104
5.3. Pola Indeks Keberlanjutan Usahatani dalam Diagram Layang
Telah disebutkan sebelumnya bahwa penetapan 5 dimensi: ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi dan atribut yang akan ditetapkan
skornya, dilakukan memperhatikan peraturan pemerintah yang berlaku, studi literatur, pendapat pakar dan pengamatan di lapangan.
Hasil analisis Rapfarm terhadap kondisi sistem usahatani eksisting menunjukkan bahwa nilai rata-rata indeks keberlanjutan usahatani lahan dataran
tinggi yang terdapat di Kecamatan Lembang lebih rendah dibandingkan nilai rata- rata indeks keberlanjutan usahatani di Kecamatan Dongko. Besarnya nilai
indeks keberlanjutan yang ditunjukkan oleh titik ordinasi pada tiap-tiap dimensi untuk wilayah Kecamatan Lembang terdapat pada kisaran angka 17 - 56 pada
skala 1 - 100. Nilai tersebut menunjukkan bahwa sistem usahatani saat ini di wilayah tersebut termasuk dalam kategori tidak berkelanjutan, karena nilai indeks
untuk 4 dimensi rata-rata kurang dari 50. Hanya dimensi sosial yang nilai indeks keberlanjutannya pada kisaran 50 yaitu sebesar 56,421.
Nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial, teknologi, kelembagaan dan ekonomi untuk usahatani lahan dataran tinggi di Kecamatan Dongko
menunjukkan angka yang lebih tinggi jika dibandingkan nilai indeks untuk Kecamatan Lembang. Nilai indeks untuk dimensi sosial dan kelembagaan di
Kecamatan Dongko mencapai angka 63,776 dan 64,780 pada skala 1 – 100 sehingga status keberlanjutan untuk kedua dimensi tersebut termasuk dalam
kategori berkelanjutan. Namun karena nilai indeks dimensi ekologi untuk wilayah ini sangat rendah yaitu 24,155, membuat status keberlanjutan sistem usahatani
berdasarkan analisis multidimensi di wilayah ini menjadi tidak berkelanjutan, karena keberlanjutan sistem pengelolaan sumberdaya alam sangat ditentukan
oleh nilai dari setiap atribut yang diberikan skor pada masing-masing dimensi yang digunakan sebagai indikator keberlanjutan. Jika dibandingkan dengan
wilayah Kecamatan Lembang yang nilai indeks dimensi ekologinya 35,471, maka keberlanjutan fungsi ekologi dalam sistem usahatani saat ini di wilayah
Kecamatan Dongko ternyata lebih rendah. Berdasarkan nilai Squared Correlation SC dari hasil analisis yang
dilakukan dapat diketahui pula bahwa keterkaitan antar atribut yang digunakan untuk menilai keberlanjutan sistem usahatani saat ini cukup tinggi. Nilai SC yang
diperoleh untuk setiap dimensi berkisar antara 0,934 – 0,951 mendekati 1. Nilai tersebut menunjukkan bahwa keterkaitan antar atribut dalam dimensi mencapai
105 93,4 – 95,1, sehingga dapat dinyatakan bahwa hubungan di antara atribut-
atributnya sangat kuat. Selanjutnya untuk mengevaluasi pengaruh galat error acak pada proses
pendugaan nilai ordinasi digunakan analisis Monte Carlo. Besaran nilai stress yang dihasilkan akan menunjukkan besarnya pengaruh galat terhadap
penentuan titik ordinasi. Berdasarkan besarnya nilai stress untuk setiap dimensi yang diperhitungkan, hasilnya menunjukkan angka 0,25. Hal ini menunjukkan
bahwa pengaruh besarnya galat terhadap penilaian adalah sangat kecil, yaitu berkisar antara 0,132 - 0,144, sehingga dapat diabaikan.
Keragaan dari kedua wilayah dapat dilihat pada Gambar 5.7 dan 5.8 yang menampilkan diagram layang kite diagram keterkaitan antar dimensi. Bagian
terluar diagram menunjukkan skor baik 100, bagian dalam menunjukkan skor buruk 0. Tabel 5.3 dan 5.4 menunjukkan selisih hasil perhitungan Rapfarm
dengan Monte Carlo. Tabel 5.3 Selisih Nilai Hasil Perhitungan Rapfarm dengan Monte Carlo
Kecamatan Lembang
Indeks Status Hasil Rapfarm
Hasil Monte Carlo Selisih
Ekologi 35,471
37,542 2,071
Ekonomi 38,145
37,105 -1,035
Sosial 56,421
54,325 -2,096
Kelembagaan 34,491
35,476 0,985
Teknologi 17,303
19,410 2,107
Tabel 5. 4. Selisih Nilai Hasil Perhitungan Rapfarm dengan Monte Carlo Kecamatan Dongko
Indeks Status Hasil Rapfarm
Hasil Monte Carlo Selisih
Ekologi 24,155
25,913 1,757
Ekonomi 47,127
48,463 1,336
Sosial 63,776
61,499 -2,277
Kelembagaan 64,780
65,465 0,685
Teknologi 41,548
41,994 0,446
106 Gambar 5.7. Diagram Layang Analisis Keberlanjutan Sistem Usahatani Lahan
Dataran Tinggi di Kecamatan Lembang Gambar 5.8. Diagram Layang Analisis Keberlanjutan Sistem Usahatani Lahan
Dataran Tinggi di Kecamatan Dongko
Hasil penilaian terhadap status indeks keberlanjutan multi dimensi pada tingkat kepercayaan 93 menunjukkan hasil yang hampir sama antara analisis
Multi Dimention Scalling MDS dengan Monte Carlo. Selisih kedua nilai tersebut
Diagram Layang Kecamatan Lembang
20 40
60 80
100 Ekologi
Ekonomi
Sosial Kelembagaan
Teknologi RapFarm
Monte Carlo 35,47
38,14
56,42 34,49
17,30
Diagram Layang Kecamatan Dongko
20 40
60 80
100 Ekologi
Ekonomi
Sosial Kelembagaan
Teknologi Rapfarm
Monte carlo
24,16
47,13
63,78 64,78
41,55
107 rata-rata 2. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa aspek ketidakpastian
dalam teknik Rapfarm dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh. Perbedaan yang relatif kecil tersebut menunjukkan bahwa :
a. Kesalahan dalam penetapan skor untuk setiap atribut dalam dimensi relatif kecil karena informasi yang diperoleh cukup memadai
b. Variasi perbedaan dalam penetapan skor terhadap setiap atribut relatif kecil sehingga tidak berbengaruh terhadap keragaman
c. Proses entry data yang dilakukan berhati-hati meminimkan kesalahan d. Kesalahan dalam pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari
e. Nilai stress yang diperoleh dari algoritma ALSCAL cukup rendah Berdasarkan hasil yang diperoleh, analisis keberlanjutan terhadap kondisi
saat ini menggunakan metode Rapfarm memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Metode ini dapat digunakan untuk menilai secara cepat keberlanjutan kegiatan
usahatani yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan yang berisiko erosi dan longsor. Gambar 5.9 berikut menunjukkan posisi relatif status keberlanjutan
usahatani di Kecamatan Lembang terhadap Kecamatan Dongko. Gambar 5.9. Posisi Relatif Tingkat Keberlanjutan Usahatani Lahan Dataran
Tinggi di Kecamatan Lembang dan Kecamatan Dongko
Posisi Relatif Keberlanjutan Usahatani di Kecamatan Dongko Terhadap Kecamatan Lembang
20 40
60 80
100 Ekologi
Ekonomi
Sosial Kelembagaan
Teknologi Dongko
Lembang
108
VI. VARIABEL DOMINAN DALAM MODEL EC
OFARMING
Pada bab sebelumnya telah disampaikan hasil analisis Leverage yang menetapkan sebanyak 9 atribut sensitif mempengaruhi keberlanjutan sistem yang
dihadapi dan dapat digunakan sebagai variabel pengungkit. Besarnya skor yang diberikan terhadap atribut digunakan sebagai indikator sensitifitas atribut tersebut
dalam mempengaruhi keberlanjutan setiap dimensi yang diamati. Selanjutnya, pengelolaan secara tepat terhadap variabel pengungkit tersebut, dilakukan untuk
meningkatkan keberlanjutan sistem yang sedang dikaji. Dalam penelitian ini sistem yang dikaji adalah sistem usahatani lahan
dataran tinggi yang mengalami permasalahan yang kompleks, baik dari aspek ekologi, sosial maupun aspek ekonomi. Tahapan selanjutnya yang dilakukan
sebelum membangun sebuah mental model ecofarming sebagai simplifikasi sistem usahatani berkelanjutan yang sesungguhnya, adalah menetapkan variabel
dominan yang akan membangun model tersebut. Hal yang dilakukan adalah memperhatikan variabel pengungkit yang telah dihasilkan dari analisis Leverage,
dan melakukan analisis terhadap sistem berdasarkan sub sistem yang lebih spesifik. Masing-masing sub sistem yang diamati akan menghasilkan sub model
tersendiri. Tahapan ini bertujuan, agar model ecofarming yang dibuat dapat merepresentasikan sistem usahatani yang sesungguhnya bersifat rasional. Sub
model yang diamati tersebut meliputi : 1. Sub Model LEISA Low External Input for Sustainable Agricultural
2. Sub Model Pengelolaan Lahan Berkelanjutan 3. Sub Model Kekuatan Modal Sosial
4. Sub Model Agribisnis-Pemasaran 5. Sub Model Kebijakan Publik
6.1. Sub Model LEISA
Sistem LEISA merupakan gabungan teknik yang dipilih secara cermat dalam memanfaatkan sumberdaya lokal secara maksimal untuk mengurangi
ketergantungan terhadap input produksi dari luar dengan tetap berorientasi pada keberlanjutan. Teknik yang digunakan mempunyai fungsi produktif, reproduktif
dan sosial yang saling melengkapi satu sama lain. Terdapat bermacam teknik yang dapat dilakukan petani dalam penerapan LEISA, sesuai dengan potensi dan
kendala serta kebutuhan setiap wilayah. Oleh karena itu, perlu ditetapkan teknik yang tepat dan tetap berorientasi pada prinsip keberlanjutan.