Metodologi Pembahasan Pendekatan ethnoscience diterapkan untuk memahami perspektif lokal

4 KEADAAN UMUM LINGKUNGAN FISIK DAN SOSIAL 4.1 Pengantar Pulau Barrang Lompo tergolong pulau kecil karena luasnya sekitar 2.000 km, secara ekologis terpisah dari induknya, dan dari segi sosial, ekonomi serta budaya masyarakat pulau ini khas dibandingkan daratan besar provinsi Sulawesi Selatan DKP, 2004. Pulau ini bisa dicapai dari kota Makassar dengan menggunakan perahu bermotor sekitar 45 menit sampai 1 jam. Keperluan- keperluan rumah tangga hampir sebagian besar dibeli dari kota Makassar. Di masyarakat ini dikenal orang-orang yang berbelanja bahan-bahan kebutuhan sehari-hari di kota Makassar untuk dijual kembali di pulau sebagai pa’ terong. Oleh sebab itu pulau ini mempunyai kekhasan lingkungan fisik dan sosial tersendiri dibandingkan pulau induknya, yakni Pulau Sulawesi. Pada bab ini akan dipaparkan kondisi lingkungan fisik pulau, perairannya dan pemukimannya. Dari berbagai wawancara diperoleh juga informasi tentang perubahan-perubahannya yang akan menunjukkan dinamika lingkungan fisik yang dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat yang mendiami pulau ini. Adapun bentuk aktivitas-aktivitas ekonomi yang ada di masyarakat pulau ini akan dipaparkan pada Bab 5.

4.2 Metodologi

Metode yang diterapkan untuk memperoleh informasi yang diperlukan bagi penulisan bab ini adalah observasi dan indepth interview. Observasi diterapkan untuk memahami keadan lingkungan pulau dan perairannya. Lingkungan pulau meliputi flora dan faunanya, pemukimannya, infrastruktur dan fasilitas publik yang ada serta kegiatan-kegiatan yang berdampak langsung terhadap lingkungan. Observasi terhadap perairan dilakukan dengan ikut perahu nelayan, melihat kondisi terumbu karang dan hasil tangkapan ikan, walaupun memang observasi ini sangat terbatas. Indepth interview diterapkan untuk menggali informasi mengenai lingkungan dan perubahannya dari masa ke masa, baik menyangkut kondisi lingkungan pulau, kondisi perairannya dan juga kondisi perairan yang menjadi fishing ground mereka yang terletak jauh dari pulau ini, serta dinamika kegiatan mereka . Lingkungan sosial dipahami melalui observasi dan wawancara mendalam dengan sejumlah orang. Pemahaman dimulai dengan mencari informasi asal-usul penghuni pulau ini, suku bangsa yang mendiami pulau ini, pemerintahan dan stratifikasi masyarakatnya. Perubahan sosial yang terjadi dilihat dari banyaknya pendatang, berbaurnya berbagai etnis dan pendatang, mobilitas sosial berupa naiknya status seseorang dalam stratifikasi sosial di masyarakat pulau ini. 4.3 Hasil penelitian 4.3.1 Lingkungan fisik

4.3.1.1 Lokasi

Pulau Barrang Lompo merupakan sebuah pulau kecil dari gugusan kepulauan Spermonde. Dari sisi pemerintahan, pulau ini sebuah kelurahan dari kecamatan Ujung Tanah, kotamadia Makassar. Jaraknya dari Makassar sekitar 11 mil. Walaupun merupakan pulau, tetapi tidaklah terisolir, mudah dicapai dengan perahu nelayan atau kapal penumpang dari dermaga tradisional Kayu Bengkoah 1 di Makassar hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam saja. Adapun secara geografis pulau ini terletak pada posisi 119 19’48’ Bujur Timur dan 05 02’48’ Lintang Selatan. Di sebelah utara pulau ini berbatasan dengan Pulau Badik dan Pulau Balang Lompo yang termasuk dalam wilayah kecamatan Liukang Topabiring, kabupaten kepulauan Pangkajene. Pulau Barrang Caddi dan Pulau Kodingareng menjadi batas selatan dari pulau ini. Adapun batas baratnya adalah Pulau Lumu- lumu. Batas timurnya dua pulau tempat rekreasi yang ramai dikunjungi orang, yakni Pulau Lae-lae dan Pulau Kahyangan. Pulau ini terletak kurang dari 0,5 meter dari permukaan laut dan luas pulau sekitar 2,3 km². Lapisan tanahnya memang pasir, tetapi terdapat pula lapisan tanah yang subur di bawahnya, sehingga menjadi lahan yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam tanaman, seperti pohon bakara sukun, pohon kelor, pohon kelapa, pohon pisang, dan lain-lain. Sebagai catatan, menurut keterangan 1 Ini adalah dermaga kecil tempat bertambatnya kapal-kapal penumpang dengan tujuan ke pulau-pulau kecil, seperti Barrang Caddi, Barrang Lompo dan Kappoposang . Gambar 6. Psosisi Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan beberapa informan, pohon sukun dibawa oleh pasukan kerajaan Bone yang pernah singgah di pulau ini. Perubahan yang terjadi, di waktu yang lalu pulau ini penuh dengan pohon kelapa, pohon Sukun dan pohon Bidara. Kini hanya terlihat sedikit pohon besar. Pohon-pohon banyak ditebangi untuk bahan bangunan rumah. Ada beberapa pohon besar yang masih tersisa yang menurut informasi dari penduduk usianya sudah ratusan tahun. Menurut keterangan penduduk, pohon- pohon besar itu menyimpan air tawar. Tidaklah mengherankan bila di pulau terdapat beberapa mata air yang jernih airnya. Penduduk berusaha mengkonservasi pohon-pohon besar tersebut untuk tetap memperoleh air tawar yang jernih bagi kebutuhan sehari-harinya. Dari informan lainnya diperoleh alasan mitologis mengapa di pulau ini ditemukan beberapa mata air yang jernih airnya, yaitu bahwa di pulau inilah terdapat makam Syekh Alwi Assegaf yang ada di samping masjid Nurul Yaqin. Curah hujan cukup tinggi, sekitar 2.144 mm dan rata-rata temperatur di pulau ini 31 derajat. Iklimnya banyak dipengaruhi oleh angin timur ti moro dan angin barat bara‘. Kedua musim ini sangat mempengaruhi kehidupan dan aktivitas penduduk di pulau ini. Musim angin barat antara bulan November dan Februari. Adapun antara bulan Maret dan April merupakan transisi ke musim angin timur. Sementara itu musim angin timur sekitar bulan Juni, Juli dan Agustus. Periode transisi ke angin barat adalah bulan September dan Oktober. Dulu ketika perahu- perahu layar tanpa motor, sebelum tahun 1970-an, musim angin barat menjadi kendala bagi nelayan dan musim angin timur adalah saat yang tepat untuk berlayar. Musim barat keras ombak nelayan mencari ikan ke teluk Bone dan ketika musim timur teduh ombak mereka ke Selat Makassar, begitu pola kerja nelayan- nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan di masa yang lalu. Khusus untuk nelayan pa’es dari pulau ini berbeda, karena nelayan Pa’es mencari ikan jauh ke luar pulau, bahkan sampai ke Jawa maupun arah perairan Kalimantan Timur.

4.3.1.2 Asal usul nama pulau

Sesungguhnya tidak jelas kapan mulainya pulau ini dihuni orang. Awalnya pulau ini dikenal sebagai tempat transit bagi para nelayan yang sedang mencari ikan istilah lokalnya gusung untuk bermalam atau istirahat sebentar sebelum melanjutkan upaya penangkapan ikan. Di masa kemerdekaan pulau ini adalah tempat untuk pelarian bagi orang-orang Makassar. Itulah sebabnya pulau ini sering dibombardir oleh pesawat terbang-pesawat terbang musuh. Saat penelitian ini berlangsung, pulau ini sudah sangat padat penduduk. Mayoritas penduduknya adalah Bugis-Makassar yang sangat berorientasi pada laut. Kerja nelayan merupakan kebanggaan dan simbol kejantanan sebagaimana yang diilustrasikan penduduk : “hanya orang-orang yang lemah yang tidak mau kerja laut“ . Bahkan bagi orang-orang yang lemah fisik dan sering sakit akan mencoba untuk melakukan kerja kenelayanan ini walaupun hanya dalam periode yang singkat. Setelah itu baru mereka pindah ke jenis pekerjaan yang lain seperti membuat souvenir dan berdagang. Setidaknya mereka pernah melakukan kerja kenelayanan dalam hidup ini, begitu prinsip mereka. Di masa lalu penduduk mencari ikan di perairan sekitar Pulau Barrang Lompo. Mereka mencari ikan dengan menggunakan perahu kecil yang disebut lepa-lepa a dugout atau perahu tradisional sepanjang sekitar 10 meter yang disebut jolloro. Saat itu cuaca menjadi halangan utama bagi nelayan. Pada periode musim barat mereka umumnya tinggal saja di pulau. Kini, mereka berlayar jauh mencari ikan sampai ke luar provinsi Sulawesi Selatan. Sudah semenjak dulu penduduk berbelanja kebutuhan sehari-hari ke Makassar. Pelayaran ke sana saat itu membutuhkan waktu beberapa jam. Mereka berangkat malam hari dari pulau dan tiba di kota pagi hari. Kemudian mereka beristirahat di kota Makassar sambil menunggu angin darat. Ini berarti mereka dapat kembali pulang ke pulau malam berikutnya. Kadangkala ombak keras untuk beberapa hari, akibatnya mereka harus menunggu beberapa hari di kota. Untungnya kebanyakan dari mereka mempunyai keluarga di kota, bahkan mempunyai rumah juga di kota Makassar. Ada banyak versi tentang asal muasal pulau ini bernama Barrang Lompo. Menurut Hafidz 1989 awalnya nama pulau ini berarti suatu pohon sejenis tebu, yakni tabbu salak. Di masa lalu pulau ini dipenuhi pepohonan tersebut. Kemudian, pulau ini dikenal orang sebagai tempat transit untuk nelayan beristirahat dan dinamai barrang lompo yang berarti ’barang yang besar’ dalam bahasa Mandar dan Makassar. Orang menduga bahwa kedua suku itulah yang menjadi penghuni awal dari pulau ini. Bertahun-tahun yang lalu saat kejayaan Kerajaan Gowa, pulau ini menjadi tempat penyimpanan barang-barang hasil perampokan dari para perompak ini. Masa itu banyak sekali perompak. Berbeda dengan informasi yang diperoleh dari Daeng Syarifuddin salah satu sesepuh 1 pulau ini. Orang Mandar lah yang pertama kali membuka pulau ini dengan memangkas alang-alang yang serupa tebu dikatakan : Ta’busala yang memenuhi pulau ini. Baru kemudian orang Makassar menyusul yang dikatakan : ”menyusul selangkah ”. Berikutnya Bugis dan Tionghoa. Bahkan kepala desa yang pertama kali adalah seorang Cina atau Babah. Sebenarnya tempat singgah awal orang Makassar adalah Barrang Caddi, mungkin karena kurang cocok mereka pindah ke Pulau Barrang Lompo. Waktu itu melihat orang Mandar sedang memangkas alang-alang, ditanya : ”apa rena ning pulau ’a ?” apa nama pulau ini. Ketika itu masing-masing tidak paham bahasa teman bercakapnya, orang Mandar mengira ditanya apa yang sedang dikerjakan, maka di jawab : ’barrang’ dalam bahasa mandar berarti : tanaman yang sedang tumbuh seperti alang-alang tersebut. Orang Makassar lalu berujar: ”eh di sini Barrang Lompo barang yang besar, disana Barrang Caddi barang yang kecil”. Di pulau ini entah karena dianggap berkah karamah, banyak bangsawan dari Gowa dan Luwu, ingin dimakamkan disini beserta barang-barang miliknya. Tidak heran kini bila orang menggali kadang-kadang menemukan guci, pedang, peti, dan lain-lain. Nama pulau ini juga dikait-kaitkan dengan adanya barang-barang tersebut. Bentuk nisan juga aneh-aneh hurufnya dan kepala nisannya. Banyak bangunan rumah yang didirikan dengan membongkar makam-makam, seperti 1 Sesepuh pulau sering diartikan orang yang mengetahui sejarah pulau ini, tempat bertanya, pandai berbicara. misalnya marine stationnya Universitas Hasanuddin yang kini dipimpin oleh Pak Sarifuddin. Dulu dipimpin oleh pak Iqbal, dan sebelumnya pak Aspari.

4.3.1.3 Pola pemukiman

Pemukiman di pulau ini dibangun dengan laut berada di belakang rumah mereka. Di masa lalu rumah dibuat dari kayu, bambu dan atap dari ijuk. Sejak tahun 1990-an, bersamaan dengan meningkatnya harga teripang dan ikan komersial seperti sunu dan napoleon wrasse kesejahteraan penduduk juga meningkat yang ditandai dengan perubahan bangunan rumah mereka. Sekarang ini rumah-rumah penduduk dibangun dari batu dan bata, dengan jendela kaca, eternit dan atap rumah berupa seng. Lantai rumah juga umumnya sudah berlantai keramik atau setidaknya disemen. Rumah mereka sebagian besar berbentuk rumah panggung dengan lantai pertama secara tradisi kosong. Lantai pertama seringkali menjadi gudang tempat penyimpanan barang-barang, kandang ternak, atau tempat bermain anak-anak. Lantai kedua barulah kamar-kamar, dapur, dan ruang tamu. Kini sebagian besar lantai satu rumah panggung di pulau ini sudah dibangun sebagai warung atau toko ataupun kamar-kamar yang digunakan oleh anggota keluarga untuk beristirahat. Rumah panggung tersebut umumnya dibangun menghadap ke jalan. Halaman rumahnya rata-rata juga sempit, sehingga rumah dekat ke jalan. Adapun jalan utama yang melingkari pulau ini berupa paving block, bukan aspal, dan dibuat pada tahun 1998. Pada saat penelitian ini berlangsung sudah direncanakan pembuatan jalan-jalan gang yang rencananya juga paving block. Rumah-rumah Punggawa relatif lebih baik dibandingkan rumah para Sawi. Indikasi lain adalah perabot rumah dan pemilikan barang-barang elektronik yang mewah dan mahal harganya. Rumah-rumah para Sawi umumnya berdekatan dengan Punggawanya. U Gambar 7 Peta Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan Catatan : Laut = Masjid = C Pos Polisi Air = Warung telepon = Kuburan = Kavling rumah = Dermaga Pulau Barrang Lompo = Dermaga Unhas = Ada juga Sawi yang tinggal di rumah Punggawa. Rumah Punggawa bagi para Sawi layaknya ’rumah kedua’, yang mereka merasa bebas keluar masuk. Kadangkala mereka makan siang di rumah Punggawa. Jika seorang Sawi ada masalah dengan ayahnya atau dengan saudara laki-lakinya, ia akan numpang tidur di rumah Punggawanya untuk beberapa waktu.

4.3.1.4 Kondisi perairan

Dahulu perairan pulau ini dikenal jernih dan ditemui banyak ikan, ikan hias, teripang serta hewan laut lainnya. Tepi pantainya langsung curam dan tidak terlihat dasarnya. Ada beberapa ilustrasi dari penduduk. Pertama, kalau kita taruh pancing rawai di pinggir pantai, berapa saat kemudian pancing kita sudah penuh dengan ikan. Kedua, di pinggir pantai anak-anak kecil sering tendang-tendang teripang karena begitu banyaknya. Ketiga, kalau cari ikan dengan berperahu dan jala, tidak usah jauh-jauh dari pantai sebentar saja sudah pulang dengan perahu penuh ikan. Keempat, perairan pulau ini dulu dipenuhi dengan terumbu karang yang indah-indah sampai mendekati tepi pantai. Kini, tepi pantainya dangkal dan bisa terlihat dasar lautnya, karena hanya sekitar 1 meter saja. Kedalaman air di dermaga pun hanya sekitar 3 meter. Semenjak 10 tahun terakhir ini reklamasi yang dilakukan penduduk secara besar- besaran khususnya di RW 01 dan RW 03 menyebabkan luas pulau bertambah. Reklamasi tersebut dilakukan karena kebutuhan akan lahan tanah yang semakin mendesak karena pertumbuhan penduduk yang pesat telah menyebabkan hampir tidak ada tanah kosong lagi tersisa untuk bangunan rumah yang baru. Untuk persiapan anak-anak kelak seusai menikah akan membuat rumah, maka dilakukanlah reklamasi laut pada pantai di belakang rumah. Caranya dengan membendung air laut, dipagari dengan batu-batu yang disemen. Area yang dibendung lambat laun akan makin padat terisi oleh pasir laut. Kelak ketika sang anak akan menikah, dibangunlah sebuah rumah di atas tanah reklamasi. Pembuatan dermaga juga telah menyebabkan banyak terumbu karang yang dihancurkan, selain ekskavasi untuk bahan bangunan rumah ataupun tanggul pantai. Di waktu yang lalu juga ada kecenderungan orang untuk membuat pondasi yang tinggi dari karang sebagai lambang kebanggaan. Gambar 8 Peta Pulau Barrang Lompo dan perairannya Sumber : Chair Rani 2004, hlm.46 Menurut survei yang dilakukan PPTK Pusat Penelitian Terumbu Karang tahun 2004 tutupan karang hidup di Pulau Barrang Lompo hanya 37. Beberapa indikasi penyebab kematian karang di pulau ini antara lain disebabkan oleh bom dan pengambilan karang Majalah Mitra Bahari, 2005; Subandi,2004. Hal ini yang menjadi dasar inisiatif Program Mitra Bahari untuk mengadakan DPL daerah perlindungan laut – marine protection area yang sayangnya gagal total. Sosialisasi program DPL ini sebenarnya cukup gencar, diantaranya dengan mengundang para nelayan dalam diskusi di marine stationnya Universitas Hasanuddin dan membagi-bagi kalender yang menggambarkan program DPL ini. Kelemahan sosialisasi ini ada beberapa hal. Pertama, diskusi dan sosialisasi program tersebut dilakukan di marine station Unhas yang dianggap pasti akan mengecam nelayan Pa’es. Punggawa Pa’es banyak yang tidak hadir atau diwakilkan ke salah seorang awak kapal. Bila diskusi dan sosialisasi dilakukan di rumah penduduk atau di rumah salah seorang punggawa Pa’es, barangkali akan lebih berhasil mengundang kedatangan banyak nelayan. Kedua, penentuan area-area DPL dan bentuk rambu-rambu tidak dilakukan dengan membuat kesepakatan terlebih dahulu dengan nelayan, jadi hanya sepihak dari penyelenggara. Selain itu, penyusunan rambu-rambu DPL di perairan Pulau Barrang Lompo tidak mengajak nelayan, tetapi dilakukan oleh mahasiswa Universitas Hasanuddin. Kemudian terjadilah masalah setelah area-area DPL tersusun di perairan Pulau Barrang Lompo. Rambu yang diikat dengan kawat besar sering merusak baling-baling kapal nelayan yang lewat dekat area DPL. Tidaklah mengherankan bila tidak lama rambu-rambu tersebut hilang. Kondisi terumbu karang yang buruk ini juga menyebabkan berkurangnya jumlah dan jenis ikan yang dulu berlimpah di perairan pulau tersebut.

4.3.1.5 Perubahan lingkungan fisik

Pulau ini terhitung padat penghuninya dengan luas sekitar 49 hektar dihuni oleh 3784 jiwa yang terdiri dari 799 KK. Penduduk tersebut menghuni lebih dari 670 buah rumah dengan jumlah kepala keluarga lebih dari 700, yang terdiri dari rumah panggung, rumah semi permanen dan rumah permanen. Tahun 1991 jumlah penduduk hanya sekitar 1500 jiwa, tahun 1999 sudah mencapai 3368 jiwa lebih dan saat penelitian ini sudah mencapai 3784 jiwa. Pertambahan yang luar biasa ini disebabkan angka kelahiran yang masih tinggi walaupun jumlah akseptor cukup bagus, dan migrasi masuk yang tinggi namun sayangnya tidak tercatat dengan baik alias tidak ada datanya. Pendatang jarang melapor. Menurut Danrem dan pak Camat dalam suatu wawancara di Pulau Barrang Lompo, pertambahan penduduk yang pesat di pulau ini karena dua hal : a banyak migrasi masuk, dengan alasan pekerjaan atau kawin, b jumlah penduduk tinggi, rata-rata 5 – 10 anak per keluarga; mereka menganut prinsip buah-buah yang tergantung di pohon, pasti ada 1 -2 buah yang jatuh, bahayanya kalau hanya punya anak 1 – 2, kalau semua mati, tidak akan punya anak. Hal ini yang dikeluhkan oleh Danrem dan Pak Camat dalam kesempatan wawancara singkat. Sekitar 7 tahun yang lalu rumah panggung umumnya masih kosong kolongnya sebagaimana layaknya suatu rumah panggung. Hanya ada beberapa rumah yang sebagian kolongnya ditutup untuk digunakan sebagai warung. Saat penelitian ini berlangsung hampir sebagian besar rumah panggung tertutup kolongnya untuk tempat tinggal dan warung. Dalam satu rumah kini ada 2 – 3 kepala keluarga. Sudah mulai ada beberapa kasus anak dan orang tua bertengkar masalah pemilikan tanah . Problem utama kini adalah sudah semakin sesaknya penghunian di pulau ini. Penduduk mengatasi kebutuhan lahan dengan melakukan reklamasi pantai untuk memperoleh tanah baru. Penduduk melakukan reklamasi dengan membuat benteng-benteng, sehingga pasir menumpuk. Selain itu, mereka juga mengubur mayat kucing di tepi-tepi pantai dengan alasan mitologis bahwa akan semakin banyak pasir datang dan air laut menjauh, karena kucing enggan kena air. Hampir seputar pulau ini penuh dengan reklamasi pantai, yang terbanyak di daerah utara dan timur. Rata-rata reklamasi adalah 10 meter menutup air laut. Tanah reklamasi umumnya dipersiapkan untuk anak-anaknya, yang akan mendirikan rumah baru setelah menikah lihat Foto 1 Juga, terjadi pendangkalan yang signifikan terutama di sebelah timur dan utara. Digambarkan beberapa orang penduduk sbb.:“...dulu waktu tahun 70-an di dermaga itu masih 5 – 7 meter dalamnya. Pinggir pantai langsung dalam. Sekarang dangkal mih, 1 - 2 meteran.“ Terjadi pendangkalan khususnya di timur pulau ini. Contohnya, di dermaga, tahun 1970-an masih sekitar 6 meter, sekarang hanya 2 meter. Dulu tepian timur pulau ini langsung dalam, sekitar 3 meter, kini tidak sampai 1 meter. Tanah pulau ini pada lapisan atas berpasir, tetapi ada lapisan tanah suburnya di lapisan bawahnya, sehingga tanaman tumbuh subur di atasnya. Dahulu banyak terdapat pohon-pohon besar. Penduduk mempercayai bahwa banyaknya pohon- pohon besar itu menyebabkan air tanah di pulau ini tawar dan tidak asin rasanya. Kini pohon-pohon besar seperti Kalumpang dan pohon Sukun sudah sangat berkurang, ditebangi untuk keperluan membuat rumah dan lahan kuburan. Orang sudah mulai mengeluh bahwa air tanah sudah mulai terasa asin, terutama di musim kemarau. Orang-orang tua mengatakan bahwa pulau ini belum pernah mengalami serangan banjir bandang dari arah laut, walaupun laut pasang. Sekarang sesekali air naik ke kampung dan merendam daerah-daerah rendah di pulau sebentar saja. Perubahan fisik di laut juga terjadi dan berpengaruh besar terhadap hasil tangkapan nelayan sebagaimana yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Episode dinamika perikanan menurut hasil tangkapan dan lama operasi penangkapan ikan sejak tahun 1985 hingga sekarang di Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan Tahun Hasil tangkapan Lama penangkapan ikan per trip 1985 Melimpah Hanya beberapa jam 1990 – 1995 Masih banyak Berangkat pagi pulang sore 1995 – 2000 Sudah mulai berkurang Seminggu di laut 2001 – sekarang Sangat kurang Berlayar sampai ke Jawa, NTT, Irian, Kalimantan Sumber : Pertemuan Paotere lihat Bab 7 4.3.2 Lingkungan sosial dan perubahannya 4.3.2.1 Asal usul penduduk Sekarang ini di Pulau Barrang Lompo terdapat berbagai macam etnis, akan tetapi ada 5 suku bangsa yang mayoritas, yakni Bugis-Makassar, Bajau, Mandar, keturunan Melayu dan keturunan Tionghoa. Selain itu, kini beragam sekali etnis yang ikut berdiam bahkan berumah tangga di pulau ini seperti orang Jawa, orang Flores, orang Timor, orang Maluku, orang Kalimantan, orang Bandung bermukim dan berumah tangga di pulau tersebut. Siapakah yang pertama kali mendiami pulau ini masih menjadi selisih pendapat di kalangan penduduk maupun akademisi dari Universitas Hassannuddin di kota Makassar. Berdasarkan uraian di atas, penduduk memperkirakan orang dari suku Mandar dan suku Makassar yang paling awal mendiami pulau ini. Pendapat yang paling banyak dipercaya orang bahwa suku Mandarlah yang paling pertama, kemudian suku Makassar yang digambarkan oleh penduduk sebagai “hanya selangkah“ setelah kedatangan suku Mandar. Bukti lain, yang disebut penduduk sebagai ’kampung tua’ pulau ini adalah daerah RW 1 yang penduduknya mayoritas suku Mandar. Selanjutnya keturunan Malayu lah yang datang, yang diikuti oleh orang-orang Bajau. Orang Tionghoa adalah kelompok suku yang terakhir datang ke pulau ini. Dulu masing-masing suku membuat pemukiman tersendiri yang mengelompok. Sampai kini masih bisa dilihat, suku Malayu dan Tionghoa mengelompok di RW 2. Suku Bajau di RW 03. Orang Mandar di RW 01 dan RW 02. Bukti-bukti sejarah berupa benda-benda kuno yang berumur ratusan tahun masih tersimpan sebagian di rumah almarhum Pak Imam, seperti pedang, jam besar, berbagai macam porselein Cina, dan lain-lain. Benda-benda tersebut bisa kita lihat selengkapnya pada saat ada ritual kelahiran bayi dari keturunan Pak Imam. Bukti sejarah lain adalah adanya sejumlah makam di pulau ini yang disebut penduduk sebagai karama‘ dalam Bahasa Indonesia : keramat, yaitu makam Syech Alwi Assegaff di samping kanan masjid Nurul Yaqien, makam Amir Ince Ali Abdullah yang digelari penduduk sebagai Datuk Pabean, makam Karaeng Buakana yang konon berasal dari Bone terletak di sebelah Sekolah Dasar, makam Daeng Tulolo yang berada di sebelah utara pulau seorang pejuang melawan kolonial Belanda dan sebuah makam dalam bentuk mirip piramid di wilayah RW 03. Selain itu, terdapat banyak makam dengan nisan dalam bentuk yang aneh dan huruf yang tidak dikenal. Bersamaan dengan dilakukannya penelitian ini, ada tim dari Balai Arkeologi Makassar yang melakukan riset ke kuburan-kuburan tersebut. Semua peninggalan tersebut merupakan bukti sejarah pulau ini di masa lalu. Orang Bajau Orang Bajo yang bermukim di RW 03 tidak jelas diketahui kapan datangnya ke Pulau Barrang Lompo dan dari mana Hafidz, 1989. Penduduk yang ditanyai juga mengatakan ada dua daerah asalnya, yakni dari kebanyakan orang Bajau yang bertempat tinggal di pulau ini berasal dari Selat Malaka. Perihal tentang terdamparnya mereka di Pulau Barrang Lompo berangkat dari cerita tentang hilangnya puteri raja Malaka. Konon sang puteri bermain di tepi pantai dengan menggunakan sampan kecil. Tiba-tiba datanglah ombak dan angin kencang, sampannya terseret menjauhi pantai dan tidak diketahui lagi di mana adanya. Sang raja sedih sekali. Orang Bajau yang merasa berhutang budi kepada raja karena pemberian ijin untuk bermukim di pesisir Selat Malaka melalui Lolobajo pemimpin mereka, berjanji ke raja untuk mencari putrinya, dan tidak akan pulang kembali tanpa sang putri tersebut. Konon itulah sebabnya sekarang ditemukan orang Bajau di berbagai daerah di Indonesia. Di Selat Makassar ini orang Bajau dijumpai di berbagai pulau seperti Langkai, Lumu-lumu, Bonetambu dan juga Pulau Barrang Lompo sebagai daerah riset kami. Umumnya komunitas ini bermukim di dekat-dekat pantai. Menurut keterangan informan, awalnya dalam usaha mencari Sang Puteri mereka mendarat ke Pulau Barrang Lompo dan juga mencari ikan di perairan pulau tersebut untuk kebutuhan hidup mereka. Di laut mereka berinteraksi dengan nelayan-nelayan lain dan terjadilah barter barang. Orang Bajau menjual ikan hasil tangkapan dan ditukar dengan beras dan tembakau. Dikabarkan bahwa terdapat hubungan baik antara komunitas Bajau ini dengan papalele dari Pulau Barrang Lompo. Dengan pertimbangan bahwa banyak perompak yang melakukan aktivitasnya di perairan kepulauan Spermonde, mereka memutuskan untuk bermukim di Pulau Barrang Lompo. Pekerjaan mencari hasil laut tidaklah ditinggalkan, mereka tetap mencari teripang, lola, ikan hiu dan lain-lain. Sampai kini mereka masih sering mengunjungi sanak keluarganya yang tinggal di daerah- daerah lain di provinsi Sulawesi Selatan. Beberapa informan lain menuturkan bahwa orang Bajau berasal dari Mindanao. Konon adanya perang antara masyarakat Mindanao dengan Portugis telah membuat komunitas Bajau yang tinggal di wilayah Mindanao menjadi tidak nyaman. Selain itu, banyaknya perompak yang melakukan aktivitasnya di wilayah Mindanao serta melakukan perampasan secara brutal terhadap harta milik mereka, menyebabkan orang Bajau memutuskan untuk meninggalkan wilayah tersebut dan mencari tempat yang lebih aman. Perjalanan mereka sampailah ke selat Makassar, dan menemukan Pulau Barrang Lompo sebagai pulau yang nyaman untuk bermukim. Orang Mandar Menurut Hafidz 1989 pelopor kedatangan orang Mandar ke Pulau Barrang Lompo adalah Daeng Mapasang. Konon kelompok pertama yang datang ke pulau ini adalah para pengawal Raja Mandar. Saat itu orang Mandar telah melayari Selat Malaka. Alasan komunitas ini meninggalkan daerah Mandar, karena di sana dalam kondisi kacau chaotic, orang saling berbunuhan. Hal itu menyebabkan banyak penduduknya pergi ke luar mencari daerah baru yang dirasa lebih aman. Perjalanan tanpa tujuan yang jelas itu telah membawa salah satu kelompok dari mereka menemukan Pulau Barrang Lompo. Di pulau ini mereka tinggal mengelompok di wilayah yang kini dikenal sebagai RW 01, yang disebut penduduk sebagai “daerah tua”. Kerja utama mereka adalah usaha kenelayanan dan perdagangan antar pulau. Di masa lalu dikabarkan mereka berdagang ke Malaka, Johor, Kepulauan Riau dan juga pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur serta Maluku. Sekarang ini umumnya mereka berlayar ke Maluku melalui pulau-pulau kecil di provinsi NTT. Beberapa dari mereka kadangkala transit di Timor. Menurut keterangan informan, mereka sudah biasa melakukan perdagangan ke Timor Timur bahkan pada periode penjajahan Portugis di wilayah tersebut. Mereka pergi ke Maluku menjual barang dagangan seperti beras, semen, meja-kursi, gula, pakaian, obat-obatan dan lain-lain. Di sana hasil penjualan digunakan untuk membeli hasil laut seperti teripang, lola, sirip hiu dan batu laga. Harga hasil-hasil laut tersebut murah. Kabarnya beberapa dari mereka pernah juga berlayar sampai ke Australia. Mereka disebut sebagai Pa’dagang. Sekarang komunitas ini telah bercampur baur dengan suku-suku lain melalui pernikahan, yang dalam prakteknya berarti pula telah bercampur kebudayaan mereka dengan kebudayaan-kebudayaan suku lain. Unsur-unsur kebudayaan Mandar sendiri tetap mereka pelihara sebagai kebudayaan asli mereka, yang seringkali terlihat dalam ritual-ritual pernikahan dan kelahiran. Suku Melayu Kapan tepatnya orang Melayu datang pertama kali ke Pulau Barrang Lompo tidaklah ada data atau keterangan lisan yang bisa digunakan sebagai patokan. Kini sebagian besar dari mereka tinggal di RW 02 bercampur dengan suku Tionghoa. Umumnya orang Melayu berasal dari kota Makassar pindah ke pulau ini. Penduduk mempercayai bahwa pelopor datangnya orang Melayu ke pulau ini adalah Datuk Pabean yang nama aslinya Amir Ince Abdullah. Dulunya dia bekerja sebagai pegawai pelabuhan di Makassar. Ketika penelitian ini dilakukan, beberapa orang Melayu masih menyimpan ’silsilah keluarga’ family tree, seperti keluarga Ince Harris imam sholat di masjid Nurul Muttaqin. Menurut Hafidz 1989, Orang Melayu yang tinggal di kota Makassar mempunyai hubungan keluarga dengan Raja Melayu di Malaka. Konon Sayed Syarief Alie Bani Hasan pergi ke Aceh dan menikah dengan seorang puteri dari Aceh. Dari pernikahan tersebut membuahkan seorang anak yang dinamai Iskandar Muda. Sayed Syarief Alie Bani Hasan pindah ke Johor dan di Johor dia kawin lagi dengan seorang putri bangsawan. Dia memperoleh anak dari hasil pernikahan tersebut dan dinamai Haedar. Selanjutnya dari Haedar dia memperoleh beberapa orang cucu, yakni Sultan Mahmud, Sultan Sulaeman, Tan Syarah, Tan Dewi, Wan Abdullah, Wan Hamada, Wan Umar, Wan Ahmad dan Wan Bahrun. Konon keturunan Wan Umar dan Wan Abdullah bermigrasi ke Makassar, Sumbawa dan daerah-daerah lain di Indonesia bagian timur. Suku Tionghoa Islam Ketika penelitian ini dilakukan hanya terdapat sedikit orang Tionghoa yang bermukim di sana. Selain perpindahan ke daerah lain, pernikahan juga menyebabkan orang Tionghoa sebagaimana suku Melayu, keturunannya berubah sukunya menjadi suku lain, misal suku Makassar. Sekarang ini Ince bagi orang Melayu dan Ance bagi orang Tionghoa sudah sangat sedikit jumlahnya. Dahulu pola pernikahannya cenderung endogami karena pada suku lain seperti Melayu tabu menikah dengan orang Tionghoa. Sekarang sudah berubah, pernikahan eksogami menjadi hal yang umum. Sebagian orang Tionghoa lebih suka menggunakan nama Indonesia, tetapi ada juga sebagian kecil orang suku ini yang masih menggunakan nama asli Tionghoa mereka, misalnya, Nio, Bunghay dan lain-lain. Seandainyapun sudah memakai nama Indonesia, namun di dalam pergaulan keluarga nama Tionghoa masih sering terdengar disebutkan. Menurut Hafidz 1989, pada tahun 1632 tibalah di Sanrobone, Kabupaten Takalar, pedagang Tionghoa yang beragama Islam yakni Hong Gang Hang dan Lo Tyia yang kelak dikenal sebagai Datuk Polotia. Mereka sampai di Indonesia melalui Cirebon. Pribadinya sangat baik dan altruistik sehingga disenangi banyak orang. Dia menikah dengan putri dari keluarga Karaeng Agang Jene di Sanrobone. Dari pernikahan tersebut beliau memperoleh dua orang anak laki-laki, yakni Ayahanda Ince Cukka Abdul Rasul dan Ince ‘Adul. Gelombang kedua kedatangan muslim Tionghoa adalah Ong Ken Tjun dengan istrinya Ong Nio. Mereka mempunyai dua orang anak, yakni Ince Abdul Gafar Datuk Ri Gadong dan Ince Madjidah. Ince Abdul Gafar Datuk Ri Gadong setelah dewasa menikah dengan Rami binti Ince Lanti, dan dari pernikahannya memperoleh keturunan seorang puteri bernama Ince Nanna. Putrinya ini kemudian setelah cukup umur menjadi isteri dari Amir Ince Muhammad Shaleh bin Amir Ince Alie Abdolah Datuk Pabean 2 . Anaknya yang lain, Ince Madjidah, menikah dengan Ince Too Yang, sayangnya kaum keturunannya tidak diketahui lagi.. Gelombang kedatangan kedua itu yang banyak diceritakan oleh beberapa orang keturunan suku Melayu yang tinggal di RW 2 dan informasi yang kami 2 Makam Datuk Pabean ada di pulau ini. peroleh dari teman-teman akademisi Universitas Hasanuddin. Adapun informasi tentang gelombang pertama kedatangan orang Tiong Hoa diperoleh selain dari literatur juga dari ayahanda Ince Malik yang tinggal di RW 02.

4.3.2.2 Pemerintahan

Dulunya pulau ini adalah bagian dari Kerajaan Gowa. Waktu itu masyarakat di pulau ini dipimpin oleh seorang Gallarang yang berkuasa turun temurun. Jika seorang Gallarang baru adalah anak-cucu atau keturunan dari Gallarang sebelumnya akan mudah baginya memperoleh kepatuhan dari masyarakat. Rata-rata masyarakat di provinsi Sulawesi Selatan memandang keturunan bangsawan sebagai faktor penting bagi seorang calon pemimpin. Di pulau ini faktor keturunan tersebut tidaklah absolut, karena penduduk pulau ini umumnya migran dari berbagai tempat. Pemerintahan model itu berakhir pada tahun 1964 ketika pulau ini dinyatakan sebagai wilayah Kabupaten Kepulauan Pangkajene. Adapun Gallarang yang pernah memimpin pulau ini antara lain Abdul Rahman Camang, Abdul Muin, Muhammad Sultan daeng Tangnga dan Haji Zainuddin Hafidz, 1989. Pulau ini merupakan suatu kelurahan Barrang Lompo yang terdiri dari 4 Rukun Warga RW dan 8 Rukun Tetangga RT dan 2 Lingkungan. Sebagai suatu kelurahan pulau ini berada di bawah pemerintahan Kecamatan Ujung Tanah. Adapun pembagian 4 RW dalam kelurahan ini berdasarkan klasifikasi tradisional kelompok pemukiman di masa lalu. Berdasarkan sejarah kedatangan penduduk pulau ini, mereka datang dalam kelompok-kelompok, kemudian membuat pemukiman bersama teman dan sanak keluarganya yang berasal dari satu etnis. Itulah sebabnya mengapa kelurahan ini bisa dibagi dalam beberapa wilayah berdasarkan etnis. Bertahun-tahun yang lalu daerah RW 1 dikenal sebagai ’kampung Mandar’ karena penghuninya berasal dari suku Mandar. Adapun RW 2 dikenal sebagai ’kampung Tionghoa’ karena pemukiman dari orang-orang keturunan Tionghoa. Di wilayah RW 3 banyak dihuni orang Makassar, orang Bugis dan juga orang Bajau. ’Kampung Pajala’ yang kini adalah wilayah RW 4 merupakan tempat sentral pemukiman orang-orang Makassar. Kini klasifikasi berdasarkan etnis tersebut sudah tidak relevan lagi, karena banyak terjadi perkawinan antar suku, sebagai contoh orang Makassar menikah dengan orang Mandar ; atau orang Mandar membangun rumah di RW 4 yang mayoritas penduduknya orang Makassar. “Orang satu pulau ini saudara semua,“ kata para penduduk yang kami wawancarai tentang hubungan antar Sawi di dalam suatu perahu. Mereka menyatakan selalu terdapat hubungan kekeluaragaan antar mereka, apakah itu hubungan genealogis atau hubungan yang terbentuk karena pernikahan. Lebih mudah bagi mereka untuk membedakan diri mereka sebagai ’orang pulau’ atau ’orang barrang’ dengan ’orang luar’ misalnya : penduduk dari Pulau Lombok, dari Galesong, dari Timor, dari Maluku, yang tinggal di pulau ini. Di puncak pemerintahan di pulau ini adalah ’Lurah’ sebagai pimpinan 3 . Dia dibantu oleh seorang Sekretaris, seorang Imam, dan 3 orang Kepala Urusan Kaur : bidang pemerintahan, bidang pembangunan dan bidang umum. Ada dua orang ’Kepala Lingkungan’ yang langsung di bawah Lurah, dan setiap Kepala Lingkungan membawahi dua Rukun Kampung. Lingkungan 1 terdiri dari Rukun Warga 1 dan Rukun Warga 2 . Lingkungan 2 terdiri dari Rukun Warga 3 dan Rukun Warga 4. Setiap ’Kepala RW’ membawahi dua Rukun Tetangga. Adapun struktur kelurahan selengkapnya lihat Gambar 4.2. di bawah ini. Ketika penelitian ini berlangsung, hanya Kaur Pemerintahan dan Imam saja yang ada di pulau; aparat kelurahan lainnya tinggal di kota Makassar dan hanya ke pulau apabila ada perayaan-perayaan atau ada pejabat datang. Setiap Senin Lurah dan Sekretaris pergi ke kota untuk upacara bendera di kantor kecamatan Ujung Tanah. Imam dalam pemerintahan lokal di pulau ini mempunyai peran penting dan umumnya turun-temurun. Sebaliknya posisi Lurah lebih terbuka dibandingkan Imam, walaupun lebih disukai dan dipatuhi masyarakat apabila sang Lurah mempunyai garis keturunan Gallarang. Prosedurnya calon Lurah dan calon Imam diusulkan oleh masyarakat, dites dan dipertimbangkan oleh kantor kecamatan dan kemudian diangkat oleh Kepala Kecamatan. Khusus untuk posisi Lurah biasanya diusulkan dari salah satu staf kelurahan. 3 Umumnya Lurah di Provinsi Sulawesi Selatan adalah laki-laki.

4.3.2.3 Stratifikasi sosial

Sebagaimana yang dituturkan penduduk bahwa masyarakat yang tinggal di pulau ini adalah kaum migran, sehingga stratifikasi sosial berdasarkan keturunan bangsawan tidak begitu diterapkan. Penggunaan gelar Andi atau Karaeng tidak terdengar. Mereka merasa sungkan menggunakan gelar tersebut, kecuali pada saat upacara pernikahan atau upacara resmi lainnya. Misalnya sekretaris kelurahan adalah seseorang yang bergelar Andi. Sehari-harinya dia dipanggil langsung namanya. Pada saat acara 17 Agustus-an barulah gelarnya disebutkan. Sesungguhnya stratifikasi sosial di pulau ini lebih didasarkan pada tingkat kesejahteraan atau posisinya di bidang kenelayanan. Stratifikasi sosial yang mendasar adalah : punggawa – sawi. Punggawa di provinsi ini dimaksudkan sebagai pemilik teknologi kapal dan modal. Sawi, singkatnya, adalah anggota kapal yang mengerjakan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan usaha kenelayanan dalam koordinasi dari Punggawanya. Istilah Punggawa dan Sawi ini hidup dalam kultur Bugis dan Makassar. Di masa lalu Punggawa biasanya berasal dari kalangan bangsawan, karena mereka sekaligus sebagai pemimpin masyarakat. Kini kalangan rakyat biasa pun bisa menjadi Punggawa asal mampu memimpin, punya keahlian, dan modal. Istilah Punggawa di saat sekarang lebih mengacu kepada orang-orang yang mempunyai status ekonomi yang kuat. Ada kebingungan semantik semantic confussion antara istilah Punggawa dengan Juragang dan Bos. Saat penelitian ini dilakukan ketiganya dianggap penduduk memiliki makna yang sama, yakni pemimpin atau Punggawa. Sesungguhnya istilah Juragang lebih sering dipakai bagi pemimpin kapal nelayan Pa’dagang. Sering pula digunakan untuk pemimpin operasi pelayaran dalam penangkapan ikan. Sementara istilah Bos merupakan kata baru dari hasil interaksi nelayan dengan pedagang-pedagang China. Penggunaan isitlah ini tidak begitu jelas, hanya saja sangat sering digunakan untuk pemilik modal, khususnya kapitalis yang meminjamkan modal ke nelayan teripang. Di dalam kegiatan penangkapan ikan istilah punggawa ini punya bergam makna sebagaimana yang ditulis oleh Suriadi Mappangara dalam Hafidz,1989 berdasarkan berbagai studi kasus yang dilakukan oleh empat ahli tentang masalah Punggawa, yakni Firdaus Basuni, Yardigond, Christian Pelras dan Mattulada. Menurut Firdaus Basuni ada 3 kelompok Punggawa, yaitu Punggawa Jukuk Punggawa Ikan, Punggawa Bontol Punggawa Darat, dan Punggawa Bagang Punggawa Bagang. Yardigond dalam penelitiannya tentang usaha-usaha perbaikan ekonomi nelayan di pesisir kota Makassar, mengelompokkan Punggawa dalam 5 jenis, yaitu Punggawa yang menjual ikan milik keluarga, Punggawa yang merangkap sekaligus sebagai nelayan, punggawa yang meminjamkan modal, Punggawa karena keturunan dan Punggawa yang bekerja pada bidang-bidang lain. Agak berbeda adalah pendapat dari Christian Pelras yang mengelompokkan Punggawa sebagai berikut, 1 Punggawa sebagai seorang agen, Punggawa tetapi juga seorang nelayan, punggawa sebagai pemilik modal dan teknologi. Adapun Mattulada seorang ahli Antropologi yang dikenal luas penguasaan pengetahuannya tentang kebudayaan Bugis-Makassar membagi dalam dua kelompok, yaitu Punggawa Lompo punggawa besar, ialah punggawa sebagai pemilik modal dan Punggawa Caddi punggawa kecil, adalah punggawa yang ahli dalam suatu bidang pekerjaan tertentu. Di Pulau Barrang Lompo istilah Punggawa baur dengan istilah Juragang dan Bos. Jika penduduk menyebutkan seseorang sebagai Punggawanya, kita harus bertanya lebih rinci, apakah yang dimaksud Punggawanya itu adalah pemilik modal dan teknologi disebut Punggawa Pulau atau orang memimpin pelayaran menangkap ikan di laut Punggawa Laut. Memang banyak juga pemilik modalteknologi yang juga menjadi pemimpin pelayaran di laut. Para Punggawa di wilayah dollar, tidaklah pergi ke laut, mereka hanya menunggu di darat saja hasil tangkapan ikan. Mereka dikenal berbakat dagang, tetapi di masa mudanya mereka juga kerja nelayan. Punggawa di wilayah Rupiah umumnya juga merangkap sebagai Punggawa Laut. Di dalam aktivitas sehari-hari mereka lebih sering disebut sebagai Bos, dan dalam pembicaraan formal mereka disebut Punggawa Pulau. Istilah Bos secara umum lebih sering digunakan untuk para pedagang di kota Makassar, biasanya dikenal Bos Lompo untuk Punggawa Lelang Punggawa TPI dan Bos Caddi untuk Punggawa Darat yang menampung hasil ikan dari para nelayan dari pulau- pulau kecil di dekat kota Makassar. Hubungan kerja yang dibangun berdasarkan hutang debt working relationship secara bertingkat terjadi antara nelayan kepada Punggawa Pulau, selanjutnya Punggawa Pulau berhutang kepada Punggawa Darat, dan Punggawa Darat kepada Punggawa Lelang.

4.3.2.4 Perubahan Sosial

Secara tradisi tidak mudah berubah status dalam stratifikasi sosial yang ada di masyarakat ini. Bila dahulu ”kebangsawanan” seperti nampak dalam pemilihan Galarang maupun menjadi Punggawa, kini pemilikan modal lebih utama menjadi faktor penentu seseorang dalam stratifikasi sosial yang ada. Beberapa orang yang punya kemampuan dagang, berubah nasibnya yang semula sebagai Sawi yang miskin menjadi Punggawa yang memiliki kapal dan modal untuk operasi penangkapan ikan. Bentuk lain dari stratifikasi sosial adalah ”gelar haji”. Pemilik gelar ini akan sangat dihormati pada acara-acara seperti pernikahan, kelahiran, kematian, dan acara-acara adat lainnya. Contohnya, hanya ibu-ibu yang bergelar haji saja yang boleh menjadi pengiring pengantin. Mobilitas sosial yang ada telah menyebabkan perubahan pada relasi yang ada, khususnya pada kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Orang yang kini menjadi Punggawa ditempatkan pada deretan-deretan terdepan bila menghadiri kegiatan kemasyarakatan. Perubahan lain yang mencolok adalah banyaknya pendatang yang bekerja sebagai anak buah kapal maupun yang menikah dengan orang setempat. Banyaknya pendatang telah merubah juga cara pandang masyarakat dengan tidak begitu memperdulikan lagi perihal kebangsawanan. Stratifikasi sosial lebih dikaitkan dengan pemilikan modal.

4.4 Pembahasan

Pulau kecil seperti Pulau Barrang Lompo memang rentan terhadap pengaruh kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada lingkungannya. Perubahan- perubahan kegiatan dan jumlah penduduk yang terjadi sangat mempengaruhi lingkungan pulau dan perairannya. Perubahan yang terjadi pada perairannya terlihat pada sumberdaya ikan dan terumbu karang, kedalaman laut dan kejernihan air. Sedangkan perubahan di daratan setidaknya meliputi sangat berkurangnya jumlah pohon-pohon besar, padatnya pemukiman, adanya reklamasi pantai sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Pertambahan penduduk yang pesat dan kegiatan kenelayanan serta kegiatan-kegiatan pendukungnya sangat mempengaruhi perubahan lingkungan fisik. Pertambahan penduduk membutuhkan perumahan yang berpengaruh pada penebangan pohon-pohon dan penggunaan terumbu karang sebagai bahan bangunan. Pertambahan penduduk itu juga mendorong berkembangnya usaha kenelayanan destruktif, karena perlunya pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Usaha kenelayanan destruktif merusak terumbu karang dan mengurangi jumlah ikan. Di masa yang lalu perairan pulau ini penuh dengan ikan, teripang dan biota laut lainnya. Komersialisasi jenis ikan tertentu dan meningkatnya demand terhadap ikan telah mendorong berkembangnya usaha kenelayanan destruktif. Pulau yang kini sangat sedikit jumlah pohonnya dan adanya aktivitas reklamasi telah mendorong pendangkalan pada tepi-tepi pantai yang dulunya cukup dalam. Reklamasi yang dilakukan berdasarkan kebutuhan lahan untuk pembangunan rumah, khususnya bagi pembangunan rumah pengantin baru. Kepadatan penduduk yang tinggi di pulau ini telah menyulitkan untuk pengembangan aktivitas masyarakat dan berpotensi menimbulkan banyak konflik sosial. Kemungkinan ke depan masyarakat di pulau ini akan kesulitan untuk memiliki lahan. Perusakan lingkungan mungkin akan semakin menjadi-jadi, diantaranya reklamasi pantai akan semakin marak dan sumberdaya laut akan semakin semakin terkuras. Aktivitas yang makin terbatas ini pada satu sisi ternyata juga berpengaruh pada kecenderungan untuk stagnannya status seseorang dalam masyarakat tersebut. Seseorang yang miskin akan cenderung tetap miskin dan tergantung kepada para Punggawa. Hubungan patron klien yang semenjak lama terbentuk di pulau ini antara Punggawa dan para Sawinya, sekarang semakin menguat. Pada bab berikutnya Bab 5 akan dibahas kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat di pulau ini yang tentunya langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada perubahan lingkungan fisik. Foto 1 Kapal polisi dengan latar belakang tanah reklamasi 5 PELAKU KEGIATAN PEMANFAAT SUMBERDAYA PERIKANAN DI PULAU BARANGLOMPO: MULAI DARI KEGIATAN PENANGKAPAN IKAN HINGGA KEGIATAN-KEGIATAN PENDUKUNG KEBERHASILAN OPERASI PENANGKAPAN IKAN.

5.1 Pengantar