waktu dan pada suksesnya program penyesuaian yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi FAO, 1997 ; Rindayati, 2009.
2.5 Konsep Ketahanan dan Indikator Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan merupakan fenomena yang kompleks, mencakup banyak aspek dan faktor terkait yang luas. Istilah ketahanan pangan muncul pada tahun
1974 ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia. Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dimana
terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas
keamanan safety, distribusi yang merata dan kemampuan membeli. Pada World Food Summit 1996, ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus
menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadaicukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan
mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat FSVA, 2009. Ketahanan pangan merupakan pilar utama suatu negara dalam perencanaan
pembangunan. Ketahanan pangan merupakan jalan yang strategis dalam memacu perekonomian. Hal ini dikarenakan tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak
memerlukan pangan. Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai
aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek- aspek tersebut dengan kepemilikan aset rumah tangga, strategi penghidupan, dan
lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain, status ketahanan pangan suatu rumah tangga atau individu ditentukan oleh interaksi dari
faktor lingkungan pertanian agro-environmental, sosial ekonomi dan biologi dan bahkan faktor politik FSVA, 2009.
Soeharjo 1995, berpendapat bahwa konsep ketahanan pangan dapat diterapkan pada berbagai tingkatan : global, nasional hingga tingkat rumah tangga
atau individu. Disebutkan pula bahwa situasi ketahanan pangan antar tingkatan tersebut dapat saling dukung. Hardiansyah et al 1998 berpendapat bahwa karena
tidak setiap rumah tangga atau individu mempunyai akses terhadap proses produksi pangan dengan terbatasnya pemilikan lahan pertanian, untuk mencapai
ketahanan pangan rumah tangga, dibutuhkan dukungan ketersediaan pangan di tingkat lokal dan nasional. Sedangkan, Simatupang 1999 lebih melihat
hubungan antara ketahanan pangan di tingkat global, nasional hingga rumah tangga atau individu sebagai suatu sistem hirarkis hierarchial system Saliem,
2004. Pentingnya ketahanan pangan ditunjukkan oleh Timmer 1996 dalam
Amang dan Sawit 2001 yang menyimpulkan dari studinya untuk kasus Indonesia, Jepang, dan Inggris bahwa tidak satupun negara dapat
mempertahankan proses pertumbuhan ekonomi tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah ketahanan pangan. Untuk Indonesia perekonomian beras
terbukti secara signifikan merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 1960an.
Ketahanan pangan merupakan isu multi-dimensional yang memerlukan analisis dari berbagai parameter tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan
saja. Meskipun tidak ada cara yang spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan
pada tiga dimensi yang berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh tumah tangga dan pemanfaatn pangan oleh individu
FSVA, 2009. Untuk mengukur ketahanan pangan baik secara mikro dan makro dapat dicerminkan oleh beberapa indikator tergantung dari tujuan dan kepentingan
dari penelitian yang dijalankan serta ketersediaan data Rindayati, 2009. Indikator-indikator ketahanan pangan tersebut diantaranya adalah : 1
produksi pangan baik tingkat rumah tangga, wilayah, regional, nasional; 2 tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, wilayah, regional, nasional; 3
proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumah tangga; 4 fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga; 5 keadaan
konsumsi pangan; 6 status gizi; 7 angka indeks ketahanan pangan rumah tangga; 8 angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan
wilayah; 9 skor Pola Pangan Harapan PPH untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi; 10 kondisi keamanan pangan; 11 keadaan kelembagaan cadangan
pangan masyarakat; 12 tingkat cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan; 13 kemampuan untuk stok pangan; 14 indeks
diversifikasi pangan indeks herfindahl, indeks simpson, indeks entropy; dan 15 indeks kemandirian pangan Saliem et al., 2005; Ariani et al., 2007; Rindayati,
2009. Keadaan ketahanan pangan harus didukung dengan ketersediaanya dana
yang cukup negara dan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan. Ketersediaan dana menentukan tingkat konsumsi bahan pangan baik dilihat dari
konsumsi kalori maupun konsumsi protein. Kalori dan protein dibutuhkan tubuh dalam proses pengembangan organ fisik maupun non fisik. Kebutuhan akan kalori
dan protein digunakan dalam mengatasi kondisi rawan pangan yang dibutuhkan dalam ketahanan pangan nasional. Dalam usia produktif antara usia 19-29 tahun
angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan per orang per hari adalah, untuk pria energi yang dibutuhkan 2550 kkal dan protein 60 gr, sedangkan untuk wanita
energi yang dibutuhkan sebesar 1900 dan protein 50 gr. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kecukupan gizi yang sesuai produktivitas akan optimal.
Ketersediaan bahan pangan di suatu daerah bisa menjadi penyebab suatu daerah menjadi rawan pangan yang berpengaruh dalam pembangunan nasional. Suatu
wilayah yang dikatakan rawan pangan dapat dilihat dari ketersedian bahan pangan dan kemudahan dalam mengakses bahan pangan tersebut.
2.6 Peranan Pemerintah