Analisis Stakeholders dan Ekonomi Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH) Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) (Studi Kasus: Desa Puraseda dan Malasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

(1)

ANALISIS

STAKEHOLDERS

DAN EKONOMI PUSAT KONSERVASI

KEANEKARAGAMAN HAYATI (PKKH) TAMAN NASIONAL

GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

(Studi Kasus: Desa Puraseda dan Malasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

CHATRINA CLARA RAISA SIHOMBING

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Stakeholders dan Ekonomi Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH) Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) (Studi Kasus: Desa Puraseda dan Malasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2013

Chatrina Clara Raisa Sihombing NIM H44090014 


(4)

(5)

ABSTRAK

CHATRINA CLARA RAISA SIHOMBING. Analisis Stakeholders dan Ekonomi Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH) Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) (Studi Kasus: Desa Puraseda dan Malasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan KASTANA SAPANLI.

Aktivitas manusia yang tinggi mengancam keberlangsungan biodiversitas dan jasa lingkungan. Permasalahan ini membuat diperlukan suatu usaha untuk melestarikan dan menjaga keberlangsungan hidup hutan TNGHS dengan membuat program jangka panjang, Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH). Tujuan penelitian ini ialah menganalisis stakeholders yang terkait dengan pengembangan kawasan PKKH TNGHS dan mengestimasi nilai ekonomi dari manfaat non-guna dari hutan TNGHS. Metode yang digunakan ialah Contingent Valuation Method (CVM), dan uji Rank Spearman. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah estimasi nilai manfaat dari hutan TNGHS berdasarkan manfaat non-guna ialah Rp 1.088.772.227/tahun berdasarkan persepsi m,asyarakat di 2 desa tersebut. Stakeholders yang terlibat sebagai Key Players adalah Desa Malasari, PT. Aneka Tambang, Chevron, dan Balai TNGHS. Stakeholders yang merupakan subjects adalah Sustainable Management Group, Kecamatan Nanggung, dan Model Kampung Konservasi Citugu. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam pembuatan keputusan terkait PKKH.

Kata Kunci: keanekaragaman hayati, stakeholders.TNGHS, valuasi ekonomi

ABSTRACT

CHATRINA CLARA RAISA SIHOMBING. Stakeholders and Economy Analysis Center of Biodiversity Conservation (PKKH) Halimun Salak Mountain National Park (TNGHS) (Case Study: Puraseda Village and Malasari Village, Regency of Bogor, West Java). Supervised by AKHMAD FAUZI and KASTANA SAPANLI. The high number of damaging activities by human threatened the sustainability of biodiversity and environment services. Therefore it is important to keep the sustainability of Halimun Salak National Park Forest by establishing the Center of Biodiversity Conservation (PKKH) as a long term plan program from TNGHS Office. The objectives of this research were to analyze stakeholders that related with the development of PKKH TNGHS area and to estimate the economic value from non-using of TNGHS. This study used Contingent Valuation Method, and Rank Spearman Test. The results showed that estimated of benefit value from TNGHS non-using forest for next 25 years was Rp 19.597.970.210,117/year. The stakeholders which are involved as key players are Malasari Village, PT. Aneka Tambang, Chevron, and TNGHS Office. The subject of stakeholders are Sustainable Management Group, Nanggung Subdistrict, and Citugu Conservation Village Model. Based on this research, it is important to continue this PKKH to keep the sustainability of biodiversity.

Keywords: biodiversity, economic valuation, Halimun Salak National Park, stakeholders


(6)

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKUTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

CHATRINA CLARA RAISA SIHOMBING

ANALISIS

STAKEHOLDERS

DAN EKONOMI PUSAT KONSERVASI

KEANEKARAGAMAN HAYATI (PKKH) TAMAN NASIONAL

GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)


(8)

(9)

Judul Skripsi :Analisis Stakeholders dan Ekonomi Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH) Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) (Studi Kasus: Desa Puraseda dan Malasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Nama : Chatrina Clara Raisa Sihombing

NIM : H44090014

Disetujui oleh,

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Pembimbing I

Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si Pembimbing II,

Diketahui oleh,

Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T

Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan


(10)

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekonomi kelembagaan. Judul penelitian ini adalah Analisis Stakeholders dan Ekonomi Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH) Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) (Studi Kasus: Desa Puraseda dan Malasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Mei 2013.

Terima kasih tidak lupa penulis ucapkan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc dan Bapak Kastana Sapanli, S.Pi,M.Si sebagai pembimbing yang telah memberi saran, waktu, dan kesabaran dalam membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa terima kasih juga penulis ucapkan pada Bapak Ir. Ujang Sehabudin dan Bapak Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si sebagai penguji atas kritik dan sarannya untuk perbaikan skripsi penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Balai Taman Nasional Gunun Halimun Salak, PT. Aneka Tambang, Chevron, Suaka Elang, Pemerintahan Desa Malasari dan Puraseda, Pemerintahan Kec. Nanggung dan Leuwiliang, Satuan Pengaman Hutan Desa Malasari, Model Kampung Konservasi Citugu, dan Sustainable Management Group yang telah membantu dalam pengambilan data penelitian sehingga skripsi ini bisa selesai.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Sautma Sihombing dan Ibunda Elida Siagian, adik penulis Nita Chartland dan Joshua Sihombing atas doa dan dukungan yang tidak henti. Ranto Richardo Siregar, teman-teman ESL 46, Kopelkhu PMK IPB, dan semua orang yang tidak bisa disebutkan satu per satu dalam prakata ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Hutan dan Konservasi ... 9

2.2. Taman Nasional ... 11

2.3. Keanekaragaman Hayati ... 11

2.4. Sejarah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati ... 13

2.5. Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ... 14

2.6. Teori Kelembagaan ... 16

2.7. Analisis Stakeholders ... 17

2.8 Valuasi Ekonomi ... 18

2.8.1 Jenis Nilai Ekonomi ... 19

2.8.2 Contingent Valuation Methods (CVM) ... 19

2.9. Penelitian Terdahulu ... 21

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 23

3.1. Kerangka Teoritis ... 23

3.2. Kerangka Operasional ... 19

IV. METODE PENELITIAN ... 27

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

4.2. Objek dan Alat Penelitian ... 27

4.3. Jenis dan Sumber Data ... 27

4.4. Penentuan Jumlah Responden/Sampel ... 27

4.5. Metode Pengumpulan Data ... 28


(13)

iii

4.6.1. Analisis Stakeholders ... 30

4.6.2. Uji Non-Parametrik ... 33

4.6.3. Contingent ValuationMethod (CVM) ... 34

4.6.3.1. Nilai Penelitian dan Pendidikan (NPP) ... 35

4.6.3.2. Nilai Warisan (NW) ... 35

4.6.3.3. Nilai Perlindungan habitat dan ekosistem (NPHE) ... 36

4.6.4. Analisis Willingness To Pay (WTP) ... 36

V. KONDISI UMUM PENELITIAN ... 39

5.1. Letak Geografis dan Luas Wilayah ... 39

5.2. Kondisi Topografi dan Iklim ... 39

5.3. Pola Penggunaan Lahan ... 40

5.4. Kependudukan ... 41

5.5. Tingkat Pendidikan ... 42

5.6. Mata Pencaharian... 42

5.7. Sarana dan Prasarana ... 43

5.8. Karakteristik Responden ... 44

5.8.1 Umur ... 44

5.8.2 Pendidikan ... 45

5.8.3 Pendapatan ... 46

5.8.4 Jumlah Tanggungan ... 47

5.8.5 Lama Tinggal ... 47

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

6.1. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan TNGHS dan Keberlanjutan Biodiversitas TNGHS ... 49

6.2. Identifikasi Stakeholders PKKH ... 49

6.3. Nilai Penting dan pengaruh Stakeholders ... 50

6.3.1. Nilai Penting Stakeholders ... 50

6.3.2 Pengaruh stakeholders ... 51

6.4. Klasifikasi Stakeholders ... 52

6.5. Uji Non-Parametrik ... 54

6.6. Nilai Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 55


(14)

6.6.1. Manfaat Pendidikan dan Penelitian... 56

6.6.2. Manfaat Warisan ... 57

6.6.3. Manfaat Perlindungan ... 57

6.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proxy ... 58

Willingness To Pay (Proxy WTP) ... 58

6.7.1 Analisis Rataan Proxy WTP terhadap Manfaat Penelitian... 58

6.7.2 Analisis Rataan Proxy WTP terhadap Manfaat Warisan ... 60

6.7.3 Analisis Rataan Proxy WTP terhadap Manfaat Perlindungan Habitat dan Ekosistem ... 62

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 65

7.1. Simpulan ... 65

7.2. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN ... 67


(15)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Angka Deforestasi di Dalam dan Di Luar Kawasan Hutan Periode 2009

(Ha/Thn) ... 3

Tabel 2. Matriks Metode Penelitian ... 30

Tabel 3. Ukuran Kuantitatif Nilai Penting (importance) dan Pengaruh Stakeholders ... 31

Tabel 4. Matriks Tingkat Kepentingan dan Pengaruh ... 33

Tabel 5. Pola Penggunaan Tanah di Desa Malasari dan Puraseda pada Tahun 201240 Tabel 6. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Malasari dan Puraseda Pada Tahun 2012... 42

Tabel 7. Struktur Penduduk Desa Malasari dan Puraseda Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2012 ... 43

Tabel 8. Sarana dan Prasarana Desa Malasari dan Puraseda Tahun 2012 ... 44

Tabel 9. Nilai Penting Stakeholders Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH) TNGHS ... 50

Tabel 10. Pengaruh Stakeholders Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH) TNGHS ... 52

Tabel 11. Uji Spearman Rank Correlation Terhadap Tingkat Kepentingan dan Pengaruh ... 55

Tabel 12. Nilai Mean proxy WTP dan Nilai Hutan Berdasarkan Manfaat Non-Guna ... 56

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Persentase Luas Tutupan Hutan dan Non-Hutan Tahun 2011 ... 1

Gambar 2. Nilai Ekonomi Total dari Sumberdaya Hutan ... 25

Gambar 3. Kerangka Pemikiran operasional ... 19

Gambar 4. Matriks Nilai Penting dan Pengaruh ... 33

Gambar 5. Sebaran Penduduk Desa Malasari dan Puraseda Berdasarakan Kategori Umur... 41

Gambar 6. Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 45

Gambar 7. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 45

Gambar 8. Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan ... 46


(16)

Gambar 10. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Tinggal ... 48

Gambar 11. Matriks Kategori Stakeholders Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH) TNGHS ... 53

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Lokasi Penelitian... 73

2 Panduan Wawancara Analisis Nilai Kepentingan... 74

3 Panduan Penilaian Analisis Kepentingan... 75

4 Panduan Wawancara Analisis Pengaruh... 76

5 Panduan Penilaian Tingkat Pengaruh... 77

6 Kuesioner untuk Mengetahui WTP (Willingness To Pay)... 78

7 WTP Responden Terhadap Manfaat Penelitian... 80

8 Hasil Regresi WTP Penelitian... 82

9 WTP Responden Terhadap Manfaat Warisan... 83

10 Hasil Regresi WTP Warisan... 85

11 WTP Responden Terhadap Manfaat Perlindungan... 86


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi. Berdasarkan catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, hingga saat ini jumlah fauna yang sudah terungkap sebanyak 707 jenis Mammalia, 1.602 jenis Burung, 1.112 jenis amfibi dan reptil, 2.184 jenis ikan tawar, 3.288 jenis ikan laut, dan 151.847 jenis serangga, tumbuhan biji 25.000 spesies, tumbuhan paku-pakuan 1.250 spesies, lumut 7.500 spesies, ganggang 7.800, jamur 72.000 spesies, serta bakteri dan ganggang hijau biru 300 spesies. Dari data yang telah disebutkan membuktikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara Mega-Biodiversitas. Pada Gambar 1, Pulau Jawa merupakan pulau dengan tutupan hutan paling rendah di Indonesia, yaitu hanya 0,74% dari total tutupan Hutan Indonesia atau 10,27% dari total luasan Pulau Jawa. Sedangkan tutupan hutan paling luas adalah Pulau Papua dengan tutupan luas hutan 17,14% dari tutupan hutan Indonesia atau 77,58% luas Pulau Papua adalah tutupan lahan berhutan. Secara total, luas tutupan berhutan Indonesia adalah 48,79% dari luas Indonesia, sedangkan sisanya adalah tutupan non hutan dengan 51,21% luas Indonesia.

Sumber: SLHI, KLH (2011)

Gambar 1. Persentase Luas Tutupan Hutan dan Non-Hutan Tahun 2011 Hutan menjadi penting bagi biodiversitas karena hutan merupakan habitat penting hewan dan tumbuhan untuk berkembang biak dan tumbuh. Hutan hujan tropis merupakan tempat yang paling cocok untuk tempat tinggal karena iklimnya

Sumate ra Jawa Bali-Nusra Kaliman tan Sulawe

si Maluku Papua

Indones ia

Hutan 33,79 10,27 27,7 46,66 55,35 68,22 77,58 48,79

Non-Hutan 66,21 89,73 72,3 53,34 44,65 31,78 22,42 51,21

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Per sen tase


(18)

yang lembab, curah hujan yang tinggi, makanan berlimpah, dan selalu disinari matahari. Sehingga kelestarian hutan berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup flora dan fauna yang ada. Peranan hutan tidak hanya sebagi tempat tinggal untuk flora dan fauna, tapi juga besar peranannya terhadap berbagai pihak khususnya manusia. Banyak sekali manfaat langsung dan tidak langsung yang dirasakan manusia, baik fungsi penyerap air, penyerap karbon, pencegah longsor, dan sebagainya. Kayunya pun bernilai tinggi, juga hasil hutan seperti getah, buah, rotan, dan lainnya. Namun hutan harus dimanfaatkan dengan bertanggung jawab oleh manusia sehingga kelestariannya terjaga dan dapat dinikmati oleh generasi selanjutnya. Tingginya nilai kayu dan tingginya tingkat konversi lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit membuat perambahan hutan menjadi tinggi di berbagai daerah khususnya di Sumatera dan Kalimantan.

Pada Tabel 1, dapat dilihat besarnya deforestasi yang terjadi di Indonesia terjadi pada kawasan hutan primer yaitu hutan tetap. Berdasarkan Forest Watch Indonesia, dalam periode tahun 2000-2009, luas hutan Indonesia yang mengalami deforestasi adalah sebesar 15,16 juta ha. Pulau Kalimantan menjadi daerah penyumbang deforestasi terbesar yaitu sekitar 36,32 persen atau setara dengan 5,50 juta ha, padahal Kalimantan memiliki luas hutan hujan tropis terbesar dan menyimpan flora dan fauna dalam hutannya. Hutan di Papua juga terancam dengan kegiatan global Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE) yang merupakan kegiatan membuat Papua menjadi sumber pangan dengan produk pertanian sehingga hutan di Papua akan dikonversi menjadi lahan pertanian. Kegiatan ini sudah diresmikan tahun 2010 dengan banyak sekali negara yang menyumbang seperti Australia, Saudi Arabia, dan lain-lain.


(19)

3

Tabel 1. Angka Deforestasi di Dalam dan Di Luar Kawasan Hutan Periode 2009 (Ha/Thn)

Kelompok Hutan

Kawasan Hutan

APL Total

Hutan Tetap

HPK Total

KSA-KPA

Hutan

Lindung HPT HP Total

Hutan

Primer 17.283,5 44.520,3 82.848 98.412,8 243.064,6 21.370,6 264.435,2 136.590,1 401.025,3 Hutan

Sekunder 7.325,6 19.656,3 22.790,5 176.851,8 176.851,8 102.990,6 279.842,3 71.693,8 351.536,1 Hutan

Lainnya 727,1 3.152,9 23.869,5 58.701,8 58.701,8 7.396,7 66.098,4 13.467,1 79.565,6 Total 25.336,2 67.329,5 129.508 256.444,4 478.618,1 131.757,8 610.375,9 221.751 832.126,9

Sumber: SLHI, KLH (2011)

Keterangan :KSA-KPA =Kawasan Suaka Alam-Kawasan Pelestarian Alam HPT = Hutan Produksi Terbatas

HT = Hutan Produksi Tetap

HPK = Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi APL = Areal Penggunaan Lain

Berbagai usaha perlindungan dilakukan untuk melindungi hutan di Indonesia, seperti gerakan lingkungan dan juga membuat kawasan perlindungan atau konservasi hutan. Salah satunya adalah pengesahan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak atau bisa disebut TNGHS adalah salah satu taman nasional di Indonesia yang memiliki karakteristik hutan hujan tropis, yang membuat hutan ini sangat tinggi keanekaragaman hayatinya dibanding 49 taman nasional lain yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada awalnya, taman nasional ini merupakan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) yang bergabung dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) namun sejak tahun 1997 pengelolaanya terpisah. Sejak disahkannya SK Menteri Kehutanan Nomor: 175/Kpts-II/2003, maka terjadi penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan adanya perubahan fungsi dari hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas menjadi taman nasional. Luas dari TNGHS yang ditunjuk oleh Menteri Kehutanan yaitu seluas ± 113.357 ha di Provinsi Jawa Barat dan Banten.

TNGHS sendiri terdapat berbagai jenis pohon sebanyak 123 jenis (44%), pohon kecil sebanyak 61 jenis (21,8%), perdu, terna, dan epifit sebanyak 97 jenis (34,6%). Sebagian besar dari koridor TNGHS banyak ditumbuhi semak belukar, seperti paku andam (Dicranopteris linearis), tepus (Etlingera punicea), nampong (Clibadium surinamensis), dan jenis sekunder mendominasi koridor TNGHS sebanyak 70% (GHSNPMP-JICA, 2009 dalam Laporan Tahunan Tahun 2011


(20)

Balai Taman Nasional gunung Halimun Salak). Fauna yang ada di TNGHS pun cukup beragam dengan penyebaran baik Gunung Salak maupun Gunung Halimun, beberapa jenis primata termasuk owa jawa (Hylobates moloch) yang mempunyai peranan penting sebagai penyebar bibit pohon, surili (Presbytis commata), lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan monyet (Macaca fascicularis). Selain primata, ada juga burung dengan jumlah spesies sekitar 56 jenis burung di koridor TNGHS, 16 jenis diantaranya dilindungi menurut PP No. 7/ tahun 1999, juga elang jawa termasuk jenis yang terancam punah menurut buku daftar merah IUCN. Juga tercatat bahwa terdapat 9 jenis mamalia di TNGHS. Jenis-jenis tersebut yaitu musang (Paradoxurus hermaproditus), babi hutan (Sus scrofa), tupai (Tupai sp.), Sigung (Mydaus javanensis) dan sero ambrang (Amblonyx cinereus), trenggiling (Manis javanica), kucing hutan (Prionailurus bengalensis), macan tutul (Panthera pardus melas), dan muncak (Muntiacus muntjak) (Endangered Species Team, 2008 dalam dalam Laporan Tahunan Tahun 2011 Balai Taman Nasional gunung Halimun Salak).

Tingginya tingkat keanekaragaman hayati di taman nasional ini membuat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan menjadikan TNGHS sebagai Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH) terbesar di Asia. PKKH adalah rancangan jangka panjang Balai TNGHS dalam jangka 25 tahun ke depan untuk TNGHS, dimana Balai memeiliki rancangan kerja yang akan menjadikan TNGHS menjadi Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayat.1Pada tanggal 27 Desember 2010 Menteri Kehutanan telah meresmikan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati di TNGHS, dan mengajak berbagai pihak terkait untuk bekerja sama, seperti PT ANTAM (Persero) Tbk, Sustainable Management Group (SMG) dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) untuk mengembangkan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati yang akan melindungi habitat yang terancam punah.

Pengembangan hutan biasanya berbasiskan masyarakat namun pendekatan kolaboratif yang dilakukan pada kawasan ini menunjukkan implementasi nyata

1

Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode 2007-2026. Gunung Halimun-Salak National Management Project. Kabandungan, Sukabumi. Hal.23-27.


(21)

5

kemitraan antara publik dengan swasta atau disebut Public Private Partnerships. Namun tentu saja kita tidak dapat mengabaikan stakeholderslain yang hidupnya ataupun pekerjaannya bergantung pada kawasan TNGHS, sehingga setiap keputusan yang diambil untuk kawasan ini haruslah melewati musyawarah dengan stakeholders terkait, karena eksistensi dari TNGHS ini mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Segala bentuk patisipasi yang dilakukan stakeholders terkait perlu dikaji lebih jauh agar dapat dievaluasi setiap bentuk keterlibatan masing-masing stakeholders sebagai bentuk dari kemitraan yang sehat dan memberi keuntungan bagi tiap pihak. Untuk pengembangan kawasan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati ini Kementerian Kehutanan mengeluarkan biaya sebesar Rp 15 triliun, dan dari APBN 2011 sudah dianggarkan Rp 50 milyar. Tentu saja biaya yang sangat besar itu diharapkan dapat memberikan keuntungan baik secara ekonomi ataupun secara finansial, yang dirasakan oleh masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta.

Masyarakat yang paling merasakan dampak baik negatif dan positif dari PKKH ini adalah masyarakat sekitar. Salah satunya adalah Desa Malasari yang daerahnya sebagian besar terdapat di dalam kawasan TNGHS. Selain itu Desa Malasari juga adalah desa yang daerahnya dekat dengan kawasan penambangan emas PT. ANTAM, Pongkor. Masyarakat yang menerima dampak pun adalah masyarakat yang berbatasan langsung dengan TNGHS yang hidupnya bergantung pada hasil dan lahan hutan, salah satunya adalah Desa Puraseda.

1.2. Perumusan Masalah

Peranan hutan TNGHS sangat berpengaruh pada stakeholders yang ada baik secara ekonomi, sosial, dan budaya. Hal tersebut dikarenakan manfaat yang diberikan TNGHS baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan keadaan daerah yang cukup luas yaitu 113.357 ha dan secara administrasi, wilayah kerja TNGHS terletak di Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Sukabumi dan Bogor) dan Propinsi Banten (Kabupaten Lebak). Kegiatan pengembangan kawasan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati ini merupakan kegiatan jangka panjang dan berpengaruh besar terhadap berbagai stakeholders yang dipengaruhi oleh TNGHS


(22)

jika diadakannya kegiatan ini. Penting untuk mengkaji para pihak yang terkait dan terlibat dalam pengembangan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati.

Keputusan pembuatan kegiatan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati ini dianggap kurang melibatkan masyarakat desa yang sudah turun temurun berada di TNGHS. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis dan pengkajian lebih lanjut tentang stakeholders yang terkait dengan TNGHS. Hal ini dilakukan karena para stakeholders ini secara langsung atau tidak langsung akan merasakan dampak dari kegiatan yang dilakukan di TNGHS ini. Selain itu dengan melakukan analisis stakeholders diharapkan dapat meminimalisir permasalahan yang mungkin akan terjadi di kemudian hari melalui kebijakan yang disusun.

Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH) dibangun dengan harapan dapat menjaga hutan TNGHS dari kerusakan kelestariannya yang berdampak berkuranganya jasa lingkungan yang diterima masyarakat. Sehingga diperlukan pendekatan yang dapat diterima berbagai pihak untuk menyadarkan pentingnya menjaga hutan. Salah satu pendekatan yang dianggap cukup baik adalah pendekatan ekonomi terhadap manfaat non-guna hutan. Hal ini dianggap dapat menjadi ukuarn perbandingan yang rasional untuk mempertahankan hutan TNGHS dari kerusakan lebih lanjut. Sehingga permasalahan yang dapat diteliti dari kegiatan ini ialah:

1. Siapa saja stakeholders yang terlibat dengan pengembangan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati di TNGHS ?

2. Berapa nilai ekonomi dari manfaat non-guna (non-use value) dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini?

3. Apa saja faktor yang mempengaruhi proxy Willingness To Pay (WTP) masyarakat di Desa Puraseda dan Malasari?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini tentu untuk menjawab permasalahan di atas, yaitu: 1. Menganalisis stakeholdersyang terkait langsung dengan pengembangan

kawasan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati TNGHS.

2. Mengetimasi nilai ekonomi manfaat non-guna (non-use value) dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak.


(23)

7

3. Menganalisis faktor yang mempengaruhi WTP masyarakat Desa Puraseda dan Malasari.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian Batasan-batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini hanya dilakukan di dua desa yaitu Desa Puraseda dan Malasari. 2. Penelitian ini hanya dilakukan pada stakeholders yang terkait langsung dengan

pengelolaan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati.

3. Manfaat tidak langsung yang ditanyakan dan dihitung dalam penelitian ini adalah manfaat keberadaan (penelitian), manfaat warisan, dan manfaat perlindungan.

4. Wilayah responden yang dipilihadalah yang paling merasakan manfaat hutan TNGHS dan menggantungkan hidup pada hasil atau jasa hutan.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk masukan dan input bagi peneliti, instansi pemerintah terkait, perusahaan, LSM, dan masyarakat.

1. Bagi peneliti, penelitian ini berguna sebagai media untuk menerapkan teknik penilaian ekonomi terhadap hutan dan aplikasi ekonomi kelembagaan akan stakeholders yang berperan dalam sebuah kegiatan terkait pelestarian hutan. 2. Bagi instansi pemerintah, penelitian dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam pembuatan kebijakan terkait hutan dan evaluasi sejauh mana keterlibatan pemerintah dalam mengelola hutan dan memberi pandangan yang berbeda dalam melihat hutan sebagai sesuatu yang berharga dan perlu dipertahankan.

3. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dalam pembuatan kebijakan dan keputusan penting tentang kegiatan terkait hutan agar dapat lebih melibatkan masyarakat dan pihak-phak terkait. Perusahaan dan pihak swasta juga mendapat cara pandang yang baru terhadap hutan TNGHS, dimana hutan dapat menjadi ladang investasi yang baik melihat tingginya nilai hutan berdasarkan manfaat tidaklangsung yang dimiliki hutan jika dibandingkan dengan manfaat langsungnya yaitu kayu. Investasi yng biberikan


(24)

perusahaan dan pihak swasta tersbut merupakan insentif yang bagus untuk pengelolaan hutan agar tetap lestari dan terjaga.

4. Bagi LSM, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk keterlibatan LSM dalam pelestarian hutan dan keanekaragaman hayatinya sehingga lebih aktif dan meningkatkan bargaining position di tingkat pengelolaan hutan.

5. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa sumberdaya hutan memiliki banyak jasa lingkungan yang besar nilainya, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan dan Konservasi

Dalam UU RI No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan memberi banyak manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat hutan dapat dibagi menjadi manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung hutan antara lain produksi kayunya yang bernilai, buah, getah, kulit kayu, dan sebagainya. Manfaat tidak langsung antara lain seperti fungsi hidrologis dalam menyerap air, sehingga menghindarkan longsor, dan mencegah erosi, lalu fungsi biologisnya sebagai habitat berbagai flora dan fauna, dan rekreasi, dan sebagai tempat yang memiliki energi spiritual (seperti untuk meditasi, ziarah, dan wisata keagamaan).

Di Indonesia, pengertian hutan berbeda dengan pengertian dari kawasan hutan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (UU RI No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan). Suatu wilayah hutan akan ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi suatu kawasan hutan jika hutan tersebut memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem, memiliki kondisi alam yang masih asli, komunitas flora dan fauna yang hampir punah, dan memiliki ciri khas potensi yang membutuhkan konservasi, dan yang paling terpenting dari kawasan hutan adalah penunjukan batas-batas yang jelas. Kawasan hutan biasanya diperuntukkan bagi kegiatan konservasi. Konservasi sendiri adalah kata serapan dari bahasa Inggris yaitu conservation. Konservasi dalam sumberdaya hutan berarti pengelolaan hutan yang berfungsi untuk mengawetkan fungsi ekosistem hutan.

Pengertian konservasi menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) lebih operasional, yaitu

Conservation is the management of human use of the biosphere so that may yield the greatest sustainable benefit to present generations while


(26)

mainenance its potential to meet the needs and aspirations of future generations (IUCN,1980).

Berarti konservasi adalah proses manajemen pengunaan SDA yang berkelanjutan sehingga manfaat yang dirasakan dapat maksimal pada masa sekarang serta menjaga kebutuhan dan aspirasi potensial generasi mendatang terkait SDA. Banyak definisi kawasan konservasi, tergantung pada sudut pandang keilmuan dan persepsi akan kawasan hutan tersebut. Menurut Pyle (1980), kawasan konservasi adalah sebidang lahan yang terpisah untuk peruntukan lain yang bertujuan untuk melestarikan kondisi alamiahnya. Definisi kawasan konservasi kemudian berkembang berdasarkan Klemm dan Shine (1993), yaitu ekosistem unik baik di darat atau perairan yang dilindungi, di antaranya dengan memberlakukan pembatasan-pembatasan penggunaan tertentu dengan maksud untuk mengawetkan alam tertentu dan seluruhnya.

IUCN memiliki definisi tersendiri akan kawasan konservasi yaitu wilayah daratan atau laut terutama diperuntukkan untuk perlindungan dan pemeliharaan keanekragaman hayati, dan SDA, serta sumber budayanya, yang dikelola secara legal atau cara-cara efektif lainnya (IUCN, 1994). IUCN dalam definisinya mengikutsertakan budaya di mana IUCN menyadari bahwa hutan dan kawasannya tidak lepas dari budaya yang erat dengan kehidupan manusia lokal yang tinggal dan bergantung pada hutan tersebut. Hal ini jelas membuat konservasi menjadi semakin adil bagi manusia, tidak hanya bagi spesies saja. Sehingga konservasi dapat bermakana sebagai pemanfaatan sumberdaya alam namun tetap mempertahankan kelestariannya yang sangat sesuai dengan pandangan ekonomi baru yaitu ekonomi ekologi (Hufschdmidt and Hyman, 1982, Pierce, 1990). Indonesia tidak memiliki definisi kawasan konservasi, namun memiliki definisi dari hutan konservasi berdasarkan UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Bisa disimpulkan bahwa tujuan dari konservasi sendiri ialah perlindungan sistem penyangga kehidupan, tempat pengawetan keanekaragaman genetik, dan sebagai tempat pemanfaatan lestari jenis dan ekosistem. Hal ini menunjukkan


(27)

11

bahwa konservasi tidak hanya persoalan melindungi saja, akan tetapi masih dapat dimanfaatkan asalkan masih berada di zona pemanfaatan, karena hutan harus dapat dimanfaatkan oleh manusia sehingga menciptakan keadilan.

2.2. Taman Nasional

Taman Nasional adalah Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidkan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Berdasarkan MacKinnon et al (1990), taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian tinggi, potensi objek rekreasi yang besar, mudah dicapai, dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut, sedangkan menurut IUCN (1994) taman nasional ialah areal yang cukup luas, di mana ada satu atau beberapa ekosistem tidak berubah oleh kegiatan eksploitasi atau pemilikan lahan; spesies flora dan fauna, kondisi geomorfologi, dan kondisi habitatnya memiliki nilai ilmiah, pendidikan, dan nilai rekreasi atau yang memiliki lanskap alam dengan keindahan tinggi.

Menurut Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Kawasan Alam (PHKA) Kemenhut RI, di Indonesia terdapat 50 Taman Nasional yang tersebar di seluruh Indonesia dengan 43 TN darat, dengan luas 12.328.523,34 hektar, dan 7 TN laut dengan luas 4.043.541,3 hektar2. Penetapan zonasi dalam pengelolaan taman nasional didasarkan pada suatu kriteria yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 tahun 2006, dimana zonasi di TN terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lainnya (Pasal 3 ayat 1). Penataan zona ini juga diadakan dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya.

2.3. Keanekaragaman Hayati

Biodiversitas atau biasa disebut keanekaragaman hayati adalah semua kehidupan yang ada di dunia ini, abiotik biotik, hewan, tumbuhan, manusia,

2


(28)

mikroba yang berasal dari habitat yang ada di darat, laut, udara, dan sistem perairan lain. Sumber daya alam hayati adalah bagian dari biodiversitas yang sudah diketahui manusia dan diketahui manfaatnya. Kayanya alam kita ini membuat banyak rahasia alam yang masih belum terungkap dan belum diketahui manfaatnya. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri atas sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya hewani (satwa) yang bersama-sama dengan unsur non-hayati di sekitarnya membentuk suatu ekosistem (PP No.28 tahun 2011). Keanekaragaman memiliki tiga tingkatan yang berbeda, yaitu:

1. Keanekaragaman genetik, hal ini merujuk pada berbagai macam informasi genetik yang terkandungdi dalam setiap mahkluk hidup.

2. Keanekaragaman spesies, hal ini merujuk pada keragaman spesies-spesies yang hidup.

3. Keanekaragaman ekosistem, berkaitan dengan keragaman habitat, komunitas biotik, dan proses ekologis, serta keanekaragaman yang ada di dalam ekosistem itu sendiri.

Keanekaragaman hayati menjadi penting untuk dipertahankan karena keanekaragaman hayati memberi arti penting dan berbeda bagi setiap pemangku kepentingan karena nilai intrinsik yang dikandung masing-masing kenaekaragaman hayati tersebut, baik nilai sosial, budaya, dan spiritual. Manfaat keanekaragaman hayati antara lain sebagai sumber kehidupan, penghidupan dan kelangsungan hidup bagi umat manusia, karena potensial sebagai sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain, sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan sosial budaya umat manusia, serta membangkitkan nuansa keindahan yang merefleksikan penciptanya.

Indonesia dikenal sebagai negara Mega biodiversitas karena tingginya tingkat keanekaramana hayati yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan karena sejarah geologi pembentukan yang berbeda diantara pulau di Indonesia sehingga terjadai variasi iklim dari bagian barat yang lembab sambai ke bagian timur yang kering3. Konservasi keanekragaman hayati perlu dilakukan di Indonesia agar mahkluk hidup dan keragamannya dapat dipertahankan, sampai akhir tahun 2010

3 Biocelebes. Juni,2009,halaman1-9. Hutan tropis Indonesia, Keanekaragaman hayati dan kaitan dengan pemanasan global. Ramadanil Pitopang dan Elijonhadi. Vol 3 no 1.


(29)

13

Kementerian Kehutanan dalam Statistik Kehutanan (2012) menetapkan jenis flora dan fauna yang dilindungi antara lain 127 jenis mamalia, 382 jenis burung, 31 jenis reptilia, 9 jenis ikan, 20 jenis serangga, 2 jenis Crustacea, 1 jenis Anthozoa, dan 12 jenis Bivalvia.

2.4. Sejarah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati

Berdasarkan perkembangan kondisi kawasan disekitarnya terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan sarana dan prasarana, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatankawasan konservasi Halimun Salak yang lebih luas. Ditetapkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003, tentang perubahan fungsi kawasan bekas Perum Perhutani atau bekas hutan lindung dan hutan produksi terbatas di sekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan luas 113.357 ha.

Penunjukan Gunung Halimun, Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasanhutan di sekitarnya sebagai salah satu taman nasional di Indonesia, karenakawasan ini mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memilikiekosistem hutan hujan tropis di Pulau Jawa. Kawasan ini selain berfungsi sebagaikawasan tangkapan air juga merupakan habitat satwa yang unik seperti owa jawa, elang jawa, dan macan tutul. Dalam mewujudkan visi TNGHS

yaitu ”menjadi taman nasional terbaik yang dikonstruksikan secara sosial dan menjamin kelestarian fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan” maka hal ini diwujudkan dengan mengembangkan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati TNGHS (PKKH-TNGHS), sebagai Center of Excelent (CoE) yang diharapkan mampu menopang pencapaian tujuan dan mengembangkan kemandirian pengelolaan TNGHS.

Berdasarkan situs resmi dan Pusat Knservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH)4 disebutkan bahwa pada tanggal 27 Desember 2010 di Pongkor,

4


(30)

Kabupaten Bogor, telah meresmikan dimulainya perencanaan dan pembangunan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati pada Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang dapat diandalkan di Asia. Pelaksanaan dilakukan dalam 4 program yaitu pemulihan degradasi lahan, pelestarian keanekaragaman hayati, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan pemanfaatan kehati serta potensi kawasan.

2.5. Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Berdasarkan hasil penilaian sensitivitas ekologis dan pertimbangan kondisi lapangan dari aspek efektivitas managemen kawasan, fisik, budaya, daya tarik wisata serta potensi konflik dengan masyarakat maka diusulkan pembagian zona di TNGHS yang tercantum pada Laporan Tahunan Balai TNGHS tahun 2012 ialah sebagai berikut :

1. Zona Inti seluas ± 31.773,2 Ha. Kriteria zona inti merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup potensi kehati dan ekosistem yang tinggi; terdapat potensi sepesies kunci (endangered species); ekosistem hutan primer, habitat satwa dan tumbuhan endemik; merupakan tempat aktifitas satwa bermigrasi; serta daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya terhadap pengelolaan ekosistem TNGHS secara menyeluruh. Sehingga fungsi utama dari zona tersebut adalah untuk perlindungan habitat tiga spesies penciri (elang jawa, owa jawa dan macan tutul) dan ekosistem hutan hujan tropis dataran pegunungan. Regulasi peruntukkan zona inti meliputi perlindungan ekosistem; pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya; kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penunjang budidaya.

2. Zona Rimba seluas ± 21.639,1 Ha. Kriteria zona rimba merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup perlindungan habitat dan atau daerah jelajah satwa liar; ekosistem dan potensi keanekaragaman hayati yang berfungsi menyangga zona inti; habitat satwa dan tumbuhan berupa hutan sekunder; serta sebagai tempat aktifitas satwa bermigrasi. Regulasi peruntukkan zona rimba meliputi pengawetan dan pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistemnya; kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan


(31)

15

konservasi dan penunjang budidaya; serta habitat satwa migran dan pendukung zona inti.

3. Zona Pemanfaatan seluas ± 1.524,3 Ha. Kriteria zona pemanfaatan merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup potensi obyek dan daya tarik wisata; kawasan yang telah dikembangkan sebagai obyek wisata, pendidikan dan penelitian; serta kawasan yang memungkinkan dibangun fasilitas wisata, pendidikan dan penelitian, dan tidak berbatasan langsung dengan zona inti. Berbagai aktivitas yang dapat dilakukan di zona pemanfaatan diantaranya perlindungan pengamanan; inventarisasi, survey, dan monitoring kehati dan ekosistemnya; penelitian dan pengembangan, dan penunjang budidaya; pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam; pembinaan habitat dan populasi; pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan; serta pembangunan sarana prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan.

4. Zona Rehabilitasi seluas ± 28.223,8 Ha. Kriteria zona rehabilitasi merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup kawasan yang terdegradasi dan yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia; adanya invasif yang mengganggu jenis atau spesies asli; serta kawasan dengan sifat fisik yang secara ekologi terpengaruh terhadap kelestarian ekosistem. Regulasi zona rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.

5. Zona Tradisional seluas ± 1.428,5 Ha. Kriteria dan regulasi zona tradisional merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup kawasan yang terdapat pemanfaatan sumber daya alam secara terbatas yang dilakukan masyarakat secara tradisional dan turun temurun serta memperhatikan asas pelestarian. Berbagai aktivitas yang diperkenankan di zona tradisional diantaranya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu secara terbatas (seperti getah tanaman pinus, damar dan karet); pemanfaatan jasa lingkungan, pendidikan dan pariwsata; penelitian dan pendidikan; serta penunjang budidaya.

6. Zona Khusus seluas ± 20.575,1 Ha. Kriteria dan regulasi zona khusus yang merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup adanya masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum kawasan


(32)

ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional serta telah terdapat sarana prasarana seperti fasilitas transportasi, listrik, telekominikasi, dan lain-lain yang bersifat strategis nasional dan internasional. Zona khusus dapat diberlakukan dengan prasyarat yaitu 1) telah disepakatinya Memorandum of Understanding (MoU) masyarakat dengan UPT TNGHS yang mengatur aktifitas, hak dan kewajiban masyarakat serta regulasi di zona khusus sesuai dengan kondisi setempat, 2) tersusunnya rencana tata kelola ruang di dalam zona khusus yang dijadikan sebagai acuan dalam pemanfaatan serta monitoring dan evaluasi pada setiap lokasi zona kusus yang disesuaikan dengan kondisi setempat.

7. Zona Budaya seluas ± 10,0 Ha. Kriteria zona budaya merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup adanya lokasi kegiatan budaya yang masih dipelihara dan digunakan oleh masyarakat; serta adanya situs budaya yang dilindungi undang-undang, maupun yang tidak dilindungi undang-undang. Regulasi zona rehabilitasi ditujukan untuk melindungi dan memperlihatkan nilai-nilai budaya, sejarah, dan arkeologi; serta wahana penelitian, pendidikan, wisata sejarah, dan arkeologi.

2.6. Teori Kelembagaan

Pengertian kelembagaan akan berbeda sesuai pemikiran dan persepsinya masing-masing. Menurut Soekanto (2002) istilah kelembagaan diartikan sebagai lembaga kemasyarakatan yang mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut.Sedangkan menurut Tjondronegoro (1977) dalam Pranadji (2003) perihal pengertian tentang lembaga cenderung mempersempit makna lembaga dalam kaitan perbedaan dengan organisasi. Berbeda dengan Soemardjan dan Soelaeman (1974) yang menuliskan bahwa lembaga mempunyai fungsi sebagai alat pengamatan kemasyarakatan (social control) artinya kelembagaan dapat bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat yang berperan besar terhadap sirkulasi kelembagaan tersebut. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Rahardjo (1999) dalam Pasaribu (2007), dimana konsep kelembagaan yang dianut oleh masyarakat menggunakan konsep lembaga sosial yang secara lebih sederhana diartikan


(33)

17

sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat.

Komponen dari kelembagaan antara lain: aturan formal,aturan informal dan mekanisme penegakan (enforcement). Soemardjan dan Soelaiman (1974), memperinci ciri-ciri lembaga kemasyarakatan sebagai berikut:

a. Merupakan unit yang fungsional, merupakan organisasi pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. b. Mempunyai tingkat kekekalan tertentu, yaitu telah teruji dan berupa himpunan

norma-norma pencapaian kebutuhan pokok yang sewajarnya harus dipertahankan.

c. Mempunyai tujuan atau beberapa tujuan tertentu.

d. Mempunyai perangkat peralatan untuk mencapai tujuan lembaga tersebut, misalnya: bangunan gedung, mesin-mesin, alat-alat lain.

e. Mempunyai alat pengebor semangat, misalnya: lambang-lambang, panji-panji, slogan-slogan, semboyan-semboyan dan lain sebagainya.

f. Mempunyai tradisi atau tata-tertib sendiri.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa lembaga sosial merupakan suatu tatanan sosial yang mempunyai tiga fungsi pokok dalam kehidupan masyarakat, yaitu:

1. Sebagai pedoman (patokan) bagi para anggota masyarakat tentang cara bagaiman harus bersikap dan berperilaku dalam setiap usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Sebagai pertahanan atau penangkal (kekuatan)dalam melestarikan keutuhan masyarakat.

3.Sebagai pedoman bagi masyarakat dalam rangka usaha memelihara suatu ketertiban dan sekaligus untuk memberantas segala perilaku anggota masyarakat yang menyimpang (social control).

2.7. Analisis Stakeholders

Analisis stakeholders akan mengklasifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan. Menurut Colfer et al. (1999), untuk menentukan siapa yang perlu dipertimbangkan dalam analisis stakeholders yaitu dengan mengidentifikasi


(34)

dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap hutan, dimana stakeholders dapat ditempatkan berdasarkan beberapa faktor, yaitu:

1. Kedekatan dengan hutan, merupakan jarak tinggal masyarakat yangberhubungan dengan kemudahan akses terhadap hutan.

2. Hak masyarakat, hak-hak yang sudah ada pada kawasan hendaknya diakui dandihormati.

3. Ketergantungan, merupakan kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak mempunyai pilihan yang realistis untuk kelangsungan hidupnya sehingga mereka sangat bergantung dengan keberadaan hutan.

4. Kemiskinan, mengandung implikasi serius terhadap kesejahteraan manusia sehingga masyarakat yang miskin menjadi prioritas tujuan pengelolaan.

5. Pengetahuan lokal, kearifan lokal dan pengetahuan tradisional masyarakatdalam menjaga kelestarian hutan.

6. Integrasi hutan/budaya, berkaitan dengan tempat-tempat keramat dalam hutan, sistem-sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan sangat erat dengan perasaan masyarakat tentang dirinya. Selama cara hidup masyarakat terintegrasi dengan hutan, kelangsungan budaya mereka terancam oleh kehilangan hutan, sehingga mempunyai dampak kemerosotan moral yang berakibat pada kerusakan hutan itu sendiri.

7. Defisit kekuasaan, berhubungan dengan hilangnya kemampuan masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya atau sumber penghidupan mereka dari tekanan luar sehingga mereka terpaksa melakukan praktik-praktik yang merusak.

2.8 Valuasi Ekonomi

Valuasi ekonomi adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk menilai secara riil harga dari suatu barang dan jasa dengan menggunakan pendekatan penilaian kegunaan langsung dan tidak langsung (Adrianto dan Wahyudin, 2007). Valuasi ekonomi biasanya menggunakan nilai uang dimaksudkan untuk mengindikasi penerimaan dan kehilangan manfaat atau kesejahteraan dikarenakan kerusakan lingkungan (Pearce dan Turner (1993) dalam Yunus (2005)).


(35)

19

2.8.1Jenis Nilai Ekonomi

Krutila dalam Fauzi (2006) memperkenalkan konsep Total Economic Value (TEV). Dimana konsep ini dapat membantu peneliti untuk mengetahui harga dari barang atau jasa lingkungan baik yang memiliki pasar ataupun tidak. Nilai yang dimasukkan dalam perhitungan Total Economic Value (TEV) adalah: 1. Nilai kegunaan (use value) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan

aktual dari barang dan jasa.

a. Nilai manfaat langsung (Direct Value) contohnya: kayu, buah, getah.

b. Nilai manfaat tidak langsung (Indirect Value) contohnya: fungsi ekologi dan hidrologis hutan.

2. Nilai bukan kegunaan (non-use value) adalah nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual dari barang dan jasa tersebut.

a. Nilai Pilihan (Option Value) adalah nilai yang diberikan masyakat atas adanya pilihan untuk menikmati barang dan jasa dari sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi, 2002) contohnya manfaat keanekaragaman hayati. b. Nilai Keberadaan (Existence Value) adalah nilai yang diperoleh dari

persepsi bahwa keberadaaan ekosistem itu penting terlepas dari bermanfaat atau tidak ekosistem atau sumberdaya tersebut, misalnya: keberadaan hutan, hewa-hewan endemik.

c. Nilai warisan (Bequest value) adalah nilai yang diperoleh dari peestariaan sumberdaya atau ekosistem agar bisa dimanfaatkan dan dirasakan oleh generasi mendatang.

2.8.2 Contingent Valuation Methods (CVM)

Contingent Valuation Methods (CVM) adalah metode yang dianggap dapat digunakan untu menghitung jasa-jasa lingkungan/fungsi ekosistem yang dianggap tidak memiliki nilai guna dan sulit diukur dari sudut pandang pasar. Menurut Yakin (1997), CVM adalah metode teknik survey untuk menanyakan penduduk tentang nilai atau harga yang mau mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan, jika pasarnya betul-betul tersedia atau jika ada cara-cara pembayaran lain seperti pajak diterapkan. Prinsipnya, metode ini mampu diterapkan dalam menilai keuntungan dari penyedia barang atau jasa lingkungan yang ada dan mampu menentukan pilihan


(36)

dari harga perkiraan pada konisi yang belum pasti sehingga masyarakat memiliki preferensi atas atas barang atau jasa lingkungan di sekitar mereka.

Pada dasarnya metode ini akan digunakan untuk menanyakan 2 hal pada masyarakat:

1. Jumlah minimal uang yang mau diterima seseorang atau rumah tangga/Willingness to accept (WTA) per bulan atau per tahun sebagai kompensasi akibat rusaknya lingkungan Berapa jumlah maksimum uang yang ingin dibayarkan seseorang atau rumah tangga/Willingness to Pay (Proxy WTP) per bulan atau tahun untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan. 2. Berapa nilai eksternalitas negatif lingkungan atas aktivitas pihak lain.

Untuk menanyakan hal-hal tersebut, maka langkah-langkah pengerjaan CVM adalah sebagai berikut:

1) Membuat hipotesis pasar 2) Mendapatkan nilai penawaran 3) Menghitung rataan WTP/WTA 4) Memperkirakan kurva penawaran 5) Mengagregatkan data

6) Evaluasi penggunaan CVM

Namun metode CVM seringkali ditemukan bias yang mempengaruhi keakuratan dari metode ini. Potensi kesalahan yang sering terjadi adalah:

a. Kesalahan hipotesis karena adanya perbedaan antara pembayaran hipotesis dengan perilaku responden sebenarnya (Cumming et al. 1986 dalam Yakin, 1997).

b. Kesalahan strategis terjadi saat responden tidak memberikan nilai penawaran yang sebenarnya, sehingga nilainya bisa lebih rendah (undervalued) atau lebih tinggi (overvalued).

c. Kesalahan informasi ini terkait dengan jumlah informasi yang didapat dengan kualitas/kelengkapan dari informasi tersebut.

d. Kesalahan titik awal terjadi saat penggunaan pendekatan tawar menawar, yaitu pada saat responden diberikan sebuah nilai untuk titik awal, namun responden tidak yakin akan nilai yang dia berikan karena ragu dengan titik awal yang diberikan.


(37)

21

e. Kesalahan alat adalah kesalahan dimana responden tidak setuju dengan metode

yang dilakukan oleh responden karena lebih suka menjawab „ya/tidak‟.

2.9. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang terkait dengan analisis stakeholders dan penilaian manfaat tidak langsung antara lain penelitian yang dilakukan Safitri (2006) tentang analisis respon stakeholders kebijakan perluasan kawasan TNGHS di mana peneliti memakai matriks kepentingan dan pengaruh berdasarkan analisis deskriptif. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Pramana (2012) yang meneliti bentuk dan tingkat partisipasi stakeholders dalam Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau, dimana peneliti memakai matriks analisis stakeholders berdasarkan kepentingan dan pengaruh seperti pada penelitian Safitri (2006) namun analisis dilakukan dengan menggunakan pemberian nilai penting dalam skala 1-5 berdasarkan tingkat kerelevanan kepentingan dan tingkat pengaruh para stakeholders.

Untuk objek penelitian selanjutnya yaitu valuasi ekonomi salah satu peneltian yang relevan adalah penelitian oleh Pranoto (2009) tentang valuasi ekonomi sumberdaya hutan dan implikasinya terhadap kebijakan pengelolaan hutan (studi kasus: Wonogiri, Jawa Tengah) dimana masyarakat di desa Selopuro menyadari dan merasakan bahwa setelah adanya hutan maka keindahan, kenyamanan, kesejukan, dan ketersediaan air di Desa Selopuro menjadi meningkat. Sehingga didapat nilai ekonomi dari hutan rakyat di Selopuro untuk manfaat kegunaan (use value) adalah sebesar Rp 27.712.200/ha/tahun. Nilai non guna (non use value) adalah sebesar Rp 7.581.750/ha/tahun, yang terdiri atas nilai pilihan (option value) sebesar Rp 357.500/ha/tahun, nilai manfaat keberadaan (Existence value) sebesar Rp 4.019.125/ha/tahun, dan nilai warisan (Bequest value) sebesar Rp 3.205.125/ha/tahun.

Valuasi ekonomi terhadap Taman Nasional Gunung Halimun sudah dilakukan oleh Widada (2004), dalam penelitian tersebut peneliti menghitung total nilai ekonomi dari TNGH baik nilai guna dan nilai non guna dengan menggunakan berbagai metode. Untuk menghitung nilai non-guna, peneliti menggunakan metode Contingent Valuation Method dan membandingkan antara


(38)

dengan memasukkan nilai karbon dan tidak memasukkan. Jika nilai penyerap karbon diperhitungkan, maka nilai pelestarian dari TNGH adalah Rp 0,67 miliar, nilai pilihan sebesar Rp 0,76 miliar, dan nilai keberadaan sebesar Rp 0,64 miliar


(39)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Teoritis

Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan penggabungan dari Gunung Halimun, Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan hutan di sekitarnya, lalu ditunjuk oleh PHKA sebagai salah satu taman nasional di Indonesia, karena kawasan ini mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki ekosistem hutan hujan tropis di Pulau Jawa. Gunung-gunung ini sudah ada sejak tahun 1900-an. Hal ini membuat keberadaan hutan di daerah ini begitu melekat pada kehidupan masyarakat di sekitar hutan di gunung-gunung tersebut, tidak hanya pada tatanan adat dan budaya tapi juga berperan penting dalam menopang kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat dipastikan bahwa keberadaan areal TNGHS ini memegang peranan penting dalam kehidupan manusia dan mahkluk hidup yang lain. Kegiatan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati (PKKH) ini dianggap penting dan fundamental karena tingginya kepentingan banyak pihak terhadap fungsi dari hutan TNGHS. Tingginya resiko konflik dalam membuat kebijakan, perundingan, dan pengelolaan hutan menjadi alasan pentinganya mengetahui stakeholders yang terkait dengan kegiatan PKKH ini. Karena diharapkan bahwa dengan mengetahui kepentingan masing-masing stakeholder dan mengetahui seberapa besar pengaruh stakeholder tersebut dalam pengelolaan hutan, maka permasalahan di masa depan dapat dihindari.

Analisis stakeholders akan dilakukan berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya lalu akan dikaitkan dengan tujuan pengelolaan yaitu konservasi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, serta pendidikan dan penelitian, lalu untuk fungsi ekosistem yaitu fungsi regulasi, habitat, produksi, dan informasi, dan carrier function. Untuk mendapatkan informasi maka akan dilakukanwawancara dengan teknik snowball interview sehingga dapat menemukan narasumber yang tepat berdasarkan penelitian terdahulu terkait stakeholder sTNGHS. Narasumber akan diwawancara secara mendalam (depth interview) berdasarkan kuesioner yang sudah dibuat. Lalu hasil wawancara akan ditafsirkan ke dalam angka untuk diproses pada matriks kategori stakeholders, lalu para stakeholders akan diklasifikan menjadi subjects, key players, context setters, dan crowd berdasarkan


(40)

kepentingan dan pengaruh stakeholders. Matriks ini akan menunjukkan posisi dan peranan yang dimainkan stakeholders dalam pengelolaan TNGHS dan kegiatanPKKH ini.Nilai dari manfaat non-guna hutan merupakan fakta yang diperlukan sebagai pendekatan ekonomi yang menyadarkan tingginya manfaat non-guna hutan. Sehingga baik masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta dapat memberi perhatian lebih untuk menjaga jasa lingkungan yang dihasilkan hutan. Manfaat non-guna yang diperhitungkan pun terkait dengan tujuan dari terselenggaranya PKKH itu sendiri, antara lain mafaat penelitian, warisan, dan perlindungan. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan bahwa didapat nilai ekonomi dari TNGHS jika manfaat non-guna tersebut terjaga dan dipelihara. Kemudian dengan memakai suku bunga kredit 12% dapat diestimasi nilai dari hutan TNGHS 25 tahun ke depan jika manfaat tersebuttetap terjaga dan lestari. Hasil ini secara tidak langsung akan memberi gambaran akan nilai hutan TNGHS jika manfaat terus terjaga dan kegiatan PKKH dapat berjalan dengan sukses.

Dalam Gambar 3, dijelaskan tentang klasifikasi nilai manfaat yang menggambarkan Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) berdasarkan cara atau proses manfaat tersebut diperoleh. Dalam TEV terdapat dua jenis nilai yatu nilai guna (Use Value) dan nilai non-guna (Non-Use Value).Nilai guna tidak langsung dan nilai non-guna seperti nilai pilihan, nilai warisan, dan nilai keberadaan adalah suatu jasa yang tidak memiliki pasar sehingga nilainya pun merupakan nilai bayangan atau nilai dari preferensi masyarakat sekitar yang secara langsung atau tidak langsung merasakannya. Perhitungan nilai penelitian dan pendidikan akan digunakan metode valuasi kontingen dengan memakai proxy WTP masyarakat dan perusahaan juga pemerintah, untuk nilai keberadaan yaitu usaha melindungi flora dan fauna akan digunakan proxy WTP masyarakat dan perusahaan swata juga pemerintah. Nilai pilihan, keberadaan, dan warisan akan digunakan Contingent Valuation Method dimana akan dilakukan wawancara mendalam dengan narasumber terkait biaya yang bersedia mereka keluarkan untuk fungsi-fungsi tersebut, dengan menggunakan skenario yang sudah dibangun.

Jika semua sudah didapat maka hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berdampak pada pengelolaan kegiatan ini, baik dalam pelibatan masyarakat lokal dalam mengambil keputusan dan merencanakan pengelolaan TNGHS yang lebih


(41)

25

baik lagi ke depannya, juga dalam menentukan pengelolaan keanekaragaman hayati yang harus diperhatikan dan diutamakan agar flora dan fauna yang diindungi dapat tetap lestari tanpa merusak habitat alami dengan kegiatan-kegiatan yang tidak ramah lingkungan.

Sumber: Pearce (1992) dalam Munasinghe (1993)

Nilai Warisan

Nilai dari pemanfaatan pelestarian ekosistem

untuk masa depan Nilai Keberadaan Nilai ekosistem yang diperoleh dari persepsi keberadan ekosistem tersebut, dimanfaatkan atau tidak

Nilai pengetahuan dan penelitian (habitat dan spesies langka)

Nilai Pilihan

Nilai langsung dan tak langsung

di masa yang akan datang Nilai Guna Tidak Langung Manfaat fungsional Nilai Guna Langsung

Hasil yang dapat dikonsumsi

langsung:

Kayu, makanan, biomassa, rekreasi, tumbuhan obat

Nilai Ekonomi Total

Nilai Non-Guna Nilai Guna

Fungsi ekologis, penyerap karbon, penghasil oksigen

Keanekaraman hayati, perlindungan habitat dan spesies langka


(42)

(43)

3.2.Kerangka Operasional

Nilai Pendidikan dan Penelitian

Nilai warisan

Nilai perlindungan habitat dan ekosistem

Contingent Valuation Method

Metode wawancara mendalam dan analisis deskriptif Metode wawancara dan studi literatur.Analisis deskriptif Perubahan fungsi Taman Nasional menjadi Pusat

Konservasi Keanekaragaman Hayati

Analisis Stakeholdersberdasarkan kepentingan dan pengaruhnya

Estimasi intangible value dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

Matriks posisi stakeholders berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya

Nilai Ekonomi dari intangible value terhadap TNGHS

KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Uji Statistik Non-Parametrik


(44)

(45)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Puraseda, Kecamatan Leuwiliang dan Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja karena merupakan desa yang paling erat kaitannya dengan kesejahteraan hidup masyarakat. Lokasi penelitian dan peta terlampir (Lampiran 1). Pengambilan data di lapangan dilakukan dari bulan Maret-Mei 2013.

4.2. Objek dan Alat Penelitian

Objek penelitian ini adalah para pihak yang terkait (stakeholders) dalam pengelolaan TNGHS. Serta menilai manfaat ekonomi non-use value dari didakannya pengembangan kawasan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati TNGHS ini. Alat yang dipakai selama penelitian adalah alat tulis, panduan wawancara, dan kamera.

4.3. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan meliputi jumlah proxy WTP yang mau dibayarkan oleh masyarakat/perusahaan, faktor-faktor yang mempengaruhi proxy WTP masyarakat/perusahaan, analisis kepentingan dan pengaruh stakeholders. Data primer diperoleh melalui pengamatan di lapangan (observasi) dan hasil wawancara mendalam (depth interview) dengan stakeholders. Data sekunder mencakup data stakeholders yang terlibat dan kegiatan apa saja yang sudah dilakukan. Data sekunder diperoleh dari penelusuran dokumen berupa buku, laporan hasil kegiatan dan laporan lainnya, jurnal dan literatur ilmiah, serta penelusuran artikel.

4.4. Penentuan Jumlah Responden/Sampel

Responden yang digunakan ada analisis stakeholders adalah responden berupa lembaga terkait langsung dengan pengelolaan PKKH. Pemilihan rsponden


(46)

dilakukan dengan metode snowball sampling karena metode ini cocok digunakan unutk mengidentifikasi langsung responden yang benar terkait langsung dalam pengelolaan PKKH. Berdasarkan metode tersebut didapat 9 responden yang terdiri atas pihak pemerintah, masyarakat, swasta, dan LSM.

Pada analisis ekonomi, jumlah responden yang diteliti sebagai sampel ialah 50 orang, dengan proporsi 25 responden berasal dari desa Malasari dan 25 responden sisanya berasal dari desa Puraseda. Jumlah responden ini didapat dari mengalikan variabel yang diteliti dengan 10 sampel minimal (Roscoe dalam Sekaran, Uma (1992)), dimana variabel yang akan diteliti adalah umur, pendapatan, pendidikan, lama tinggal, dan jumlah tanggungan. Kelima puluh responden ini dianggap mewakili keseluruhan populasi masyarakat yang memanfaatkan TNGHS baik secara langsung atau tidak langsung. Pengambilan contoh responden akan dilakukan secara purposive sampling, dimana pengambilan sampel akan dimulai memilih responden yang pekerjannya terkait dengan TNGHS. Responden adalah masyarakat di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung dan Desa Puraseda, Kecamatan Leuwiliang, Kedua desa tersebut berada di Kabupaten Bogor. Responden adalah warga desa yang berhubungan langsung dengan hutan TNGHS baik dalam memanfaatkan dan secara tidak langsung merasakan manfaat dari TNGHS. Berdasarkan data kecamatan tahun 2002, jumlah populasi Desa Malasari ialah 6.164 orang dan Desa Puraseda ialah 6.794 orang.

4.5. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut ini: 1) Observasi langsung

Metode ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum yang nyata atas keadaan terjadi di lapangan, bukan berdasarkan isu semata. Observasi langsung juga dilakukan untuk melihat bagaimana keadaan lingkungan daerah penelitian

2) Wawancara mendalam

Metode ini merupakan wawancara mendalam sebagai proses untuk memperoleh keterangan dan informasi secara detail untuk mejawab masalah


(47)

29

yang ada dan mencapai tujuan penelitian secara langsung dengan sumber dengan memakai daftar pertanyaan sebagai panduan untuk mewawancarai narasumber dan informan. Wawancara akan dilakukan terhadap informan kunci yang terpilih secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan keterlibatan informan dalam pengelolaan dan dianggap banyak mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan kawasan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

3) Penelusuran Pustaka

Studi Pustaka dilakukan sebagai pelengkap literatur untuk membantu proses penelitian ini dengan mengumpulkan hasil laporan kegiatan dan dokumen sejenis berupa data umum lokasi, masyarakat, dan lainnya.

4.6. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pada penelitian ini, analisis yang akan digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif akan digunakan untuk menganalisis stakeholders yang terlibat dalam pengembangan kawasan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengestimasi nilai ekonomi hutan TNGHS berdasarkan manfaat non-guna. Dengan metode CVM maka didapat estimasi proxy WTP responden untuk mengestimasi nilai hutan TNGHS. Tujuan penelitian ini membutuhkan data primer dan sekunder.


(48)

Tabel 2. Matriks Metode Penelitian

Tujuan Penelitian

Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data Output yang Diharapkan Mengetahui dan menganalisis stakeholdersyang terlibat dengan pengembangan kawasan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati TNGHS berdasarkan kepentingannya. Kepentingan (interest)stakeholders

-Data primer dari informan

-Data sekunder dari TNGHS Observasi dan wawancara mendalam dengan informan Analisis deskriptif

Stakeholders dan kepentingan (interest) dalam pengembangan kawasan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati di TNGHS. Mengetimasi nilai ekonomi manfaat tidak langsung dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak

-Data primer dari responden

-Data sekunder dari BKSDA TNGHS, Dirjen PHKA Kemenhut, dan LIPI

Data sekunder ke instansi terkait dan penelusuran literatur terdahulu yang terkait dan wawancara dengan responden Analisis Kuantitatif Moneterisasi dari manfaat tidak langsung

(intangible value)Taman Nasional

Gunung Halimun Salak ini seperti nilai keberadaan, nilai warisan, dan nilai pilihan.

4.6.1. Analisis Stakeholders

Analisis stakeholders digunakan untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan, mengetahui kepentingan dan pengeruh stakeholders serta mengklasifikasi stakeholders dalam pengembangan kawasan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati di TNGHS serta kerjasama dan potensi konflik antar aktor. Penentuan stakeholders baik yang mempengaruhi atau dipengaruhi suatu kebijakan dan tindakan dalam pengembangan kawasan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati ini, ditetapkan berdasarkan hasil observasi lapang dan wawancara. Proses penentuan aktor dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu: 1. Mengidentifikasi sendiri berdasarkan pengalaman dalam bidang pembangunan

wilayah atau berkaitan dengan perencanaan kebijakan.

2. Mengidentifikasi berdasarkan catatan statistik serta laporan penelitian.

3. Mengidentifikasi stakeholders menggunakan pendekatan partisipatif dengan teknik wawancara snowballing dimana tiap aktor stakeholders akan mengidentifikasi stakeholders yang lain.


(49)

31

Setelah mengidentifikasi stakeholders yang terlibat, maka pengaruh dan kepentingan stakeholders dapat dikaji. Kategori fungsi ekosistem yang dikaji dalam penelitian ini (de Groot et al. 2002) adalah fungsi regulasi, fungsi habitat, fungsi produksi, fungsi informasi, dan carrier function. Lalu dapat dikelompokkan dan dibedakan berdasarkan posisi terkait nilai penting dan pengaruhnya dengan menyusun matriks dan pemberian nilai. Penetapan skoring mengacu pada model yang dikembangkan Abbas (2005) yaitu pengukuran data berjenjang lima. Panduan untuk pemberian nilai terkait kepentingan stakeholders dapat dilihat pada Lampiran 4 dan untuk panduan pemberian nilai untuk pengaruh dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 3. Ukuran Kuantitatif Nilai Penting (importance) dan Pengaruh Stakeholders

Skor Kriteria Keterangan

Nilai Penting (Importance) Stakeholders

5 4 3 2 1 Sangat Tinggi Tinggi Cukup Tinggi Kurang Tinggi Rendah

Sangat relevan terhadap pengelolaan TNGHS Relevan terhadap pengelolaan TNGHS Cukup relevan terhadap pengelolaan TNGHS Kurang relevan terhadap pengelolaan TNGHS Tidak relevan terhadap pengelolaan TNGHS Pengaruh Stakeholders

5 4 3 2 1 Sangat Tinggi Tinggi Cukup Tinggi Kurang Tinggi Rendah

Sangat mampu mempengaruhi pengelolaan TNGHS Mampu mempengaruhi pengelolaan TNGHS Cukup mampu mempengaruhi pengelolaan TNGHS Kurang mampu mempengaruhi pengelolaan TNGHS Tidak mampu mempengaruhi pengelolaan TNGHS

Fungsi ekosistem yang dikaji dalam penelitian ini menurut Groot et al. (2002) adalah:

1. Fungsi regulasi yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian fungsi ekosistem TNGHS dalam mengatur proses ekologis serta sistem pendukung kehidupan yang bermanfaat, sepeti pemeliharaan penyediaan air bersih, perlindungan tanah dari erosi, kualitas udara serta jasa ekologi lainnya.

2. Fungsi habitat yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian fungsi ekosistem TNGHS sebagai tempat berlindung dan berkembangbiaknya flora dan fauna, dimana fungsi ini dikhususkan pada kebutuhan ruang yang dapat memelihara keanekaragaman biotik dan genetik.

3. Fungi produksi adalah nilai penting stakeholders terhadap kelestarian sumberdaya untuk memenuhi produksi dan ketersediaan energi, misal untuk


(50)

memenuhi sumber pangan, bahan baku (misal untuk membangun rumah), sumber genetik (contohnya tumbuhan obat), dan sumberdaya energi (misal kayu bakar).

4. Fungsi informasi yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian ekosistem alam yang memberi kontribusi bagi pemeliharaan kesehatan manusia (sumber tanaman obat), menyediakan tempat menikmati pemandangan alam (rekreasi), ekowisata, dan pendidikan.

5. Carrier function ialah nilai penting stakeholders terhadap kelestarian alam seperti lahan dan air dalam menyediakan ruang untuk beraktivitas (bertani, transportasi, dan lain-lain) untuk mendukung infrastruktur seperti areal wisata, dan sarana jalan (perlintasan).

Pengaruh stakeholders terhadap pengembangan kawasan PKKH ini diukur berdasarkan instrumen dan sumber kekuatan seperti yang telah disebutkan oleh Galbraith (1983) dalam Reed et al.(2009).

a. Instrumen kekuatan yaitu condign power, compensatory power,dan conditioning power.

1. Condign power adalah kemampuan stakeholders untuk memberikan hukuman atau sanksi yang sepada/selayaknya kepada stakeholders lain. Pengaruh ini diperoleh dari emosi, keuangan, ancaman fisik, sanksi adat, sanksi hukum, atau sanksi lainnya.

2. Compensatory power adalah kemampuan untuk mengkompensasi stakeholders lainnya melalui simbolisasi, keuangan, penghargaan berupa materi, dan pemberian seperti gaji, upah, sogokan, bantuan dana, atau lahan/tanah.

3. Conditioning power adalah kemampuan untuk memanipulasi kepercayaan dan opini serta informasi, misalnya melalui kelompok, norma, pendidkan, atau propaganda.

b. Sumber kekuatan yaitu personality power and property power dan organization power.

1. Personality power and property power adalah kekuatan yang berasal dari kepribadian, kepemimpinan seseorang (kharisma, kekeuatan isik, kecerdasan mental, atau pesona), atau kekayaan


(51)

33

2. Organization power adalah kekuatan yang berasal dari suatu organisasi karena memiliki jejaring kerja, massa, kesesuai bidang, atau kontribusi fasilitas.

Setelah data stakeholdersteridentifikasi maka menurut Eden dan Ackermann (1998) dalam Bryson (2004) dapat disusun matriks yang membagi stakeholders menjadi subjects, key player, crowd, dan context setters (Gambar 4.).

Sumber: Bryson (2004)

Tabel 4. Matriks Tingkat Kepentingan dan Pengaruh

Stakeholders Nilai kepentingan Pengaruh Subjects Tinggi Rendah Key players Tinggi Tinggi Context setters Rendah Tinggi

Crowd Rendah Rendah

4.6.2. Uji Non-Parametrik

Korelasi Spearman Rank ini digunakan untuk mencari hubungan atau untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila variabel berbentuk ordinal, dan sumber data tidak harus sama (Sugiyono, 2011). Spearman mengungkapkan bahwa untuk menentukan besaran koefisien korelasi dari variabel bebas dan tidak bebas, dinyatakan dalam bentuk formulasi:

6∑di2

r = 1 - ... (1.1)

n (n2– 1)

Gambar 4. Matriks Nilai Penting dan Pengaruh Subject Key players

Crowd Context Setters

tinggi PENGARUH

tinggi

NILAI KEPENTINGAN

rendah

rendah

I II

III IV


(1)

No. Nama Alamat

Ber- sedia bayar/

tdk?

WTP Wari-san (Rp)

Umur (tahun)

Jumlah tang- gungan

(org)

Pendi-dikan (thn)

Penda- patan

(Rp)

Lama tinggal

(thn)

35

Inang

Suryana Puraseda 1 40000 39 6 6 610000 39

36 Jahi Puraseda 1 20000 48 5 6 1480000 48

37 Madriyah Puraseda 1 50000 40 2 6 560000 40

38 Rusna Puraseda 1 10000 40 3 6 300000 40

39 Asla Puraseda 1 100000 45 3 6 2525000 45

40 Dani Puraseda 0 0 50 4 6 65000 50

41 Saimun Puraseda 0 0 48 5 6 760000 48

42 Pepen Puraseda 1 20000 35 4 9 400000 35

43 Olim Puraseda 0 0 42 4 6 1250000 42

44 Jaya Puraseda 1 50000 40 5 6 342000 40

45 Suwandi Puraseda 0 0 40 4 6 360000 4

46 Sarta Puraseda 1 20000 60 2 6 6500000 60

47 Usar Puraseda 1 30000 45 3 6 1100000 43

48 Suhi Puraseda 0 0 58 4 6 790000 58

49 Suanda Puraseda 1 20000 50 4 6 600000 50

50 Suhadi Puraseda 0 0 39 2 6 610000 39

RATAAN 49700 43,5 3,56 8 1309620 37,72

Mean

proxy

WTP Warisan = Rp 49.700

Jumlah penduduk = 16.156


(2)

Lampiran 10. Hasil Regresi

Proxy

WTP Warisan

Regression Analysis: Proxy WTP versus Umur (tahun); Jumlah tanggunga; ...

The regression equation is

PROXY WTP = 42064 - 1232 Umur (tahun) - 766 Jumlah tanggungan (org) + 620 pendidikan

+ 0,0254 Pendapatan + 626 Lama tinggal

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 42064 31140 1,35 0,186

Umur (tahun) -1231,9 624,1 -1,97 0,057 1,680 Jumlah tanggungan -766 3539 -0,22 0,830 1,220 pendidikan 620 1360 0,46 0,652 1,317 Pendapatan 0,025448 0,003593 7,08 0,000 1,282 Lama tinggal 625,9 371,6 1,68 0,102 1,394

S = 24185,3 R-Sq = 67,3% R-Sq(adj) = 62,4%

Durbin-Watson statistic = 2,67984

50000 25000 0 -25000 -50000 99 90 50 10 1 Residual P e r c e n t 160000 120000 80000 40000 0 50000 25000 0 -25000 -50000 Fitted Value R e s id u a l 6000 0 4500 0 3000 0 1500 0 0 -150 00 -300 00 -450 00 10,0 7,5 5,0 2,5 0,0 Residual F r e q u e n c y 35 30 25 20 15 10 5 1 50000 25000 0 -25000 -50000 Observation Order R e s id u a l

Normal Probability Plot Versus Fits

Histogram Versus Order


(3)

Lampiran 11.

Proxy

WTP Responden Terhadap Manfaat Perlindungan

No. Nama Alamat

Ber- sedia bayar/

tdk?

WTP Per- lindung-

an (Rp)

Umur (tahun)

Jumlah tang-gungan

(org)

Pendi-dikan (thn)

Penda-patan (Rp)

Lama tinggal

(thn)

1 Amid Puraseda 0 0 40 4 6 400000 40

2 Junaedi Puraseda 1 20000 40 5 6 350000 20

3 Sadi Puraseda 0 0 31 4 6 350000 31

4

Aang

Kohar Malasari 1 50000 33 4 12 750000 33 5 Miharja Malasari 1 10000 55 3 6 900000 23 6 Bahari Malasari 1 100000 25 0 12 1000000 25 7

E. Pur

Kalih Malasari 1 50000 52 6 6 1067000 52 8 Samsul Malasari 1 50000 43 5 12 1150000 8 9

Kono

Suhendar Malasari 1 100000 40 3 12 750000 7 10 A. Ramin Malasari 1 50000 50 5 9 1800000 50 11 Ahyar Malasari 1 25000 44 4 12 817000 44 12

Empen

Sumpendi Malasari 1 25000 66 1 16 3000000 66 13 Yunus Malasari 1 30000 30 2 16 1000000 25 14

Suryana

Kusmadi Malasari 1 50000 39 2 16 950000 39 15

H. Cecep

Sutisna Malasari 1 50000 54 4 12 1000000 54 16 Rais Malasari 1 50000 52 4 6 1050000 30 17 Wawan Malasari 1 25000 43 4 9 1000000 43 18

Awan

Darmawan Malasari 1 5000 53 2 6 1125000 30 19

Asep

Zakharia Malasari 1 100000 31 3 16 2000000 31 20

Rohmat

Hidayat Malasari 1 100000 39 3 9 5000000 39 21

Ino

Ningrat Malasari 1 25000 48 3 6 1000000 48 22 Sukandar Malasari 1 100000 42 4 12 3700000 42 23 Hendrik Malasari 1 75000 40 3 6 2000000 40 24 Usup Malasari 1 100000 60 4 6 6200000 60 25 Suhali Malasari 1 10000 45 3 6 1550000 19 26 M. Oji Malasari 1 50000 51 3 6 2160000 51 27

Suha

Nurjanah Malasari 1 10000 29 2 12 200000 29 28

Evi

Rustandi Malasari 1 15000 31 3 6 1000000 12

29 Ali Puraseda 1 50000 72 5 0 750000 72

30 Jamad Puraseda 1 50000 35 4 6 695000 35 31

iqra

Saputra Puraseda 1 200000 28 2 12 600000 7 32 Jaja Puraseda 1 10000 40 5 6 770000 25


(4)

No. Nama Alamat

Ber- sedia bayar/

tdk?

WTP Per- lindung-

an (Rp)

Umur (tahun)

Jumlah tang-gungan

(org)

Pendi-dikan (thn)

Penda-patan (Rp)

Lama tinggal

(thn)

33 Edi Puraseda 1 30000 35 4 6 545000 35

34 Ladi Puraseda 1 25000 40 5 6 600000 40 35

Inang

Suryana Puraseda 1 45000 39 6 6 610000 39 36 Jahi Puraseda 1 12000 48 5 6 1480000 48 37 Madriyah Puraseda 1 100000 40 2 6 560000 40 38 Rusna Puraseda 1 10000 40 3 6 300000 40 39 Asla Puraseda 1 50000 45 3 6 2525000 45

40 Dani Puraseda 0 0 50 4 6 65000 50

41 Saimun Puraseda 0 0 48 5 6 760000 48

42 Pepen Puraseda 1 20000 35 4 9 400000 35

43 Olim Puraseda 0 0 42 4 6 1250000 42

44 Jaya Puraseda 1 40000 40 5 6 342000 40

45 Suwandi Puraseda 0 0 40 4 6 360000 4

46 Sarta Puraseda 1 15000 60 2 6 6500000 60 47 Usar Puraseda 1 15000 45 3 6 1100000 43

48 Suhi Puraseda 0 0 58 4 6 790000 58

49 Suanda Puraseda 0 0 50 4 6 600000 50

50 Suhadi Puraseda 0 0 39 2 6 610000 39

RATAAN 38940 43,5 3,56 8 1309620 37,72

Mean

Proxy

WTP Perlindungan = Rp 38.940

Proporsi populasi yang bersedia membayar X jumlah penduduk

= (41/50) X 16156 = 2908,08


(5)

Lampiran 12. Hasil Regresi

Proxy

WTP Perlindungan

Regression Analysis: PROXY WTP versus Umur (tahun); Jumlah tanggunga; ...

The regression equation is

PROXY WTP Perlindungan = - 12733 - 729 Umur (tahun) + 6739 Jumlah tanggungan (org)

+ 2692 pendidikan + 0,0172 Pendapatan + 332 Lama tinggal

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -12733 23288 -0,55 0,589

Umur (tahun) -729,3 445,7 -1,64 0,113 1,641 Jumlah tanggungan 6739 2671 2,52 0,018 1,163 pendidikan 2691,5 929,1 2,90 0,007 1,309 Pendapatan 0,017167 0,002398 7,16 0,000 1,292 Lama tinggal 331,8 272,7 1,22 0,234 1,418

S = 15684,8 R-Sq = 73,8% R-Sq(adj) = 69,1%

Durbin-Watson statistic = 2,31328

40000 20000

0 -20000 -40000

99 90

50

10 1

Residual

P

e

r

c

e

n

t

100000 75000

50000 25000 0

40000 20000 0 -20000 -40000

Fitted Value

R

e

s

id

u

a

l

30000 20000 10000 0 -10000 -20000 -30000

8 6 4 2 0

Residual

F

r

e

q

u

e

n

c

y

30 25 20 15 10 5 1 40000 20000 0 -20000 -40000

Observation Order

R

e

s

id

u

a

l

Normal Probability Plot Versus Fits

Histogram Versus Order


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan dari pasangan Sautma Sihombing dan Elida Siagian di

Malang pada tanggal 27 Maret 1991. Penulis merupakan anak pertama dari tiga

bersaudara. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis antara lain SD Negeri

Tonjong, Bojong (1997-2000), SD BPK Penabur Bogor (2000-2003), SMP Negeri

1 Bogor (2003-2006) dan SMA Negeri 1 Bogor (2006-2009). Pada tahun 2009

penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) di

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif berorganisasi dalam Unit

Kegiatan Mahasiswa (UKM)

Music Agriculture Xpression!!

(MAX!!) sebagai

anggota pada periode kepengurusan 2009/2010 lalu menjabat sebagai manajer

divisi

General Affair

(GA) pada periode kepengurusan 2010/2011. Penulis juga

mengikuti UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB Komisi Pelayanan

Khusus (Kopelkhu) sebagai anggota (2009-2011), kemudian menjabat sebagai

Kepala Bidang Pelawatan Kopelkhu (2011/2012). Selain itu, penulis juga aktif

dalam kegiatan baik di dalam maupun luar kampus. Penulis aktif mengikuti

kegiatan kepanitiaan antara lain Inagurasi MAX!! (2009), Kebaktian Awal Tahun

Ajaran/KATA(2010),

Keakraban

PMK

2010,

Retreat

Kopelkhu

2011,Greenstation 2011, Olimpiade Mahasiwa IPB (2011), Natal CIVA IPB

(2011), Masa Perkenalan Departemen ESL-IPB, The 2

nd

Extravaganza, The 3

rd

Greenbase, Keakraban PMK 2011, ESL DAY, The 4

th

Greenbase, dan Retreat

Kopelkhu 2012.