Hasil kajian 5. 1 Pengaruhnya terhadap para pengelola perikanan

mendatangi satu persatu ahli tersebut. Hal yang membantu saya dalam memahami fenomena destruktive fishing ini adalah beberapa staf DKP kodya Makassar dan pengurus koperasi tersebut ternyata mantan nelayan juga serta pengguna teknologi tangkap destruktif juga. Dari mereka saya memperoleh pemahaman yang lebih detil tentang fenomena nelayan pengguna teknologi perusak.

8.3 Hasil kajian

Ada empat hal dari hasil kajian kami dari studi leteratur maupun laporan- laporan berbagai program yang telah dijalankan untuk mengurangi tekanan dari usaha kenelayanan destruktif yang perlu mendapat perhatian, sebagaimana yang diuraikan di bawah ini. Pertama, program-program Kelautan dan Perikanan dari departemen Kelautan dan Perikanan yang mencurahkan sebagian besar kegiatan, dana dan waktunya untuk dimensi mikro dan tidak banyak yang mengembangkan kegiatanintervensi untuk program – program pada dimensi makro dan dimensi mezzo. Dimensi mikro yang dimaksudkan di sini misalnya : income generating, community education, pemasaran sosial, pembentukan Daerah Perlindungan Laut. Adapun dimensi makro meliputi : policy, peraturan, paket bantuan, insentif pembangunan, market driven. Dimensi mezzo perlu durasi waktu yang lama, seperti : penguatan kelembagaan, pendampingantenaga ahli dalam jangka panjang Adi, 2003 Kedua, adapun pada pelaksanaan program-program pemberdayaan yang ada pada Departemen Kelautan dan Perikanan berdasarkan kajian tekstual yang kami lakukan bukan tidak mungkin akan sering terjadi distorsi input program sebagaimana dicoba diuraikan pada Tabel 12, atau tidak terjadi proses pemberdayaan dalam implementasi program-program yang dikembangkan oleh Dirjen Perikanan Tangkap. Sebab utamanya diperkirakan adalah selain rancangan program yang terlalu mengacu pada pembangunan ekonomi juga pemahaman para pelaksana program yang tidak utuh terhadap makna pemberdayaan. 173 Tabel 12 Distorsi input program Departemen Kelautan dan Perikanan Program Partisipasi lokal Rancangan program Komunitas target Pelaksana Program PEMP 1. Partisipasi merupakan persyaratan formal untuk mendapatkan pinjaman. 1 Program dirancang lebih mengacu pada pembangu- nan ekonomi peningkatan penghasilan dari pada pembangunan sosial misalnya : peningkatan pengetahuan kelautan, perubahan sikap, kerjasama kelompok dll 1 komunitas sasaran lebih dimanfaatkan sebagai pemasaran kredit mikro dari pada pengembangan usaha warga miskin. 1 Pelaksana program di lapangan lebih berorientasi pada terlaksananya program daripada memaksimalkan kemanfaatan program bagi warga miskin, 2. proses pelaksanaan program lebih bercorak financiing dari pada empowering. Budidaya pedesaan 1.komunitas lokal hanya menerima arahan dari penggerak program dan tidak diminta inisiatifnya 1.pemilihan budi daya tidak sesuai dengan need dan concern dari penduduk 2. program bersifat parsial 3. idenya konservasi 1.warga dimanfaatkan hanya sebagai tanda bahwa proyek telah dijalankan 1.Pelaksana program biasanya intensif hanya sampai tahap awal penyebaran bibit, selanjutnya dilepas Usaha perikanan tangkap skala kecil 1.komunitas lokal hanya menerima arahan penggerak program dan tidak diminta inisiatifnya. 1. tidak sesuai dengan need dan concern penduduk serta bersifat parsial 2. tidak ada target yang jelas pada komunitas penerima program 3. kecenderungannya eksploitasi sumberdaya 1.warga dipaksa mengikuti program- program yang telah ditetapkan dan kurang memperhatikan felt need mereka 1.pelaksana program berorientasi pada selesainya program 2.pola pelaksanaan program bersifat satu arah topdown 174 Tabel 12 Distorsi input program Departemen Kelautan dan Perikanan lanjutan Program Partisipasi lokal Rancangan program Komunitas target Pelaksana program KKMB 1. bersifat parsial 2. keberhasilan ditentukan oleh jumlah peserta bukan oleh kemajuan usaha 1.komunitas sasaran lebih dimanfaatkan sebagai pemasaran kredit mikro dari pada pengembangan usaha warga miskin 1. lebih bercorak financiing dari pada empowering. Proyek Pinjaman dan Hibah Luar Negeri 1. partisipasi komunitas lokal muncul sebagai persyaratan agar proyek akan ada di di lokasi 2. partisipasi hanya karena harapan bahwa ada bantuan. 1.lebih komprehensif dibandingkan program-program lain 2. program disusun berdasarkan pemahaman dan kepentingan pihak tertentu 3. kecenderungannya konservasi dan seringkali mengabaikan kesejahteraan penduduk marginalisasi 1. komunitas sasaran dianggap social amoeba yang merusak lingkungan 1. Pelaksana program di lapangan lebih berorientasi pada terlaksananya program daripada memaksimalkan kemanfaatan program bagi warga miskin, 2. Bekerja berdasarkan upah dari proyek project oriented 3. Pemilihan wilayah proyek seringkali bukan berdasarkan krusialnya masalah, tetapi lebih berdasarkan aspirasi personal : individual, pemda atau stakeholder tertentu. Hal itu diperburuk dengan sosialisasi program yang dilakukan pelaksana program, sosialisasi hanya dipahami sebatas penyebaran informasi proyek, dan bukan sebagai proses penyadaran masyarakat terhadap visi dan misi program dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat guna memecahkan masalah yang dihadapinya secara mandiri. Penyebab tidak terjadi proses pemberdayaan itu terlihat dari hasil yang dicapai program, yakni : 1 tidak terjadi transfer kapasitas kepada warga miskin, karena program lebih dimanfaatkan oleh warga yang lebih mampu; 2 proses belajar sosial relatif tidak berlangsung, karena program lebih bernuansa economic; dan 3 lembaga lokal masyarakat seringkali lebih berperan sebagai lembaga penyalur kredit dan lembaga pembantu pelaksana program dari pada sebagai lembaga pemberdayaan. Bertolak dari kesimpulan itu, hal yang paling perlu diperhatikan adalah kualitas pelaksana program, yaitu: 1 para pelaksana program perlu mempunyai pemahaman secara baik terhadap konsep pemberdayaan. Dalam perekrutan tenaga di lapang pelaksana program harus dilakukan secara lebih cermat, dan perlunya pembekalan kepada mereka secara memadai; 2 perlunya pelaksanaan sosialisasi program kepada masyarakat secara benar, dengan penekanan bahwa sosialisasi bukan semata penyebaran informasi, tetapi lebih dari itu, yaitu menuju penyadaran tentang permasalahan yang dihadapi dan tumbuhnya semangat untuk memecahkannya secara mandiri. Oleh sebab itu diperlukan pelaksana program yang mempunyai kualitas memadai, baik segi ketrampilan, pengetahuan maupun kepribadiannya sabar, tekun dan idealisme tinggi; 3 perlunya pendampingan secara berkelanjutan terhadap masyarakat, sehingga masyarakat dapat menjamin sustainability penanganan masalah warga khususnya masalah kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan di masa depan. Ketiga, relevansi hasildampak yang diharapkan dari programkegiatan terhadap isu terkait destructive fishing, khususnya faktor-faktor penyebabnya, yakni kekurangpengetahuan, kemiskinan dan ketamakan, sebagaimana yang tertera pada Gambar 18. Intervensi Isu DF Awareness Kurang pengetahuan Pemberdayaan Ketamakan, ketidakpedulian Koersif Kemiskinan Gambar 18 Isu DF dan intervensi yang diperlukan Intervensi-intervensi yang dilakukan berbagai proyek berkenaan dengan isu-isu DF lebih banyak menekankan pada bentuk awareness. Peningkatan kesadaran akan arti penting sumberdaya laut misalnya terumbu karang dan peningkatan pengetahuan penduduk tentang sumberdaya laut khususnya terumbu karang menjadi perhatian utama dan juga menjadi entry point untuk ke bentuk- bentuk intervensi lain. Latar belakang pemikirannya adalah dengan menyadari dan mengetahui sumberdaya kelautan, problem dan manfaatnya, maka orang diharapkan akan berorientasi pada sustainable fishing. Oleh sebab itu umumnya hasil yang menonjol dari berbagai program pemberdayaan yang sudah ada adalah muncul pemahaman masyarakat akan adanya masalah pada lingkungan laut dan akan arti pentingnya sumberdaya laut seperti terumbu karang. Kegiatan pemberdayaan sendiri lebih sering diartikan dari sisi ekonomi, khususnya income generating. Sayangnya, pada banyak kegiatan masih belum menunjukkan keberhasilan yang nyata. Misalnya, pada program Coremap, beberapa tahun terakhir ini program unggulannya adalah rumput laut dan ekoturisme. Boleh dikatakan pengembangan usaha rumput laut melalui program Coremap ini gagal. Problemnya adalah kelemahan teknis budidaya, kelemahan pemasaran dan seringkali pula ada sabotase dari orang-orang yang tidak setuju dengan program Coremap. Sedangkan usaha ekoturisme sudah terbukti tidak memberikan dampak langsung kepada peningkatan kesejahteraan penduduk. Investor dan pejabat-pejabat yang terkait saja yang memperoleh keuntungan dari dikembangkannya ekoturisme. Kesalahan utama mengapa program-program yang dibuat tidak berhasil adalah karena kurangnya melibatkan masyarakat secara partisipatoris dalam perencanaan program. Penggerak program merancang berbagai kegiatan berdasarkan konsep-konsep yang sudah ditetapkan dari pihak sponsor atau yang sudah dibuat di atas meja, bukan berdasarkan realita di masyarakat. Konsep- konsep yang belum tentu sesuai dengan keinginan concern dan kebutuhan need masyarakat felt need. Upaya melakukan identifikasi masyarakat dan lingkungannya biasanya dilakukan dalam waktu singkat dengan metode yang kurang partisipatoris. Oleh sebab itu seringkali program yang diterapkan tidak diikuti dengan sungguh-sungguh oleh masyarakat non-responsible participation Berger, 1980. Partisipasi masyarakat lebih sering terwujud karena adanya harapan bantuan-bantuan dari pihak proyek. Penggerak proyek pun datang dengan konsep-konsepnya yang sudah disusun, kemudian diterapkan ke masyarakat, sehingga tidak terjadi ‘cognitive participation’ sebagaimana diungkapkan panjang lebar oleh Berger 1980. Adapun intervensi yang sifatnya koersif sangat tergantung pada kemauan aparat penegak hukum. Dari pihak penggerak proyek umumnya mengajukan usulan saja dan membentuk juga pengawas yang dicari dari penduduk lokal, seperti reef watcher pada program Coremap atau Kelompok Pengawas Kelautan pada program yang dikembangkan oleh Mitra Bahari dan Lesam di Pulau Barrang Lompo. Keempat, melakukan penilaian peluang penerapan berdasarkan persyaratan atau asumsi yang dipakai pengusulpengelola projek untuk keberhasilan program pemberdayaan. • Dana dari pihak sponsor umumnya baru keluar kalau ada indikator bahwa masyarakat sudah ada inisiatif mau melakukan konservasi, misalnya dengan mengadakan DPL daerah perlindungan laut. Politik bantuan semacam itu menimbulkan partisipasi semu dari masyarakat dengan memenuhi syarat yang harus dilakukan. Biasanya elite masyarakat dan aparat pemerintah lokal yang mengantisipasi persyaratan dari pihak sponsor, agar dana bantuan bisa segera diterima. Akibatnya tidak terjadi partisipasi yang sungguh-sungguh dari masyarakat. Selain itu, sangat rentan terjadi korupsi pada bantuan yang datang. Peluang untuk korupsi terbesar pada aparat pemerintah lokal dan tokoh masyarakat uang mati. Sedangkan masyarakat lokal tidak mendapat apa-apa. Program pun dipastikan akan berjalan begitu-begitu saja. • Pihak proyek masih menggunakan paradigma partisipasi yang lama yaitu melewati struktur pemerintahan yang baku, gubernur-walikotabupati- camat-lurah baru kemudian tokoh masyarakat. Sekarang ini sudah berubah, struktur kekuasaan yang lama itu tidak lagi dipatuhi oleh masyarakat sepenuhnya. Mereka ingin ikut langsung menentukan nasibnya. Tidak mengherankan bila terjadi resistensi saat atau setelah proyek berjalan. • Pihak proyek umumnya berorientasi antroposentris yang bersandarkan pada indikator-indikator konvensional untuk mengukur keberhasilan proyek, seperti pertumbuhan. Ketika proyek masih berjalan dan penduduk masih menerima terus bantuan mungkin saja ‘pertumbuhan’ dari indikator keberhasilan yang diukur akan menunjukkan angka yang menaik, tetapi setelah proyek berlalu dan dana bantuan tidak mengalir lagi, besar kemungkinan ‘indikator keberhasilan’ akan turun dengan drastis. Ukuran- ukuran keberhasilan seringkali ditentukan adanya hal-hal yang bersifat fisik, seperti DPL daerah perlindungan laut, reef watcher, Kelompok Pengawas Lingkungan Laut, penyebaran kalender-brosur-stiker dan lain- lain. Seharusnya ukuran keberhasilan dihitung juga dengan melihat kasus- kasus partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan laut. • Proyek yang dibangun dengan konsep-konsep yang disusun di atas meja dan bukan berangkat dari kebutuhan nyata felt need masyarakat serta tidak melibatkan masyarakat luas dalam perencanaannya bahkan mungkin dalam pelaksanaannya juga sehingga tidak memperoleh dukungan luas dari masyarakat. Dukungan yang muncul biasanya hanya basa-basi masyarakat dan karena ada dana bantuan yang diterima oleh masyarakat. Format kerja semacam ini berlatar belakang sikap yang mengandaikan masyarakat sebagai social amoeba, yaitu sebagai orang miskin yang bodoh, sebagai perusak lingkungan dan kriminal dan lain-lain, bukan melihatnya sebagai manusia yang subyek dari pembangunan. • Secara teoritis pihak proyek menyebutkan pentingnya kearifan lokal local wisdom, akan tetapi dalam prakteknya seringkali tidak mengindahkannya dengan berbagai alasan, khususnya bila kearifan lokal itu sudah hampir punah atau sudah punah. • Masalah lingkungan di Indonesia kental dengan masalah politik dan kekuasaan, dan pihak proyek seringkali mengabaikan faktor ini dalam perencanaan, sehingga tidak heran banyak program yang terhenti di tengah jalan.

8.4 Pendekatan untuk Perubahan Perilaku