bom dan bius, tapi tentang cara berpikir mereka dalam melakukan usaha kenelayanan dan mencari upaya untuk pemberdayaan mereka. Itulah sebabnya, di
waktu yang akan datang sebaiknya pihak IPB bersedia memberi surat pengantar riset dengan judul dan mungkin juga sebagian isinya dirubah, apabila judul dan
sebagian isinya berkaitan dengan hal-hal yang sensitif bagi masyarakat ; dan 2 keterbatasan dana yang menyebabkan keterbatasan waktu riset. Satoko melakukan
riset untuk penyusunan disertasi doktornya selama 2 tahun 8 bulan. Lebih dari 6 bulan dia tidak melakukan kegiatan apapun kecuali bergaul dan mengenal orang-
orang yang tinggal di pulau.. Setelah itu barulah melakukan riset. 3 mestinya waktu mengurus surat ijin riset juga ditujukan kepada pihak
keamanan polisi, TNI-AL, dll. agar ketika ikut kapal nelayan untuk melakukan pengeboman, kita aman-aman saja, khususnya bila tertangkap polisi, 4 mestinya
juga melakukan riset-riset singkat ke beberapa pulau lain sekitarnya, karena berdasarkan informasi banyak orang, variasi fenomena pulau-pulau lain beserta
karakteristik penduduknya dalam kaitan dengan destructive fishing.
3.9 Proses riset
Riset dimulai dengan mengurus perijinan dari kantor Gubernur, lalu ke Balaikota. Sebenarnyalah area riset saya ada dua, yakni di Makassar dan di pulau.
Di Makassar saya pergi ke Lembaga Penelitian Unhas mengkopi bahan-bahan yang berhubungan dengan topik riset. Juga, bertemu dengan ahli-ahli di Pusat
Studi Terumbu Karang dan Pak Neil dari Jurusan Sosiologi-Antropologi Unhas sorenya saya ke rumah Pak Munsi Lampe yang sedang menyusun disertasi
tentang nelayan destruktif di Pulau Sembilan, menghadiri launching dua buku dari DR Nurhidayati pengarang tafsir La Galigo dan ahli tradisi lisan. Ke
Perpustakaan Mattulada bertemu dengan pengurusnya, pak Mular, yang juga bekas nelayan destruktif, pernah pakai bagang yang menggunakan bom, juga
pernah membius. Untuk mengetahui berita-berita tentang Makassar dan pulau-pulau saya
juga pergi ke Harian Fajar, koran terbesar di Makassar. Selain bertemu dengan wartawan juga ke Litbangnya untuk mengkopi bacaan-bacaan yang relevan seperti
tentang adat dan sosial budaya lainnya. Dari keterangan pihak Litbang dan
wartawan memang relatif sedikit berita tentang pulau, dan boleh dikatakan hampir tidak ada berita tentang destructive fishing, karena sulitnya memperoleh berita
tersebut, ”sangat tertutup”. Dinas Kelautan dan Perikanan Kodya Makassar juga merupakan kantor
yang kami kunjungi dan wawancara dengan banyak orang. Satu hal yang penting kami bertemu dengan orang-orang yang mengurusi proyek pemberdayaan
masyarakat. Selain itu kami pergi juga ke koperasi Phinisi yang merupakan badan hukum penyaluran dana-dana pemberdayaan masyarakat dan wawancara intensif
dengan pengurus-pengurusnya yang orang pulau Langkai dan Kodingareng dan bekas nelayan pengebom dan pembius.
Kami pergi juga ke Kasubdit Pengawasan di Paotere yang bersebelahan dengan TPI Paotere dan CV Bintang Timur tempat penjualan ikan hidup
komersial selain itu, kami juga ke TPI Rajawali tempat dimana orang-orang pulau menjual ikan dan membeli hasil laut. Di sana kami bertemu dengan
pimpinannya dan juga penyidik pengawas kelautan dan perikanan, pak Soejarwo yang merupakan satu-satunya penyidik perikanan di kodya Makassar.
Di TPI kami memperhatikan masalah jenis produksi laut dan harganya, juga kemana penjualannya. Khususnya di Paotere kami observasi dan wawancara
di kapalnya Haji Supa dan Haji Amir dengan para sawinya. Pergi ke pelabuhan dan ke kantor polisi pelabuhan, juga ke kantor polisi
sektor 7 yang terletak tidak jauh dari kantor kecamatan Ujung Tanah. Namun wawancara secara efektif saya peroleh justru pada kesempatan lain, yakni di pulau
dan di pertemuan segitiga polisi – Departemen Kelautan dan Perikanan – nelayan pengguna bahan terlarang perusak di Paotere pada akhir riset saya.
Ke kantor pengadilan negeri kotamadya Makassar saya lakukan untuk memperoleh kasus nelayan pengguna bahan terlarang serta memahami pihak
pengadilan dalam menyikapi kasus pelanggaran ini. Ke pulau untuk memulai riset dengan hati-hati. Awalnya mempelajari dulu situasi yang ada. Mempelajari
sistem kenelayanan yang berkembang aktual saat itu. Tapi, yang utama saya pelajari dulu variabel sosial budaya, seperti pendidikan dan ritual orang hamil-
kelahiran-pernikahan. Mengunjungi SD Inpres dan SD Negeri barranglompo juga SMP 28, sayang belum ada SMA. Sebagian anak melanjutkan sekolah SMAnya
ke Pulau Ballang Lompo. Saya juga sempat ke pulau Ballang Lompo dan ketemu guru-gurunya. Berbincang-bincang di rumah-rumah guru juga memperoleh hasil
yang jauh lebih banyak. Wawancara juga saya peroleh secara intensif saat acara-acara lomba 17-an.
Pak Camat dan Kapolsek serta Bu Camat menjadi juri lomba karoeke tingkat pulau ini, jadi ada kesempatan wawancara bagi kami. Juga dengan anak buah-
anak buah mereka bisa diperoleh kesempatan wawancara yang intensif, misal dengan Pak Bahar dan Pak Ibrahim yang keduanya ditempatkan di pulau ini.
Danrem juga melakukan bakti sosial ke pulau ini dalam rangka acara 17- an, khususnya dia menyoroti masalah kepadatan penduduk yang luar biasa dan
kemungkinan kriminalitas serta pengangguran di pulau ini.
3.10 Analisis data`