Selanjutnya peserta workshop ini dilatih tentang pernik-pernik koperasi seperti jenis-jenis usaha di daerah pesisir, peluang permodalan dan juga
manajemen kewirausahaan. Pelatihan-pelatihan ini sangat teknis sifatnya dan disampaikan oleh Pak Asrul dan Pak Nasruddin selama dua hari.
Pada hari kedua peserta diminta untuk bersama-sama merumuskan beberapa hal penting yang juga berkaitan dengan tema disertasi kami. Hasil perumusan
yang dilakukan oleh nelayan sendiri dengan dipandu oleh trainer sebagaimana yang tertera pada tabel di bawah ini. Perumusan ini tentang tiga hal. Pertama,
bagaimana penduduk merumuskan potensi kewirausahaan yang ada di masyarakat pulau ini, yang dibagi antara dua lapisan masyarakat, yakni kelompok yang sudah
terbiasa wirausaha ponggawa, pawarung, pedagang, penjual souvenir dan kelompok yang hanya mempunyai pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan
para Sawi, pegawai dll.. Kedua, bagaimana penduduk melihat potensi usaha apa yang bisa dikembangkan oleh koperasi, yang dibagi atas 2 kelompok usaha, yakni
kelompok usaha barang-barang produksi dan kelompok usaha jasa. Ketiga, penduduk diminta merumuskan masalah kenelayanan yang paling penting, dan
mereka melihat rantai pemasaran hasil laut yang membuat nelayan pada posisi dieksploitasi. Koperasi diharapkan bisa menyeimbangkan posisi antar stakeholder
yang terlibat dalam matarantai pemasaran.
6.4 Pembahasan
Eksploitasi juga terjadi pada hubungan patron client lihat Li Causi, 1981 ; Noel, 1990; Putra, 1996 dan Scott, 1992 sebagaimana yang terjadi di masyarakat
Pulau Barrang Lompo. Hubungan kerja yang berdasarkan hutang debt working relationship terjadi antara nelayan dengan Punggawa Pulau. Mata rantai
berikutnya adalah Punggawa Pulau dengan Punggawa Darat, dan terakhir antara Punggawa Darat dengan Punggawa Lelang. Punggawa Pulaupemilik modal
uang yang membiayai operasi penangkapan ikan res. Ia bertindak sebagai pembeli monopsoni hasil tangkapan nelayan dengan harga sepihak. Rantai
berikutnya pembeli monopsoni oleh Punggawa Darat dan selanjutnya adalah Punggawa lelang TPI Pembeli monopsoni dengan harga rendah ini terjadi
diduga karena aliran modal dari Ponggawa dan juga aliran material bom dari Ponggawa di atasnya.
Beberapa nelayan mengemukakan bentuk interaksi eksploitasi sosial dalam
kalimatnya sebagai berikut : - ”Nelayan disini sangat terikat dengan pengusaha.
Kita tahu harga di Ujung Pandang 35 ribu, sementara pengusaha bikin harga seenaknya misal hanya 24 ribu. Kita tidak bisa protes karena perbekalan kita dari
mereka”Ar, bukan nama sebenarnya, Punggawa pa’es. Ungkapan yang lain : ”Harga ikan di pulau bisa 2 kali lipat dibandingkan harga di kota karena
nelayan menjual ikan di kota dan para Pa ba’lu juku membeli ikan-ikan tersebut dan menjualnya di pulau. Jenis ikan-ikan tembang yang per basket keranjang
kecil di kota Rp 5000, di pulau bisa Rp 10 ribu” Hari, bukan nama sebenarnya, penduduk PBL
Adapun oknum penegak hukum pemilik modal hukum mempunyai hubungan kerja semu dengan nelayan pseudo working relationship yang
memungkinkan nelayan membeli material bom ikan melalui perdagangan ilegal material bom ikan dan memungkinkan nelayan melakukan operasi penangkapan
ikan dengan cara DF. Ia melakukan pemungutan ‘uang polisi’ terhadap nelayan
yang melakukan DF. -”Kasihan para pelanggar, mereka korban saja. Sudah tiap
kali beri uang untuk polisi, tertangkap dan para polisi itu tidak melindungi tapi menyuruh nelayan untuk membayar uang sogokan lagi yang nantinya dibagi-bagi
antara mereka.” Kasubdin Penangkapan ikan DKP Makassar. -”detonator itu darimana kalau bukan dari polisi. Itu susahnya” idem. Nelayan juga
mengemukakan bagaimana menderitanya mereka harus selalu membayar ‘uang polisi’, sebagai berikut : “Sakit hati saya, hasil belum dibagi sudah harus nyetor
dulu ke polisi. 1 juta sedikitnya harus keluar, belum ongkosnya. Kita yang keluar keringat dapat sedikit” Bakh, bukan nama sebenarnya, tentang kepahitannya
kerja pa’es. Sementara itu nelayan Pa’es lain mengemukakan besar rata-rata ‘uang polisi yang harus dibayar nelayan sebagai berikut : Kalau sekarang nelayan
nyetor ke polisi sekitar 2 juta, kalau lagi dapat sedikit ikan yah sekitar 1 juta-an. Dulu tahun 1999 hanya sekitar 250 ribu-an . setelah ada pos polisi perairan yang
berkantor di dermaga sejak 3 bulan yang lalu maka nelayan nyetor ke kantor itu, tidak berkeliaran ke rumah-rumahRud, bukan nama sebenarnya, nelayan Pa’es.
Terlihat bahwa ada perbedaan-perbedaan kepentingan yang mewarnai langgengnya kerja nelayan Pa’es. Pemanfaat perikanan berkepentingan untuk bisa
leluasa menggunakan bom ikan agar memperoleh hasil tangkap yang banyak, sedangkan penegak hukum maupun pengelola perikanan berharap bisa
memperoleh keuntungan dari adanya sistem kenelayanan tersebut. Kepentingan- kepentingan yang dipunyai para pihak terhadap nelayan memberikan
kecenderungan sebagai bentuk eksploitasi sosial.
7 PERTEMUAN PAOTERE : PERBEDAAN PENDAPAT TIGA
STAKEHOLDER TERHADAP PEKERJAAN NELAYAN BOM IKAN
7.1 Pengantar