T = tingkat teknologi yang digunakan
K = kapital modal fisik dan finansial
L = modal manusia beserta ilmu pengetahuan yang dikuasai
2.8 Penelitian Terdahulu
Wiwiek Rindayati 2009, dalam disertasi “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di Wilayah Provinsi Jawa Barat”.
Hasil dari penelitian ini adalah desentralisasi fiskal membawa perubahan struktur penerimaan dan struktur pengeluaran pemerintah. Penerimaan daerah mengalami
peningkatan secara signfikan. Peningkatan terjadi pada semua komponen PAD, bagi hasil maupun dana alokasi dari pusat. Nilai kenaikan pajak dan retribusi
daerah secara relatif menurun hal ini dikarenakan adanya peningkatan penerimaan dari pos DAU yang kontribusinya relarif besar. Sehingga walaupun secara absolut
PAD meningkat, namun secara relatif share terhadap penerimaan daerah menurun dari 15 persen menjadi 13 persen. Komponen dana transfer dari pemerintah pusat
berupa dana Subsidi Daerah Otonom SDO masa sebelum desentralisasi fiskal dan Dana Alokasi Umum DAU masa desentralisasi fiskal mengalami
peningkatan sangat besar. Desentralisasi fiskal diharapkan membawa perubahan pada peningkatan kemandirian daerah yang tercermin pada kontribusi PAD,
namun pada saat ini masih belum bisa terealisasi karena peranan daerah belum optimal dalam menggali sumber-sumber PAD baru terutama dari sumber
peningkatan laba usaha daerah BUMN yang relatif masih kecil. Andros MP Hasugian 2006 dalam skripsi “Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja keuangan
yang ditunjukkan dengan tingkat kemandirian lebih baik ketika sebelum
desentralisasi fiskal sedangkan laju pengurangan kemiskinan lebih cepat pada masa desentralisasi fiskal. Peranan mekanisme transfer terhadap tingkat
kemandirian menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan satu persen rasio DAU terhadap penerimaan maka akan menurunkan tingkat rasio PAD terhadap
penerimaan sebesar 0,02 persen. Demikian juga dengan variabel dummy desentralisasi fiskal yang negatif dan signifikan yang artinya rasio PAD terhadap
penerimaan relatif lebih kecil pada masa desentralisasi fiskal. Hasil penelitian analisis regresi dengan metode panel data yang menganalisis pengaruh dari
penerimaan daerah berupa DAU, PAD, bagi hasil terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa dana transfer berupa DAU tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kemiskinan. Tetapi variabel dummy negatif dan signifikan, yang artinya persentase penduduk miskin pada masa desentralisasi fiskal relatif
lebih kecil. Hal ini menandakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memang berpihak pada kemiskinan.
Annisa Irdhania 2009 dalam skripsi “Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi Keuangan Kabupaten Bogor”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik terhadap komponen PDRB, yaitu
konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah. Konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah
meningkat selama masa desentralisasi fiskal. Jadi, secara keseluruhan penerapan desentralisasi fiskal diduga memberikan pengaruh yang positif pada kinerja
perekonomian. Artinya setelah diterapkan desentralisasi fiskal, kinerja perekonomian Kabupaten Bogor mengalami peningkatan yang signifikan.
Variabel pendapatan disposable, populasi, dan total penerimaan keuangan pemerintah daerah memberikan kontribusi dengan nilai elastisitas yang positif dan
nyata secara statistik terhadap kinerja perekonomian. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan nyata
secara statistik terhadap penerimaan retribusi Kabupaten Bogor, sedangkan dana transfer dipengaruhi secara positif dan nyata. Jika dikaitkan dengan kinerja
perekonomian, penurunan pada retribusi ini akan membawa efek yang positif terhadap kinerja perekonomian Kabupaten Bogor. Penerapan desentralisasi fiskal
tidak memengaruhi variabel potensi keuangan lainnya secara signifikan. Variabel pendapatan per kapita, jumlah kamar hotel, suku bunga, total pengeluaran
keuangan pemerintah, dan jumlah penduduk miskin mempengaruhi potensi keuangan Kabupaten Bogor dengan nilai elastisitas yang positif dan nyata secara
statistik. Marius Masri 2010 dalam tesis “Analisis Pengaruh Kebijakan Fiskal
Regional terhadap Inflasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur Periode 2001-2008”. Hasil perhitungan yang diperoleh, belanja pegawai dan belanja operasional
berpengaruh positif dan signifikan pada α = 5 terhadap inflasi, sedangkan belanja modal dan dummy reformasi desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan
signifikan pada α 1 terhadap inflasi. Belanja pemerintah dapat memengaruhi inflasi, sehingga peneliti menyarankan agar belanja pemerintah diprioritaskan
untuk kepentingan publik seperti belanja modal atau investasi karena dapat meningkatkan output barang dan jasa sehingga dapat menjaga stabilitas harga.
Sedangkan belanja pegawai dan belanja operasional digunakan untuk kepentingan operasional kegiatan dan program pemerintah.
Nurlatifah 2011 dalam tesis “ Determinan Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur”. Hasil yang diperoleh, terjadi pangsa
pengeluaran pangan yang diimbangi dengan kenaikan konsumsi kalori masyarakat yang menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan
perhitungan ketahanan pangan rumah tangga dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa persentase
penduduk yang rawan pangan relatif cukup besar walaupun dari tahun ketahun mengalami penurunanan. Rata-rata lama sekolah berpengaruh secara signifikan
positif terhadap persentase rumah tangga yang memiliki ketahanan pangan. Infrastruktur merupakan salah satu akses pangan yanga akan meningkatkan
ketahanan pangan rumah tangga. Hasil pengolahan regresi logistik ordinal menyatakan dari delapan variabel
penjelas ada satu variabel penjelas yang tidak signifikan yaitu gender kepala rumah tangga. Sedangkan umur kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah
tangga, daerah tempat tinggal rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan perkapita dan penerimaan beras miskin berpengaruh signifikan dalam
penentuan ketahanan pangan rumah tangga. Muana Nanga 2005 dalam jurnal ilmiah Ranggagading dengan judul “
Potret Kinerja Fiskal KabupatenKota di Indonesia Sebelum dan Setelah Pelaksanaan Otda”. Hasil yang diperoleh dari analisis ini menunjukkan bahwa
kondisi fiskal daerah dalam hal ini kabupatenkota di Indonesia setelah pelaksanaan otonomi daerah ternyata menjadi lebih baik better-off. Kondisi ini
dapat dilihat dari indeks posisi fiskal yang lebih baik dimana sebelum otonomi daerah 1999 sebagian besar provinsi memiliki indeks posisi fiskal kabupaten
kota yang rendah namun setelah OTDA hal ini terjadi justru sebaliknya dimana sebagian besar provinsi telah memiliki posisi fiskal yang lebih baik.
Boyke T.H. Situmorang 2009 dalam jurnal Pembangunan yang berjudul “ Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Ketahanan Pangan dan Kemiskinan di
Provinsi Sumatra Utara”. Hasil dari penelitian ini adalah faktor-faktor yang memengaruhi 1 kinerja fiskal daerah adalah a pajak daerah dan bagi hasil,
pajak dipengaruhi oleh PDRB dan kebijakan fiskal daerah b pengeluaran rutin dipengaruhi oleh PAD, c pengeluaran pembangunan di sektor pertanian dan
transportasi dipengaruhi oleh DAU; sedangkan 2 faktor-faktor yang memengaruhi kinerja kemiskinan dipedesaan dan perkotaan adalah a harga jual
beras, b PDRB, dan c jumlah pengangguran. Kebijakan non fiskal daerah justru memberikan perngaruh yang lebih baik bila berkaitan dengan usaha untuk
mengurangi kemiskinan. Pendidikan menjadi salah satu faktor penting untuk menstimulus kehidupan masyarakat menjadi lebih berkualitas.
Perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu dengan penelitian ini terletak pada penambahan variabel seperti DAU, PAD dan
pengeluaran pemerintah yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan dengan menggunakan metode ekonometrika yaitu analisis data panel dan diikuti dengan
analisis deskriptif perhitungan kinerja fiskal yang dilihat dari derajat otonomi fiskal, posisi fiskal dan korelasi antara derajat otonomi fiskal dan ketahanan
pangan disetiap kabupatenkota pada tahun 2003-2010 di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2.9 Kerangka Pemikiran