Respon Produktivitas Kelapa Sawit Indonesia

masing-masing variabel eksogen dalam model respon produktivitas memiliki nilai VIF dibawah 10 Lampiran 2. Dengan demikian, model terbebas dari masalah multikolinieritas Hasil pendugaan model respon produktivitas secara nasional berdasarkan model penyesuaian Nerlove disajikan pada Tabel 4.2. Hasil uji statistik-t menunjukkan bahwa perkembangan produktivitas kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh produktivitas lag 1 tahun sebelumnya pada taraf 15 persen, harga CPO pada taraf 5 persen, harga pupuk urea pada taraf 15 persen, upah tenaga kerja pada taraf 15 persen, dummy kebijakan inti plasma, dan harga pestisida pada taraf 1 persen. Koefisien dugaan lag produktivitas bertanda positif dan nyata pada taraf 15 persen menggambarkan bahwa dengan asumsi increasing return to scale, para petani kelapa sawit sangat menikmati produktivitas kelapa sawit yang terus meningkat sepanjang tahun. Peningkatan lag produktivitas kelapa sawit akan direspon petani dengan meningkatkan pemeliharaan sehingga produktivitas kelapa sawit mereka akan meningkat pada periode selanjutnya. Koefisien harga CPO bertanda positif dan nyata pada taraf 5 persen mengindikasikan peningkatan harga CPO akan direspon oleh petani dengan meningkatkan pemeliharaan sehingga terjadi peningkatan produktivitas tanaman kelapa sawit pada periode selanjutnya. Koefisien dugaan harga pupuk urea bertanda negatif dan nyata pada taraf 15 persen menggambarkan bahwa peningkatan harga pupuk urea akan menurunkan produktivitas kelapa sawit periode berikutnya sampai dengan takaran tertentu. Mengingat pupuk urea merupakan jenis pupuk yang banyak digunakan oleh petani kelapa sawit pada masa panennya sehingga sangat berpengaruh terhadap produktivitas kelapa sawit Subdirektorat Pupuk Departemen Pertanian, 2009. Koefisien dugaan harga pupuk SP-36 bertanda negatif sekalipun tidak nyata hingga taraf 15 persen. Hasil ini menggambarkan kenaikan harga pupuk sp- 36 periode sebelumnya akan diikuti oleh penurunan produktivitas kelapa sawit periode berikutnya. Namun hal ini menjadi tidak nyata karena pupuk SP-36 bukan merupakan jenis pupuk utama yang dibutuhkan kelapa sawit melainkan jenis pupuk pilihan yang hanya diberikan pada tanaman kelapa sawit dalam masa pertumbuhannya karena dapat memacu pertumbuhan akar dan sistem perakaran yang baik, menambah daya tahan tanaman kelapa sawit, dan membantu pertumbuhan jaringan tanaman yang membentuk titik tumbuh tanaman Subdirektorat Pupuk Departemen Pertanian, 2009. Pupuk urea dan pupuk SP-36 bersifat saling melengkapi satu sama lain. Koefisien dugaan upah tenaga kerja di sektor industri bertanda positif sekalipun tidak nyata pada taraf 15 persen. Hasil ini menggambarkan bahwa peningkatan upah tenaga kerja periode sebelumnya di sektor industri pengolahan kelapa sawit akan memicu petani untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya. Namun hal ini tidak nyata karena industri pengolahan CPO merupakan industri yang bersifat padat modal sehingga biaya-biaya pengolahan tandan buah segar lebih banyak dikeluarkan untuk perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi. Oleh karena itu, pengaruh upah tenaga kerja tidak signifikan terhadap keputusan-keputusan para petani dalam produktivitasnya. Koefisien variabel harga pestisida bertanda negatif dan nyata pada taraf 1 persen menggambarkan naiknya harga pestisida akan berdampak pada menurunnya produktivitas pada periode berikutnya karena semakin sedikit petani yang menggunakan pestisida sehingga tidak mampu melindungi tanamannya dari hama. Aplikasi pestisida sangat dibutuhkan dalam melindungi tanaman kelapa sawit dari serangan hama. Hama yang paling sering menyerang kelapa sawit adalah kumbang tanduk oryctes rhinoceros sp dan umumnya menyerang tanaman kelapa sawit yang masih muda. Tanaman yang terserang hama ini dengan akut dapat mati dan jika dapat bertahan, maka daya hasil tanaman akan menurun atau bahkan saat awal produksinya tertunda. Pengendalian biasanya dilakukan dengan menangkap kumbang setiap hari atau aplikasi insektisida setiap minggunya. Perlu diketahui bahwa biaya operasional aplikasi insektisida ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan menangkap kumbang setiap hari IOPRI, 2008. Variabel dummy krisis ekonomi memiliki koefisien bertanda negatif dan tidak nyata hingga taraf 15 persen. Secara teori, krisis ekonomi mengakibatkan harga-harga input yang digunakan pada produktivitas akan meningkat tajam. Namun hal ini tidak nyata karena estimasi dilakukan secara nasional sedangkan tanaman kelapa sawit tidak tumbuh di seluruh Indonesia Lampiran 5. Kebijakan inti plasma yang diterapkan pemerintah terbukti mampu meningkatkan produktivitas pada taraf 15 persen karena perusahaan plasma dituntut untuk menggunakan bibit unggul, pupuk tepat dosis, dan aplikasi insektisida yang baik. Dengan demikian, kebijakan pemerintah mampu membina Perkebunan Rakyat yang termasuk dalam perusahaan inti plasma untuk meningkatkan produktivitasnya karena terbukti produktivitas perusahaan inti plasma lebih baik daripada perusahaan rakyat biasa. Masuknya Perkebunan Besar Swasta PBS dan Perkebunan Besar Negara PBN ke sektor perkebunan kelapa sawit pada tahun 1980 mampu meningkatkan luas areal dan produktivitas kelapa sawit karena bersamaan dengan itu, berbagai kebijakan dan program pemerintah seperti penyediaan modal dan fasilitas pemyuluhan turut diimplementasikan dan berpengaruh terhadap perkembangan luas areal dan produktivitas di Indonesia. Namun hal ini menjadi tidak nyata karena areal perkebunan kelapa sawit terletak di daerah yang lebih spesifik seperti Sumatera dan Kalimantan Lampiran 5.

4.2 Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa konsep respon penawaran tercermin dalam elastisitas penawaran. Elastisitas penawaran mengukur ketanggapan kuantitas yang ditawarkan terhadap peubah-peubah yang mempengaruhinya dengan nilai antara nol sampai tak hingga. Adapun perbandingan elastisitas baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Respon Penawaran Kelapa Sawit di Indonesia dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang Keterangan Respon Luas Areal Kelapa Sawit terhadap Harga CPO Respon Produktivitas Kelapa Sawit terhadap Harga CPO Respon Penawaran Kelapa Sawit terhadap Harga CPO Koefisien adjustment 0,1047 0,3194 Elastisitas Jangka Pendek 0,0261 0,0281 0,0542 Elastisitas Jangka Panjang 0,2496 0,0880 0,3377 Keterangan : Berdasarkan Tabel 4.3, nilai elastisitas dari respon luas areal kelapa sawit, respon produktivitas kelapa sawit, dan respon penawaran kelapa sawit dalam jangka pendek dan jangka panjang terhadap harga CPO berada di antara nol dan satu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa respon bersifat inelastis sehingga perubahan satu persen variabel eksogen dari masing model respon akan mengakibatkan perubahan variabel endogen kurang dari satu persen. Hal ini mengindikasikan bahwa petani relatif kurang responsif terhadap perubahan harga. Hasil yang diberikan dari respon luas areal kelapa sawit terhadap harga CPO dalam jangka pendek sebesar 0,0261 menggambarkan bahwa ketika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sebelumnya maka petani akan merespon dengan menaikkan luas areal kelapa sawitnya pada tahun berikutnya. Pada jangka panjang, respon luas areal kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami peningkatan yaitu sebesar 0,2496. Ini menggambarkan bahwa para petani telah memahami bahwa pada jangka panjang, permintaan terhadap CPO sebagai bahan baku agrofuel akan semakin meningkat. Oleh karena itu, para petani memutuskan untuk mengkonversi sisa lahan yang dimiliki mereka menjadi areal perkebunan kelapa sawit IOPRI, 2008 guna meningkatkan tingkat respon penawaran mereka. Hasil yang diberikan dari respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO dalam jangka pendek sebesar 0,0281 menggambarkan ketika terjadi peningkatan harga CPO pada tahun sebelumnya, maka petani akan meresponnya dengan meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya pada tahun berikutnya. Pada jangka panjang, respon produktivitas kelapa sawit terhadap harga CPO mengalami sedikit peningkatan yaitu sebesar 0,0880. Dengan demikian, dapat dipastikan akan terjadi peningkatan produktivitas kelapa sawit dalam jangka pendek dan panjang. Respon luas areal dan respon produktivitas pada jangka pendek bernilai relatif sama. Hasil ini menggambarkan bahwa dalam jangka pendek, respon petani baik luas areal dan produktivitas terhadap perubahan harga relatif sama. Namun dalam jangka panjang, respon produktivitas petani lebih kecil dibandingkan dengan respon luas arealnya. Berbeda dengan produktivitas mesin yang sangat elastis terhadap perubahan harga, produktivitas suatu tanaman bersifat inelastis karena ketika harga naik maka tidak serta merta langsung meningkatkan produktivitasnya. Ketika harga CPO meningkat, para petani meningkatkan pemeliharaan kelapa sawit mereka dengan menambah atau menggunakan input- input baru seperti aplikasi pupuk Nitrogen Phospor Kalium NPK. Fungsi NPK pada tanaman kelapa sawit adalah mempercepat pertumbuhan tanaman dan menjadikan tanaman lebih sehat dan kuat serta dosis pemberian pupuk yang lebih terukur.