Respon Luas Areal Kelapa Sawit Indonesia
VIF dibawah 10 Lampiran 2. Dengan demikian, model terbebas dari masalah multikolinieritas.
Hasil pendugaan model respon luas areal secara nasional berdasarkan model penyesuaian Nerlove disajikan pada Tabel 4.1. Hasil uji statistik-t
menunjukkan bahwa perkembangan areal panen sangat dipengaruhi oleh lag areal panen, harga CPO, dan harga karet alam.
Koefisien dugaan dari lag luas areal bertanda positif dan signifikan pada taraf 1 persen menggambarkan bahwa peningkatan lag luas areal tahun
sebelumnya akan diikuti dengan kenaikan luas areal pada tahun berikutnya. Koefisien dugaan dari harga CPO juga bertanda positif dan nyata pada taraf 5
persen mengindikasikan bahwa kenaikan harga CPO pada tahun sebelumnya akan diikuti dengan peningkatan luas areal pada tahun selanjutnya.
Koefisien harga karet alam bertanda negatif menggambarkan dampak peningkatan harga karet alam pada periode sebelumnya akan diikuti oleh
penurunan luas areal kelapa sawit pada periode selanjutnya. Tanaman karet merupakan kompetitor utama dalam pemanfaatan lahan di seluruh Indonesia
sehingga ketika terjadi kenaikan harga secara umum dan dengan asumsi petani akan menanam komoditi yang menguntungkan, maka petani akan mengurangi
lahan kelapa sawitnya dan memperbanyak menanam tanaman karet pada periode berikutnya karena tanaman karet memberikan keuntungan yang lebih besar.
Variabel tingkat suku bunga modal kerja memiliki koefisien sebesar - 0,0290 dan tidak nyata hingga taraf 15 persen. Koefisien dugaan bertanda negatif
dan sesuai dengan parameter yang diharapkan. Tingkat suku bunga modal kerja
adalah variabel yang menggambarkan proksi pembiayaan tanaman sehingga ketika terjadi peningkatan biaya pinjaman maka akan berdampak pada
menurunnya pembukaan areal baru dan penawaran kelapa sawit pada periode berikutnya. Dengan kata lain, biaya pembebasan areal lahan baru yang rendah
akan memotivasi para petani untuk menanam kembali pohon kelapa sawit mereka yang telah memasuki usia tua atau mensubstitusi tanaman karet dengan tanaman
kelapa sawit dalam persaingan luas areal. Namun hal ini menjadi tidak nyata karena dukungan kebijakan moneter tidak berpengaruh secara nyata dari
pemerintah ke sektor perkebunan. Faktor ini juga dapat menggambarkan opprtunity cost
petani dalam menyimpan uang tunai. Dalam menyimpan uang tunai, para petani harus memutuskan apakah uang tersebut disimpan atau
diinvestasikan. Jika tingkat suku bunga modal kerja lebih tinggi dari tingkat return of production
kelapa sawit, maka para petani tidak akan memilih meningkatkan produksinya dengan menanam kembali kelapa sawit secara intensif
atau membeli lahan baru untuk menanam kembali kelapa sawitnya Alias dan Tang, 2005.
Begitu juga dengan dummy krisis ekonomi Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap luas areal hingga taraf 15 persen dengan koefisien dugaan bertanda
positif dan tidak sesuai dengan parameter yang diharapkan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sekitar tahun 1997 sama sekali tidak berpengaruh nyata
terhadap keputusan petani kelapa sawit dalam menentukan luas arealnya pada periode selanjutnya. Sektor pertanian memiliki ketahanan yang cukup tinggi
terhadap krisis ekonomi. Menurut IOPRI 2008, salah satu faktor penyebabnya
adalah bahan baku yang digunakan dalam proses produksi pada sektor ini sebagian besar merupakan bahan baku lokal, bukan impor. Sehingga ketika
banyak perusahaan yang collapse akibat krisis tahun 1997 justru sektor pertanianlah yang mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga dapat
menyelamatkan pemerintah dan negara dari kebangkrutan. Menurut Susila 2006, pengembangan industri CPO Malaysia sangat
didukung oleh pemerintah Malaysia. Hal ini terbukti dengan adanya landasan hukum yang kuat dan diimplementasikan dalam bentuk kebijakan yang efektif
yang dilaksanakan oleh keterpaduan lembaga-lembaga yang mengelola kelapa sawit di Malaysia. Untuk Indonesia, dukungan kebijakan industri kelapa sawit
tidak sesolid di Malaysia. Hal ini ditunjukan oleh nilai dummy kebijakan inti plasma yang tidak nyata hingga taraf 15 persen sehingga diperlukan koordinasi
antara kelembagaan kelapa sawit dan pemerintah dalam membentuk suatu kebijakan yang baik.