yang tinggi, solidaritas kuat, dan lain-lain bisa dimanfaatkan dalam rangka menghentikan penggunaan bom ikan sebagai alat tangkap.
2.7 Enterpreneurship
Pekerjaan nelayan mempunyai karakter yang berbeda dari petani misalnya. Karakter utama pekerjaan nelayan adalah ’mencari ikan untuk dijual’.
Sifat ini mengembangkan kecenderungan untuk berjiwa entrepreneurship. Menurut Mc Clelland dalam Gilmer, 1984 seorang enterpreneur adalah seorang
yang menerapkan kemampuannya untuk mengatur, menguasai alat-alat produksi dan menghasilkan hasil yang berlebihan yang selanjutnya dijual atau ditukarkan
dan memperoleh pendapatan dari usahanya tersebut. Seorang nelayan memenuhi syarat tiga dasar motif sosial yang menonjol
yang menyebabkan dia berpotensi untuk menjadi enterpreneurship sebagaimana yang dikemukakan McClelland dalam Gilmer 1984 yakni : motif untuk
berprestasi, motif untuk berafiliasi menjalin persahabatan dan motif untuk berkuasa Gilmer, 1984.
Oleh karena itu, apabila pemerintah atau lembaga tertentu hendak melakukan alih pekerjaan pada suatu komunitas nelayan, maka hendaklah
diarahkan kepada pengembangan enterpreneurshipnya, selain itu tentu juga diperhatikan tingkat pendidikan komunitas nelayan itu. Pekerjaan sebagai
pedagang ikan, pedagang teripang, penjual souvenir, mengembangkan usaha- usaha pariwisata, pedagang kelontong, merupakan contoh-contoh bidang
pekerjaan yang bisa diupayakan untuk nelayan yang mempunyai tingkat pendidikan rata-rata rendah.
2.8 Pembahasan
Pohon Problema yang menyebabkan melakukan destructive fishing bisa dilihat pada Gambar 2 halaman 33 . Ada variasi yang signifikan antara satu
komunitas dengan komunitas yang lain bila dicari masalah yang menyebabkan si nelayan melangsungkan kenelayanan destruktif, namun secara umum kira-kira
sebagaimana yang terpampang dalam Gambar 2 di halaman 33.
Umumnya nelayan tidak hanya menggunakan satu alat tangkap saja. Mereka memiliki beberapa alat tangkap. Bila ditanyakan kepada mereka mungkin
akan diperoleh jawaban mereka sudah beberapa kali berganti jenis teknologi tangkap Oliver, 2002. Teknologi tangkap yang baru umumnya juga berkaitan
dengan perubahan target species. Hal ini bila ditarik lebih jauh lagi barangkali begitulah pola survivalnya kenelayanan rakyat, yakni berganti-ganti target spesies,
dan dengan cara itu mereka survival, tetap bisa bertahan hidup dari usaha kenelayanan.
Berkaitan dengan masalah disertasi ini, mungkin saja teknologi-teknologi tangkap yang mereka miliki produktivitasnya rendah tidak sesuai lagi dengan
tuntutan hidup dan aspirasi si nelayan. Bila si nelayan harus memakai teknologi yang ada perolehan tangkapannya mungkin sedikit dan ini berarti penghasilannya
juga rendah. Kalau income rendah maka mereka akan miskin. Berbagai faktor seperti meningkatnya jumlah angkatan kerja yang masuk
menjadi nelayan, nelayan-nelayan dari luar daerah yang mencari ikan di daerah ground fishing mereka, ditambah lagi banyaknya kapal-kapal asing yang sebagian
dari mereka adalah illegal fishing. Hal ini berarti meningkatnya Kompetitor bagi
si nelayan. Terkadang para kompetitor tersebut menggunakan armada yang jauh lebih besar dan teknologi tangkap yang jauh lebih canggih, akan berakibat mulai
sulitnya si nelayan memperoleh tangkapan ikan yang memadai untuk kebutuhan hidupnya sekeluarga. Kekalahan di bidang teknologi dengan para Kompetitornya
berarti akses si nelayan terhadap sumberdaya laut akan terbatas. Situasi tersebut terasa semakin menekan ketika si nelayan menghadapi kenyataan bahwa harga-
harga bahan keperluan operasi penangkapan ikan naik-naik terus, seperti
harga solar, beras dan lain-lain. Kenyataan lain yang juga sangat mengganggu si nelayan adalah adanya
pungutan-pungutan yang sebagian besar tidak resmi alias pungutan liar makin
banyak dan makin besar jumlahnya, maka si nelayan akan mulai berpikir untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu diantaranya adalah dengan alih teknologi
tangkap. Teknologi yang dipunyainya tidaklah memadai lagi, karenanya dia
berpenghasilan rendah. Hal tersebut makin terasa baginya ketika harga-harga
kebutuhan hidup sehari-hari meningkat. Jangankan untuk beli barang-barang elektronik yang mahal harganya dan makin melambung terus harganya semakin
tidak terjangkau, untuk keperluan makan sehari-hari dia sudah kalang kabut.
Dengan tingkat pendidikannya yang rendah susah bagi dia untuk alih
pekerjaan. Tambahan pula memang tidak ada alternatif pekerjaan yang tersedia di daerahnya. Problem ini semakin menumpuk dengan kebiasaannya yang cenderung
konsumerisme, minum-minuman keras, beli perhiasan untuk isteri, beli baju-baju
bagus dan barang-barang elektronik yang bisa membuat dia bangga di hadapan tetangga-tetangganya.
Jalan keluar yang biasa dilakukannya adalah pergi berhutang kepada pelepas uang atau pemilik modal. Begitulah setiap kesulitan uang dia biasa kesana
meminjam uang dengan bunga yang tinggi. Lama kelamaan dia akhirnya terlilit hutang.. Setiap hari dia berada dalam keadaan harus mencicil hutang-hutangnya,
dan untuk itu dia harus mengikuti atau melayani kemauan-kemauan si Kapitalis karena dia sudah terlilit hutang. Salah satu diantaranya adalah keinginan si
Pemilik modal untuk menerapkan kenelayanan destruktif, yang dianggap cepat menghasilkan keuntungan.
Kehendak si Kapitalis ini didukung oleh demand yang tinggi Pet-Soede
dan Erdman, 1998 dan dengan berkembangnya selera masyarakat internasional
terhadap chinese food Zaelany, 2003 di beberapa negara seperti Hongkong,
Taiwan, Singapura, bahkan juga restoran-restoran di beberapa kota besar di Indonesia yang menyajikan chinese food, misalnya Jakarta, Surabaya, dan Medan.
Faktor pendorong lain yang tidak kalah besarnya adalah kapal-kapal Hong Kong yang pada saat-saat tertentu merapat ke pelabuhan-pelabuhan di Indonesia untuk
membeli ikan-ikan komersial, misalnya ikan Napoleon, dengan harga yang cukup mahal disertai penawaran teknologi tangkapnya, yaitu potassium cyanide Zaelany
dan Nawawi, 2002 ; Djohan, 2002. Godaan dari pembeli ini tentu saja menarik
hati para nelayan. Apalagi dengan berkembangnya teknologi informasi dan
pendidikan telah memupuk aspirasi para nelayan untuk meraih hidup yang lebih baik. Mereka tentu saja ingin semua hutangnya lunas dan bisa mencukupi
kebutuhan-kebutuhan rumah tangganya. Mereka juga ingin bisa menikmati hidup enak sebagaimana yang mereka lihat di televisi, video, dan film di bioskop.
Hal itu bisa terwujud dengan adanya illegal trade bahan-bahan destruktif, seperti potassium sianida atupun bahan pembuat bom ikan. Walaupun jenis
perdagangan tersebut illegal, tetapi polisi dan aparat pengawasan lainnya
“merestui”, secara ilegal juga tentunya. Kadang-kadang mereka ditangkap oleh
polisi. Perahu dan seisinya ditahan begitu juga nelayannya, tetapi dengan uang suap bribery si nelayan dan perahunya bebas. Pada waktu tertentu para nelayan
harus menyetor uang ke pihak keamanan corrupt police Zaelany, 2003
Kondisi hazard semacam itu, ditambah dengan jumlah pengawas terbatas dibandingkan jumlah nelayan pelakunya menyebabkan suburnya praktek
destruktif kenelayanan. Belum lagi kondisi prasarana yang buruk, misalnya hanya ada 1 atau 2 kapal kecil untuk mengawasi kawasan laut yang luas dengan
berpuluh-puluh jumlah pulaunya. Ketika satuan polisi mengejar nelayan dan berhasil mendekati, kesulitan lain muncul berupa ancaman dari nelayan untuk
meledakkan kapal polisi jika berani mendekat. Yang memprihatinkan lagi sumberdaya manusia dari instusi pengawasan sangatlah menyedihkan Hidayati,
2000. Jagawana Laut yang pernah saya temui di kawasan Taman Laut Nasional