calon pengantin akan selalu memegang Siri’, patangka sebagai penguat semangat dan ranting pa’tene bermakna agar hidupnya di masa yang akan datang penuh
kesejahteraan. Ada lagu orang jaman dulu lagu toriolo yang biasa disenandungkan
anak-anak pulau ini sebagai hiburan : ”Sirih gak ganilamung
Katangka nipatimbong Pa baletongi pakiok
Sumangat tongi” Lagu tersebut mempunyai arti harafiahnya sebagai berikut : sirih kita tanam dalam
dada, Katangka kita tumbuhkan dalam jiwa, karena Katangka bisa menjadi obat sekaligus pembangkit semangat.
Sesaji yang dibacakan doa-doa dan mantera oleh Sanro berupa Ja’jakang yang terdiri dari beras berisi kelapa, gula merah, lilin dan uang sedekah untuk
Sanro. Adapun mantera inti yang dibacakan oleh Sanro adalah : ja’na ja’na te’ne te’ne nikmat-nikmat, manis-manis kehidupan dari ibu dan bayi calon
pengantin.
8
Semangat kenelayanan yang berupa keberanian untuk menempuh kesulitan demi meraih kesuksesan hidup tampak dalam banyak ritual di masyarakat pulau
ini. Selain itu, ketrampilan atau keahlian sangat sering disebut dalam berbagai doa, mantera maupun lagu lokal. Kombinasi ketrampilan dan keberanian merupakan
dua hal yang diagungkan komunitas pulau Barrang Lompo.
5.3.2 Pa‘Taripang
Secara tradisi nelayan di Sulawesi Selatan menangkap ikan bukanlah target utama. Mereka dikenal sebagai nelayan yang mengumpulkan telur penyu,
teripang, lola, sirip hiu, rumput laut, batulaga dan lain-lain. Bagi mereka
8
Upacara Pasili juga disiapkan sesajian berupa buah-buahan. Kalau sudah diketahui perempuan calon bayinya calon pengantin perempuan sesajian berupa buah nangka dan semangka yang sudah
terbelah. Sebaliknya bila calon bayi diketahui laki-laki calon pengantin laki-laki sesajian berupa buah jeruk, anggur, dan pisang susu. Sedangkan jenis kue lokal yang harus ada untuk hidangan
ialah : omba-omba, cucuruk bayao, kue lapisi, sero-sero, kolak, biji nangka, dodoro, putri hijau, dadaro bayao.
menangkap ikan lebih banyak untuk keperluan subsisten. Sekarang menangkap ikan sudah menjadi tujuan utama dan komersial bagi kebanyakan nelayan di sana.
Di waktu yang lalu di perairan pulau ini banyak sekali terdapat teripang. Beberapa ilustrasi dari penduduk setempat :
- ”jika kita berjalan sepanjang pantai seringkali kaki kita tersandung teripang karena jumlah mereka yang terlalu banyak. Tidak mudah untuk
menemukan jalan yang lengang dari teripang.” - ”anak-anak kecil sering menendang-nendang teripang sebagai bola ketika
mereka bermain-main di tepi pantai.“ - ”bila kita menyelam, kita bisa memperoleh begitu banyak teripang
bertumpuk-tumpuk di dasar laut.“ Menurut Man bukan nama sebenarnya, seorang juragan teripang, antara tahun
1990-1994 jumlah teripang begitu banyak, sehingga dalam satu perjalanan saja sudah memperoleh lebih dari 1000 buah. Kini dalam suatu perjalanan hanya dapat
10 biji. Pada waktu itu harga teripang sangat rendah, nyaris tidak berharga. ”Yang mencari kurang,“ kata Man bukan nama sebenarnya. Restauran-restauran
masakan China yang menyajikan teripang sebagai makanan tradisional telah menyebabkan harga teripang naik. Berbagai restoran masakan China di Hongkong,
Taiwan, Singapura memasaknya sebagai masakan lezat. Di kota Makassar dikenal restoran Bambuden yang menyajikan sup teripang, satu mangkok kecil harganya
bisa mencapai Rp 50 ribu. Awal 1990-an harga teripang melambung, dan teripang menjadi buruan
utama nelayan. Kesejahteraan nelayan di Pulau Barrang Lompo berubah meningkat pesat. Salah satu indikatornya adalah bahan bangunan rumah panggung
yang dulu terdiri dari kayu dan bambu; kini rumah-rumah dibangun dari batu bata dan semen dan jendela dari kaca serta atap dari seng. Suatu rumah panggung
umumnya terdiri dari dua tingkat. Tingkat pertama biasanya dibikin kosong melompong atau tempat penyimpanan kayu dan barang-barang lain, tidak ada
kamar. Tingkat kedua merupakan tempat tinggal sesungguhnya. Dengan meningkatnya kesejahteraan lantai satu sudah dibuat warung atau toko kecil pada
beberapa rumah panggung. Saat penelitian ini berlangsung, tingkat pertama rumah
sudah banyak yang dibikin kamar-kamar, karena satu rumah kini terdiri dari 2 – 3 kepala keluarga.
Pembagian keuntungan antara Pa’es dan pa’taripang sebenarnya mirip saja, umumnya 20 untuk kapal dan 5 untuk juragan laut. Istilah juragan
sebagai pemimpin pelayaran lebih banyak digunakan pada sistem Pa’taripang dan Pa’dagang. Selanjutnya, 75 dibagi untuk semua anak buah dan kompresor. Sawi
yang bekerja di atas kapal kerja atas memperoleh pendapatan yang lebih kecil dibandingkan penyelam kerja bawah. Bahkan diantara Sawi itupun ada
perbedaan pendapatan berdasarkan penilaian Punggawa terhadap kemampuan ataupun berapa jumlah menyelam yang dilakukan oleh seorang penyelam.
Misalnya si A menyelam hanya 2 kali, sedangkan si B 4 kali, maka si B akan memperoleh bagi hasil yang lebih besar dibandingkan si A. Keputusan besarnya
perolehan itu sepenuhnya oleh Punggawa dan tidak ada gugatan dari Sawi. Hanya kalau seorang Sawi tidak setuju, maka pada res berikutnya dia akan pindah ke
Punggawa lain. Selain bagi hasil tersebut, si nelayan memperoleh tambahan dari apa-apa yang dia peroleh ketika menyelam, misal mutiara, dan juga dari hasil
memancing. Dari sekali perjalanan bisa diperoleh hasil memancing sekitar 50 kg – 100 kg lebih ikan merah yang sudah dikeringkan selama di laut, setibanya di
pulau akan dijual ke pabalolang ikan kering, yakni ke Daeng Tutu, atau ke Daeng Mangung atau ke Daeng Do’ali.
Saat riset ini dilakukan Punggawa teripang yang ada di Pulau Barang Lompo adalah Haji Muhammad 3 kapal, Haji Kulaut 3 kapal, Haji Idris 2 kapal,
Haji Salu 2 kapal, Sahaka 2 kapal, Masauk 1 kapal, Raja 2 kapal, Haji Ilyas 1 kapal, Daeng Su’din 2 kapal, Ilyas 1 kapal, haji Haya 2 kapal, haji Yunus 2 kapal,
1 kapal, Daeng Rahim 2 kapal, Haji Kasim 1 kapal, Haji Jama 2 kapal, Haji Gasing 3 kapal, Sado 1 kapal, Haji Hasan 3 kapal, Rasul 2 kapal, Zaenuddin 1
kapal, Haji Kai 1 kapal, Haji Aci 1 kapal. Selain mereka yang sudah disebutkan di atas, banyak kapal teripang dari
luar pulau, seperti dari Sarappo, Pajenekkang dan Paotere yang bersandar dan berangkat dari Pulau Barrang Lompo, misal haji Ansar 2 kapal, Saha 1 kapal, Haji
Sama’ila 1 kapal, Haji Nuru 2 kapal dan Haji Mustari 2 kapal. Hal ini terjadi karena PBL merupakan tempat yang strategis untuk berangkat ke mana-mana, dan
juga ada persediaan air yang cukup untuk bekal perjalanan, juga terdapat toko- toko yang menjual perbekalan baik beras, minyak tanah, solar, rokok, dan lain-
lain. Kapal teripang umumnya bertonase 8 ton dengan panjang 17 meter, lebar
3,5 meter sampai 4 meter menggunakan 3 mesin, mesin Yanmar 22 PK atau mesin Jiang Dong 300 25 PK
Jenis teripang begitu banyak, sekitar 40, dan yang termahal adalah teripang susu dan teripang bangkuli. Harga teripang ketika sudah dikeringkan
lebih mahal dibandingkan ketika masih basah. Oleh karena para nelayan melakukan pola tangkap lebih terhadap teripang,
sekitar tahun 1994 sudah sangat sedikit jumlah teripang yang bisa diperoleh nelayan. Kemudian mereka bergerak ke Australia yang dikabarkan saat itu jumlah
teripangnya masih sangatlah banyak ”...teripangnya bersusun-susun begitu banyak“. Itulah sebabnya sekali menyelam mereka sudah mampu mengumpulkan
begitu banyak teripang. Satu keuntungan lagi mencari teripang di sana airnya lebih jernih dibandingkan Selat Makassar.
Melewati perbatasan teritorial Australia menyebabkan pemerintah Australia marah, sehingga para nelayan tersebut ditangkapi. Ada 2 kali
penangkapan besar-besaran oleh tentara Australia terhadap nelayan dari PBL yang sangat diingat, yakni di tahun 1993 dan di tahun 1994.
Beberapa orang informan kami, menceritakan banyak sekali jumlah nelayan Pa’taripang yang ditangkap di Pulau Pasir teritorial Australia pada tahun 1994.
di perairan tersebut mereka dapat mengumpulkan teripang lebih dari seribu buah per kapal. Sangat besar jumlahnya bila dibandingkan sekarang, Pa’taripang dalam
pelayarannya hanya memperoleh 20 biji saja. Itulah sebabnya mereka tidak takut bila ditangkap tentara Australia. Bila tertangkap mereka akan dikirim kembali ke
Indonesia dengan menggunakan pesawat ke Kupang, kemudian dari Kupang pemerintah Indonesia akan mengirim kembali mereka ke Makassar dengan
menggunakan kapal laut. Juragan atau punggawa merupakan pihak yang dipusingkan dengan hal ini
karena mereka harus membayar sanksi atau denda sebesar Rp 3 juta di tempat
mereka ditangkap. Jika tidak, kapalnya akan dihancurkan dan dibakar. Adapun barang-barang yang ada di kapal, seperti beras dan teripang akan dibuang ke laut.
Bng, bukan nama sebenarnya, seorang nelayan yang tertangkap, menceritakan kepada saya bahwa kapal Australia itu begitu besar dan sangat laju. ”Masih
kelihatan seperti setitik semut, tahu-tahu dalam sepuluh menit sudah berada di dekat kita“. Kapal patroli Australia didukung oleh sejumlah kapal-kapal yang
lebih kecil yang mengawal perahu-perahu nelayan Indonesia supaya tidak lari dari perairan Australia. Kapal patroli Australia dapat menarik 20 kapal Pa’taripang
dalam sekali angkut. Selain mereka sebenarnya banyak juga nelayan dari Madura yang mencari teripang di sana, tetapi mereka menggunakan kapal tradisional yang
tidak dilengkapi mesin, hanya dengan menggunakan layar saja. Itu sebabnya mereka tidak ditangkap.
Ketika krisis ekonomi di Indonesia memuncak pada tahun 1999 - 2000 begitu banyak nelayan pa’taripang yang bangkrut, sehingga hanya beberapa orang saja
yang tetap melakukan usaha ini.. Saat itu harga garam sangat tinggi, perolehan teripang sedikit dan harga teripang juga sangat rendah dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Tidak mengherankan bila mereka pindah kerja menjadi Pabalolang, atau membantu istrinya mengurus warung atau ikut kerja di kapal Pa’es.
Orang mencari teripang ke provinsi Maluku, misalnya ke Samlaki, Tual, Tanimbar dan juga Provinsi Papua khususnya ke perairan Sorong. Masa mencari
teripang menjadi panjang, sekitar 2 bulan lebih mereka meninggalkan Pulau Barrang Lompo.
Dari informasi yang saya terima dari beberapa Sawi, contoh yang menarik waktu itu adalah kapal dari Zad bukan nama sebenarnya yang dipegang adiknya,
Bor bukan nama sebenarnya, sebagai Juragan Lautnya
9
. Kapal Zad tonasenya 7 dan digerakkan oleh mesin Dompen 2 silender dan rata-rata kecepatan 8 mil per
jam. Tahun itu bagi mereka merupakan kesialan, karena di Maluku lagi ada kerusuhan besar-besaran. Di sana banyak terjadi perang lokal dan pembunuhan
antara kelompok Muslim dan kelompok Nasrani, sering terjadi perusakan dan
2
Istilah Juragan umum digunakan pada usaha kenelayanan Pa’taripang dan Pa’dagang daripada istilah Punggawa.
penghancuran gereja dan masjid. Bahkan polisi pun terbagi dua, sekelompok mendukung Muslim dan kelompok lain mendukung Nasrani.
Mereka sempat diserang penduduk lokal di Tual yang menggunakan panah. Untung mereka berhasil melarikan diri. Sebenarnya mereka sudah diingatkan
oleh polisi ketika melewati Timor. Padahal dalam usaha mencari teripang mereka harus melewati Kepulauan Leti, Pulau Wetar, Pulau Babar dan beberapa pulau
lain yang penduduknya mayoritas beragama Nasrani yang tidak menyukai orang- orang BBM Bugis, Buton, Makassar yang umumnya beragama Islam dan sukses
dalam perdagangan. Biasanya pelayaran mereka akan melalui kepulauan Leti sesudah berhenti
sebentar di Timor, tetapi karena di kepulauan tersebut mayoritas Nasrani, walaupun di sana tidak ada perang lokal mereka berlayar langsung ke Tual untuk
menghindari konflik. Sayangnya, mereka diserang juga dengan anak panah di Tual sehingga hanya satu minggu saja cari teripang di laut dan segera pulang ke
Pulau Barrang Lompo. Kebiasaan mereka, perjalanan ke fishing ground dihitung 10 hari dan begitu
juga pulangnya ke pulau mereka 10 hari. Jadi, sesungguhnya pelayaran kurang dari satu bulan. Pencarian teripang memakan waktu sedikitnya 2 minggu sampai
dengan 2 bulan. Kompetitor mereka di fishing ground di Maluku tenggara Pulau Kai dan Pulau Tanimbar adalah nelayan dari Bali dan Madura. Pa’taripang
melakukan pengumpulan teripang di kedalaman sekitar 30 meter. Sebelum melakukan pencarian mereka minta ijin ke desa terdekat.
Berbeda dengan saat riset ini dilakukan. Kini, nelayan Pa’taripang mencarinya hanya di sekitar Sulawesi saja. Usaha kenelayanan ini menjadi favorit, karena
untuk menjadi Pa’sunu mencari ikan komersial sudah sangat terbatas bahan potassanya dan hukumannya berat sekali. Untuk menjadi Pa’es juga diincar polisi;
yang paling aman adalah usaha pa’taripang ini. Hanya saja hasil yang diperoleh sedikit, dan kelihatannya saat sekarang ini di kalangan nelayan sudah mengeluh
hasil sedikit dan rencana untuk mencari teripang di jalur yang lama, yaitu ke Irian.
5.3.3 Pekerjaan Lain 5.3.3.1 Pa’dagang