6.3.1.2 Pengelola perikanan
Adapun yang dimaksud dengan pengelola perikanan di sini adalah aparat pemerintah, mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kotamadya, dan
Dinas Perikanan dan Kelautan Kotamadya Makassar. Aparat tingkat kelurahan tidak semuanya berada di pulau. Pada saat
penelitian ini berlangsung hanya Pak Hasbi sebagai Kaur Pemerintahan saja yang berada di pulau, selebihnya termasuk Pak Lurah ada di kota Makassar.
Wawancara dengan para aparat tersebut mengapa mereka tidak berada di pulau, diperoleh jawaban bahwa tinggal di pulau dengan gaji kecil membosankan.
Menurut mereka lebih baik tinggal di kota Makassar, selain dekat keluarga, tidak ada tambahan biaya hidup lagi sebagaimana kalau tinggal di pulau. Setiap waktu
mereka bisa ke pulau, khususnya kalau ada pejabat datang atau ada perayaan hari besar nasional atau keagamaan. Dalam pandangan mereka tinggal di pulau
membosankan. Contohnya, ketika perayaan 17 Agustus-an saat penelitian ini masih berlangsung, beberapa kali mereka hadir ke pulau untuk mengiringi pejabat.
Sorenya mereka pulang ke kota. Ketika ditanyakan soal praktek penggunaan teknologi tangkap yang
destruktif, para aparat kelurahan juga mengeluhkan tetapi mereka bisa memaklumi karena hanya dengan cara itu penduduk bisa sejahtera. Menurut
mereka cara itu tidak bisa dihentikan karena sudah turun temurun dan tidak ada teknologi tangkap alternatif yang tersedia. Pengawasan juga sulit sebab tiadanya
sarana untuk itu. Selain itu, penduduk juga sudah sangat tergantung kepada Punggawa Pa’es. Kalau dilarang bisa menimbulkan konflik yang berbahaya bagi
keharmonisan masyarakat pulau ini. Ketika ditanyakan pula ke aparat kecamatan, maka yang muncul adalah
keluhan. Pertama, mereka tidak punya sarana untuk melakukan pengawasan. Kedua, kalau dilakukan tindakan tegas misal berupa teguran atau larangan
langsung kepada nelayan-nelayan pelaku, dikuatirkan akan terjadi kericuhan besar dan keselamatan aparat kelurahan maupun kecamatan akan menjadi taruhannya.
Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kotamadya Makassar juga selalu mengeluhkan hal ini, tetapi mereka melihat sisi positifnya, yakni kesejahteraan
penduduk yang terjamin. Selain itu, ketiadaan alternatif teknologi dan krisis
ekonomi yang tiada kunjung henti menyebabkan mereka memaklumi praktek penggunaan bom ikan. Tambahan pula, produksi ikan jadi meningkat.
Kendala yang dihadapi oleh DKP kotamadya Makassar adalah terbatasnya anggaran pengawasan, hanya memilik satu kapal untuk pengawasan dan hanya
ada satu Pegawai Penyidik Kelautan. Ilustrasi mereka, sekali operasi menghabiskan biaya sedikitnya Rp 500.000,-. Itu sebabnya dalam setahun, mereka
hanya bisa melakukan dua kali operasi pengawasan. Menurut salah seorang kepala bidangnya, praktek penggunaan bom ikan
sudah disadari nelayan potensi untuk merusak terumbu karang, karena itu nelayan saat sekarang memilih area mengebom. Bom ikan biasa diledakkan di permukaan
laut saja. Kalau dulu sering menggunakan bom ikan 5 liter untuk sasaran di dasar laut, kini lebih banyak menggunakan bom yang diledakkan di permukaan laut,
yakni 0,25 liter, 0,5 liter dan 1 liter saja. Harga pembuatan sebuah bom ikan juga menjadi pertimbangan, karena akhir-akhir ini harga material bom ikan naik pesat.
Biaya pembuatan 0,25 liter bom ikan ukuran botol Krating Daeng mencapai Rp 50.000,-. Jadi, sebenarnya sudah mulai ada kesadaran tentang pentingnya
kelestarian lingkungan laut di kalangan masyarakat nelayan.
6.3.1.3 Penegak hukum