5 PELAKU KEGIATAN PEMANFAAT SUMBERDAYA PERIKANAN DI PULAU BARANGLOMPO: MULAI DARI KEGIATAN PENANGKAPAN
IKAN HINGGA KEGIATAN-KEGIATAN PENDUKUNG KEBERHASILAN OPERASI PENANGKAPAN IKAN.
5.1 Pengantar
Tujuan dari bab ini adalah mendeskripsikan kegiatan-kegiatan ekonomi yang ada di Pulau Barrang Lompo, dengan fokus utamanya adalah kerja nelayan Pa’es.
Selain itu, ada pekerjaan sebagai nelayan Pa’taripang, Pa’dagang, Warung-toko- Gadde, Pabalolang ikan hidup-ikan mati-teripang. Deskripsinya meliputi siapa
pelakunya, modal, untung-rugi, kendala, prinsip atau nilai yang dianut dalam kegiatan tersebut, dll.
Gambar 9 Kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan dan kegiatan- kegiatan pendukungnya
Bab ini secara khusus akan menguraikan panjang lebar tentang tingkat pertama faktor-faktor penyebab berlangsung kenelayanan destruktif di Pulau
Barrang Lompo, yang meliputi : 1. Secara kultural agresif, sistim nilai budaya yang ada pada komunitas tersebut mengagungkan agresivitas dan keberanian. Hal
ini sangat tampak pada ritual kenelayanan yang ada, khususnya ritual passili, simbol-simbolnya berkaitan dengan agresivitas dalam berusaha, keberanian,
kecakapan, seperti dalam upacara kelahiran, khitanan, kehamilan dan pernikahan sebagaimana telah diuraikan pada bab tentang pa’es dan kegiatan ekonomi lainnya.
Bahkan dalam nyanyian-nyanyian tradisional pengagungan terhadap nilai keberanian dan agresivitas berusaha secara eksplisit terlihat. Secara kultural boleh
dikatakan masyarakat pulau ini cenderung bersikap tidak pro-lingkungan.
Aktivitas di laut : Pa’es, Pa’taripang,
Pa’dagang Pabalolang :
penjual teripang,
ikan hidup, ikan mati
Aktivitas di darat penunjang
kegiatan di laut : toko, warung,
Gadde
Foto 2 Ritual kelahiran anak dengan menaruh pedang di dekatnya, lambang keberanian dan agresivitas
2 Faktor kemiskinan yang kumpulan karakternya adalah sebagai berikut : i pendidikan yang rendah, ii biaya operasi mencari ikan yang tinggi, dengan
harga BBM dan perbekalan yang naik terus secara berkala; harga menjadi berlipat jumlahnya dibanding harga biasa, karena ongkos perbekalan seringkali dibayar
setelah operasi menangkap ikan res, iii harga barang-barang kebutuhan sehari- hari di pulau tinggi sekali dibandingkan harga di kota Makassar, iv kepadatan
penduduk yang tinggi dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi karena jumlah anak cukup besar.
3 Beban budaya cultural burden yang berupa kawin dini yang diikuti dengan biaya perkawinan berupa ’uang naik’ tinggi sekali sekitar Rp 10 juta,
dan menjadi kebanggaan bagi seorang laki-laki apabila dia mampu membayar sendiri ’uang naik’ tersebut tanpa bantuan orang tua dan sanak keluarganya
cultural pride, dan 4 Konsumtivisme di kalangan nelayan yang diantaranya diwujudkan
dalam bentuk : i konsumsi merokok yang cukup tinggi, ii pemakaian handphone dan sepeda motor di pulau, iii perbekalan pribadi dalam res operasi
penangkapan ikan yang cukup besar biayanya, dan iv seusai res menjadi
kebiasaan mereka untuk makan-makan di restoran, miras dan sebagian nelayan pergi ke pelacuran
5.2. Metodologi