Jadi, dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan utama yang menyangkut segala persoalan dalam keseluruhan isi karya sastra. Tema
biasanya tersirat dalam cerita, maka untuk menemukan tema pembaca harus menelaah keseluruhan cerita.
2. Tokoh dan Penokohan
Aminuddin dalam Siswanto menyebutkan tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin
suatu cerita.
20
Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu
karya oleh sastrawan disebut perwatakan. Penokohan merupakan cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam
cerita.
21
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus
sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh- tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu
pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita central character, main character, sedang
yang kedua adalah tokoh tambahan peripheral character.
22
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel- novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat
ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan.
20
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo, 2008, h. 142.
21
Kosasih, op. cit., h. 36.
22
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 176.
Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara
keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik, penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Di pihak lain,
pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan
tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung. Tokoh utama adalah yang dibuat sinopsisnya, yaitu dalam kegiatan pembuatan sinopsis, sedang tokoh
tambahan biasanya diabaikan. Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tak selalu sama.
Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, tak banyak penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan.
Ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah melalui 1 tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, 2 gambaran yang
diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian, 3 menunjukkan bagaimana perilakunya, 4 melihat
bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, 5 memahami bagaimana jalan pikirannya, 6 melihat bagaimana tokoh lain berbicara
tentangnya, 7 melihat tokoh lain berbincang dengannya, 8 melihat bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya, dan 9
melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain.
23
Jadi, tokoh dan penokohan dalam karya sastra masing-masing mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Dalam karya sastra akan
ada tokoh utama dan tokoh tambahan. Hadirnya tokoh tambahan hanya mendukung jalan cerita tokoh utama.
23
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 145.
3. Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan kearah klimaks dan
selesaian.
24
Berdasarkan kriteria jumlah maksudnya banyaknya plot cerita yang terdapat dalam sebuah karya fiksi, plot dapat dibagi menjadi dua. Plot
tunggal adalah plot yang mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero dalam sebuah novel. Sedangkan
plot sub-subplot adalah adanya dua plot cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan
konflik yang dihadapinya. Struktur plot yang demikian dalam sebuah karya barangkali berupa adanya sebuah plot utama main plot dan plot-plot
tambahan sub-subplot.
25
Tasrif dalam Burhan Nugiyantoro 2012 membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:
26
a. Tahap penyituasian
Tahap penyituasian merupakan tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokok-tokok cerita. Tahap ini merupakan
tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap
berikutnya. b.
Tahap pemunculan konflik Tahap pemunculan konflik merupakan tahapan masalah-masalah dan
peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik
pada tahap berikutnya. c.
Tahap peningkatan konflik Tahap peningkatan konflik merupakan konflik yang telah dimunculkan
pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar
24
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 159.
25
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 157-158.
26
Ibid., h.149-150.
intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan,
masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari. d.
Tahap klimaks Tahap klimaks merupakan konflik dan atau pertentangan-pertentnagan
yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh
tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.
e. Tahap penyelesaian
Tahap penyelesaian merupakan tahapan di mana konflik yang telah mencapai klimaks di beri penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-
konflik yang lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
4. Latar
Latarsetting diterjemahkan sebagai latar cerita. Abrams dalam Wahyudi Siswanto mengemukakan latar cerita adalah tempat umum general locale,
waktu kesejarahan historical time, dan kebiasaan masyarakat sosial circumtances dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.”
27
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan
permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya.
28
27
Wahyudi Siswanto. op. cit., h. 149.
28
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 227.
a. Latar Tempat
Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama
adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Magelang, Yogyakarta, Juranggede, dan lain-lain. Latar tempat tanpa nama jelas
biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu, misalnya desa, sungai, jalan, hutan, kota, kota kecamatan, dan
sebagainya. b.
Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang
ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan
untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang
diketahuinya yang berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan dan atau kesejalanan waktu tersebut juga
dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai sungguh-sungguh ada dan terjadi.
c. Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.
Jadi, latar atau setiing mengacu pada suatu tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial terjadinya peristiwa dalam cerita.
5. Sudut Pandang Point of View
Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, dan waktu dengan
gayanya sendiri.
29
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau: dari posisi mana siapa peristiwa dan tindakan itu
dilihat.
30
Sudut pandang dapat banyak macamnya tergantung dari sudut mana ia dipandang dan seberapa rinci ia dibedakan. Pembedaan sudut pandang yang
akan dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan
persona pertama.
31
a. Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang
utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk
mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan
berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi bersifat
29
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 151.
30
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 246-247.
31
Ibid., h. 256.
mahatahu, di lain pihak ia terikat, mempunyai keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya
selaku pengamat saja. b.
Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku” Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona
pertama, first person point of view, “aku”, jadi: gaya “aku”, narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang
berkisah, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang tokoh
lain kepada pembaca. Kita, pembaca, menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, maka kita hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas
seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut. Dalam sudut pandang “aku”, narator hanya bersifat mahatahu bagi diri
sendiri dan tidak terhadap orang-orang tokoh lain yang terlibat dalam cerita. Ia hanya berlaku sebagai pengamat saja terhadap tokoh-tokoh “dia”
yang bukan dirinya. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si “aku” dalam
cerita. Si “aku” mungkin menduduki peran utama, jadi tokoh utama protagonis, mungkin hanya menduduki peran tambahan, jadi tokoh
tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi. 6.
Gaya Bahasa Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan
emosi pembaca.
32
Melalui ungkapan-ungkapan bahasa tertentu yang ditampilkan dalam karya sastra, kita sering merasakan indera ikut terangsang:
seolah-olah kita ikut melihat atau mendengar apa yang dilukiskan dalam karya
32
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 158-159.
tersebut. Tentu saja kita tidak melihat dan mendengar dengan mata dan telinga telanjang, melainkan melihat dan mendengar secara imajinasi. Penggunaan
kata-kata dan ungkapan yang mampu membangkitkan tanggapan indera yang demikian dalam karya sastra disebut sebagai pencitraan.
33
Kiasan atau perlambangan merupakan sebagian dari gaya bahasa. Kiasan atau perlambangan, atau disebut juga perumpamaan, biasanya dibentuk
dengan memperhatikan adanya persamaan sifat, keadaan, bentuk, warna, tempat, dan waktu antara dua benda yang dibandingkan. Menurut bentuk
hubungannya, ada dua macam kiasan, yaitu 1 kiasan tak langsung, dan 2 kiasan langsung. Kiasan tak langsung, antara benda dan perumpamaan
perlambangannya dihubungkan dengan kata-kata seperti: bagaikan, seperti, bak, laksana. Kiasan langsung adalah kiasan atau perlambangan yang
langsung menyebutkan kiasan atau lambangnya tanpa menggunakan kata juga.
34
Jadi, gaya bahasa berhubungan erat dengan pemilihan kata yang digunakan pengarang dalam mengkisahkan cerita sehingga memberikan suatu
ciri khas pengarang dalam menarasikan ceritanya. Pengarang seringkali menggunakan citraan juga kiasan dalam karyanya. Gaya bahasa yang
digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap atau karakteristik pengarang tersebut.
7. Amanat
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Amanat tersirat di
balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Karena itu, amanat selalu berhubungan dengan tema cerita itu.
35
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan
33
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 304.
34
Atar Semi, Anatomi Sastra, Padang: Penerbit Angkasa Raya Padang, 1988, h. 50.
35
Kosasih, op. cit., h. 41.
pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya
amanat tersurat.
36
Jadi dapat disimpulkan, amanat merupakan pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karya sastranya. Bentuk
penyampaian amanat di dalam karya sastra dapat disampaikan pengarang secara langsung tersurat atau secara tidak langsung tersirat.
Unsur ekstrinsik yaitu unsur pembangun di luar karya sastra. Unsur ini mempengaruhi cara penyusunan cerita dalam sebuah karya satra. Selain itu, juga
membantu dalam penafsiran suatu karya sehingga mendapatkan hasil yang akurat. Unsur ekstrinsik terdiri dari unsur-unsur di luar karya itu sendiri. Unsur yang
dimaksud antara lain biografi pengarang, buah pemikiran pengarang, serta latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks sastra. Pemahaman unsur-unsur
tersebut menunjukkan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya.
C. Pendekatan Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi sastra merupakan penelitian interdisiplin, yaitu memanfaatkan teori sosiologi dan teori
sastra. “Dari segi etimologi sosiologi adalah berasal dari kata ‘sosio’ atau society yang bermakna masyarakat dan ‘logi’ atau logos yang artinya ilmu. Jadi, sosiologi
adalah ilmu tentang masyarakat atau ilmu tentang kehidupan masyarakat”.
37
Sastra merupakan pencerminan dari masyarakat. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.
Sosiologi berfungsi sebagai ilmu untuk memahami berbagai aspek sosial yang ada dalam karya sastra.
36
Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 162.
37
Ekarini Saraswati, Sosiologi Sastra Sebuah Pemahaman Awal, Malang: Bayu Media dan UMM Press, 2003, h. 2.
Kedua ilmu tersebut memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat. Namun, hakikat sosiologi dan sastra sangatlah berbeda. Nyoman
Kutha Ratna membedakan kajian sosiologi dan sastra sebagai berikut, “Perbedaannya, sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat melalui
analisis ilmiah dan objektif, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi
tetap didominasi oleh emosionalitas”.
38
Karya sastra memang mengekpresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekpresikan selengkap-lengkapnya. Tidak benar kalau dikatakan pengarang
mengekspresikan kehidupan secara keseluruhan, atau kehidupan zaman tertentu secara konkret dan menyeluruh.
39
Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh
pengarang, atau karena hakikat karya sastra yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial. Karya sastra menggambarkan kehidupan
masyarakat yang hanya ada dalam karya sastra itu sendiri. Tentunya, tidak sama benar dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya. Kehidupan dalam karya
sastra adalah sebuah dunia yang bersumber dari pengalaman pengarang yang telah mengalami proses penghayatan, penafsiran dan pemaknaan atas semua itu.
Hasilnya dituangkan dalam medium bahasa setelah ditaburi imajinasi. Terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra:
1. Penelitian yang memandang sastra sebagi dokumen sosial yang ada di
dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan 2.
Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya
3. Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah
dan keadaan sosial budaya
40
38
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2009, h. 4.
39
Melani Budianta, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature oleh Rene Wellek dan Austin Warren, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, Cet. III, h. 110.
40
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: CAPS, 2013, h. 79.
Karya sastra berisi catatan, rekaman kehidupan manusia, maka paling sedikitnya karya sastra pasti mengandung fakta-fakta sosial. Melalui karya sastra,
seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan. “Sastra termasuk sumber naratif, ialah sumber yang berisi lengkap, kebanyakan sumber tertulis,
terutama yang menyangkut masalah sosial, politik, kultural, atau agama.”
41
Pendekatan sosiologi sastra bertujuan untuk memaparkan keterkaitan antarunsur yang membangun sebuah karya sastra dari aspek kemasyarakatan dan gejala sosial
yang ada. Metode yang dipakai dalam sosiologi karya adalah analisis teks untuk
mengetahui strukturnya, kemudian digunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar sastra. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosiologi
sastra dipakai untuk memaparkan keterkaitan antarunsur pembangun karya dari aspek sosial yang ada. Analisis warna lokal dalam novel Isinga karya Dorothea
Rosa Herliany ditelaah menggunakan sosiologi karya, di mana teks sastra menjadi acuannya. Pokok penelaahan adalah unsur pembangun wujud warna lokal yang
terkandung baik tersirat maupun tersurat dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany.
D. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pembelajaran sastra adalah pembelajaran yang membahas mengenai sastra. Tujuan utama pembelajaran sastra adalah memberikan sumbangan besar untuk
memecahkan masalah-masalah nyata yang sulit dipecahkan di dalam masyarakat. Selain itu, bagi peserta didik agar mampu menikmati dan memanfaatkan karya
sastra untuk mengembangkan karakter, memperluas wawasan, menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagi khazanah budaya dan intelektual manusia
Indonesia. Karya sastra mengandung sesuatu yang berguna dan bermanfaat. “Berikut ini akan dibicarakan tiga aspek penting yang tidak boleh
dilupakan jika ingin memilih bahan pengajaran sastra, yaitu: pertama dari
41
Sugihastuti, Teori Apresiasi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 160.
sudut bahasa, kedua dari segi kematangan jiwa psikologi, dan ketiga dari sudut latar belakang kebudayaan para siswa.”
42
Bahasa, dalam sastra juga ditentukan oleh faktor-faktor seperti cara penulisan yang dipakai si pengarang, untuk itu, guru hendaknya mengadakan pemilihan
bahan berdasarkan wawasan yang ilmiah misalnya; menghitungakn kosakata baru, memperhatikan segi ketatabahasaan dan sebaginya.
Psikologi, tahap perkembangan psikologis siswa harus diperhatikan dalam memilih bahan pengajaran sastra. Tahap perkembangan siswa remaja biasanya
dari umur 13-16 tahun disebut dengan tahap realistik. Umur 16 tahun dan selanjutnya disebut tahap generalisasi. Karya sastra untuk diajarkan harus sesuai
dengan tahap psikologis suatu kelas, dan dapat menarik minat siswa dalam kelas tersebut.
Latar belakang budaya, biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang yang erat hubungannya dengan kehidupan mereka.
Guru sastra hendaknya memilih bahan pengajarannya dengan mengutamakan karya-karya sastra yang latar ceritanya dikenal oleh para siswa sebelum
mengajarkan karya sastra berlatarbelakang budaya luar. Dengan begitu, siswa tidak akan melupakan budayanya sendiri.
Siswa diharapkan mampu menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat di dalam sebuah novel. Pembelajaran analisis novel dapat
mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. “Apresiasi berarti penghargaan berdasarkan penghayatan; dalam istilah itu
tersirat hubungan langsung antara pembaca dan karya sastra sebab penghayatan tidak akan tercapai tanpa hubungan langsung itu”
43
Jelas bahwa apresisasi sastra menuntut agar siswa membaca karya sastra. Dengan demikian, kegiatan sastra di
42
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Kanisius, 1988, h. 27.
43
Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah”, Jurnal Susastra HISKI, http:bukusastradigital.blogspot.co.id201101sastra-di-sekolah-sapardi-joko-damono_14.html
diunduh pada tanggal 30 April 2016 pukul 19:00 WIB.