Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan kualitas manusia dalam peningkatan produktivitas. Tingkat kesehatan yang baik
dapat didukung dengan pelayanan kesehatan yang memadai sebagai sarana penunjang.
Tabel 4.3 Persentase rumah tangga dengan akses yang sangat terbatas terhadap sarana pelayanan kesehatan tahun 2007
Provinsi Rumah
Sakit Puskesmas
Dokter RT akses sangat
terbatas terhadap fasilitas kesehatan 5
km
Aceh 33
311 365
10.8 Jawa Tengah
34 117
295 2.00
NTB 13
134 153
3.80 NTT
25 253
269 14.20
Maluku 18
142 35
10.40 Papua
17 83
54 12.70
Sumber : FSVA, 2009 Tabel 4.3 memperlihatkan jumlah pelayanan kesehatan diberbagai provinsi.
NTT merupakan provinsi yang memiliki jumlah pelayanan kesehatan yang relatif banyak bila dibandingkan dengan Papua dan Maluku. Namun dalam persentase
akses terhadap fasilitas kesehatan 5 km, NTT merupakan provinsi yang memiliki tingkat keterbatasan akses yang lebih tinggi yaitu sebesar 14,20 persen
dibandingkan dengan provinsi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan pelayanan kesehatan yang baik apabila tidak diimbangi dengan kemudahan akses
maka akan kurang menunjukkan perubahan dalam kualitas kesehatan masyarakat.
4.4.3 Konsumsi dan Pengeluaran Rumah Tangga
Konsumsi pangan menurut FSVA ini menunjukkan tingkat asupan energi penduduk yang dinyatakan dalam energi kkal per kapita per hari, dan asupan
protein dinyatakan dalam gram per kapita per hari. Konsumsi pangan dihitung berdasarkan pengeluaran untuk makanan dalam rumah tangga selama sebulan dari
sampel yang di survei tiap tahun FSVA, 2009. Tingkat konsumsi penduduk terhadap bahan makanan mencermikan keadaan gizi yang dialami oleh
masyarakat. Apabila semua zat makanan atau gizi dipenuhi maka setiap orang mempunyai peluang untuk mendapatkan keadaan gizi yang layak.
Keragaman dalam mengkonsumsi bahan makanan merupakan salah satu upaya pemenuhan gizi. Pemenuhan kebutuhan kalori yang baik bukan hanya
terdapat dalam beras saja tetapi bisa dengan konsumsi umbi-umbi yang juga mengandung nilai kalori yang dibutuhkan oleh tubuh. Saat ini paradigma
masyarakat masih terbatas dalam konsumsi beras sebagai makanan pokok utama, padahal pemerintah telah mencanangkan diversifikasi pangan sebagai upaya
pengurangan kebutuhan konsumsi beras. Upaya ini dilakukan pemerintah sebagai salah satu cara mengatasi kerawanan pangan yang terjadi akibat adanya
ketergantungan dalam mengkonsumsi beras.
Gambar 4.2 Rata-rata konsumsi kalori dan protein tahun 1996, 1999, 2002 dan 2005 .
Dalam gambar 4.2 diperlihatkan bahwa konsumsi penduduk terhadap kebutuhan kalori bertumpu pada konsumsi padi-padian dibandingkan konsumsi
ubi-ubian. Konsumsi padi-padian sebesar 66,1 persen pada tahun 2005 sedangkan
10 20
30 40
50 60
70 80
1996 1999
2002 2005
konsumsi untuk ubi-ubian hanya sebesar 6,21 persen. Konsumsi ubi-ubian masih jauh tertinggal dibandingkan konsumsi padi-padian. Hal ini menunjukkan bahwa
ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras masih sangat tinggi. Begitu pula dengan konsumsi protein yang memiliki porsi sangat kecil dalam pemenuhan
gizi masyarakat. Konsumsi protein yang terdiri dari ikan, daging dan telur memiliki nilai yang rendah dalam pemenuhan gizi individu. Konsumsi ikan hanya
sebesar 1,61 persen, daging 1,71 dan telur hanya sebesar 0,45 persen. Sebagian besar masyarakat hanya mengkonsumsi padi-padian sebagai sumber karbohidrat
utama tanpa diimbangi dengan sumber protein lainnya baik dari protein hewani maupun dari protein nabati.
Tingkat kesejahteraan suatu masyarakat secara ekonomi dapat digambarkan dengan besaran pendapatanpenghasilannya. Pendekatan yang dapat dipakai untuk
mengetahui tingkat pendapatan masyarakat dapat dilihat dengan mengukur besaran pengeluaran konsumsi rumah tangga baik makanan maupun non
makanan. Pola konsumsi masyarakat dapat berubah sesuai dengan proporsi pengeluaran yang digunakan untuk pembelian bahan makanan maupun non
makanan. Pengeluaran rata-rata perkapita sebulan adalah hasil bagi antara total
pengeluaran konsumsi seluruh penduduk selama satu bulan dengan jumlah penduduk. Pengeluaran rata-rata perkapita di NTT masih didominasi pengeluaran
antara 200.000 - 299.999. Kondisi ekonomi yang memburuk dan tingkat inflasi yang tinggi dapat mempengaruhi pola konsumsi karena adanya penurunan standar
hidup. Bagi penduduk yang berpendapatan rendah pengeluaran untuk konsumsi makanan lebih diprioritaskan.
Sebagian besa makanan. Rata-rata pe
tahun 2010 untuk kelo
Gambar 4.3 Persentas kelompok
Dalam gambar masih mendominasi
sebesar 41 persen. B besarnya tingkat pend
maka semakin tinggi Hal ini dapat menunj
Besarnya porsi penge makanan dapat berda
Semakin besar konsum bobot inflasi komodit
buk
sar penduduk NTT menggunakan pengelua pengeluaran per kapita penduduk naik sebesar
uk kelompok bukan makanan dibanding tahun 2009.
ntase rata-rata pengeluaran per kapita penduduk pok barang tahun 2010.
bar 4.3 diperlihatkan bahwa pengeluaran untuk si yaitu sebesar 59 persen dan pengeluaran
. Besarnya pola konsumsi masyarakat sangat di pendapatan rumah tangga. Semakin tinggi ting
gi pula tingkat konsumsi masyarakat untuk bah nunjukkan meningkatnya tingkat kesejahtera
ngeluaran terhadap konsumsi produk makana rdampak pada tingkat inflasi yang terjadi di
konsumsi produk non makanan ternyata berdam oditi non makanan terhadap perhitungan inflasi P
makanan 59
bukan makanan 41
eluarannya untuk ar 3,8 persen pada
hun 2009.
nduduk NTT menurut
uk bahan makanan n bukan makanan
t dipengaruhi oleh ingkat pendapatan
bahan non pangan. raan masyarakat.
nan maupun non di suatu provinsi.
dampak pula pada i Provinsi NTT.
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Kinerja Fiskal
Dalam analisis ini kinerja fiskal dilihat dari derajat otonomi fiskal dan posisi fiskal. Derajat otonomi fiskal di lihat dari rasio PAD terhadap total penerimaan
sedangkan posisi fiskal dilihat dari rasio kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Dalam sisi penerimaan keuangan pemerintah daerah NTT banyak mengalami
perubahan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dana yang di transfer oleh pemerintah pusat dalam bentuk DAU. Efisiensi dan efektifitas pengalokasian DAU atau
transfer dana lainnya menjadi kunci indikator suatu kebijakan desentralisasi mencapai tujuan yang diharapkan. Peningkatan efektivitas penggunaan anggaran
daerah dapat dilihat dari sisi pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk membiayai program-program yang telah dirancang untuk peningkatan
pembanguanan daerah dan ketahanan pangan pada khususnya. Alokasi pengeluaran pemerintah dalam membiayai kebutuhan dasar dalam peningkatan
ketahanan pangan wilayah maupun rumah tangga menjadi indikator yang penting untuk melihat dana yang terserap pada pos-pos yang telah diberikan berjalan
dengan lancar.
5.1.1 Analisa Derajat Otonomi Fiskal
Untuk menghitung derajat otonomi fiskal, dapat digunakan rasio antar Pendapatan Asli Daerah terhadap total penerimaan daerah. Semakin besar rasio
PAD terhadap total penerimaan daerah, maka dapat dikatakan bahwa daerah tersebut memiliki derajat otonomi fiskal yang tinggi. Sebaliknya, apabila nilai
rasio kecil, maka dapat dikatakan bahwa daerah tersebut memiliki derajat otonomi fiskal yang rendah.