13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Warna Lokal
Warna lokal merupakan suatu cara untuk mengangkat suasana kedaerahan yang mendeskripsikan tentang latar, tokoh, dan penokohan, serta nilai-nilai
budaya. Warna lokal memiliki ciri khas tertentu yang berkaitan dengan peristiwa- peristiwa kedaerahan. “Pelukisan tempat tertentu dengan sifat khasnya secara rinci
biasanya menjadi bersifat kedaerahan, atau berupa pengangkatan suasana daerah.”
1
Selain itu warna lokal dijadikan sebagai tolak ukur untuk membedakan ciri khas daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsur local color, akan menyebabkan latar tempat menjadi unsur yang dominan
dalam karya yang bersangkutan. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional. Ia akan mempengaruhi pengaluran dan
penokohan, dan karenanya menjadi koheren dengan cerita secara keseluruhan. Namun, perlu ditegaskan bahwa sifat ketipikalan daerah tak
hanya ditentukan oleh rincinya deskripsi lokasi, melainkan terlebih harus didukung oleh sifat kehidupan sosial masyarakat penghuninya.
2
Novel yang berlatar lokal budaya Papua belum banyak ditulis oleh para pengarang novel. Adapun beberapa novel yang berlatar lokal budaya Papua yaitu
karya Ani Sekarningsih dengan novel Namaku Teweraut 2002, Dewi Linggasari dengan novel Sali 2007, Anindita S. Thyaf dengan novel Tanah Tabu 2009
dan Dorothea Rosa Herliany dengan novel Isinga 2015. Pengarang tersebut berasal dari luar Papua. Pengarang novel berlatar lokal budaya Papua tidaklah
harus ditulis oleh orang Papua. Sebab, sebuah karya sastra mempunyai potensi yang sangat besar sebagai medium imajinasi untuk pemahaman lintas budaya.
1
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS, 2012, h. 228.
2
Ibid.
Di Indonesia praksis lintas budaya yang sangat mengesankan adalah penciptaan kisah Si Doel Anak Jakarta oleh Aman Datuk Majoindo di
tahun 1940-an. Pengarang dari Sumatra Barat ini pergi merantau ke Jakarta ketika berumur 23 tahun, dan hidup sebagai pekerja kasar pegawai
toko, kuli di Tanjung Priok yang bergaul dengan berbagai kalangan, termasuk masyarakat Betawi. Barangkali kehidupannya yang keras di
Jakarta membuat ia bersimpati kepada masyarakat Betawi yang pada waktu itu belum sempat menikmati buah-buah modernitas dan melahirkan
karya sastra pertama yang ditulis dalam dialek Betawi. Si Doel adalah hasil sebuah penghayatan lintas budaya. Karya Aman Datuk Madjoindo
menunjukkan bahwa representasi yang penuh empati dan menyentuh tentang suatu budaya tertentu dapat ditulis oleh bukan “pemilik asli”
budaya.
3
Karya Aman Datuk Madjoindo yang dijelaskan Melani Budianta, menunjukkan bahwa representasi yang penuh empati dan menyentuh tentang
suatu budaya tertentu dapat ditulis oleh bukan pemilik asli budaya tersebut. Dengan demikian, novel berlatar lokal Papua pun dapat ditulis oleh orang di luar
Papua. Warna lokal mensyaratkan adanya corak yang khas yang tidak dimiliki oleh
sesuatu di luar lokal tersebut. “Warna lokal yang tajam menggambarkan bukan saja waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tetapi juga sosial budaya dan tokoh-
tokoh serta kebiasaan setempat di dalam sebuah cerita. Ada pula penulis yang bahkan memasukkan dialek setempat, terutama di dalam percakapan atau dialog
di antara tokoh-tokoh di dalam cerita itu, untuk mempertajam warna lokal itu.”
4
Dalam karya sastra munculnya warna lokal ini akan menyebabkan latar menjadi unsur yang menjadi bagian utama dalam karya yang bersangkutan. Jadi
mencakup unsur tempat, waktu, dan sosial budaya sekaligus. Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra.
Latar waktu menunjuk pada waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra. Sementara itu, latar sosial budaya mengacu pada berbagai
3
Melani Budianta, “Sastra dan Interaksi Lintas Budaya”, 2002, www.bahasa- sastra.web.idmelanie.asp diunduh pada tanggal 29 April 2016 pukul 09:58 WIB.
4
Ismail Marahimin, Menulis Secara Populer, Jakarta: Dunia Pustaka, 2010, h. 99.