6 Sistem Religi
Sistem religi dalam suatu kebudayaan mempunyai tiga unsur yaitu sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang
menganut religi itu. Adapun sistem keyakinan biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang dianggap sebagai buku suci. Keyakinan
mengandung konsepsi tentang dewa yang baik maupun jahat, konsepsi tentang makhluk halus, konsepsi tentang roh leluhur, konsepsi tentang
hidup, konsepsi tentang dunia, konsepsi tentang ilmu gaib, dan sebagainya. Kemudian sistem upacara keagamaan mengandung empat aspek yakni
tempat upacara keagamaan dilakukan, saat upacara keagamaan dijalankan, benda-benda dan alat upacara, orang yang melakukan dan memimpin
upacara. Mengenai umat yang menganut keyakinan, biasanya dideskripsikan mengenai pengikut suatu kepercayaan dan hubungan satu
dengan yang lainnya. 7
Kesenian Kesenian merupakan segala ekspresi hasrat manusia terhadap
keindahan di dalam suatu kebudayaan. Hasil kesenian yang diciptakan oleh seniman di setiap daerah tentu beraneka ragam. Dipandang dari sudut
cara kesenian sebagai ekspresi hasrat manusia akan keindahan, maka ada dua lapangan besar, yaitu seni rupa atau kesenian yang dinikmati oleh
manusia dengan mata seni patung, seni relief, seni lukis dan gambar, dan seni rias. Seni suara atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan
telinga seni vokal, seni instrumental. Suatu lapangan kesenian yang meliputi kedua bagian tersebut adalah seni gerak atau seni tari, karena
kesenian ini dapat dinikmati dengan mata maupun telinga. Akhirnya ada lapangan kesenian yang mencakup semuanya, yaitu seni drama. Lapangan
kesenian ini mengandung unsur-unsur dari seni rias, seni musik, seni sastra, dan seni tari. Seni drama bisa bersifat dengan teknologi modern seperti
seni film.
Tiap unsur kebudayaan menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan, yakni wujudnya berupa sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan fisik. Wujud
sistem budaya dari suatu unsur kebudayaan universal berupa adat. Sedangkan sistem sosial dari suatu unsur kebudayaan dapat berupa aktivitas-aktivitas
sosial. Kemudian ketujuh unsur kebudayaan universal itu masing-masingnya mempunyai wujud fisik, wujud fisik ini dapat berupa benda-benda
kebudayaan. Pertama, wujud ini adalah wujud ideal dari kebudayaan. Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya. Sifatnya abstrak, tidak dapat
diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala. Atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan
bersangkutan itu hidup. Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada
masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi
dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya. Istilah lain untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat, atau adat istiadat
dalam bentuk jamak.
Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini merupakan wujud
kebudayaan yang disebut sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta
bergaul satu dengan yang lain, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-
manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, di foto, dan didokumentasi.
Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut kebudayaan fisik, karena berupa seluruh total hasil fisik
dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat. Sifatnya konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat,
dan difoto.
14
B. Hakikat Novel
Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet Inggis: novelette, yang berarti sebuah karya
14
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1983, h. 189-190.
prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.
15
Kata novel berasal dari bahasa Latin, novus yang artinya baru. Dalam bahasa Italia novel disebut novella. Suatu prosa naratif yang lebih panjang
dari cerita pendek yang biasanya memerankan tokoh-tokoh atau peristiwa imajiner. Novel merupakan karangan sastra prosa panjang dan mengandung rangkaian
cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekitaranya dengan cara menonjolkan sifat dan watak tokoh-tokoh itu. Novel dalam bahasa Perancis
disebut romanz yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai “roman”. Nouvelle mungkin berarti berita, kabar, informasi segar, dongeng, kisah, hikayat, dan cerita
pendek.
16
Abrams mengklasifikasi tipe novel secara umum berdasarkan perbedaan materi pelajaran, penekanan, dan tujuan artistik sebagai berikut:
1. Bildungsroman and Erziehungsroman are German term signify novels of formation or novel of education. The subject of these novels is the
development of the protagonists mind and character, as he passes from childhood through varied experiences and usually through a spiritual crisis –
into maturity and the recognition of his identity and role in the word.
2. The sociological novel emphasizes the influence of social and economic conditions on characters and events; often it also embodies an implicit or
explicit thesis recommending social reform. 3. The historical novel takes its setting and some of its characters and events
from history; the term is usually applied only if the historical milieu and events are fairly elaborately developed and important to the central narrative.
4. The regional novel emphasizes the setting, speech, and customs of a particular locality, not merely as local color, but as important conditions
affecting the temperament of the characters, and their ways of thinking, feeling and acting: “Wessex” in Hardy’s novels, and “Yoknapatawpha
County,” Mississippi, in Faulkner’s.
17
Klasifikasi yang dimaksudkan Abrams di atas, bahwa novel dibagi atas empat kalsifikasi yaitu 1 novel pendidikan, subjek novel ini mengalami perkembangan
pikiran dan karakter, melalui krisis spiritual dari masa kanak-kanak menuju
15
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 9-10.
16
Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000, h. 161- 162.
17
M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1971, h. 112-113.
kedewasaan; 2 novel sosiologis yang menekankan pada kondisi sosial dan ekonomi; 3 novel sejarah yang mengambil latar peristiwa sejarah yang cukup
rumit dan penting; dan 4 novel regional yang menekankan latar dan kebiasaan lokalitas tertentu, bukan saja sebagai warna lokal semata, namun tentang karakter
temperamen, dan cara berpikir. Di Indonesia sendiri novel sudah lama dikenal dan dinikmati hingga saat ini
pecinta novel luar biasa. Novel adalah cerita berbentuk prosa. Prosa adalah karangan bebas yang mengekspresikan pengalaman batin pengarang mengenai
masalah kehidupan dalam bentuk dan isi yang harmonis yang menimbulkan kesan estetik dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita
dengan alur yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan latar cerita yang juga beragam. Novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata
dan mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dalam karya sastra novel meliputi tema, alur, latar, gaya
bahasa, sudut pandang, penokohan, dan amanat. 1.
Tema Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema suatu cerita
menyangkut segala persoalan.
18
Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-
bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang “disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara
eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak secara sengaja disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca.
Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.
19
18
Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, Bandung: CV. Yrama Widya, 2012, h. 40.
19
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 68.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan utama yang menyangkut segala persoalan dalam keseluruhan isi karya sastra. Tema
biasanya tersirat dalam cerita, maka untuk menemukan tema pembaca harus menelaah keseluruhan cerita.
2. Tokoh dan Penokohan
Aminuddin dalam Siswanto menyebutkan tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin
suatu cerita.
20
Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu
karya oleh sastrawan disebut perwatakan. Penokohan merupakan cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam
cerita.
21
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus
sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh- tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu
pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita central character, main character, sedang
yang kedua adalah tokoh tambahan peripheral character.
22
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel- novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat
ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan.
20
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo, 2008, h. 142.
21
Kosasih, op. cit., h. 36.
22
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 176.