Hutan dan Konservasi TINJAUAN PUSTAKA

Kabupaten Bogor, telah meresmikan dimulainya perencanaan dan pembangunan Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati pada Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS yang dapat diandalkan di Asia. Pelaksanaan dilakukan dalam 4 program yaitu pemulihan degradasi lahan, pelestarian keanekaragaman hayati, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan pemanfaatan kehati serta potensi kawasan.

2.5. Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Berdasarkan hasil penilaian sensitivitas ekologis dan pertimbangan kondisi lapangan dari aspek efektivitas managemen kawasan, fisik, budaya, daya tarik wisata serta potensi konflik dengan masyarakat maka diusulkan pembagian zona di TNGHS yang tercantum pada Laporan Tahunan Balai TNGHS tahun 2012 ialah sebagai berikut : 1. Zona Inti seluas ± 31.773,2 Ha. Kriteria zona inti merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup potensi kehati dan ekosistem yang tinggi; terdapat potensi sepesies kunci endangered species; ekosistem hutan primer, habitat satwa dan tumbuhan endemik; merupakan tempat aktifitas satwa bermigrasi; serta daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya terhadap pengelolaan ekosistem TNGHS secara menyeluruh. Sehingga fungsi utama dari zona tersebut adalah untuk perlindungan habitat tiga spesies penciri elang jawa, owa jawa dan macan tutul dan ekosistem hutan hujan tropis dataran pegunungan. Regulasi peruntukkan zona inti meliputi perlindungan ekosistem; pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya; kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penunjang budidaya. 2. Zona Rimba seluas ± 21.639,1 Ha. Kriteria zona rimba merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup perlindungan habitat dan atau daerah jelajah satwa liar; ekosistem dan potensi keanekaragaman hayati yang berfungsi menyangga zona inti; habitat satwa dan tumbuhan berupa hutan sekunder; serta sebagai tempat aktifitas satwa bermigrasi. Regulasi peruntukkan zona rimba meliputi pengawetan dan pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistemnya; kepentingan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan konservasi dan penunjang budidaya; serta habitat satwa migran dan pendukung zona inti. 3. Zona Pemanfaatan seluas ± 1.524,3 Ha. Kriteria zona pemanfaatan merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup potensi obyek dan daya tarik wisata; kawasan yang telah dikembangkan sebagai obyek wisata, pendidikan dan penelitian; serta kawasan yang memungkinkan dibangun fasilitas wisata, pendidikan dan penelitian, dan tidak berbatasan langsung dengan zona inti. Berbagai aktivitas yang dapat dilakukan di zona pemanfaatan diantaranya perlindungan pengamanan; inventarisasi, survey, dan monitoring kehati dan ekosistemnya; penelitian dan pengembangan, dan penunjang budidaya; pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam; pembinaan habitat dan populasi; pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan; serta pembangunan sarana prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan. 4. Zona Rehabilitasi seluas ± 28.223,8 Ha. Kriteria zona rehabilitasi merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup kawasan yang terdegradasi dan yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia; adanya invasif yang mengganggu jenis atau spesies asli; serta kawasan dengan sifat fisik yang secara ekologi terpengaruh terhadap kelestarian ekosistem. Regulasi zona rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. 5. Zona Tradisional seluas ± 1.428,5 Ha. Kriteria dan regulasi zona tradisional merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup kawasan yang terdapat pemanfaatan sumber daya alam secara terbatas yang dilakukan masyarakat secara tradisional dan turun temurun serta memperhatikan asas pelestarian. Berbagai aktivitas yang diperkenankan di zona tradisional diantaranya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu secara terbatas seperti getah tanaman pinus, damar dan karet; pemanfaatan jasa lingkungan, pendidikan dan pariwsata; penelitian dan pendidikan; serta penunjang budidaya. 6. Zona Khusus seluas ± 20.575,1 Ha. Kriteria dan regulasi zona khusus yang merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup adanya masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum kawasan ditunjukditetapkan sebagai taman nasional serta telah terdapat sarana prasarana seperti fasilitas transportasi, listrik, telekominikasi, dan lain-lain yang bersifat strategis nasional dan internasional. Zona khusus dapat diberlakukan dengan prasyarat yaitu 1 telah disepakatinya Memorandum of Understanding MoU masyarakat dengan UPT TNGHS yang mengatur aktifitas, hak dan kewajiban masyarakat serta regulasi di zona khusus sesuai dengan kondisi setempat, 2 tersusunnya rencana tata kelola ruang di dalam zona khusus yang dijadikan sebagai acuan dalam pemanfaatan serta monitoring dan evaluasi pada setiap lokasi zona kusus yang disesuaikan dengan kondisi setempat. 7. Zona Budaya seluas ± 10,0 Ha. Kriteria zona budaya merupakan bagian dari taman nasional yang mencakup adanya lokasi kegiatan budaya yang masih dipelihara dan digunakan oleh masyarakat; serta adanya situs budaya yang dilindungi undang-undang, maupun yang tidak dilindungi undang-undang. Regulasi zona rehabilitasi ditujukan untuk melindungi dan memperlihatkan nilai-nilai budaya, sejarah, dan arkeologi; serta wahana penelitian, pendidikan, wisata sejarah, dan arkeologi.

2.6. Teori Kelembagaan

Pengertian kelembagaan akan berbeda sesuai pemikiran dan persepsinya masing-masing. Menurut Soekanto 2002 istilah kelembagaan diartikan sebagai lembaga kemasyarakatan yang mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut.Sedangkan menurut Tjondronegoro 1977 dalam Pranadji 2003 perihal pengertian tentang lembaga cenderung mempersempit makna lembaga dalam kaitan perbedaan dengan organisasi. Berbeda dengan Soemardjan dan Soelaeman 1974 yang menuliskan bahwa lembaga mempunyai fungsi sebagai alat pengamatan kemasyarakatan social control artinya kelembagaan dapat bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat yang berperan besar terhadap sirkulasi kelembagaan tersebut. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Rahardjo 1999 dalam Pasaribu 2007, dimana konsep kelembagaan yang dianut oleh masyarakat menggunakan konsep lembaga sosial yang secara lebih sederhana diartikan