sistem pertanian tanpa mempertimbangkan keseimbangan lingkungan dan penambahan jumlah populasi yang membutuhkan ketersediaan lahan untuk
perumahan. Dalam hasil pengolahan data, luas lahan panen signifikan terhadap jumlah
penduduk tidak tahan pangan. Hal ini dikarenakan lahan merupakan sarana dalam pengembangan sektor primer yang memang diketahui sebagai sumber mata
pencaharian utama penduduk NTT. Penduduk NTT yang masih bergantung dengan kondisi alam dalam pengembangan sektor primer seperti pertanian dan
peternakan dalam
meningkatkan perekonomian
daerah membutuhkan
ketersediaan lahan yang memadai untuk peningkatan kesejahteraan hidup dengan meningkatkan kinerja perekonomian di bidang pertanian. Selain itu tingkat
kepemilikan lahan yang kecil yang dimiliki oleh petani dan sebagian besar dimiliki oleh pemilik modal untuk membuka usaha diluar pertanian seperti
pengembangan sektor industri juga berperan dalam peningkatan jumlah penduduk tidak tahan pangan.
5.3.9 Jumlah Produksi Padi
Hasil regresi menunjukkan bahwa koefisien jumlah produksi padi berpengaruh negatif dan positif, artinya setiap kenaikan 1 satu persen jumlah
produksi padi maka akan menurunkan jumlah penduduk tidak tahan pangan sebesar 0,155729 persen. Jumlah produksi padi mengalami keadaan yang
fluktuatif setiap tahunnya. Hal ini tidak dipungkiri adanya faktor luar seperti curah hujan dan tingkat kesuburan tanah. Perkembangan produksi padi NTT pada 10
tahun terakhir meningkat rata-rata 2,6 persen. Produksi padi pada tahun 2009 berada di titik puncak. Namun peningkatan produksi padi itu masih jauh dari
kebutuhan konsumsi beras masyarakat NTT. Pada tahun 2011 NTT masih terdapat kekurangan produksi beras sebesar 226.790 ton BPS, 2011.
Peningkatan produksi pangan khususnya padi yang sebagian besar masih dikonsumsi oleh masyarakat berdampak pada peningkatan ketahanan pangan.
Peningkatan produksi padi dapat diikuti dengan peningkatan pendapatan penduduk yang diperoleh dari sektor primer khususunya pertanian. Peningkatan
pendapatan juga berperan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam mengkonsumsi kebutuhan pokoknya. Apabila kebutuhan pokok dalam konsumsi
bahan makanan dapat dipenuhi maka keadaan ketahanan pangan rumah tangga dapat tercapai.
5.3.10 Pendidikan Tamat SMP
Hasil regresi
menunjukkan bahwa
koefisien jumlah
penduduk berpendidikan tamat SMP berpengaruh negatif namun tidak signifikan. Hasil
pengolahan untuk jumlah penduduk yang tamat SMP tidak signifikan dalam pengurangan jumlah penduduk tidak tahan pangan hal ini berkaitan dengan
tingkat pekerja yang bekerja di berbagai sektor seperti sektor primer maupun sektor tersier. Rancangan kebijakan pemerintah yang mewajibkan penduduk
untuk mengikuti program wajib belajar sembilan tahun diharapkan dapat meningkatkan tingkat pendidikan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan
produktivitas para pekerja. Dalam kenyataanya tingkat pendidikan yang diperoleh memberikan
sumbangan untuk banyaknya pengangguran. Dalam data yang diperoleh dari BPS 2011 tingkat pengangguran tertinggi masih didominasi pada pendidikan tamat
SMA 26,53, SMP 24,55 dan SD 25,94 . Data menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan tamat SMP menempati urutan kedua dalam tingkat pengangguran. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan tamat SMP masih kurang
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan jumlah penduduk tidak tahan pangan. Selain itu dalam komposisi pekerja yang ada di sektor primer
yang merupakan sektor utama penduduk NTT masih didominasi dengan penduduk tamatan SD yang memperoleh nilai sebesar 49,40 persen dan SMP
18,87 persen. Hasil tersebut menjelaskan bahwa komposisi pekerja yang berada di sektor primer masih didominasi oleh pekerja tamatan SD sehingga peningkatan
produktivitas pekerja menjadi kurang meningkat secara maksimal. Pendidikan yang diterima juga berpengaruh terhadap pengetahuan yang
diterima mengenai kondisi ketahanan pangan yang ada. Banyaknya penduduk yang memiliki pendidikan diatas 9 tahun diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam pentingnya mencapai keadaan kondisi tahan pangan yang ada. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi
tingkat kesadaran dalam perbaikan status tahan pangan yang ada.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1. Kinerja fiskal yang dilihat dari derajat otonomi fiskal dan posisi fiskal
menunjukkan bahwa kabupatenkota di provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki derajat otonomi fiskal dan posisi fiskal yang rendah. Derajat
otonomi fiskal yang ada di setiap kabupaten dan kota hanya sekitar 0,30 persen yang menunjukkan kriteria sangat kurang. Kota Kupang merupakan
daerah yang memiliki derajat otonomi fiskal dan posisi fiskal yang relatif tinggi dibandingkan daerah lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2. Keterkaitan antara derajat otonomi fiskal dengan ketahanan pangan
menunjukkan korelasi yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa dengan peningkatan derajat otonomi fiskal memiliki hubungan yang positif dengan
jumlah penduduk tidak tahan pangan. Ketidaksesuaian hasil dengan hipotesis awal ini dikarenakan derajat otonomi fiskal yang ada masih sangat
kurang yaitu berkisar 0,30 persen di setiap kabutapatenkota. 3.
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa variabel-variabel yang memengaruhi ketahanan pangan adalah Dana Alokasi Umum DAU,
Pendapatan Asli Daerah PAD, pendapatan perkapita, luas lahan panen, dan produksi padi. Namun terdapat dua variabel yang tidak sesuai dengan
hipotesis awal yaitu DAU dan luas lahan. Variabel DAU tidak sesuai hipotesis awal dikarenakan pengalokasian anggaran yang bersumber dari
penerimaan DAU banyak dialokasikan untuk kebutuhan belanja pegawai dibandingkan dengan belanja modal. Sedangkan luas lahan panen tidak