bogor, Agustus 2009

Lukman Kresno Oktavianto H14054245


(11)

OLEH

LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO H14054245

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(12)

LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO. Analisis Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM).

Perkebunan merupakan salah satu sub sektor bidang pertanian yang mempunyai potensi besar dan memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Pada tahun 2008 sub sektor perkebunan mempunyai kontribusi sebesar 14,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian atau kurang lebih sebesar 2,14 persen terhadap PDB (BI, 2009).

Sebagai salah satu komoditas perkebunan utama pada pasar minyak nabati dunia, CPO (Crude Palm Oil) juga tidak terlepas dari sasaran untuk tujuan konversi ke produk agrofuel. Agrofuel adalah bahan bakar yang berasal dari tanaman pertanian seperti kelapa sawit, jarak pagar, dan singkong. Terlepas dari konversi minyak sawit menjadi agrofuel, digunakannya CPO sebagai bahan baku agrofuel ditengarai telah berperan pada peningkatan harga minyak sawit di dunia, sebagaimana yang terjadi pada berbagai komoditas yang menjadi sasaran untuk digunakan sebagai bahan baku untuk agrofuel seperti kacang kedelai, dan jarak pagar. Hal ini diungkapkan dalam bentuk respon penawaran kelapa sawit dan perubahan luas areal kelapa sawit.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan luas areal dan produktivitas kelapa sawit di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menduga respon penawaran dari petani kelapa sawit dalam jangka pendek dan jangka panjang. Setelah faktor-faktor dan dugaan respon penawaran diketahui, maka akan dirumuskan implikasi kebijakan yang dapat diterapkan pada sektor perkebunan kelapa sawit.

Pada penelitian ini, model ekonometrika yang digunakan untuk mengestimasi respon penawaran adalah model Nerlove. Model Nerlove adalah model dinamis yang menyatakan bahwa output adalah fungsi dari harga yang diharapkan, penyesuaian areal, dan beberapa variabel eksogen lainnya. Bentuk yang tereduksi (reduced form) dari model Nerlove akan berbentuk model autoregressive karena model tersebut memasukkan nilai lag dari variabel dependen diantara variabel-variabel penjelasnya.

Respon penawaran diduga secara tidak langsung melalui persamaan respon luas areal dan respon produktivitas menggunakan teknik estimasi Ordinary Least Square (OLS) menggunakan Eviews 5.1. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan deret waktu (time series) selama 38 tahun, yaitu dari tahun 1969-2006. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah antara lain : luas areal tanam kelapa sawit, produktivitas kelapa sawit, harga CPO, harga karet alam, upah tenaga kerja, harga pupuk urea, harga pupuk


(13)

peningkatan harga CPO pada tahun sekarang maka petani akan merespon dengan menaikkan luas areal kelapa sawitnya pada tahun yang akan datang. Pada jangka panjang, respon luas areal kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,2496. Ini menggambarkan bahwa para petani telah memahami bahwa pada jangka panjang, permintaan terhadap CPO sebagai bahan baku agrofuel akan semakin meningkat. Oleh karena itu, para petani memutuskan untuk mengkonversi sisa lahan yang dimiliki mereka menjadi areal perkebunan kelapa sawit guna meningkatkan respon penawaran mereka (IOPRI, 2008).

Hasil yang diberikan dari respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO dalam jangka pendek sebesar 0,0281 menggambarkan ketika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sekarang, maka petani akan meresponnya dengan meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya pada tahun berikutnya. Pada jangka panjang, respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami sedikit peningkatan yaitu sebesar 0,0880. Dengan demikian, dapat dipastikan akan terjadi peningkatan produktivitas kelapa sawit dalam jangka pendek dan panjang.

Nilai respon penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek bertanda positif dan bersifat inelastis yaitu masing-masing sebesar 0,3377 dalam jangka panjang dan 0,0542 dalam jangka pendek. Hasil ini menggambarkan jika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sekarang maka akan direspon dengan meningkatkan penawaran kelapa sawit di Indonesia pada tahun berikutnya. Ini menjelaskan bahwa pada jangka pendek, beberapa faktor yang mempengaruhi luas areal bernilai tetap sementara dalam jangka panjang faktor-faktor tersebut sangat bervariasi. Para petani menggunakan acuan harga CPO tahun sebelumnya untuk meningkatkan penawarannya.

Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai variabel-variabel yang belum bisa dimasukkan pada penelitian ini sehingga dapat memaparkan ruang lingkup lebih spesifik. Adapun variabel-variabel yang dimaksud seperti curah hujan, harga tanaman tumpang sari yaitu kacang kedelai, harga minyak kedelai, dan luas areal teririgasi.


(14)

Oleh :

LUKMAN KRESNO OKTAVIANTO H14054245

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(15)

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 19641023 198903 2 002


(16)

BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2009

Lukman Kresno Oktavianto H14054245


(17)

Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Oktober 1985 di Bandung. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Eddy Priandono dan Siti Kadariyah Rahayu. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Angkasa XII Kabupaten Bandung yang kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 21 Bandung. Penulis kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di SMU Negeri 8 Bandung.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2005 melalui jalur SPMB dan pada tahun berikutnya memilih Mayor Ilmu Ekonomi dan Minor Kebijakan Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis cukup aktif di beberapa kegiatan organisasi seperti SES-C (Sharia Economics Student Club) dan Hipotesa serta beberapa kegiatan kepanitiaan di IPB.


(18)

(19)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua karunia rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia”. Respon penawaran merupakan topik yang menarik untuk diangkat karena melihat berbagai pengaruh harga (baik harga komoditi sendiri ataupun komoditi substitusi) dan biaya-biaya input terhadap respon produksi para petani. Disamping hal tersebut, skripsi juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Keluarga penulis, Bapak Eddy Priandono, Ibu Siti Kadariyah Rahayu, Mas Yan, dan Fina atas semua do’a dan dukungannya dalam penyusunan skripsi ini. 2. Dedi Budiman Hakim, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan baik secara teoritis dan teknis kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Wiwiek Rindayati selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik, dan ilmu yang bermanfaat dalam skripsi ini. 4. Tony Irawan, M.App.Ec selaku penguji komisi pendidikan yang telah

memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa dan pedoman penulisan skripsi.

5. Iman Sugema, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan akademik kepada penulis selama menjadi mahasiswa di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. 6. Kepala Tata Usaha beserta staf pelaksana Departemen Ilmu Ekonomi atas

dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu Bapak Cecep, Mas Anto, Mbak Atik, Mas Dede, Mas Ryan, Mas Anwar.

7. Pihak Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian yang telah memberikan data statistik kelapa sawit periode 1969-2008.

8. Pihak Indonesian Palm Oil Research Institute yang telah memberikan informasi dan data-data tentang perkembangan tanaman kelapa sawit di Indonesia.


(20)

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

11.Riza dan keluarga, Gerry, Adrian, Inna, Vagha, Amalia, Dhamar, Riri, Nursechafia, Dewinta, Bayu, Adhitia, Arisa, Anggi, Reza, Ardani, Indra, Novi, Dian, Nada, Istiana, Reni, Hendra, Rizkita, Surya, keluarga AK 6, tim futsal IE 42, dan teman-teman IE 42 serta seluruh civitas FEM dan InterCAFE atas dukungan yang sangat berarti kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Kalian adalah orang-orang yang dianugerahi pengetahuan, wawasan dan rasa sosialitas yang tinggi dan tanpa kalian, diri ini takkan mampu tuk berdiri tegap dan merasa berarti. Penghargaan setinggi-tingginya untuk kalian.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Sekali lagi, terima kasih banyak.

Bogor, Agustus 2009

Lukman Kresno Oktavianto H14054245


(21)

DAFTAR TABEL ………... iii

DAFTAR GAMBAR ……….. iv

I. PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Permasalahan ………... 8

1.3. Tujuan Penelitian ………. 13

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 14

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ………... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ………. 15

2.1. Profil Kelapa Sawit ………... 15

2.2. Aspek Ekonomis dan Pengolahan Kelapa Sawit ... 15

2.3. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia ……….. 18

2.4. Tinjauan Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Minyak Sawit ………..……….. 20

2.5. Kerangka Pemikiran Teoritis ……….….… 22

2.5.1. Penawaran ……….. 22

2.5.2. Respon Penawaran ……… 23

2.5.2.1. Perubahan Jumlah Produksi Menurut Perubahan Areal dan Produktivitas ………..…… 25

2.5.2.2. Respon Penawaran melalui Respon Areal dan Respon Produktivitas ……… 26

2.5.2.3. Respon Beda Kala (Lag) dalam Komoditi Pertanian ……… 28

2.5.2.4. Model Lag yang Didistribusikan ……… 29

2.5.2.5. Model Nerlove ……… 31

2.6. Kerangka Pemikiran Konseptual ………. 34

2.7. Penelitian Terdahulu ………...…………. 37

2.6.1. Penelitian Mengenai CPO ……….. 37


(22)

2.8. Hipotesis Penelitian ………...…. 41

III. METODE PENELITIAN ………... 42

3.1. Jenis dan Sumber Data ……….……… 42

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data …..……….. 42 3.3. Spesifikasi Model Analisis ………...………... 43

3.3.1. Model Respon Luas Areal ………. 44

3.3.2. Model Respon Produktivitas ……….………. 46

3.3.3. Spesifikasi Variabel …….………….……… 48

3.3.4. Model Respon Penawaran ……… 51

3.4. Pengujian Model dan Hipotesis ……….. 53

3.4.1. Uji Kesesuaian Model ………..………. 53

3.4.2. Pengujian Hipotesis ………...……… 54

3.4.3. Uji Autokorelasi ………. 55

3.4.4. Uji Multikolinieritas ………...………... 56

3.4.5. Uji Heteroskedastisitas ……….. 57

3.4.6. Uji Normalitas ………..…………. 58

3.4.7. Pengukuran Elastisitas ………..………… 59

3.5. Definisi Operasional ………...…………. 60

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 62

4.1. Estimasi Parameter Model ……….. 62

4.1.1. Respon Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia ……… 62

4.1.2. Respon Produktivitas Kelapa Sawit Indonesia …… 67

4.2. Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia …………. 71

4.3. Implikasi Kebijakan …..………..…… 74

V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 76

5.1. Kesimpulan ……….……. 76

5.2. Saran ……… 78

DAFTAR PUSTAKA ………. 79


(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1980-2010 ……... 2 1.2. Luas Areal CPO, Produksi Perkebunan CPO Seluruh Indonesia, Harga

CPO, dan Harga CO ………... 5

1.3. Volume dan Nilai Ekspor Impor Kelapa Sawit Indonesia ……… 7 2.1. Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun

2000-2008 ……… 19

4.1. Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia …………. 63 4.2. Hasil Estimasi Parameter Produktivitas Kelapa Sawit di Indonesia ………. 67 4.3. Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia dalam Jangka Pendek dan


(24)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1.1. Pangsa Ekspor Negara Produsen CPO ………... 3 1.2. Harga Mingguan Minyak Mentah Indonesia ………. 4

Korelasi Harga CPO dan Harga CO ……….. 6

Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit ……….. 9

Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit ……….. 10

Rata-rata Persentase Pertumbuhan Harga CPO ……… 11

Rata-rata Persentase Pertumbuhan Produksi Kelapa Sawit ………... 12

2.1. Pohon Industri Kelapa Sawit………. 17

2.2. PerkembanganProduksi Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan

Tahun 2000-2008……… 20

2.3. Kurva Penawaran …... 22 2.4 Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian ……….. 36


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Tabel Uji Normalitas Model Respon Luas Areal Kelapa Sawit dan Model Respon Produktivitas Kelapa Sawit ……….……... 85 2. Tabel Uji Multikolinieritas (Variance Inflation Factor) Model Respon

Luas Areal dan Produktivitas …………..………... 86 3. Pendugaan Model Respon Luas Areal ………... 87 4. Pendugaan Model Respon Produktivitas ………... 88 5. Peta Sebaran Komoditi Kelapa Sawit ……….... 89


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara tropis di dunia yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah. Indonesia mempunyai luas daratan sebesar 2.027.087 km2 dengan luas lautan sebesar 3.166.163 km2 dari total luas area Indonesia yang mencapai 5.193.250 km2 dan inilah yang menjadikan Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia (BPS, 2006). Sektor-sektor pertanian, peternakan, perikanan, hingga sektor pariwisata memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.

Perkebunan merupakan salah satu sub sektor bidang pertanian yang mempunyai potensi besar dan memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Pada tahun 2008 sub sektor perkebunan mempunyai kontribusi sebesar 14,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian atau kurang lebih sebesar 2,14 persen terhadap PDB (BI, 2009).1

Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit mentah yang dihasilkan dari komoditi perkebunan kelapa sawit kini telah menjadi primadona dan komoditi ekspor andalan Indonesia. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan di daerah luar pulau Jawa seperti Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Selain itu komoditi ini juga memiliki keunggulan komparatif dilihat dari segi budidaya, karena tanaman ini merupakan jenis


(27)

tanaman tropik dan dari segi luas area total sampai yahun 2006, Indonesia mempunyai areal kelapa sawit terluas di dunia, yaitu 6,594 juta hektar (Tabel 1.1). Tabel 1.1. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1980-2008

Luas Areal (000 Ha) Produksi CPO (000 ton) Tahun PR PBN PBS Nasional PR PBN PBS Nasional

1980 6 200 84 290 1 499 221 721

1990 291 372 463 1.126 377 1.247 179 1.803

1995 659 405 962 2.026 1.001 1.614 1.864 4.479

1996 739 427 1.084 2.250 1.134 1.707 2.058 4.899

1997 813 517 1.592 2.922 1.283 1.587 2.578 5.448

1998 891 557 2.113 3.561 1.345 1.502 3.084 5.931

1999 1.041 577 2.284 3.902 1.548 1.469 3.439 6.456

2000 1.167 588 2.403 4.158 1.906 1.461 3.634 7.001

2001 1.561 610 2.542 4.713 2.798 1.519 4.079 8.396

2002 1.808 632 2.627 5.067 3.427 1.608 4.588 9.623

2003 1.854 663 2.766 5.283 3.517 1.751 5.173 10.441

2004 2.220 606 2.459 5.285 3.847 1.618 5.366 10.831

2005 2.356 530 2.567 5.454 4.500 1.449 5.911 11.861

2006 2.549 687 3.357 6.594 5.783 2.313 9.254 17.350

2007 2.565 687 3.358 6.611 5.895 2.313 9.254 17.373

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009

Keterangan : **) Angka Estimasi

: PR : Perkebunan Rakyat

: PBN : Perkebunan Besar Negara : PBS : Perkebunan Besar Swasta

Dalam perekonomian Indonesia, kelapa sawit berperan sebagai penerimaan negara dari sektor non-migas yang cukup besar. Industri kelapa sawit di Indonesia juga menarik banyak perhatian mengingat kontribusinya yang sangat besar bagi perekonomian.


(28)

Saat ini, kelapa Pada tahun 2008, perkeb sekitar 60 persen, yaitu (PR). Sementara luas a 7.007.876 hektar. Peny Sumatera dan Pulau Kal (Perkebunan Rakyat, P Sumatera pada tahun 20 sawit di pulau Kalimant Indonesia merupakan ne 17,350 juta ton (Ditjen. merupakan pesaing yang luar negeri sebesar 41 1.1).

Sumber : Indones

Gambar Indon 41

a sawit telah melekat dalam kehidupan bangsa ebunan kelapa sawit dikelola oleh 2.733.857 peta tu 1.500.719 orang bekerja pada sektor Perkebun

areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 20 nyebaran luas areal kelapa sawit juga tersebar alimantan. Tercatat total luas areal perkebunan ke Pekebunan Negara, dan Perkebunan Swasta)

2008 adalah 4.895.022 hektar sedangkan luas ar ntan adalah 1.819.788 hektar. Kemudian pada ta negara penghasil CPO terbesar dunia dengan tota n. Perkebunan, 2008). Dari segi pangsa ekspor, ng kompetitif. Pada tahun 2005, pangsa ekspor In 1 persen sedangkan Malaysia sebesar 45 persen

esian Palm Oil Commision (IPOC), 2007 (diolah)

ar 1.1. Pangsa Ekspor Negara Produsen CPO Thailand 2% Columbia 2% Lainnya 8% Malaysia 45% onesia 1% Nigeria 2%

a Indonesia. tani di mana unan Rakyat 2008 adalah ar di Pulau kelapa sawit ta) di pulau areal kelapa tahun 2006, otal produksi r, Indonesia Indonesia ke sen (Gambar


(29)

Melihat fakta ini, keunggulan lain yang dimiliki oleh komoditas kelapa sawit yang menghasilkan CPO adalah luas areal yang sangat memungkinkan untuk pengembangan industri CPO di Indonesia. Market share Indonesia sebesar 41 persen yang membuat Indonesia lebih kompetitif, dan kontribusi ekspor CPO terhadap perekonomian Indonesia khususnya pada sektor non migas adalah tertinggi dibandingkan ekspor komoditas perkebunan lainnya.

Pada tahun 2006, pemerintah mencanangkan kebijakan agrofuel karena selain dibuat dari minyak sawit dan ramah lingkungan, program ini juga bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, menguatkan ekonomi, dan meningkatkan kualitas lingkungan. Agrofuel adalah bahan bakar yang berasal dari tanaman pertanian seperti kelapa sawit, jarak pagar, dan singkong.

Sumber : Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Harga Minyak Bumi Indonesia Tahun 2007 (diolah)

Gambar 1.2. Rata-Rata Harga Mingguan Minyak Mentah Indonesia Melihat kondisi tersebut, pemanfaatan CPO sebagai bahan baku agrofuel telah menyebabkan permintaan terhadap CPO meningkat. Ditambah pula dengan

0 20 40 60 80 100 120 D o ll a rs p er B a rr el Tahun


(30)

kondisi bahan bakar fosil yang harganya meningkat (Gambar 1.2) menyebabkan banyaknya negara mencari sumber-sumber energi alternatif, yaitu bioenergi. Tabel 1.2. Luas Areal CPO, Produksi Perkebunan CPO Seluruh Indonesia, Harga

CPO, dan Harga CO.

Tahun Produksi CPO

Luas Areal

Tanam Produktivitas Harga CPO Harga CO

ton Ha ton/Ha Rp/Kg Rp/Kg

1989 1.964.954 973.528 2,018 741,20 577,246

1990 2.412.612 1.126.677 2,141 690,00 703,149

1991 2.657.600 1.310.996 2,027 773,00 1.012,169

1992 3.266.250 1.467.470 2,226 798,40 710,771

1993 3.421.449 1.613.187 2,121 694,00 702,443

1994 4.008.062 1.804.149 2,222 803,10 511,790

1995 4.479.670 2.024.986 2,212 1.028,40 601,459

1996 4.898.658 2.249.514 2,178 833,00 708,324

1997 5.448.508 2.516.079 2,165 921,60 812,919

1998 5.930.415 2.788.783 2,127 1.697,80 1.158,200

1999 6.455.590 2.975.120 2,170 769,30 1.106,013

2000 7.000.508 3.769.609 1,857 614,60 1.851,134

2001 8.396.472 4.420.968 1,899 512,10 1.767,766

2002 9.622.345 4.781.866 2,012 197,40 1.497,059

2003 10.440.834 4.926.080 2,120 804,30 1.616,441

2004 12.326.419 5.070.294 2,431 883,90 2.098,564

2005 14.619.830 5.214.508 2,804 895,30 2.929,754

Sumber : Departemen Pertanian, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009

dan Harga Minyak Bumi Indonesia Tahun 2007 (diolah)

Peningkatan permintaan CPO menyebabkan harga CPO akan terus meningkat. Peningkatan harga ini juga disebabkan oleh peningkatan permintaan dari dua konsumen terbesar dunia, yakni India dan China. Jika pada tahun 2000


(31)

harga minyak bumi (CO, Crude Oil) adalah US$ 22 per barrel, maka pada bulan Juli tahun 2007 harga minyak bumi telah mencapai kisaran US$ 75 per barrel.

Namun bisa dilihat bahwa harga CPO pada kisaran tahun 1998 sampai tahun 2002 mengalami fluktuasi (Tabel 1.2). Selain karena dampak krisis ekonomi tahun 1997/1998, hal ini juga dipengaruhi oleh harga minyak goreng dari bahan lain di dunia seperti zaitun dan kedelai. Seperti yang telah diketahui bahwa CPO juga dijadikan bahan baku minyak goreng sawit. Saat ini, sumbangan minyak kedelai masih yang terbesar dalam pasar minyak goreng dunia.

Pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2006, harga minyak bumi mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan minyak bumi telah berkurang yang ditandai dengan kenaikan harga (Tabel 1.2).

Sumber : Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Harga Minyak Bumi Indonesia Tahun 2007 (diolah)

Gambar 1.3. Korelasi Harga CPO dan Harga CO 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 1 98 9 1 99 0 1 99 1 1 99 2 1 99 3 1 99 4 1 99 5 1 99 6 1 99 7 1 99 8 1 99 9 2 00 0 2 00 1 2 00 2 2 00 3 2 00 4 2 00 5

Harga CPO Harga CO

Tahun Dollars per Barrel


(32)

Pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998, harga CPO turun drastis dari Rp. 1.697,80 per Kg menjadi Rp. 769, 30 per Kg. Sedangkan harga CO juga mengalami sedikit penurunan dari Rp. 1.158,2 per Kg menjadi Rp. 1.106,013 per Kg. Namun, keadaan ini justru ditanggapi dengan kenaikan luas areal tanam kelapa sawit dari 2.516.079 hektar menjadi 2.788.783 hektar. Bila keadaan ini diturunkan dalam bentuk grafik (Gambar 1.3), maka dapat disimpulkan bahwa harga CPO dan harga CO berkorelasi positif setiap tahun dan hal ini mengisyaratkan bahwa peran CPO sebagai komoditas bahan makanan mulai bergeser menjadi komoditas energi.

Tabel 1.3. Volume dan Nilai Ekspor Impor Kelapa Sawit Indonesia

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009

Menghadapi permintaan pasar luar negeri baik sebagai bahan baku agrofuel dan konsumsi bahan pangan yang dalam hal ini adalah minyak goreng sawit, Indonesia memiliki barganing position yang kuat. Salah satu penyebabnya adalah iklim tropis Indonesia yang mendukung perkebunan CPO sehingga produksi dan produktivitas kelapa sawit semakin meningkat.

Tahun

EKSPOR IMPOR

Minyak Sawit (CPO)

Kelapa Sawit (Oil Palm)

Minyak Inti Sawit (Kernel Palm Oil, KPO)

Minyak Sawit (CPO)

Minyak Inti Sawit (Kernel Palm Oil, KPO) Volume (Ton) Nilai (000. US$) Volume (Ton) Nilai (000. US$) Volume (Ton) Nilai (000. US$) Volume (Ton) Nilai (000. US$) Volume (Ton) Nilai (000. US$) 2001 4.903.218 1.080.906 5.485.144 1.227.165 581.926 146.259 141 60 4.974 2.464 2002 6.333.708 2.092.404 7.072.124 2.348.638 738.416 256.234 9.499 3.267 2.362 1.478 2003 6.386.409 2.454.626 7.046.303 2.719.304 659.894 264.678 4.014 2.201 1.592 1.066 2004 8.661.647 3.441.776 9.565.974 3.944.457 904.327 502.681 4.320 1.937 3.564 3.157 2005 10.375.792 3.756.557 11.418.987 4.344.303 1.043.195 587.746 10.810 5.374 3.257 2.992 2006 10.471.915 3.552.810 11.745.954 4.139.286 1.274.039 616.476 1.645 1.287 1.386 1.207 2007 11.875.418 7.868.640 13.210.742 8.866.445 1.335.324 997.805 1.067 1.023 3.594 6.013


(33)

Naiknya harga energi berdampak langsung pada harga produk pertanian melalui kenaikan biaya input seperti pupuk, dan biaya transportasi (Nainggolan dan Suprapto, 2007). Pencarian bahan bakar alternatif bersumber bioenergi memang telah memberikan persaingan terhadap sumber daya pangan. Hal ini dapat terjadi jika lahan dan sumber daya produktif pertanian berubah menjadi sumber daya untuk pasokan energi. Secara makro ekonomi, alasan peningkatan harga bahan pangan dapat dijelaskan pada sisi penawaran. Pada sisi penawaran, peningkatan harga minyak bumi telah menyebabkan peningkatan biaya produksi pertanian, dan juga menyebabkan lahan pertanian diubah dari keperluan produksi bahan pangan menjadi keperluan produksi bahan baku untuk biofuel.

Berdasarkan uraian di atas, akan menarik apabila melihat bagaimana pengaruh berbagai komoditas yang lain yang terkait dengan kelapa sawit baik langsung maupun tidak langsung. Menarik juga bila melihat bagaimana pengaruh biaya input seperti pupuk dan upah tenaga kerja terhadap respon penawaran kelapa sawit.

1.2. Permasalahan

Harga dunia minyak bumi yang melambung hingga mencapai US$ 140 per barel pada Juni 2008 membuat negara-negara baik negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia mengalami kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga meningkatkan biaya produksi dalam negerinya. Tidak hanya sektor industri yang terkena dampak, tetapi juga sektor-sektor lain termasuk sektor pertanian mengalami kenaikan dalam hal biaya produksinya. Berbagai


(34)

program pun dirumuskan untuk mencari solusi dari krisis energi ini. Salah satu cara yang ditempuh adalah mencoba untuk mengganti bahan bakar berbahan baku fosil menjadi bahan bakar alternatif berbahan baku nabati. Beberapa komoditas pertanian pun bertambah fungsinya tidak hanya digunakan untuk kebutuhan pangan tetapi juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi.

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 (diolah)

Gambar. 1.4. Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit

Sebagai salah satu komoditas utama pada pasar minyak nabati dunia, CPO juga tidak terlepas dari sasaran untuk tujuan konversi ke produk agrofuel. Terlepas dari konversi minyak sawit menjadi agrofuel, digunakannya CPO sebagai bahan baku agrofuel ditengarai telah berperan pada peningkatan harga minyak sawit di dunia, sebagaimana yang terjadi pada berbagai komoditas yang menjadi sasaran untuk digunakan sebagai bahan baku untuk agrofuel seperti

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000

Luas Areal

Luas Areal

Tahun Hektar


(35)

kacang kedelai, dan jarak pagar2.Hal ini diungkapkan dalam bentuk respon penawaran kelapa sawit dan perubahan luas areal kelapa sawit.

Berdasarkan Gambar 1.4, perkembangan luas areal kelapa sawit sejak tahun 1969 mengalami peningkatan secara berkelanjutan. Pada saat Perkebunan Besar Swasta (PBS) masuk pada tahun 1980, perkembangan luas areal mulai meningkat. Memasuki tahun 2000, peningkatan luas areal meningkat secara tajam karena pada tahun tersebut timbul isu agrofuel. Trend peningkatan luas areal (Gambar 1.4) menggambarkan peningkatan permintaan atas CPO yang terjadi akan produk olahannya seperti ekspor CPO ke China, India, dan Belanda untuk diolah menjadi minyak goreng sawit dan berbagai produk olahan kimia lainnya

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 (diolah)

Gambar. 1.5. Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit

2

Effendi Arianto. Perilaku Harga Minyak Sawit. 2008. http://strategika.wordpress.com/ 0

0.5 1 1.5 2 2.5 3

Produktivitas

Produktivitas

Ton/Hektar


(36)

Berdasarkan Gam tahun 1969 mengalami sektor perkebunan kela meningkat tapi hanya b Hal ini dapat disebabkan

Seperti telah d berdampak langsung pa Jika harga input terlalu menjadi meningkat yang juga dengan harga outpu bagi para petani sang merupakan salah satu dalam menambah atau m

Sumber : Direktorat Jende 2007-2009 (diola

Gamba -100 -50 0 50 100 150 200 250 300 0 5 P er se n tas e P er tu m b u h an ( % )

ambar 1.5, perkembangan produktivitas kelapa s i trend yang sangat fluktuatif. Pada saat PBS elapa sawit pada tahun 1980, produktivitas ke

bertahan selama 3 tahun dan selebihnya sangat an oleh besarnya biaya-biaya input yang juga fluk dijelaskan sebelumnya bahwa naiknya har pada harga produk pertanian melalui kenaikan b lu tinggi, maka akan membuat biaya produksi d ang membuat petani akan mengurangi produksin tput. Penetapan harga output berupa harga dasar y ngat penting untuk dilakukan mengingat har u insentif terbesar yang mempengaruhi keputu

mengurangi produksinya.

deral Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit I olah)

bar. 1.6. Persen Pertumbuhan Harga CPO.

10 15 20 25 30 35

Jumlah Tahun Observasi Harga CPO

a sawit sejak S masuk ke kelapa sawit at fluktuatif. uktuatif. arga energi biaya input. i dari petani inya. Begitu r yang sesuai arga output tusan petani

it Indonesia


(37)

Berdasarkan Ga selama 37 tahun dari t tahunnya. Hal ini dapat kebijakan pemerintah a bahan pangan. Secara g produksi para petani.

Sumber : Direktorat Jende 2007-2009 (diola

Gambar. 1.7 Berdasarkan Gam sawit selama 37 tahun da tahunnya. Hal ini mem berkorelasi positif karen produksi kelapa sawit.

Berdasarkan ura mempengaruhi keputus

0 10 20 30 40 50 60 0 5 P er se n tas e P er tu m b u h an ( % )

ambar 1.6, rata-rata persentase petumbuhan h i tahun 1970 hingga 2006 mengalami peningka at dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti dite ataupun peningkatan permintaan terhadap CP a garis besar, fluktuasi harga CPO mempengaru

eral Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit I lah)

.7. Persen Pertumbuhan Produksi Kelapa Sawit. ambar 1.7, rata-rata persentase petumbuhan produ dari tahun 1970 hingga 2006 mengalami peningk

mbuktikan bahwa harga CPO dan produksi ke rena kenaikan harga CPO akan diikuti dengan pe

uraian di atas, masih banyak faktor-faktor usan petani kelapa sawit baik dalam kegiatan

10 15 20 25 30 35

Jumlah Tahun Observasi Produksi CPO

harga CPO katan setiap iterapkannya PO sebagai aruhi respon

it Indonesia

duksi kelapa gkatan setiap kelapa sawit peningkatan

r lain yang tan produksi


(38)

maupun dalam hal penggunaan faktor-faktor produksi yang didekati melalui respon luas areal tanam dan respon produktivitas. Alasannya adalah penggunaan luas areal tanam dan produktivitas sebagai variabel tidak bebas dapat dengan mudah ditentukan atau dikontrol oleh para petani (Askari dan Cummings, 1977). Semua keputusan tersebut semata-mata didasarkan pada prinsip efisiensi dalam menentukan alokasi yang optimal dari sarana produksi yang berorientasi pada keuntungan atau pendapatan petani.

Dengan demikian, akan menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana respon penawaran dari para petani terhadap berbagai stimulus pasar yang terjadi seperti harga (harga komoditi sendiri dan komoditi substitusi) dan biaya-biaya input sehingga dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan luas areal dan produktivitas kelapa sawit di Indonesia?

2. Bagaimana respon penawaran dari petani kelapa sawit dalam jangka pendek dan jangka panjang?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan luas areal dan produktivitas kelapa sawit di Indonesia.

2. Menduga respon penawaran dari petani kelapa sawit dalam jangka pendek dan jangka panjang.


(39)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah dan instansi-instansi terkait, baik swasta maupun negeri dalam merumuskan kebijakan pengelolaan kelapa sawit sehingga mampu meningkatkan produktivitas. Penelitian ini selain bermanfaat bagi peneliti karena mampu mengaplikasikan ilmu yang dipelajari selama perkuliahan, juga diharapkan bermanfaat bagi para pembaca sebagai sarana menambah wawasan dan bahan penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan produksi kelapa sawit yang diestimasi dengan perubahan luas areal dan produktivitas kelapa sawit di Indonesia. Penelitian ini juga terkonsentrasi pada dugaan elastisitas penawaran dari petani baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek terhadap berbagai stimulus pasar yang terjadi.


(40)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Profil Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit merupakan komoditas andalan perkebunan dalam negeri, karena memiliki andil yang besar sebagai pemasok devisa negara. Walaupun kelapa sawit bukan merupakan tanaman asli Indonesia, namun tanaman ini dapat berkembang dengan baik karena mampu beradaptasi dengan iklim Indonesia (Ditjen Perkebunan, 2006).

Dari segi pemanfaatannya, kelapa sawit dapat diolah menjadi berbagai produk. Saat ini, industri hilir kelapa sawit telah mampu mengolah mulai dari daging buah, biji, tandan kosong, hingga batangnya. Komoditas ini sangat ekonomis karena memiliki berbagai kegunaan baik untuk industri pangan maupun non pangan. Namun, perkembangan produk kelapa sawit lebih cenderung ke arah pengembangan produk pangan (sekitar 90 persen) dan sisanya ke arah produk-produk non pangan atau produk-produk oleokimia (sekitar 10 persen). Dalam hal pangan, sebagian besar minyak sawit digunakan untuk pembuatan minyak goreng dan sebagian untuk pembuatan margarin (Hariyadi et al, 2003)

2.2. Aspek Ekonomis dan Pengolahan Kelapa Sawit

Gambar 1 merupakan gambar pohon industri kelapa sawit yang menunjukan setiap bagian dari kelapa sawit yang memiliki nilai ekonomi. Tandan buah segar kelapa sawit terbagi menjadi 3 bagian yaitu buah, tandan kosong, dan sludge (kotoran). Empat bagian utama dari buah kelapa sawit, yaitu daging, biji,


(41)

tempurung, dan serat dapat diolah menjadi berbagai produk turunannya. Gambar 2.1 juga menggambarkan suatu model pasar, di mana proses merupakan hubungan yang terintegrasi satu sama lain.

Buah kelapa sawit dalam pengolahannya menghasilkan dua jenis minyak. Minyak yang berasal dari daging buah (mesocarp) berwarna merah dikenal sebagai minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO), sedangkan minyak yang kedua berasal dari inti kelapa sawit atau kernel palm oil (KPO). Selain minyak, buah kelapa sawit juga menghasilkan bahan padatan berupa sabut, cangkang (tempurung) dan tandan buah kosong kelapa sawit. Bahan padatan ini dapat dimanfaatkan untuk sumber energi, pupuk, makanan ternak, dan bahan untuk industri.

Seperti yang telah diketahui bahwa produk kelapa sawit dapat dikelompokan dalam jenis bahan makanan (oleofood), bahan non makanan (oleochemical), bahan kosmetika, dan farmasi. Minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pangan diperoleh melalui proses fraksinasi, rafinasi, dan hidrogenasi.


(42)

3

2

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Skema Penggunaan Hasil Pengolahan Tandan Kelapa Sawit, 2006


(43)

Pada umumnya, sebagian besar CPO difraksinasi sehingga menghasilkan fraksi olein (cair) dan fraksi stearin (padat). Fraksi olein digunakan untuk bahan pangan, dan fraksi stearin (padat) digunakan untuk keperluan non pangan. Bahan pangan dengan bahan baku olein antara lain : minyak goreng, mentega, industri makanan ringan, dan sebagainya.

Minyak kelapa sawit sebagai bahan non pangan dapat digunakan untuk bahan industri ringan maupun berat, antara lain untuk industri penyamakan kulit agar menjadi lembut dan fleksibel. Industri tekstil menggunakan minyak sawit sebagai pelumas yang tahan terhadap tekanan dan suhu tinggi. Pada industri ringan dipakai sebagai bahan baku sabun, deterjen, semir sepatu, lilin, tinta cetak, dan sebagainya (Ditjen Perkebunan, 2006)

Selain untuk industri bahan pangan dan non pangan, minyak kelapa sawit juga mempunyai potensi yang cukup besar untuk industri kosmetik dan farmasi. Sifat minyak kelapa sawit yang mudah diabsorbsi kulit, banyak dipakai untuk pembuatan shampo, minyak rambut, lipstik, dan sebagainya.

2.3. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Sejak tahun 1967, luas areal kelapa sawit tumbuh dengan cepat. Hal ini juga disebabkan oleh upaya pemerintah yang ingin mengembangkan tanaman perkebunan sebagai komoditi ekspor. Perkebunan kelapa sawit menurut pengusahaan dibagi menjadi tiga, yaitu Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Rakyat (PR). Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan, Perkebunan Rakyat mendominasi


(44)

produksi kelapa sawit hingga tahun 1980. Kemudian sampai dengan tahun 1988, perkebunan kelapa sawit didominasi oleh PBN, dan kemudian digantikan oleh PBS hingga saat ini. Menurut pendistribusian lahannya, propinsi Riau memiliki lahan yang paling luas yang kemudian diikuti oleh Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jambi. (Ditjen Perkebunan, 2006)

Tabel 2.1. Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2008* (Ha)

Tahun PR PBN PBS Jumlah

2000 1.166.758 588.125 2.403.194 4.158.077

2001 1.561.031 609.947 2.542.457 4.713.435

2002 1.808.424 631.566 2.627.068 5.067.058

2003 1.854.394 662.803 2.766.360 5.283.557

2004 2.220.338 605.865 2.458.520 5.284.723

2005 2.356.895 529.854 2.567.068 5.453.817

2006 2.549.572 687.428 3.357.914 6.594.914

2007 2.752.172 606.248 3.408.416 6.766.836

2008*) 2.903.332 607.419 3.497.125 7.007.876

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009

Keterangan : *) Angka estimasi

: PR : Perkebunan Rakyat : PBN : Perkebunan Besar Negara : PBS : Perkebunan Besar Swasta

Bersamaan dengan perkembangan luas areal yang telah mencapai 6.766.836 hektar pada tahun 2007 (Tabel 2.1), produksi minyak kelapa sawit pun ikut berkembang pesat. Pertumbuhan produksi kelapa sawit Indonesia paling tinggi diantara negara produsen CPO lainnya dalam 8 tahun terakhir, yaitu 2000-2007, atau tumbuh lebih dari 2 kali lipat dari 7,44 juta ton menjadi 17,66 juta ton (Gambar 2.2).


(45)

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 2007-2009 (diolah)

Gambar 2.2. Perkembangan Produksi Kelapa Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2008*) (Ton)

2.4. Tinjauan Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Minyak Sawit Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah pada sektor industri kelapa sawit tidak hanya dari sisi peningkatan produksi, namun yang lebih kompleks pada sisi pengaturan tataniaga minyak sawit. Berbagai instrumen telah diaplikasikan untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : (1) pengendalian laju inflasi dan mencegah penurunan pendapatan masyarakat, dan (2) pengendalian pasokan minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor untuk menjaga kestabilan harga minyak goreng (Amang dalam Wardani 2008).

Beberapa instrumen kebijakan pemerintah yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah (1) penetapan pungutan ekspor, (2) penetapan

-2,000,000 4,000,000 6,000,000 8,000,000 10,000,000 12,000,000 14,000,000 16,000,000 18,000,000 20,000,000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008*)

P ro d u k si C P O ( T o n ) Tahun


(46)

alokasi kebutuhan dalam negeri berupa pembatasan ekspor, (3) pemupukan cadangan penyangga minyak sawit kasar, dan (4) pelarangan ekspor. Instrumen yang sangat populer dan banyak menimbulkan kontroversi antar pihak-pihak yang berkepentingan adalah pajak ekspor (tax export) dan pelarangan ekspor (export ban).

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 Tentang Pengembangan Pola Perkebunan, seluruh perusahaan kelapa sawit harus membangun kemitraan (kebun plasma) dengan kebun inti dengan menggunakan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Pola PIR adalah pola pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan dalam jangka waktu tertentu.

Pengembangan perkebunan dengan pola PIR dilakukan untuk membangun dan membina perkebunan rakyat di wilayah baru dengan teknologi maju agar mampu memperoleh pendapatan yang layak serta meningkatkan kegiatan transmigrasi dengan mewujudkan suatu sistem pengelolaan usaha yang memadukan berbagai kegiatan produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil.


(47)

2.5. Kerangka Pemi 2.5.1. Penawaran

Kurva penawara penawaran (supply sched produsen pada harga-menunjukkan hubungan jika faktor lainnya tetap atau jumlah yang ditaw Gambar 2.3 menunjukan kuantitas per periode d faktor-faktor lain yang m selain harga komoditi teknologi, harga komodi

Sumber : Lip

ikiran Teoritis

ran adalah peyajian penawaran dalam bentuk gra hedule) yang menggambarkan jumlah yang akan

-harga alternatif komoditi tersebut. Kurva an antara jumlah atau kuantitas yang ditawarkan ap sama. Kemiringan positif menunjukkan bahwa awarkan bervariasi dalam arah yang sama deng an kurva penawaran yang menggambarkan hubun dengan harga. Pergeseran kurva penawaran terj g mempengaruhi jumlah yang ditawarkan suatu p ti itu sendiri berubah, misalnya harga input,

diti lain, dan tujuan perusahaan (Lipsey, 1995).

Lipsey (1995)

Gambar 2.3. Kurva Penawaran

grafik skedul n dijual para penawaran n dan harga, wa kuantitas engan harga. ungan antara erjadi ketika u perusahaan t, perubahan


(48)

Pergerakan kurva penawaran dari kiri bawah ke kanan atas dalam satu kurva (misalkan S0) menunjukkan bahwa jika harga komoditi sendiri tinggi maka penjual atau produsen akan menjual dalam jumlah yang lebih banyak. Sedangkan kurva penawaran akan bergeser dari S0 ke S1 apabila faktor selain harga komoditi sendiri seperti harga komoditi pesaing mengalami peningkatan. Jika harga komoditi pesaing meningkat dan dengan asumsi bahwa petani akan menanam komoditi yang lebih menguntungkan, maka petani akan mengurangi jumlah penawaran komoditi sendiri dan meningkatkan jumlah penawaran terhadap komoditi pesaing begitu juga sebaliknya.

Menurut Lipsey (1995), jumlah yang akan dijual oleh perusahaan disebut kuantitas yang ditawarkan untuk komoditi itu. Kuantitas atau jumlah yang ditawarkan merupakan arus, yaitu banyaknya per satuan waktu. Satu hipotesis ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditi, harga komoditi dan kuantitas atau jumlah yang akan ditawarkan berhubungan secara positif, dengan faktor yang lain tetap sama. Dengan kata lain, makin tinggi harga suatu komoditi, makin besar jumlah komoditi yang akan ditawarkan, semakin rendah harga, semakin kecil jumlah komoditi yang ditawarkan.

2.5.2. Respon Penawaran

Kelapa sawit termasuk golongan tanaman tahunan (perennial crop), dengan karakteristik adanya tenggang waktu yang cukup panjang antara saat tanam dengan pertama kali dipanen, yaitu sekitar 3-4 tahun. Oleh karena itu, berbagai hubungan yang dirancang untuk menjelaskan perilaku tersebut, idealnya


(49)

harus mempertimbangkan tenggang waktu antara saat tanam dan saat panen pertama kali, termasuk penanaman dan penggantian tanaman (Labys, 1973). Kendala yang dihadapi adalah tidak tersedianya data yang memadai, terutama untuk penggantian tanaman. Karenanya, sering dilakukan pendekatan yang lebih sederhana, namun cukup representatif.

Menurut Abedullah dan Ali (1998), respon produksi dari produsen sebuah komoditi diasumsikan merupakan fungsi dari harga yang diharapkan dari komoditi itu sendiri (P*t), harga yang diharapkan dari komoditi lain (P*jt), harga input ( ), dan faktor tetap ( ), atau dapat dituliskan sebagai berikut :

Y*t = f (P*t, P*jt, Wt, Zt, *, *, *, *) (2.1)

Dengan :

Y*t = tingkat produksi yang diharapkan dari petani suatu komoditi

sebagai respon dari perubahan harga yang diharapkan pada waktu ke t.

*

, *, *, * = parameter respon produksi dalam jangka panjang dari suatu komoditi sebagai respon terhadap harga sendiri, harga `komoditi lain, harga input, dan faktor tetap.

j = komoditi alternatif.

Jika mengasumsikan petani mempunyai motivasi untuk memaksimumkan keuntungan, maka * akan positif dan * akan negatif. Sedangkan * akan positif jika komoditi bersangkutan dengan komoditi j bersifat komplementer, dan sebaliknya jika bersifat subtitusi maka akan bernilai negatif, atau mempunyai nilai


(50)

nol jika tidak berkaitan. Sementara * akan bernilai positif atau nol tergantung peran dari input tetap tersebut terhadap produksi.

Jika kurva supply menggambarkan hubungan antara harga dan kuantitas dengan asumsi cateris paribus atau menganggap semua faktor lain konstan, maka respon penawaran menggambarkan respon output terhadap perubahan harga dengan tidak menahan faktor lain konstan. Di dalam ilmu ekonomi respon penawaran berarti variasi dari output pertanian dan luas areal dalam kaitannya dengan perubahan harga (Ghatak dan Ingersent, 1984).

2.5.2.1. Perubahan Jumlah Produksi Menurut Perubahan Areal dan Produktivitas

Menurut Tomek dan Robinson (1972), hal-hal yang umumnya menyebabkan perubahan dalam hal produksi adalah perubahan harga input (faktor), perubahan tingkat profitabilitas komoditi alternatifnya, perubahan dalam teknologi yang mempengaruhi baik produktivitas maupun biaya produksi atau efisiensi, dan perubahan harga dari komoditi yang diproduksi secara bersamaan (joint products). Pendugaan respon penawaran sederhana dapat didekati melalui konsep bahwa jumlah produksi pertanian adalah hasil perkalian antara luas areal tanam dengan produktivitasnya (Ghatak dan Ingersent, 1984). Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :


(51)

Dengan :

QRt = Produksi CPO pada tahun t

ARt = Luas areal CPO yang menghasilkan pada tahun t YRt = Produktivitas CPO pada tahun t

Luas areal kelapa sawit dipengaruhi oleh luas areal yang ditanam, di mana luas areal yang ditanam itu sendiri dipengaruhi oleh harga CPO yang terjadi saat itu. Tanaman kelapa sawit mulai berproduksi pada tahun kelima hingga keenam setelah tanam. Namun dengan diterapkannya teknologi maju budidaya kelapa sawit, maka dapat dipersingkat menjadi tidak lebih dari empat tahun dan juga dapat meningkatkan produktivitas tanaman (Darminta, 1995).

Jika dihubungkan secara langsung, maka luas areal tanam merupakan fungsi dari harga CPO pada saat masa panen tersebut dan harga pada saat tanam. Ini merupakan representasi dari jenis fungsi penyesuaian parsial Nerlove yang melibatkan bedakala (lag) peubah harga yang cukup panjang (Hallam, 1990).

2.5.2.2. Respon Penawaran Melalui Respon Areal dan Respon Produktivitas Konsep respon penawaran tercermin dalam elastisitas penawaran. Elastisitas penawaran ini mengukur ketanggapan kuantitas yang ditawarkan terhadap peubah-peubah yang mempengaruhinya dengan nilai antara nol sampai tak terhingga.

Jika kurva penawarannya vertikal, maka jumlah yang ditawarkan tidak akan berubah dengan adanya perubahan harga atau elastisitas penawarannya sama dengan nol. Sebaliknya sebuah kurva penawaran yang horizontal memiliki


(52)

elastisitas penawaran yang tingginya tak terhingga di mana penurunan harga sedikit saja dapat menurunkan jumlah yang akan ditawarkan oleh produsen dari jumlah yang tak terhingga besarnya menjadi nol (Lipsey, 1995). Di antara kedua elastisitas penawaran yang ekstrim ini, terdapat berbagai variasi bentuk kurva penawaran.

Pada umumnya produk pertanian memiliki elastisitas penawaran kurang dari satu (cenderung inelastis). Hal ini disebabkan pada saat permintaan turun, tanah, tenaga kerja, dan mesin yang ditujukan untuk pemakaian pertanian tidak ditransfer dengan cepat ke pemakaian non pertanian. Hal yang sebaliknya terjadi untuk kondisi yang berlawanan (Lipsey, 1995).

Berdasarkan uraian di atas, fungsi areal panen dapat dirumuskan (Ghatak dan Ingersent, 1984) :

ARt = f(PRt, PSt, PFt, UPHt, ARt-1) (2.3) Dengan :

PRt = Harga CPO ditingkat petani pada tahun t PSt = Harga komoditi alternatif pada tahun t PFt = Harga Pupuk pada tahun t

UPHt = Upah tenaga kerja pada tahun t ARt-1 = Peubah beda kala dari ARt

Kemudian, respon penawaran dapat diturunkan dari persamaan (2.2) dengan mengasumsikan baik luas areal maupun produktivitas mempunyai respon


(53)

terhadap perubahan harga (Ghatak dan Ingersent, 1984). Dengan mendiferensiasikannya terhadap harga, maka diperoleh :

(2.4)

Dengan mengasumsikan tingkat pengembalian yang konstan (constant return to scale) dan kemudian membagi kedua ruas dengan Q/P, maka kita mendapatkan :

(2.5)

(2.6)

maka :

(2.7)

Dengan :

eQP = Elastisitas (respon) penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO

eAP = Elastisitas (respon) areal tanam terhadap harga CPO

eYP = Elastisitas (respon) produktivitas terhadap harga CPO

Dengan demikian, elastisitas (respon) penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO (eQP) dapat diduga secara tidak langsung dengan melakukan

pendugaan elastisitas terlebih dahulu terhadap eAP dan eYP. NilaieAP dan eYP dapat

diduga melalui hasil estimasi terhadap variabel-variabel yang digunakan pada model respon luas areal dan respon produktivitas.


(54)

2.5.2.3. Respon Beda Kala (lag) dalam Komoditi Pertanian

Salah satu karakteristik utama produk pertanian adalah adanya tenggang waktu antara menanam dan memanen yang disebut dengan gestation period atau beda kala (lag). Hasil yang diperoleh petani didasarkan pada perkiraan–perkiraan periode mendatang dan pengalamannya di masa lalu. Apabila terjadi peningkatan harga output suatu komoditas pertanian pada saat tertentu maka peningkatan itu tidak akan segera diikuti oleh peningkatan areal dan produktivitas karena keputusan alokasi sumber daya telah ditetapkan petani pada saat sebelumnya. Respon petani terjadi setelah beda kala (lag) sebagai dampak perubahan harga input, output, dan kebijakan pemerintah (Gujarati, 2004).

Peubah beda kala (lagged variable) sering dimasukkan ke dalam model ekonometrik yang menduga respon pelaku ekonomi. Alasannya adalah respon dari pelaku ekonomi untuk merespon terhadap perubahan-perubahan peubah yang mempengaruhi mereka pada umumnya tidak dapat segera diwujudkan, karena diperlukan suatu penyesuaian terlebih dahulu. Dengan demikian, peubah lag dalam model merupakan salah satu cara untuk mempertimbangkan lamanya waktu proses penyesuaian dari perilaku ekonomi dan proses dinamis dari proses tersebut (Koutsoyiannis, 1977). Secara umum, model fungsi respon penawaran hasil-hasil pertanian dipengaruhi oleh tingkat penawaran periode sebelumnya, harga-harga input dan output periode sebelumnya serta faktor-faktor lain (Morzuch et al 1980 dalam Santika 2004).


(55)

2.5.2.4. Model Lag yang Didistribusikan

Dalam Ilmu Ekonomi, ketergantungan suatu variabel Y atas variabel X jarang bersifat seketika (Firdaus, 2004). Sangat sering, Y beraksi terhadap X dengan suatu selang waktu atau setelah beberapa periode waktu. Selang waktu itu disebut lag. Ada tiga alasan utama terjadinya lag, yaitu :

1. Alasan Psikologis

Alasan ini disebabkan oleh kekuatan kebiasaan (kelembaman). Contohnya, orang tidak mengubah kebiasaan konsumsi mereka dengan segera mengikuti penurunan harga atau peningkatan pendapatan, mungkin karena proses perubahan melibatkan suatu kehilangan kegunaan (disutility) yang cepat. 2. Alasan yang Bersifat Teknologi.

Jika harga modal dibandingkan dengan tenaga kerja relatif menurun yang menyebabkan penggantian tenaga kerja secara ilmu ekonomi dimungkinkan. Tentu saja penambahan modal tersebut memerlukan waktu (persiapan). 3. Alasan Kelembagaan

Misalkan kewajiban yang bersifat kontrak mungkin mencegah perusahaan untuk beralih dari satu sumber tenaga kerja atau bahan mentah yang lain. Untuk alasan-alasan tersebut di atas, lag menempati peranan pokok dalam ilmu ekonomi. Hal ini tercermin dalam konsep jangka pendek dan jangka panjang dalam ilmu ekonomi.

Model autoregressive adalah suatu model jika dalam model regresi memasukkan satu atau lebih nilai masa lalu (lagged) dari variabel tidak bebas


(56)

diantara variabel yang menjelaskan. Dengan asumsi dasar bahwa variabel yang menjelaskan dalam model regresi bersifat stokastik.

Model persamaan linier dapat dituliskan sebagai berikut :

Yt = 1 + 2 Yt-1 + 3 Xt + Vt (2.8)

Atau,

Yt = 1 + (1 – ) Yt-1 + 3 Xt + Vt (2.9)

2.5.2.5. Model Nerlove

Model merupakan suatu penjelas dari fenomena aktual sebagai suatu sistem atau proses. Salah satu model yang sering digunakan dalam menganalisis masalah ekonomi adalah model ekonometrika. Model ekonometrika adalah suatu model statistika yang menghubungkan peubah-peubah ekonomi dari suatu fenomena yang mencakup unsur stokastik. Unsur Stokastik ini biasanya diabaikan dalam model ekonomi lainnya yang pada umumnya mengasumsikan adanya hubungan-hubungan secara deterministik (Koutsoyiannis, 1977).

Koutsoyiannis (1977) menyatakan bahwa kriteria suatu model yang terandalkan harus memenuhi tiga tolok ukur, yaitu :

(1) Memenuhi kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful), (2) Secara statistik dapat dipertanggungjawabkan.

Kriteria statistik yang sering digunakan adalah derajat ketepatan (goodness of fit) yang dikenal dengan koefisien determinasi (R2) serta nyata secara statistik (statistically significant).


(57)

(3) Kriteria ekonometrika yang menetapkan apakah suatu taksiran memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, consistency, sufficiency, dan efficiency.

Dari semua model ekonometrik yang digunakan untuk mengestimasi respon penawaran produk pertanian dan perkebunan, model Nerlove adalah salah satu model yang paling sukses dan banyak digunakan serta terus diuji oleh banyak studi untuk memperbaiki model ini (Braulke, 1982). Model Nerlove adalah model dinamis yang menyatakan bahwa output adalah fungsi dari harga yang diharapkan, penyesuaian areal, dan beberapa variabel eksogen lainnya. Berdasarkan Gujarati (2004), sebuah model dikatakan dinamis jika nilai berikutnya dari variabel dependen dipengaruhi oleh nilai pada periode sebelumnya. Bentuk yang tereduksi (reduced form) dari model Nerlove akan berbentuk model autoregressive karena model tersebut memasukkan nilai lag dari variabel dependen diantara variabel-variabel penjelasnya.

Model Nerlove menghipotesiskan reaksi petani atas dasar harga yang diinginkan dan penyesuaian parsial areal (produksi). Menurut Askari dan Cumings (1977), pada periode ke-t (A*t) tergantung pada peubah-peubah bebas X

periode ke-t (Xt). Dalam hal ini, dimisalkan A*t adalah areal tanam kelapa sawit

yang diinginkan, dan dipengaruhi oleh tingkat harga komoditas atau harga CPO pada periode ke-t (Pt) dan peubah bebas lainnya (Xt), maka persamaannya

menjadi :


(58)

Luas areal yang diharapkan tidak dapat diamati secara langsung, sehingga untuk mengatasinya perlu didalilkan suatu hipotesis yang merupakan hipotesis perilaku penyesuaian parsial. Pada umumnya, luas tanam aktual At belum tentu sama besarnya dengan tingkat yang diinginkan A*t. Untuk melukiskan proses penyesuaian antara luas tanam aktual dan luas tanam yang diinginkan, Nerlove (1956) dalam Askari dan Cummings (1977) merumuskan hubungan matematis sebagai berikut :

At – At-1 = d(A*t – At-1) (2.11)

Atau dapat ditulis :

At = dA*t + (1-d) At-1 (2.12)

Kemudian substitusikan persamaan (2.10) ke dalam persamaan (2.11) At = d(a0 + a1 Pt + a2 Xt + ut) + (1-d) At-1

= da0 + da1 Pt + da2 Xt+ (1-d) At-1 + (dut) (2.13)

Sehingga reduced form-nya menjadi:

At = b0 + b1 Pt + b2 Xt+ b3 At-1 + et (2.14)

Dengan :

At – At-1 = Perubahan luas areal aktual yang terjadi

Pt = tingkat harga yang diharapkan pada waktu ke t

A*t – At-1 = Perubahan luas areal yang diinginkan

d = Koefisien penyesuaian (adjusment coefficient)

Koefisien d bernilai 0 d 1 merupakan pengukur kecepatan penyesuaian areal aktual sebagai respon terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi areal tanam yang akan direncanakan. Jika d = 0, maka tidak ada perubahan apapun


(59)

dalam areal, jika d = 1 maka perubahan areal yang diinginkan sama dengan perubahan areal yang terjadi.

Persamaan (2.13) dan (2.14) merupakan persamaan dengan model persamaan parsial Nerlove. Model tersebut menunjukan bahwa besarnya nilai peubah pada suatu periode luas areal (At) sebagian dipengaruhi oleh harga

komoditas itu sendiri (Pt) dan sebagian dipengaruhi oleh cadangan hasil periode

sebelumnya. Karena luas areal dan produktivitas secara bersama-sama menentukan produksi, maka model yang dipakai untuk menduga fungsi respon produktivitas sama dengan model yang dipakai untuk menduga luas areal panen.

2.6. Kerangka Pemikiran Konseptual

Secara umum, untuk menduga respon penawaran petani kelapa sawit di Indonesia dapat didekati dengan menggunakan pendekatan perubahan produksi. Perubahan produksi kelapa sawit dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan bahwa produksi adalah hasil perkalian antara luas areal dan produktivitas. Untuk mengetahui besarnya perubahan produksi kelapa sawit, terlebih dahulu dilakukan identifikasi peubah-peubah eksogen dari luas areal dan produktivitas kelapa sawit.

Namun, seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa baik komoditas pertanian maupun perkebunan memiliki respon beda kala (lag). Untuk itu, dalam masing-masing model baik model respon luas areal maupun model respon produktivitas, dimasukkan peubah lag dari masing-masing peubah endogennya.


(60)

Berdasarkan uraian di atas, analisis respon penawaran kelapa sawit terhadap harga CPO akan dilakukan menggunakan model penyesuaian Nerlove. Model Nerlove terdiri dari dua model yaitu model respon luas areal dan model respon produktivitas.

Setelah kedua model terbentuk, maka dapat diketahui besarnya respon areal dan produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan menjumlahkan besarnya respon luas areal dan respon produktivitas kelapa sawit, maka dapat diketahui besarnya respon penawaran kelapa sawit. Dengan demikian, perubahan produksi dari para petani kelapa sawit dipengaruhi oleh perubahan dari luas areal dan perubahan produktivitas yang pada akhirnya mempengaruhi penawaran kelapa sawit, sedangkan luas areal dan produktivitas sendiri dipengaruhi oleh berbagai hal.

Dari hasil analisis ini, maka dapat diketahui prospek kelanjutan produksi kelapa sawit. Penulis membuat alur pemikiran yang digambarkan dalam Gambar 2.4 untuk mempermudah pelaksanaan penelitian.


(61)

5

1


(62)

2.7. PenelitianTerdahulu 2.7.1. Penelitian Mengenai CPO

Susila (1995) melakukan penelitian tentang model ekonomi minyak sawit mentah dunia. Kesimpulan hasil penelitian bahwa respon jangka pendek produksi, konsumsi, ekspor, dan impor terhadap perubahan harga CPO dan harga minyak pesaing bersifat inelastis. Pada sisi lain respon harga CPO terhadap perubahan produksi dalam jangka pendek bersifat elastis dengan koefisien 1,4. Hasil simulasi dengan skenario baku menunjukan bahwa produksi, konsumsi, ekspor-impor CPO dunia meningkat masing-masing dengan laju 6,08 persen, 5,0 persen, dan 4,12 persen pertahun untuk periode 1995-2000.

Penelitian tentang CPO dilakukan oleh Askadirimi (2007) yang menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan minyak sawit (CPO) Indonesia dengan metode Two-Stage Least Squares (2SLS). Hasil penelitian Askadarimi menunjukan bahwa produksi minyak sawit (CPO) Indonesia tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi luas areal kelapa sawit dan produktivitas minyak sawit Indonesia. Persamaan luas areal kelapa sawit Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil CPO domestik, harga riil karet domestik, dummy kebijakan perluasan areal kelapa sawit, dan luas areal kelapa sawit Indonesia tahun sebelumnya. Pada persamaan produktivitas kelapa sawit Indonesia menunjukkan bahwa harga riil ekspor CPO, dummy kebijakan perluasan areal kelapa sawit, dan produktivitas CPO Indonesia tahun sebelumnya berpengaruh nyata, sedangkan harga riil CPO domestik dan harga riil pupuk domestik tidak berpengaruh secara nyata. Pengenaan pajak ekspor CPO untuk


(63)

pengamanan pasokan domestik mestinya hanya menjadi kebijakan jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang kebijakan dari sisi produksi akan lebih efektif.

Penelitian tentang CPO juga dilakukan oleh Wardani (2008) yang menganalisa dampak kebijakan perdagangan di sektor industri CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng dalam negeri dengan menggunakan metode Two-Stage Least Squares (2SLS). Hasil penelitian Wardani menunjukkan bahwa model keterkaitan ekspor CPO dan pengaruh pajak ekspor CPO terhadap keseimbangan pasar minyak goreng sawit Indonesia menghasilkan lima persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Penawaran ekspor CPO Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga riil ekspor CPO, nilai tukar riil, pajak ekspor CPO, produksi CPO domestik, dan populasi Indonesia. Sedangkan lag ekspor CPO Indonesia tidak berpengaruh secara nyata terhadap ekspor CPO Indonesia. Berdasarkan hasil yang diperoleh, upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah perlu adanya suatu kebijakan alternatif selain pajak ekspor sebagai komplemen untuk mengatasi kelemahan dari penerapan pajak ekspor.

2.7.2. Penelitian Mengenai Respon Penawaran

Alias dan Tang (2005) menganalisis hubungan jangka panjang antara pasokan minyak kelapa sawit Malaysia dan variabel-variabel yang mempengaruhinya menggunakan analisis kointegrasi multivarian Johansen. Analisis supply response kelapa sawit Malaysia menggunakan data tahunan (series) produsen kelapa sawit dari 1967 sampai 2002. Error Correction Model digunakan untuk menganalisis supply response kelapa sawit dalam jangka pendek.


(64)

Variabel-variabel yang digunakan adalah expected price minyak kelapa sawit relatif terhadap harga karet (tanaman substitusi), pengeluaran pemerintah sebagai proxy untuk kebijakan pemerintah, trend waktu untuk mewakili trend teknologi, dan interest rate yang mewakili cost of borrowing pembukaan lahan baru. Studi ini menggunakan produksi minyak kelapa sawit (dalam ton) sebagai variabel proxy untuk output kelapa sawit, bukan produktivitas ataupun luas areal. Hasil yang diberikan menggambarkan rasio produksi ke daerah-daerah perkebunan (hektar), yang lebih tepat untuk mengukur dampak kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis. Menurut teori fungsi produksi, peningkatan produksi akan meningkatkan rata-rata dari hasil sawit. Variabel tingkat suku bunga menggambarkan proxy biaya pembiayaan tanam. Koefisien pendugaan diharapkan negatif. Ketika terjadi peningkatan biaya pinjaman akan berdampak pada menurunnya pembukaan areal baru diharapkan ada negatif dampak tanam. Expected price CPO dapat dimodelkan dengan beberapa cara : naïve model, simple lagged model, dan model rational lag lainnya. Studi ini menggunakan naïve model dalam menentukan expected price komoditinya pada periode ke-t. Koefisien pada setiap variabel dengan tanda positif atau negatif (+/-) diharapkan menunjukkan hubungan antar variabel yang diharapkan.

Leaver (2004) menganalisis elastisitas harga dari penawaran tembakau di Zimbabwe menggunakan model Nerlove yang diadaptasi. Variabel yang digunakan adalah produksi (ton), harga riil tembakau, produksi pada periode tahun sebelumnya, trend waktu sebagai proksi agro-teknologi, variabel dummy curah hujan, dan kuota penjualan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas


(65)

jangka pendek bernilai 0,34 dan elastisitas jangka panjang bernilai 0,81. Hasil ini menggambarkan bahwa para petani tembakau di Zimbabwe tidak responsive terhadap perubahanharga yang terjadi.

Purwandari (2006) dalam Analisis Respon Penawaran Kelapa di Pulau Jawa menggunakan model distribusi beda kala penyesuaian Nerlove dengan persamaan tunggal regresi berganda. Peubah bebas yang digunakan untuk respon areal kelapa yaitu luas areal kelapa (t-1), harga kopra, harga padi, dan harga kacang hijau sedangkan untuk respon produktivitas adalah produktivitas (t-1) harga kopra, harga kacang hijau, harga jagung, harga padi, dan harga kacang tanah. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan deret waktu (time series) selama 20 tahun yaitu dari tahun 1984 sampai dengan tahun 2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap respon areal kelapa di Pulau Jawa adalah harga riil kopra tahun sebelumnya, harga riil padi tahun sebelumnya, dan harga riil kacang hijau tahun sebelumnya. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap respon produktivitas adalah variabel produktivitas kelapa tahun sebelumnya. Hasil dari respon areal dan respon produktivitas kelapa di Pulau Jawa bertanda negatif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sehingga respon penawaran kelapa di Pulau Jawa pada jangka pendek dan jangka panjang bertanda negatif.


(66)

2.8. Hipotesis Penelitian

Mengacu pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

1. Respon Luas Areal

Diduga bahwa luas areal periode sebelumnya, harga CPO periode sebelumnya, dummy kebijakan inti plasma, dan dummy perkebunan swasta berpengaruh positif, sedangkan harga karet alam periode sebelumnya, tingkat suku bunga modal kerja, dan dummy krisis ekonomi berpengaruh negatif.

2. Respon Produktivitas

Diduga bahwa produktivitas periode sebelumnya, harga CPO periode sebelumnya, dummy kebijakan inti plasma, dan dummy perkebunan swasta berpengaruh positif, sedangkan harga pupuk urea, harga pupuk sp-36, upah tenaga kerja di sektor industri, dan harga pestisida serta dummy krisis ekonomi berpengaruh negatif.


(67)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan deret waktu (time series) selama 38 tahun, yaitu dari tahun 1969-2006. Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik Jakarta, Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Indonesian Palm Oil Comission Board (IPOC), Indonesian Palm Oil Research Institute (IOPRI), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan Bogor, dan jurnal-jurnal ekonomi serta instansi-instansi lain terkait dengan penelitian yang telah dilakukan.

Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah luas areal tanam kelapa sawit, produktivitas kelapa sawit, harga CPO, harga karet alam, upah tenaga kerja, harga pupuk urea, harga pupuk sp-36, suku bunga modal kerja, harga pestisida, dummy kebijakan inti plasma, dummy perkebunan swasta, dan dummy krisis ekonomi. Semua data harga yang masuk ke dalam model dideflasi dengan rata-rata indeks umum harga yang diterima dan dibayarkan petani setiap tahunnya.

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode kuantitatif. Untuk gambaran perkembangan CPO di Indonesia dan pembahasan hasil pengolahan data, dilakukan analisis secara deskriptif. Metode kuantitatif


(68)

dengan pendekatan Model Penyesuaian Parsial Nerlove dengan persamaan tunggal regresi berganda.

Adapun fungsi yang digunakan adalah fungsi Double-log atau Logaritma natural ganda (ln). Fungsi Ln banyak digunakan dalam studi-studi respon penawaran terdahulu karena hasil koefisien yang dihasilkan langsung mengestimasi pada nilai elastisitas. Pendugaan model tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik estimasi Ordinary Least Square (OLS) dengan program Microsoft Excel 2007 dan Eviews 5.1.

3.3. Spesifikasi Model Analisis

Pada penelitian Leaver (2004) dan Alias dan Tang (2005), output yang digunakan dalam model estimasi adalah jumlah produksi (ton). Namun dalam penelitian ini, pembentukan model estimasi respon penawaran diperoleh secara tidak langsung melalui respon luas areal dan respon produktivitas. Oleh karena itu, pengukuran respon penawaran menggunakan dua pendekatan respon, yaitu respon luas areal dan respon produktivitas. Alasannya adalah penggunaan luas areal tanam dan produktivitas sebagai variabel tidak bebas dapat dengan mudah ditentukan atau dikontrol oleh para petani (Askari dan Cummings, 1977). Selanjutnya, keputusan petani dalam menentukan luas areal tanam dan produktivitas merupakan refleksi langsung dari respon dari respon petani terhadap perubahan harga (Askari dan Cummings, 1977). Model respon luas areal dan produktivitas terdiri atas peubah bebas (eksogen) dan peubah tak bebas (endogen).


(69)

Adapun yang menjadi peubah tak bebas adalah luas areal (A) dan produktivitas (PRODV).

3.3.1. Model Respon Luas Areal

Variabel-variabel yang dimasukan ke dalam model respon luas areal kelapa sawit antara lain luas areal kelapa sawit (t-1) karena dalam penelitian respon penawaran dilakukan secara tidak langsung melalui areal (t-1), harga CPO, harga karet alam, tingkat suku bunga modal kerja, dummy kebijakan inti plasma, dummy perkebunan swasta, dan dummy krisis ekonomi.

Variabel harga CPO menggambarkan tingkat kesejahteraan petani kelapa sawit karena mereka memperoleh manfaat dari hasil menjual buah kelapa sawit kepada pabrik pengolah CPO dan juga sebagai indikator dari respon penawaran dari petani dalam jangka pendek dan jangka panjang (IPOC, 2007). Koefisien pendugaan diharapkan bertanda positif sehingga bila terjadi peningkatan harga CPO akan diikuti dengan peningkatan output yaitu luas areal.

Variabel harga karet alam menggambarkan kondisi persaingan antara kelapa sawit dan karet alam dalam pengadaan luas areal karena menurut IOPRI (2008), persaingan yang terjadi diantara dua komoditi tersebut sangat kuat. Karet alam dan kelapa sawit merupakan komoditas andalan ekspor Indonesia. Secara agroklimat, kelapa sawit dan karet memiliki kesamaan dalam kebutuhan akan cuaca dan kondisi tanah dalam produktivitasnya. Koefisien pendugaan diharapkan bertanda negatif.


(70)

Tingkat suku bunga modal kerja adalah variabel yang menggambarkan proksi pembiayaan tanaman sehingga ketika terjadi peningkatan biaya pinjaman maka akan berdampak pada menurunnya pembukaan areal baru dan penawaran kelapa sawit pada periode berikutnya (Alias dan Tang, 2005). Koefisien dugaan diharapkan bertanda negatif sehingga ketika terjadi kenaikan suku bunga dalam peminjaman modal akan berdampak negatif terhadap pembukaan lahan baru.

Model Respon Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia :

At = a0 + a1 At-1 +a2 HCPOt-1 + a3 HKRTt-1 +a4 TKSBt-1 +a5 DKRISt-1 +

a6 DKEPRESt-1 +a7 DPBNSt-1 +et (3.1)

Jika ditransformasikan ke dalam persamaan logaritma natural ganda (ln-ln) maka persamaannya menjadi :

LnAt = a0 + a1 lnAt-1 +a2 lnHCPOt-1 + a3 lnHKRTt-1 + a4 TKSBt-1 +a5

DKRISt-1 +a6 DKEPRESt-1 +a7 DPBNSt-1 +et (3.2)

Dengan :

A = Luas Areal Panen (Ha)

HCPO = Harga CPO (Rp/Kg) HKRT = Harga Karet Alam (Rp/Kg)

TKSB = Tingkat Suku Bunga Modal Kerja (%)

DKRIS = Dummy Krisis Ekonomi (D1 = 0 untuk tahun 1969-1996 dan D1 = 1 untuk tahun 1997-2006)

DKEPRES = Dummy Kebijakan Inti Plasma Kelapa sawit (D2 = 0 untuk tahun 1969-1985 dan D2 = 1 untuk 1986-2006)


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)