Pekerjaan Lain .1 Pa’dagang

5.3.3 Pekerjaan Lain 5.3.3.1 Pa’dagang Dulu-dulunya Pa’dagang sering disebut secara lengkapnya nelayan Pa’dagang. Kini, orang cenderung menyebutnya sebagai Pa’dagang saja, karena memang pekerjaannya berdagang dan bukan nelayan. Orang-orang Mandar adalah pelopor dari usaha ini. Mereka melakukan pelayaran ke Maluku semenjak bertahun-tahun yang lalu untuk menjual barang-barang dan selanjutnya dari hasil penjualan itu membeli hasil-hasil laut dari penduduk Maluku, contohnya teripang, rumput laut, sirip hiu, dan lain-lain. Hasil laut tersebut kemudian dijual di Makassar. Ada beberapa pa’dagang di pulau ini, yaitu : Haji Kadir, Haji Sehe, Haji Tohir, Haji Alwi, Haji Kasim, Haji Amrullah, Sampra, Rahman Napa. Sistem di kapal ini sangat berbeda dengan yang di kapal Pa’es. Hanya ada seorang Juragan dan beberapa Sawinya yang pembagian tugasnya tidak jelas. Contohnya adalah Pak Rahman Napa, 37 tahun. Dulu dia adalah Sawi dari kapal Haji Sehe, semenjak 10 tahun yang lalu dia menjadi seorang Juragan. Tujuan dari kelompoknya adalah desa Ustutung, di Pulau Lirang di tenggara provinsi Maluku. Dalam perjalanannya mereka akan berhenti beberapa kali seperti di Bulukumba, kemudian di daerah Selayar dan di timur Flores, yaitu di Kalbahi. Tujuan berhenti ini adalah untuk mendinginkan mesin kapal dan menambah persediaan air minum. Perjalanan ke desa tersebut membutuhkan waktu kurang dari satu minggu. Ketika tiba di Lirang, mereka berdiam di sana selama satu minggu untuk membeli barang-barang dan hasil laut dari penduduk. Selanjutnya, mereka pergi ke Pulau Wetar dengan tujuan yang sama. Biasanya mereka melakukan pelayaran ini 3 kali setahun. Berangkat pertama kali awal April dan tiba di PBL di bulan Juni,; selanjutnya berangkat yang kedua setelah 17 Agustus akhir Agustus dan kembali di pulau bulan Oktober; dan perjalanan berikutnya bulan November dan tiba kembali di PBL bulan Januari. Biasanya hari Natal mereka berada di Maluku. Rata-rata mereka beristirahat di PBL hanya 1 bulan saja. Rangkaian pekerjaan akan dimulai dengan mengambil modal pada suatu toko besar di Paotere di Makassar, misalnya dari CV Pelita. Dia biasa pinjam belasan juta. Untuk pelayaran ke Maluku dia membutuhkan perbekalan berupa solar 4 drum 800 liter, beras 200 kg, garam 1 karung dan acid 5 kg. Barang-barang yang akan dijual di Maluku dibelinya pada toko-toko di Pasar Butung di Makassar. Barang-barang yang dibeli keperluan rumah tangga, seperti piring, gelas, keranjang, panci, sendok garpu; juga pakaian-pakaian jadi seperti baju, celana, rok, sarung, pakaian dalam, sepatu untuk laki-laki dan perempuan, pakaian bayi. Selain itu, dia juga membeli beberapa makanan kering seperti biskuit dan supermie. Itu semua adalah ”barang sampingan“ yang akan dijualnya secara pribadi. Para Sawi kapal juga membawa ”barang sampingan“ khususnya pakaian jadi, yang akan dijual di daerah tujuan. ”Kalau macam pakaian, biar satu karung tidak kentara itu,“ kata Rahman Napa. Para Sawi meminjam uang dari para pelepas uang di pulau ini atau di luar pulau 10 . Mereka meminjam uang dengan bunga sekitar 20. ”ABK cari uang sendiri, kita tidak tahu,“ kata Rahman Napa. Itu menjadi alasan mengapa di akhir perjalanan dia selalu bertanya ke para Sawi,“Apakah sudah masuk modal atau belum ?“ Bila para Sawi menjawab sudah, mereka dapat segera pulang ke kampung halamannya. Barang utama yang dijual ke Maluku sebagai contoh adalah sebagai berikut : beras 2500 kg, gula 250 kg, tepung 125 kg 5 karung, rokok cigarette Surya 50 slop, kopi 20kg, teh 10 pak, semen 20 zak, 2 kursi plastik. Di desa Ustutung mereka akan menjualnya dengan cara tawar menawar. Pola penjualan adalah : „Juragan punya, pembeli turun di kapal ; ABK keliling, naik di kampung.” Artinya : Barang utama dijual di kapal, sedang ABK menjual barang sampingan dengan menjajakan keliling kampung,” kata Rahman Napa. Umumnya barang utama dijual dengan cara kerjasama dengan pedagang lokal. Keuntungan dibagi dengan pedagang lokal tersebut. Pedagang lokallah yang berperan besar dalam menjualkan barang utama ke penduduk setempat. Sementara ABK keliling menjual barangnya barang sampingan contohnya pakaian jadi, perlengkapan rumah tangga dapur, garpu, sendok, piring, dll, kasur, 4 Ada banyak pelepas uang di pulau ini, sudah menjadi kebiasaan untuk saling meminjamkan uang dengan bunga yang cukup tinggi. obat-obatan paracetamol, penicilin, chloroquin, bodrex, dll., tas tangan dan lain- lain. Hasil laut yang dibeli misalnya agar-agar seaweed lebih dari 5 ton dan bermacam jenis teripang sekitar 400 kg. Hasil dari penjualan barang utama akan dikurangi hutang yang diambilnya dari CV Pelita. Misalkan sisa uang Rp 1 juta akan dibaginya dengan para ABK sebagai berikut : 50 nya, yakni Rp 500.000,- untuk keuntungan motor 50 sisa dibagi rata antara juragan dan ABK, yakni Rp 500.000,- dibagi 6 dan hasilnya tiap orang memperoleh Rp 83.330,-. ABK anak buah kapal umumnya saling mempunyai hubungan kekerabatan melalui ikatan pernikahan dan genealogis. ”Jelas cari famili dulu, kalau tidak ada baru cari yang lain,“ kata Rahman Napa. Sawi-sawinya sebagian besar ada hubungan kekerabatan dengannya, entah saudara kandung atau sepupu cikali. Bila ada orang datang kepadanya dan ingin ikut kapalnya, dia akan menilai perilaku dan ketrampilannya. Bila tidak setuju, maka dia akan berkata ,“Sekarang ini sudah terlalu banyak Sawiku, lain kali saya akan mengajakmu ikut.“ Kita harus menggunakan kalimat yang santun untuk menghindari konflik. Di dalam pelayaran bila ada kerusakan mesin atau kapal, biaya akan ditanggung bersama dan dihitung sebagai “modal“. Sebaliknya, bila kapal atau mesinnya rusak di Pulau Barrang Lompo, biaya perbaikan sepenuhnya ditanggung oleh Juragan. Bahkan dalam pengecatan ulang kapal ketika sedang tidak ’res’, berlayar biaya akan ditanggung sepenuhnya oleh Juragan

5.3.3.2 Toko, Warung, Gadde