Kelompok Sosial Unsur-unsur Sosial

lebih senang disebut dengan nama klen mereka yaitu Yebikon bukan Mbireri. Orang Yebikon hidup secara berpindah-pindah, asal mula kampung orang Yebikon adalah hutan Rimba. Orang Yebikon dikenal sebagai orang-orang hutan yang menyukai hidup tenang. Orang yebikon juga dikenal dengan sebutan Si Penjaga Hutan. Makanan utama mereka adalah sagu, karena itu di mana ada hutan sagu di situlah mereka menetap. Orang Yebikon memakan daging dari hasil berburu babi liar di hutan. Mereka juga menangkap buaya untuk dimakan dagingnya dan kulinya untuk dijual. Pakaian orang Yebikon agak berbeda dari orang-orang di pegunungan Megafu. Laki-laki dan perempuan masih sama bertelanjang dada, namun mereka sudah mengenal kain. Kelamin laki- laki ditutup dengan selembar kain. Ada tali yang mengikat kain itu menjadi ikat pinggang, kemudian bagian belakangnya tetap dibiarkan telanjang. Perempuan Yebikon memakai kain lebih lebar yang dililitkan dan menutupi tubuh dari bawah dada sampai lutut. Bagian atas tetap telanjang untuk menyusui anak dengan bebas. Ada juga orang Yebikon yang sudah berpakaian, mereka menggunakan celana pendek. Ada beberapa orang pendatang yang kadang lewat di perkampungan Mbireri, dari mereka ini sebagian orang Yebikon meniru cara berpakaian. Orang-orang Yebikon tidak kaku dalam menjalankan kehidupan karena sudah sering bertemu orang-orang berbeda.

d. Lembaga Sosial

Lembaga sosial ialah sebagai alat kontrol atas perilaku anggota masyarakat di dalam kelompok sosial, karena tidak semua orang berperilaku sesuai dengan harapan kelompok. Lembaga dapat dilukiskan sebagai suatu organ yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Lembaga sosial baik secara formal maupun informal dibuat dengan tujuan untuk mengikat perilaku anggota masyarakat agar berperilaku sesuai dengan tatanan aturan yang menjadi kesepakatan sosial. Adapun lembaga sosial formal yang terdapat di dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany adalah berikut: 1 Polisi Polisi termasuk ke dalam lembaga sosial formal yang bertugas mengikat masyarakat yang berperilaku menyimpang agar sesuai dengan tatanan aturan yang berlaku. Polisi menjaga keamanan dan menindak pembunuhan antar kelompok warga. Kantor polisi letaknya jauh dari pemukiman warga Aitubu dan Hobone, maka ketika terjadi perang polisi tidak dapat langsung datang, polisi baru datang ke lokasi beberapa hari setelah kejadian. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: Pada hari keempat, mereka tak menyangka sejumalah polisi datang. Polisi langsung menembak beberapa pemuda yang berada di tengah lapang. Polisi sudah mendapat laporan pemuda Aitubu menyerang dan membunuh orang-orang Hobone. Bagi polisi, yang membunuh adalah yang bersalah. Polisi punya alasan untuk menembak mereka. Ada yang mati, ada yang terluka. Yang luka parah dibawa dengan tandu terpal, diusung ke rumah sakit di kota. Yang luka biasa dan lainnya ditangkap dibawa ke kantor polisi, di masukkan ke penjara dan disiksa. 128 Kutipan di atas menggambarkan polisi sebagai lembaga sosial formal berhak menindak warga yang bersalah. Bagi polisi, warga Aitubu bersalah karena telah menyerang dan membunuh orang-orang Hobone. Polisi lantas menembaki pemuda warga Aitubu di tengah lapang yang sedang bersiaga dengan busur dan anak panahnya. Tindakan tersebut sebetulnya dimaksudkan untuk dapat membawa pemuda Aitubu ke kantor polisi. Namun karena pemuda Aitubu memegang senjata maka polisi melumpuhkannya. Kemudian polisi pun memenjarakan pemuda-pemuda Aitubu tersebut. 128 Ibid., h. 40. Keberadaan polisi sebagai lembaga sosial formal mengamankan lingkungan masyarakat tidaklah dipahami oleh warga Aitubu maupun Hobone. Polisi dianggap tidak menyelesaikan masalah, bagi warga Aitubu dan Hobone sebagai orang-orang Iko, orang-orang kuat, perang harus dilawan dengan perang. Perang sudahlah ada dari ratusan tahun dan dilakukan oleh para leluhurnya. Musuh dan lawan saling berhadapan dengan panah-panah. Menuntut ganti rugi atas kehilangan, mata diganti mata, nyawa diganti nyawa. Begitulah perang antar warga yang sudah ada turun-temurun. 2 Tentara Tentara sebagai lembaga sosial formal digambarkan sebagai orang- orang yang memakai seragam hijau. Keberadaan tentara sebenarnya untuk menertibkan warga pedalaman di Papua. Karena keadaan wilayah yang sulit di jangkau oleh pemerintah, maka tentara mewakili wajah pemerintah Indonesia bagi warga pedalaman. Tentara meminta warga untuk berpakaian, menjadi orang modern dengan menggunakan celana dan meninggalkan koteka. Sering terjadi tindak kekerasan antara warga dan tentara. Hal ini dikarenakan warga pedalaman tidaklah dapat mengerti maksud tentara terlebih karena tentara dan warga tidak dapat mengerti bahasa satu dengan lain. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut: Meage meminta Urem berbaring. Ia lalu memberikan pertolongan untuk luka-luka di kaki Urem. Silak menanyakan apa penyebab perang. Urem bercerita semula adalah masalah pakaian. Koteka. Lalu ada masalah kedua, tanah. Tentara meminta paksa tanh-tanah milik penduduk di perkampungan Doken. Hal itu karena pemerintah punya program transmigrasi. Penduduk dari luar Pulau Papua dipindah ke Papua. Setelah itu masalah pemilu. Silak tak mengerti. Mbirei maupun Aitubu, juga Hobone, adalah daerah di pedalaman yang terpencil. Bahkan jauh terpisah dari tempat- tempat lain. Tak semua wilayah, apalagi daerah-daerah yang sulit kondisi alamnya, bisa dijangkau oleh pemerintah. Urem menjelaskan tentang pemilu pada Silak. Pemilu adalah pemilihan umum. 129 Tentara mengenalkan pakaian modern pada warga, penduduk di pedalaman diminta untuk memakai pakaian modern dan meninggalkan koteka. Namun, warga pedalaman memakainya layaknya memakai koteka. Warga pedalaman tidak mengenal mencuci baju, dan mengganti pakaian, mereka memakai pakaian layaknya memakai koteka. Warga banyak yang menderita penyakit gatal-gatal karena pakaian baru, sehingga memilih kembali memakai koteka. Tentara juga mengenalkan transmigrasi dan pemilu pada warga pedalaman. Namun tidak dapat dimengerti maksud sebenarnya oleh para warga. Tentara dianggap ingin merampas tanah-tanah milik penduduk.

3. Unsur-unsur Budaya

Ketujuh unsur yang dapat disebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, kesenian. 130 Maka tujuh unsur budaya yang ada di dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany adalah sebagai berikut:

a. Bahasa

Bahasa atau sistem perlambangan manusia yang lisan ataupun tertulis untuk berkomunikasi satu dengan lainnya. Pembahasan ini mendeskripsikan tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasi dari bahasa tersebut. Ciri-ciri menonjol dari suku bangsa dapat diuraikan dengan beberapa contoh kata yang diambil dari ucapan bahasa sehari-hari. Kata-kata tersebut bisa mengenai anggota badan kepala, mata, hidung, mulut, tangan, kaki dan sebagainya, gejala-gejala dari alam angin, hujan, panas, 129 Ibid., h. 107. 130 Koentjoroningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011, h. 81.