tersebut limbung. Menurut nelayan, ikan-ikan menjadi limbung, pingsan bahkan mati karena getaran dari ledakan bom tadi.
Kemudian, Patunu akan melakukan lemparan kedua dengan ukuran besar bom tergantung jarak ikan-ikan limbung tadi dari permukaan air. Bila jarak ikan yang
sudah limbung tadi sekitar 5 meter dari permukaan air, dipergunakan bom ikan 0,5 liter dan bila hanya sekitar 2 meter dari permukaan dipergunakan bom ikan 2
liter. Bila masih ada juga ikan-ikan limbung tersisa di bawah permukaan air, maka digunakan bom ikan 5 liter pada lemparan ketiga, yakni dengan cara menaruh
bom tersebut pada permukaan air laut di pinggir perahu, dibakar sumbunya, lalu ditenggelamkan begitu saja.
Ikan-ikan yang dibom berserakan di dasar laut. Awak kapal akan menyelam dengan membawa bunre sebagai alat untuk mengumpulkan ikan. Bunre adalah
sebuah jaring kecil yang dililitkan di pinggang si nelayan seperti ikat pinggang. Penyelaman mungkin dilakukan beberapa kali tergantung berapa banyak ikan.
Orang ketiga adalah Sawi biasa yang bertugas mengayuh perahu dengan menggunakan dayung. Dia menggerakkan perahu ke kumpulan ikan dan
menempatkan perahu pada posisi di belakang kumpulan ikan. Pada prinsipnya, dia hanya mengikuti instruksi dari Patula. Bila si Patula menyuruhnya membawa
perahu ke kanan atau ke kiri dia akan mengerjakannya sesuai dengan instruksi tersebut. Sesungguhnya tiap Sawi bisa mengerjakan tugas ini, tetapi umumnya
Patula akan memilih teman dekatnya atau kerabat dekatnya. Dia menerima bagian yang sama sebagaimana Sawi yang lain. Berbeda dengan Patula yang menerima
dua kali lipat dibandingkan Sawi biasa atau Patunu yang menerima juga ’uang ekstra’ dari Punggawa. Selain itu, posisi orang ketiga ini tidaklah tetap, yang
berarti pada pelayaran berikutnya mungkin orang lain yang bertugas sebagai orang ketiga. Sebaliknya, posisi Patula dan Patunu lebih permanen, diganti orang
lain hanya bila mereka berhalangan ikut pelayaran, misal karena sakit atau ada kerabat dekatnya meninggal dunia.
5.3.1.6 Ikan target dan penjualannya
Jumlah bom ikan yang dibawa dalam suatu kapal berbeda antara satu kapal dengan kapal yang lainnya. Contohnya, kelompok nelayan yang dipimpin
Punggawa Gaf, bukan nama sebenarnya, tiap pelayaran akan membawa sekitar 7 karung pupuk amonium nitrate, sumbu 5 meter, lopis detonator 100, bensin 10
liter dan solar 10 liter. Kelompok nelayan dari Punggawa Dah bukan nama sebenarnya untuk tiap trip membawa 3 – 4 karung pupuk dan lopis sekitar 40
buah, sumbu 3 meter. Berapa banyak bom akan dibuat tergantung dari berapa banyak lopis detonator mereka bawa.
Foto 6. Ikan hasil tangkapan dengan menggunakan bom ikan
Alasan utama jenis ikan yang dipilih menjadi target buruannya adalah apakah harga ikan tersebut mahal atau murah, dan apakah ikan itu bisa ditangkap dengan
bom atau tidak lihat gambar di bawah. Bila ditemukan beberapa kelompok ikan, mereka akan memilih kelompok ’ikan timbangan’ untuk diburu karena harganya
cukup tinggi. Istilah ikan timbangan mengacu pada harga ikan yang dihitung dari beratnya per kg, misalnya ikan Bambangan, ikan Rappo-rappo dan ikan
Dongkarak. Kategori yang lain adalah ‘ikan borongan‘ yang sangat beragam jenisnya. Umumnya harga ikan jenis ini sangat murah, tidak berdasarkan berat
tetapi per keranjang ikan, dan dibeli dengan tawar menawar.
Gambar 13 Kategori jenis ikan di laut menurut nelayan Pulau Barrang Lompo
Pola penjualan ikan umumnya melalui prosedur sebagai berikut : ikan hasil tangkapan nelayan ’dibeli’ oleh Punggawa dan kemudian dia akan menjualnya ke
rantai penjualan berikutnya yang mana harga penjualannya jauh lebih tinggi dibandingkan harga yang diberikannya kepada nelayan. Tidak mengherankan bila
para nelayan menyebutkan bahwa Punggawa Pulau ‘jepit sana sini‘ terlalu banyak mengambil keuntungan.
5.3.1.7 Ritual Kenelayanan
Tujuan dari berbagai ritual kenelayanan dan menghindari berbagai tabu yang dikerjakan oleh nelayan serta keluarganya adalah agar berhasil dalam operasi
pencarian ikan dan selamat dari bencana. Mereka mempercayai bahwa di laut terdapat begitu banyak hal yang membahayakan. Mereka juga percaya bahwa di
laut terdapat lebih banyak mahluk halus dibandingkan di daratan. Nelayan beranggapan bahwa laut sesuatu yang tidak bisa diperkirakan : penuh risiko dan
ketidakpastian. Ritual-ritual kenelayanan membuat mereka mantap dalam bekerja. Mereka
harus mengerjakannya sebelum melaut, ketika di laut, dan juga dalam beberapa kasus setelah pulang dari laut. Ada dua hal penting : parappo dan songkakbala.
Ritual untuk membuat kapal dan agar berhasil dalam usaha kenelayanan adalah parappo. Orang bertugas membuatnya dukun laut disebut sanro. Ada tiga
orang Sanro di pulau ini, yaitu : Pak Puddu, Bu Siti dan Bu Jumariyah. Mereka dipercaya sebagai medium untuk berkomunikasi dengan mahluk halus. Ada juga
Ikan di laut mahal
murah Bisa
dibom Tidak bisa
dibom
Ikan merah, ekor kuning
Teri Sunu,
Hiu Tongkol, Tuna,
yang membantu mereka seperti Bu Minah yang menolong membuat Parappo, akan tetapi tidak melakukan doa atau komunikasi dengan mahluk halus.
Sesajian Parappo terdiri dari unti bainang sesisir pisang, sebutir telur, satu buah lilin merah, 5 keping uang logam biasanya Rp 100,- an. Umumnya seorang
Sanro menyiapkan dua jenis Parrapo untuk keperluan sebuah kapal, yang untuk di daratan dan yang untuk dibawa ke laut dalam mencari ikan. Sesudah parappo
selesai dipersiapkan dan didoa-doakan, Sanro akan membawa sebuah Parappo ke pantai untuk dicuci atau sekedar dibasah-basahkan dengan air laut. Dengan
melakukan itu berarti Parappo sudah diberikan ke mahluk halus. Jika Punggawa suatu kapal mempunyai saudara kembar laki-laki atau perempuan berupa buaya
apanaek apanauang , sanro akan mencuci dua buah parappo di pantai. Satu buah parappo dibawa ke rumah Punggawa dan akan diletakkan di ‘bumbungan
bala‘ atap rumah.
Foto 7 Dua Dukun laut Sanro sedang memantrai Parappo
Sanro juga membuat sejumlah parappo untuk dibawa mencari ikan, sekitar lima buah. Parappo dimaksudkan sebagai sesajian untuk dikonsumsi oleh mahluk
halus. Biasanya nelayan Pa’es mencari ikan di taka coral reef area. Sebelum memulai kegiatan menangkap ikan di wilayah itu sang nelayan menaruh sebuah
Parappo dengan membaca doa tertentu yang isinya kurang lebih mohon permisi agar mahluk halus yang menjaga tempat tersebut tidak marah dan memberikan
kemurahan berupa ikan-ikan di situ kepada nelayan. Jika kehabisan Parappo di laut, biasa digunakan sebatang rokok yang diletakkan pada batu karang. Mereka
percaya tanpa memberikan Parappo sebelum kegiatan menangkap ikan di fishing ground, akan mungkin terjadi bencana dan tidak memperoleh ikan sama sekali.
Bahan untuk membuat Songkakbala, sesajian untuk menolak bala, agak berbeda antara Sawi and Punggawa. Gula merah javanese sugar, buah kelapa,
beras, lilin merah, uang logam 5 keping, daun srikaya 3 lembar adalah material Songkakbala untuk Punggawa. Untuk Sawi disederhanakan hanya berupa gula
merah dan kelapa. Gula merah javanese sugar simbol agar si nelayan memperoleh penghasilan yang baik. Kelapa bermaknakan agar si nelayan
kembali dengan selamat. Beras artinya harapan agar dalam mencari ikan bisa memperoleh banyak ikan sebagaimana butir-butir beras yang tidak terhitung. Lilin
simbol dari harapan agar mudah dalam usaha penangkapan ikan. Uang logam simbol dari harapan atau doa agar si nelayan memperoleh banyak uang dari
kegiatan kenelayanannya itu. Hal yang sama, daun Srikaya merupakan harapan agar sang nelayan cepat menjadi kaya.
Biasanya mereka memulai perjalanan selepas ‘Isya‘
1
. Semua Sawi datang bersama ke kapal. Satu jam kemudian barulah Punggawa menyusul mereka.
Sementara menunggu Punggawa, para Sawi duduk dan berdoa bersama di atas geladak kapal. Mereka menenangkan diri dan meneguhkan mental, karena risiko
dalam pelayaran yang mereka akan hadapi sangat bahaya. Mungkin saja mereka tidak akan kembali lagi ke kampung dalam keadaan hidup. Dikabarkan bahwa
1
Isya adalah nama salah satu waktu sholat bagi seorang muslim dan dikerjakan sekitar pukul 7 malam. Mereka memulai perjalanan mencari ikan pada waktu malam dengan tujuan untuk
menghindari polisi yang akan meminta uang uang suap. Jika bertemu polisi di laut pilihannya hanyalah masuk penjara atau memberi uang suap kepada polisi.
situasi di kapal sangatlah tegang seperti akan menghadapi perang Juragan sebagai pimpinan kapal biasanya menenangkan mereka ketika sudah berada di kapal.
Dia mengerjakan beberapa ritual dengan ditemani isterinya. Pertama, dia mandi, lalu makan, dan kemudian mengerjakan sholat Isya. Sesudah itu, dia
duduk menghadap ke tiang tengah rumahnya tanga. Di kaki tiang itu terletak Songkakbala. Istrinya kemudian duduk menemaninya dalam mengerjakan ritual
2
. Sang punggawa akan mengawali dengan membaca Al Fatihah surah of Al Qur’an
yang pertama. Selanjutnya, istrinya menjumput beras dari Songkakbala dan menggenggamnya sambil berujar begini : “O Karaeng palilianga bala ilalana
linoa sibatu kapala“ Ya Allah, selamatkanlah semua orang yang ada di kapal. Dia meletakkan kembali beras itu ke dalam Songkakbala, kemudian dia
menjumput kembali segenggam beras dan berkata begini : “O Karaeng palilianga bala ilalana langika...“ Ya Allah, selamatkanlah orang ini nama ...... Dia
meletakkan kembali beras itu ke tempatnya, kemudian dia menggenggam beras lagi sambil berkata : “O Karaeng palilianga bala ilalana butaya…“ Ya Allah,
selamatkanlah orang ini dari bencana yang datang dari pasir dan tanah nama ...... Dia meletakkan kembali beras itu ke dalam Songkakbala, kemudian dia
menjumput kembali segenggam beras dan berkata begini : “O Karaeng palilianga bala ilalana angingah…“ Ya Allah, selamatkanlah orang ini dari bencana yang
datang dari anginnama.... Dia meletakkan kembali beras itu ke tempatnya, kemudian dia menggenggam beras lagi sambil berkata : “O Karaeng palilianga
bala ilalana jekneka...“ Ya Allah, selamatkanlah orang ini dari bencana yang datang dari ombak yang besar. Dia meletakkan kembali beras itu ke dalam
Songkakbala, kemudian dia menjumput kembali segenggam beras dan berkata begini :“O Karaeng palilianga bala ilalana pepeka…“ Ya Allah, selamatkanlah
orang ini dari bencana yang datang dari apinama..... Dia meletakkan kembali beras itu ke tempatnya, kemudian dia menggenggam beras lagi sambil berkata :
“O Karaeng palilianga bala ilalana rapataua…“ Ya Allah, selamatkanlah orang ini dari bencana yang datang dari manusianama ....
3
.
2
Punggawa dan sawi akan mengerjakan ritual ini dengan cara yang sama. Jika mereka belum menikah, maka ibunya yang akan melakukan ritual tersebut.
3
Contoh dari bencana buatan manusia adalah jika ada seseorang yang iri hati kepada kita , mungkin saja dia akan melakukan ‘guna-guna’ dengan tujuan kita gagal dalam operasi
penangkapan ikan.
Istri Punggawa mengakhiri ritualnya dengan doa yang diucapkan dengan kombinasi bahasa Arab dan bahasa Makassar : “bismillahi tawakaltu allallah laa
haula walaa quwata illa billah, salamat kok lampah, salamat kok motre kau pergi selamat, pulang selamat, tala sa nu lampahi tala sa tong nu batui kau pergi
hidup, pulangpun hidup. Punggawa atau Sawi berdoa sendiri, kemudian ke luar rumah tanpa melihat-
lihat ke belakang lagi. Sementara istrinya menudingkan telunjuknya ke luar rumah melalui pintu sampai si nelayan tidak kelihatan lagi. Sang isteri melanjutkan
doanya : “innaladzi fardha allaikal qur‘ana lara‘duka illa ma‘al“. Si nelayan ketika ke luar rumah, berhenti sejenak memalingkan kepalanya dan
melihat pada bumbungan bala atap rumah dan berdoa : “O Karaeng lindungilah anne pallangpaku mudah-mudahan barak salamak ja mange motre ribalaku“ Ya
Allah selamatkanlah hambaMU dalam perjalanan ini, dan hambaMu berharap sangat dapat kembali ke rumah. Selanjutnya, dia mengucapkan syahadat tiga
kali Ashadualla illaha illallah wa ashadu anna muhamaddar rosullullah dan shalawat dua kali allahuma sholli alla sayyidinna muhammad wa alla alli
sayyidinna muhammad. Sudah menjadi tradisi di pulau ini, sehari sebelum keberangkatan Juragan
Punggawa ziarah ke makam Sekh Alwi Assegaf, terletak di samping masjid Nurul Yaqin. Dia membawa lilin merah yang dinyalakan di makam, menabur
bunga, dan menyiramkan air dari kendi
4
ke makam. Kadangkala mereka membawa juga Parappo yang ditaruh di makam tersebut.
Sebagai catatan tambahan, sebelum menyelam si nelayan juga melakukan doa singkat. Mereka melafalkan doa dan mantera yang merupakan kombinasi
bahasa Arab dan bahasa Makassar. Biasanya mereka mengucapkan : bismillah dengan menyebut nama Allah dan assalamu‘alaikum salam sebagai tanda
permisi. Kemudian mengucapkan ‘doa keselamatan‘ dari marabahaya yang diajarkan oleh ayah mereka atau yang dikenal sebagai ‘orang tua‘ , yakni orang
mengetahui masalah spiritual. Beberapa orang nelayan yang diwawancarai menceritakan bahwa semua ritual yang dilakukan dengan tambahan membaca
surah-surah Al Qur’an. Contohnya, Ula‘, dia selalu membaca surah An-Nas tiga
4
Sebuah tempat air dari tanah liat.
kali. Tujuan dari ritual ini untuk menyelamatkan si penyelam dari bahaya di dalam laut seperti bertemu syaitan atau ikan hiu.
Seorang nelayan lain, Polo menuturkan cara dia mengatasi hiu, ”Kalau berenang kita bawa jahe yang dikalungkan di tubuh. Hiu tidak suka bau jahe”
seringkali jahenya dimasukkan dalam kain yang dijahit. Dia juga memakai besi putih, berupa gelang, cincin atau yang lain, yang menurut pendapatnya akan
menyebabkan hiu tidak menyerang kita. Ketika ditanyakan apakah ada mantera atau bacaan yang dia lafalkan untuk menghadapi ikan-ikan buas seperti hiu dia
menolak untuk menjelaskan dengan berkata, ”Ada tempatnya untuk menyampaikan bacaan-bacaan,” katanya dia tidak mau menjelaskan doa-doa itu
di sembarang tempat, sebab terlarang. Polo juga menuturkan bila kita melihat hiu kita baca doa tertentu, akan menyebabkan mulut hiu tertutup, begitu kita sudah
sampai di atas segera dibaca doa pembukanya agar ikan hiu tersebut bisa membuka mulutnya lagi.
5.3.1.8 Tabu dalam Aktivitas Pa’es