Alur penulisan Dr.Ir. Arif Satria, M.Sc.

Pengetahuan lokal ialah pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki penduduk untuk menginterpretasikan lingkungan sekitarnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam penelitian ini akan dikaji pengetahuan-pengetahuan yang terangkum dalam strategi adaptasi, etika lingkungan laut dan pengetahuan- pengetahuan tentang kehidupan di laut dan ekosistem lautnya. Pola tindakan nelayan dimaksudkan sebagai dorongan-dorongan atau motivasi dari dalam diri si nelayan untuk memenuhi kebutuhan atau tanggapan respon terhadap rangsangan-rangsangan dari luar yang berasal dari lingkungan Budimanta dan Rudito, 2003. Tentu dalam kaitan dengan topik penelitian ini diartikan sebagai serangkaian tindakan nelayan yang dilakukan dalam usahanya untuk memperoleh hasil maksimal dari usaha kenelayanannya, khususnya tindakan terhadap laut. Dalam penelitian kali ini akan dikaji pola tindakan yang berkaitan dengan : 1 pengelolaan dan pola perubahan pesisir serta laut, 2 alasan penggunaaan teknologi destruktif, 3 kepentingan nelayan terhadap ekosistem laut, baik ekonomi, sosial maupun ekologi 4 faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pola tindakan interaksi dengan stakeholder lainnya, 5 faktor internal yang berasal dari masyarakatnyasosial budaya yang mempengaruhi pola tindakan.

1.9 Alur penulisan

Disertasi ini terdiri dari sembilan bab yang disusun sesuai dengan alur pikir penelitian Gambar 1. Bab 1 merupakan pendahuluan yang di dalamnya terdapat latar belakang penelitian ini, rumusan masalah, manfaat dan tujuan, kerangka berpikir. Bab 2 merupakan tinjauan pustaka yang menjadi dasar acuan penulis dalam upaya memahami fenomena perikanan tangkap di Pulau Barrang Lompo. Bab tersebut diakhiri dengan dua asumsi yang mendasari penelitian ini dilakukan. Bab 3 merupakan metodologi umum dari disertasi ini. Disebut metodologi umum disertasi karena sebagai metode untuk keseluruhan penulisan disertasi,dan pada tiap bab akan diuraikan tersendiri metodologi yang digunakan dalam memperoleh data yang diperlukan khusus untuk menyusun tulisan pada bab tersebut. Bab 4 dipaparkan tentang lingkungan dan perubahannya yang tentu secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perilaku nelayan. Uraian detil etnografis tentang nelayan pengguna bom ikan di daerah penelitian terdapat pada Bab 5. Selain uraian tentang sistem kenelayanan, juga diuraikan pekerjaan- pekerjaan lain dan kondisi sosial ekologis daerah penelitian. Bab ini juga merupakan paparan dari tingkat pertama faktor-faktor penyebab berlangsungnya destructive fishing bertahun-tahun pada komunitas nelayan di area penelitian. Interaksi eksploitatif para pihak lain terhadap nelayan digambarkan pada Bab 6 dan merupakan tingkat kedua dari faktor-faktor penyebab kenelayanan destruktif berlangsung terus di Pulau Barrang Lompo. Pada bab ini dituliskan hasil FGD pada saat pendirian koperasi Ata Matuna. Topik pertanyaan dibicarakan sehari sebelum pertemuan oleh peneliti dengan moderator, yakni Pak Darwin. Saat rapat pendirian koperasi, pak Darwin yang melakukan FGD terhadap para peserta dengan panduan topik-topik pertanyaan dari kami. Bab 7 yang berintikan hasil pertemuan para penegak hukum, pengelola perikanan dengan para nelayan yang menggunakan bom ikan bertempat di kantor kasubdit Pengawasan DKP kotamadya, yakni di Paotere. Pertemuan tersebut dimoderatori oleh Pak Baddu sebagai kepala kantor itu. Beberapa hari sebelumnya, penulis menemui beliau, mendiskusikan rencana pertemuan tersebut, dan menitipkan sejumlah topik untuk didiskusikan dengan para peserta. FGD tidak dilakukan oleh peneliti, tetapi topik pertanyaan dititipkan kepada moderator. Pada Bab 8 dipaparkan solusi yang mungkin bisa diupayakan untuk perubahan dari kenelayanan destruktif menjadi bentuk kenelayanan yang bertanggung jawab. Sebelumnya diuraikan juga program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dan tabulasi upaya- upaya yang pernah dilakukan untuk menghentikan kenelayanan destruktif di Pulau Barrang Lompo. Terakhir, Bab 9 berisikan kesimpulan dan rekomendasi . 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengantar Kajian usaha kenelayanan sampai kini masih terlalu berorientasi fisik biologis dan kurang memberikan perhatian yang memadai pada aspek manusianya. Cukup banyak studi yang detil tentang teknologi tangkap dan biota laut. Salah satu diantaranya adalah studi tentang destructive fishing.Mackinnon, 1997; Makolewaka, 1997 Usaha penangkapan ikan dengan melakukan teknologi yang destruktif sudah semenjak lama menarik perhatian para akademisi, namun sayangnya hanya berkutat pada aspek teknologinya dan biota-biota laut yang terkena dampaknya. Studi yang membahas dimensi manusia pelakunya secara detil masih sangat sedikit, padahal akibat yang ditimbulkan bisa ribuan kali lipat dibandingkan dampak dari ulah alam Derraik, 2000. Sustainable fishing adalah format usaha kenelayanan yang diharapkan berlangsung di kalangan nelayan maupun para stakeholder lainnya. Oleh karena berbagai faktor nelayan terdorong untuk melakukan destructive fishing. Di sini muncul pertanyaan, apakah para nelayan tidak punya rasa bersalah ketika melakukan hal tersebut ? apakah para nelayan tidak sadar atau tidak tahu bahwa hal tersebut akan menyebabkan mereka menemui kesulitan di masa depan ? Bagaimana dengan etika lingkungan mereka ? Johani, 1997 Dalam khasanah teori antropologi, ada kumpulan teori etno-pekerjaan arbeit ethnologie Roessler, 2000 sebagai suatu pisau analisis yang menunjukkan kenapa orang atau komunitas tertentu memilih melakukan pekerjaan tertentu dan enggan memilih pekerjaan yang lain. Bagaimana dan kenapa nelayan melakukan destructive fishing dan tidak memilih sustainable fishing, sistem nilai macam apa yang melatarbelakanginya bisa dianalisis melalui teori ini. Umumnya orang memperhitungkan faktor leader dalam usaha kenelayanan karena perannya yang sentral dalam banyak aspek usaha kenelayanan. Para akademisi melihat tumbuh suburnya relasi patron-client dalam usaha ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan Pelras, 2000. Bentuk relasi tersebut dianggap sudah merupakan format budaya yang tidak bisa tidak berlangsung dalam usaha kenelayanan. Ada dua bentuk analisis patron klien, yakni yang dipengaruhi marxisme yang sangat menekankan masalah eksploitasi dari patron dan non-marxisme yang lebih cenderung mengungkap resiprositas. Dengan memahami kondisi yang melingkupi masyarakat nelayan tersebut, kita bisa mencoba mencari alternatif pekerjaan dengan menggunakan alat bantu psikologi sosial, yakni mencari alternatif pekerjaan yang sesuai dengan kepribadian mereka. Tentu saja dalam hal ini harus diperhitungkan faktor SDM khususnya pendidikan dan ketrampilan mereka serta lingkungan yang ada, yakni laut dan sedikit daratan. Bab ini bertujuan untuk memaparkan pendekatan teoritis dalam melihat fenomena destructive fishing. Adapun alur penulisannya mengikuti alur sebagaimana terdapat dalam bagan di bawah ini. Gambar 2 Transformasi perubahan perilaku dari kenelayanan destruktif menjadi kenelayanan berkelanjutan Faktor utama penyebab kenelayanan destruktif DF yang selama ini dirinci sebagai : kemiskinan, kurang pengetahuan dan tamak tidak peduli. Berbagai pihak menginginkannya agar bisa dirubah menjadi perikanan yang berkelanjutan SF dengan ciri-ciri : efisien, efektif, pemerataan dan stabilitas. Perubahan perilaku nelayan yang menjadi fokus disertasi ini melalui studi literatur Penyebab kenelayanan destruktif : -miskin -kurang pengetahuan -tamaktidak peduli Ciri kenelayanan berkelanjutan: -efisien -efektif -pemerataan -stabilitas Enterpre- neurship Patron klien Etika lingkungan Modal sosial bisa diupayakan melalui empat aspek, yakni : enterpreneurship, patron-klien, etika lingkungan dan modal sosial. DF yang berpengaruh positif terhadap enterpreneurship akan diproses untuk positif juga terhadap SF. DF yang berpengaruh negatif terhadap Patron klien akan diubah menjadi positif yang mendukung SF. Kenelayanan destruktif yang berpengaruh negatif terhadap etika lingkungan akan ditransformasikan supaya menjadi pro lingkungan. Begitu juga, pengaruh DF yang negatif terhadap modal sosial akan diupayakan melalui serangkaian pemberdayaan untuk menjadi positif dan mendukung SF, bahkan menjadikan nelayan lokal sebagai pihak yang mempromosikan kenelayanan berkelanjutan.

2.2 Metodologi