Etika lingkungan Dr.Ir. Arif Satria, M.Sc.

Negara tersebut dan bahwa operasi penangkapan itu dilaksanakan dengan cara yang bertanggungjawab 8.4.2. Negara-negara harus melarang praktek penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun serta penangkapan ikan yang merusak lainnya. Article 10 : Integration of Fisheries into Coastal Area Management 10.1.1. Negara-negara harus menjamin suatu kerangka kebijakan, hukum dan kelembagaan yang tepat, diadopsi untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya yang lestari dan terpadu dengan memperhatikan kerentanan ekosistem pesisir dan sifat terbatasnya sumberdaya alamnya serta keperluan komunitas pesisir 10.1.3. Negara-negara harus mengembangkan kerangka kelembagaan dan hukum seperlunya dalam rangka menetapkan pemanfaatan yang mungkin menyangkut sumberdaya pesisir dan mengatur akses ke sumberdaya tersebut dengan memperhatikan hak nelayan pesisir dan praktek turun temurun yang serasi dengan pembangunan yang berkelanjutan.

2.4 Etika lingkungan

Di kalangan ilmuwan sosial ada 2 kelompok pendapat, yang pertama adalah kelompok yang percaya bahwa masyarakat cenderung akan menjaga lingkungan, setidaknya dalam melakukan eksploitasi sumberdaya akan memperhitungkan kondisi equilibrium, yakni tidak akan merusak lingkungan melebihi kebutuhan yang diperlukan saja, dan dengan kecenderungan akan memelihara lingkungan. Asumsinya, orang tidak akan merusak lingkungan, karena kalau lingkungan rusak, orang akan menghadapi masalah yang besar. Sebaliknya, kelompok kedua berpendapat bahwa masyarakat bisa saja merusak lingkungan habis-habisan Bonny, 1978. Ostrom 1990 sebagai salah satu ilmuwan yang mengikuti pendapat kedua ini menyebutkan bahwa adanya kekurangan informasi akan sumberdaya yang ada, kondisi sumberdaya, dan siapa saja yang mengeksploitasi sumberdaya tersebut, menyebabkan nelayan cenderung habis-habisan mengeksploitasi laut. Pet-Soede dan Erdmann 1998 dari hasil risetnya di provinsi Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa nelayan di daerah itu umumnya beranggapan bahwa ikan tidak pernah habis, akan selalu ada ikan di laut sampai hari Kiamat datang. Tentang hasil penangkapan ikan banyak sedikitnya tergantung nasib takdir. Cara berpikir semacam ini telah menyebabkan nelayan mengeksploitasi sumberdaya laut habis-habisan. Seringkali kepadatan penduduk atau jumlah penduduk yang meningkat pesat dijadikan alasan sebagai pemicu utama masyarakat melakukan eksploitasi habis-habisan. Sesungguhnya alasan itu masih sangat konvensional sekali. Ada setidaknya beberapa hal lain yang perlu dicermati. Tingkat pertama adalah ideological perspective dari pemerintah yang dominan dalam menentukan pola eksploitasi lingkungan. Perspektif yang dalam berbagai kasus mengatasi kearifan lokal serta mengabaikan need dan concern masyarakat lokal. Berbagai perencanaan pembangunan menjadi format dominan dalam eksploitasi lingkungan yang sayangnya tidak mengikutsertakan masyarakat, sehingga aspirasi lokal tidak tertampung. Kebijakan pemerintah yang cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang cenderung berorientasi bagaimana ”menaklukkan alam” untuk kepentingan manusia. Policy semacam inilah seringkali menjadi sebab kerusakan ekologi di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Tambahan lagi, kebijakan yang bersifat sektoral pada lembaga-lembaga pemerintah menjadi sebab tidak terintegrasinya pembangunan. Masing-masing lembaga mempunyai dan menjalankan kebijakannya sendiri-sendiri. Pola pembangunan yang bersifat sektoral ini cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan. Tingkat kedua yang perlu dicermati golongan-golongan masyarakat yang terlibat dalam usaha mereka masing-masing untuk menguasai sumber-sumber perekonomian negara. Kecenderungan berburu rente rent-seeker sebagaimana yang disinyalir banyak ahli tumbuh subur di Indonesia, sehingga korupsi merajalela. Korupsi mendorong orang untuk melakukan eksploitasi sumberdaya alam habis-habisan. Tingkat ke tiga adalah penggunaan teknologi yang merusak. Penerapan teknologi memang sangat mendukung upaya peningkatan produksi di bidang perikanan. Akan tetapi ada kemungkinan besar bahwa kenaikan produksi ini tidak akan lestari karena masukan-masukan teknologi ini dapat mengganggu ekosistem di lingkungan produksi, yang kemudian dapat menurunkan produksi Soetrisno, 1982.

2.5 Relasi patron-klien dan eksploitasi sosial