Lingkungan sosial dan perubahannya .1 Asal usul penduduk
pulau ini. Contohnya, di dermaga, tahun 1970-an masih sekitar 6 meter, sekarang hanya 2 meter. Dulu tepian timur pulau ini langsung dalam, sekitar 3 meter, kini
tidak sampai 1 meter. Tanah pulau ini pada lapisan atas berpasir, tetapi ada lapisan tanah suburnya di
lapisan bawahnya, sehingga tanaman tumbuh subur di atasnya. Dahulu banyak terdapat pohon-pohon besar. Penduduk mempercayai bahwa banyaknya pohon-
pohon besar itu menyebabkan air tanah di pulau ini tawar dan tidak asin rasanya. Kini pohon-pohon besar seperti Kalumpang dan pohon Sukun sudah sangat
berkurang, ditebangi untuk keperluan membuat rumah dan lahan kuburan. Orang sudah mulai mengeluh bahwa air tanah sudah mulai terasa asin, terutama di
musim kemarau. Orang-orang tua mengatakan bahwa pulau ini belum pernah mengalami
serangan banjir bandang dari arah laut, walaupun laut pasang. Sekarang sesekali air naik ke kampung dan merendam daerah-daerah rendah di pulau sebentar saja.
Perubahan fisik di laut juga terjadi dan berpengaruh besar terhadap hasil
tangkapan nelayan sebagaimana yang terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Episode dinamika perikanan menurut hasil tangkapan dan lama operasi
penangkapan ikan sejak tahun 1985 hingga sekarang di Pulau Barrang Lompo, Makassar, Sulawesi Selatan
Tahun Hasil tangkapan
Lama penangkapan ikan per trip
1985 Melimpah
Hanya beberapa jam 1990 – 1995
Masih banyak Berangkat pagi pulang sore
1995 – 2000 Sudah mulai berkurang
Seminggu di laut 2001 – sekarang
Sangat kurang Berlayar sampai ke Jawa,
NTT, Irian, Kalimantan Sumber : Pertemuan Paotere lihat Bab 7
4.3.2 Lingkungan sosial dan perubahannya 4.3.2.1 Asal usul penduduk
Sekarang ini di Pulau Barrang Lompo terdapat berbagai macam etnis, akan tetapi ada 5 suku bangsa yang mayoritas, yakni Bugis-Makassar, Bajau, Mandar,
keturunan Melayu dan keturunan Tionghoa. Selain itu, kini beragam sekali etnis
yang ikut berdiam bahkan berumah tangga di pulau ini seperti orang Jawa, orang Flores, orang Timor, orang Maluku, orang Kalimantan, orang Bandung bermukim
dan berumah tangga di pulau tersebut. Siapakah yang pertama kali mendiami pulau ini masih menjadi selisih pendapat di kalangan penduduk maupun
akademisi dari Universitas Hassannuddin di kota Makassar. Berdasarkan uraian di atas, penduduk memperkirakan orang dari suku Mandar
dan suku Makassar yang paling awal mendiami pulau ini. Pendapat yang paling banyak dipercaya orang bahwa suku Mandarlah yang paling pertama, kemudian
suku Makassar yang digambarkan oleh penduduk sebagai “hanya selangkah“ setelah kedatangan suku Mandar. Bukti lain, yang disebut penduduk sebagai
’kampung tua’ pulau ini adalah daerah RW 1 yang penduduknya mayoritas suku Mandar.
Selanjutnya keturunan Malayu lah yang datang, yang diikuti oleh orang-orang Bajau. Orang Tionghoa adalah kelompok suku yang terakhir datang ke pulau ini.
Dulu masing-masing suku membuat pemukiman tersendiri yang mengelompok. Sampai kini masih bisa dilihat, suku Malayu dan Tionghoa mengelompok di RW
2. Suku Bajau di RW 03. Orang Mandar di RW 01 dan RW 02. Bukti-bukti sejarah berupa benda-benda kuno yang berumur ratusan tahun
masih tersimpan sebagian di rumah almarhum Pak Imam, seperti pedang, jam besar, berbagai macam porselein Cina, dan lain-lain. Benda-benda tersebut bisa
kita lihat selengkapnya pada saat ada ritual kelahiran bayi dari keturunan Pak Imam.
Bukti sejarah lain adalah adanya sejumlah makam di pulau ini yang disebut penduduk sebagai karama‘ dalam Bahasa Indonesia : keramat, yaitu makam
Syech Alwi Assegaff di samping kanan masjid Nurul Yaqien, makam Amir Ince Ali Abdullah yang digelari penduduk sebagai Datuk Pabean, makam Karaeng
Buakana yang konon berasal dari Bone terletak di sebelah Sekolah Dasar, makam Daeng Tulolo yang berada di sebelah utara pulau seorang pejuang
melawan kolonial Belanda dan sebuah makam dalam bentuk mirip piramid di wilayah RW 03. Selain itu, terdapat banyak makam dengan nisan dalam bentuk
yang aneh dan huruf yang tidak dikenal. Bersamaan dengan dilakukannya penelitian ini, ada tim dari Balai Arkeologi Makassar yang melakukan riset ke
kuburan-kuburan tersebut. Semua peninggalan tersebut merupakan bukti sejarah pulau ini di masa lalu.
Orang Bajau
Orang Bajo yang bermukim di RW 03 tidak jelas diketahui kapan datangnya ke Pulau Barrang Lompo dan dari mana Hafidz, 1989. Penduduk yang ditanyai
juga mengatakan ada dua daerah asalnya, yakni dari kebanyakan orang Bajau yang bertempat tinggal di pulau ini berasal dari Selat Malaka. Perihal tentang
terdamparnya mereka di Pulau Barrang Lompo berangkat dari cerita tentang hilangnya puteri raja Malaka. Konon sang puteri bermain di tepi pantai dengan
menggunakan sampan kecil. Tiba-tiba datanglah ombak dan angin kencang, sampannya terseret menjauhi pantai dan tidak diketahui lagi di mana adanya. Sang
raja sedih sekali. Orang Bajau yang merasa berhutang budi kepada raja karena pemberian ijin untuk bermukim di pesisir Selat Malaka melalui Lolobajo
pemimpin mereka, berjanji ke raja untuk mencari putrinya, dan tidak akan pulang kembali tanpa sang putri tersebut. Konon itulah sebabnya sekarang
ditemukan orang Bajau di berbagai daerah di Indonesia. Di Selat Makassar ini orang Bajau dijumpai di berbagai pulau seperti Langkai, Lumu-lumu, Bonetambu
dan juga Pulau Barrang Lompo sebagai daerah riset kami. Umumnya komunitas ini bermukim di dekat-dekat pantai.
Menurut keterangan informan, awalnya dalam usaha mencari Sang Puteri mereka mendarat ke Pulau Barrang Lompo dan juga mencari ikan di perairan
pulau tersebut untuk kebutuhan hidup mereka. Di laut mereka berinteraksi dengan nelayan-nelayan lain dan terjadilah barter barang. Orang Bajau menjual
ikan hasil tangkapan dan ditukar dengan beras dan tembakau. Dikabarkan bahwa terdapat hubungan baik antara komunitas Bajau ini dengan papalele dari Pulau
Barrang Lompo. Dengan pertimbangan bahwa banyak perompak yang melakukan aktivitasnya di perairan kepulauan Spermonde, mereka memutuskan untuk
bermukim di Pulau Barrang Lompo. Pekerjaan mencari hasil laut tidaklah ditinggalkan, mereka tetap mencari teripang, lola, ikan hiu dan lain-lain. Sampai
kini mereka masih sering mengunjungi sanak keluarganya yang tinggal di daerah- daerah lain di provinsi Sulawesi Selatan.
Beberapa informan lain menuturkan bahwa orang Bajau berasal dari Mindanao. Konon adanya perang antara masyarakat Mindanao dengan Portugis
telah membuat komunitas Bajau yang tinggal di wilayah Mindanao menjadi tidak nyaman. Selain itu, banyaknya perompak yang melakukan aktivitasnya di wilayah
Mindanao serta melakukan perampasan secara brutal terhadap harta milik mereka, menyebabkan orang Bajau memutuskan untuk meninggalkan wilayah tersebut dan
mencari tempat yang lebih aman. Perjalanan mereka sampailah ke selat Makassar, dan menemukan Pulau Barrang Lompo sebagai pulau yang nyaman untuk
bermukim.
Orang Mandar
Menurut Hafidz 1989 pelopor kedatangan orang Mandar ke Pulau Barrang Lompo adalah Daeng Mapasang. Konon kelompok pertama yang datang
ke pulau ini adalah para pengawal Raja Mandar. Saat itu orang Mandar telah melayari Selat Malaka.
Alasan komunitas ini meninggalkan daerah Mandar, karena di sana dalam kondisi kacau chaotic, orang saling berbunuhan. Hal itu menyebabkan banyak
penduduknya pergi ke luar mencari daerah baru yang dirasa lebih aman. Perjalanan tanpa tujuan yang jelas itu telah membawa salah satu kelompok dari
mereka menemukan Pulau Barrang Lompo. Di pulau ini mereka tinggal mengelompok di wilayah yang kini dikenal
sebagai RW 01, yang disebut penduduk sebagai “daerah tua”. Kerja utama mereka adalah usaha kenelayanan dan perdagangan antar pulau. Di masa lalu dikabarkan
mereka berdagang ke Malaka, Johor, Kepulauan Riau dan juga pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur serta Maluku. Sekarang ini umumnya mereka berlayar ke
Maluku melalui pulau-pulau kecil di provinsi NTT. Beberapa dari mereka kadangkala transit di Timor. Menurut keterangan informan, mereka sudah biasa
melakukan perdagangan ke Timor Timur bahkan pada periode penjajahan Portugis di wilayah tersebut.
Mereka pergi ke Maluku menjual barang dagangan seperti beras, semen, meja-kursi, gula, pakaian, obat-obatan dan lain-lain. Di sana hasil penjualan
digunakan untuk membeli hasil laut seperti teripang, lola, sirip hiu dan batu laga.
Harga hasil-hasil laut tersebut murah. Kabarnya beberapa dari mereka pernah juga berlayar sampai ke Australia. Mereka disebut sebagai Pa’dagang.
Sekarang komunitas ini telah bercampur baur dengan suku-suku lain melalui pernikahan, yang dalam prakteknya berarti pula telah bercampur kebudayaan
mereka dengan kebudayaan-kebudayaan suku lain. Unsur-unsur kebudayaan Mandar sendiri tetap mereka pelihara sebagai kebudayaan asli mereka, yang
seringkali terlihat dalam ritual-ritual pernikahan dan kelahiran.
Suku Melayu
Kapan tepatnya orang Melayu datang pertama kali ke Pulau Barrang Lompo tidaklah ada data atau keterangan lisan yang bisa digunakan sebagai
patokan. Kini sebagian besar dari mereka tinggal di RW 02 bercampur dengan suku Tionghoa. Umumnya orang Melayu berasal dari kota Makassar pindah ke
pulau ini. Penduduk mempercayai bahwa pelopor datangnya orang Melayu ke pulau ini adalah Datuk Pabean yang nama aslinya Amir Ince Abdullah. Dulunya
dia bekerja sebagai pegawai pelabuhan di Makassar.
Ketika penelitian ini dilakukan, beberapa orang Melayu masih menyimpan ’silsilah keluarga’ family tree, seperti keluarga Ince Harris imam sholat di
masjid Nurul Muttaqin. Menurut Hafidz 1989, Orang Melayu yang tinggal di kota Makassar mempunyai hubungan keluarga dengan Raja Melayu di Malaka.
Konon Sayed Syarief Alie Bani Hasan pergi ke Aceh dan menikah dengan seorang puteri dari Aceh. Dari pernikahan tersebut membuahkan seorang anak
yang dinamai Iskandar Muda. Sayed Syarief Alie Bani Hasan pindah ke Johor dan di Johor dia kawin lagi dengan seorang putri bangsawan. Dia memperoleh anak
dari hasil pernikahan tersebut dan dinamai Haedar. Selanjutnya dari Haedar dia memperoleh beberapa orang cucu, yakni Sultan Mahmud, Sultan Sulaeman, Tan
Syarah, Tan Dewi, Wan Abdullah, Wan Hamada, Wan Umar, Wan Ahmad dan Wan Bahrun. Konon keturunan Wan Umar dan Wan Abdullah bermigrasi ke
Makassar, Sumbawa dan daerah-daerah lain di Indonesia bagian timur.
Suku Tionghoa Islam
Ketika penelitian ini dilakukan hanya terdapat sedikit orang Tionghoa yang bermukim di sana. Selain perpindahan ke daerah lain, pernikahan juga
menyebabkan orang Tionghoa sebagaimana suku Melayu, keturunannya berubah sukunya menjadi suku lain, misal suku Makassar. Sekarang ini Ince bagi orang
Melayu dan Ance bagi orang Tionghoa sudah sangat sedikit jumlahnya. Dahulu pola pernikahannya cenderung endogami karena pada suku lain
seperti Melayu tabu menikah dengan orang Tionghoa. Sekarang sudah berubah, pernikahan eksogami menjadi hal yang umum. Sebagian orang Tionghoa lebih
suka menggunakan nama Indonesia, tetapi ada juga sebagian kecil orang suku ini yang masih menggunakan nama asli Tionghoa mereka, misalnya, Nio, Bunghay
dan lain-lain. Seandainyapun sudah memakai nama Indonesia, namun di dalam pergaulan keluarga nama Tionghoa masih sering terdengar disebutkan.
Menurut Hafidz 1989, pada tahun 1632 tibalah di Sanrobone, Kabupaten Takalar, pedagang Tionghoa yang beragama Islam yakni Hong Gang Hang dan
Lo Tyia yang kelak dikenal sebagai Datuk Polotia. Mereka sampai di Indonesia melalui Cirebon. Pribadinya sangat baik dan altruistik sehingga disenangi banyak
orang. Dia menikah dengan putri dari keluarga Karaeng Agang Jene di Sanrobone. Dari pernikahan tersebut beliau memperoleh dua orang anak laki-laki,
yakni Ayahanda Ince Cukka Abdul Rasul dan Ince ‘Adul. Gelombang kedua kedatangan muslim Tionghoa adalah Ong Ken Tjun
dengan istrinya Ong Nio. Mereka mempunyai dua orang anak, yakni Ince Abdul Gafar Datuk Ri Gadong dan Ince Madjidah. Ince Abdul Gafar Datuk Ri Gadong
setelah dewasa menikah dengan Rami binti Ince Lanti, dan dari pernikahannya memperoleh keturunan seorang puteri bernama Ince Nanna. Putrinya ini
kemudian setelah cukup umur menjadi isteri dari Amir Ince Muhammad Shaleh bin Amir Ince Alie Abdolah Datuk Pabean
2
. Anaknya yang lain, Ince Madjidah, menikah dengan Ince Too Yang, sayangnya kaum keturunannya tidak diketahui
lagi.. Gelombang kedatangan kedua itu yang banyak diceritakan oleh beberapa
orang keturunan suku Melayu yang tinggal di RW 2 dan informasi yang kami
2
Makam Datuk Pabean ada di pulau ini.
peroleh dari teman-teman akademisi Universitas Hasanuddin. Adapun informasi tentang gelombang pertama kedatangan orang Tiong Hoa diperoleh selain dari
literatur juga dari ayahanda Ince Malik yang tinggal di RW 02.